Mengubur 'Teluk Suci'
- ANTARA/Wira Suryantala
VIVA.co.id – “Sejumlah besar air, bersama dengan yang lainya berkumpul menjadi sungai yang mengalir bersama-sama menuju ke penampungan (muara dan teluk). Air yang murni (suci), baik dari mata air maupun dari laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan.” Itu petikan dari naskah Manawa Dharmasastra IV, Kitab Hukum Hindu Bali.
Sejak berabad silam warga Hindu di Bali menempatkan air dalam posisi penting. Tanpa air, maka tidak akan ada upacara yang bisa diselesaikan.
Sebab itu, Agama Hindu Bali pun juga disebut agama Tirtha. Agungnya air pun menjadi pedoman hidup masyarakat di Pulau Dewata. Dan atas itu juga sejak lama kenapa orang Bali pun percaya, perlakuan buruk terhadap air akan menimbulkan sengkala (celaka) atau pemali (terganggu energi gaib).
Tahun ini, hampir lima tahun sudah nama Teluk Benoa mengemuka. Ada rencana proyek reklamasi atau pembuatan pulau baru di atas kawasan yang sejak lama dikenal warga Bali sebagai Campuhan Agung (pertemuan sungai dan air laut).
Diakui, kedekatan Hindu Bali dengan Teluk Benoa sudah mengakar erat. Sejak berabad silam, Benoa menjadi kawasan penting nan suci. Maklum, Teluk Benoa sudah menjadi rumah bagi tujuh aliran sungai dan berkumpul membentuk sebuah aliran kehidupan yang bersemayam di falsafah hidup warga Bali.
Sebab itu, mahfum adanya di sekitar perairan Teluk Benoa setidaknya terdapat 60 titik suci sakral yang hingga kini masih dipertahankan warga Hindu Bali. "Teluk Benoa itu kawasan suci. Sebab itu harus dijaga dan tidak boleh disentuh apa pun," kata Koordinator Divisi Teknis Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) I Nyoman Mahardika.
Dari perspektif lingkungan, kawasan Teluk Benoa sesungguhnya merupakan wilayah perairan pasang surut. Ia terletak di belahan selatan Pulau Bali dan berbentuk teluk yang dilingkari hutan Mangrove.
Luas kawasan ini secara keseluruhan mencapai 1.988 hektare jika diukur dari garis terluar pantai dan dikelilingi oleh 12 desa, enam desa di Kota Denpasar dan lainnya dari Kabupaten Badung.
Sejak lampau, Teluk Benoa menjadi benteng mangrove terbesar bagi Pulau Bali di Selatan. Setidaknya ada 1.394 hektare mangrove bertebaran di Teluk Benoa. Sebab itu juga, Teluk Benoa pun menjadi rumah berlindung bagi ribuan fauna dan flora. Dan tentu saja, Teluk Benoa merupakan segitiga emasnya Bali. Sebab kawasan ini berada tepat di pusat pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata seperti Sanur-Kuta dan Nusa Dua.
Selanjutnya..Awal Masalah
Awal Masalah
Lima tahun lalu, tepatnya 2011, pemerintah menggagas pembangunan jalan tol Bali pertama yakni Bali Mandara. Jalan aspal disangga beton ini membentang sepanjang 12,7 kilometer dan menghubungkan Nusa Dua, Ngurah Rai dan Benoa.
Tol Benoa – Nusa Dua Bali, Ikon pariwisata Bali.
Pembangunan ini cukup kontroversi, lantaran kawasan perairan Teluk Benoa statusnya masih dalam kawasan konservasi. Namun semua berlalu, Tol Bali Mandara, terlanjur menjadi ikon Bali.
Setahun berjalan, muncul rencana investasi dari PT. Tirta Wahana Bali Internasional. Perusahaan ini hendak menawarkan reklamasi Teluk Benoa. Idenya hendak menguruk laut dan membuat daratan baru, lantaran ada sedimentasi di kawasan perairan Teluk Benoa.
Gayung bersambut, tepat pada 26 Desember 2012 Gubernur Bali memberikan izin reklamasi kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional di kawasan perairan Teluk Benoa Kabupaten Badung seluas 838 hektar tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa.
Dasar masalahnya, telah terjadi pendangkalan di perairan Teluk Benoa. Sebab itu untuk mencegah kerusakan ekosistem berlanjut, satau-satunya upaya adalah dengan mereklamasi lahan perairan di Teluk Benoa.
Seolah sejalan, di tahun 2014, lewat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perairan Teluk Benoa pun diubah statusnya. Dari kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya. Jelas kawasan ini bukan lagi daerah yang perlu diselamatkan dalam kacamata lingkungan.
Rencana reklamasi seluas 838 hektare yang digadang-gadang akan tetap menyediakan 438 hektare hutan mangrove, 300 hektare fasilitas umum dan sisanya kawasan wisata sejak itu pun mendapat angin.
Pengurukan Teluk Benoa pun menjadi perbincangan. Hingga kini, pergulatan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan akhirnya tak pernah tuntas. Hilangnya perairan Benoa pun tinggal menunggu waktu.
"Sejauh ini kami, Pemprov Bali, sudah berada pada koridor yang benar sesuai jalur hukum. Kami hanya mengikuti pusat. Dan sekarang, semuanya tergantung keputusan pusat, apakah dihentikan atau dilanjutkan," kata Kepala Biro Humas Pemprov Bali Dewa Gede Mahendra Putra, Kamis 7 April 2016.
Selanjutnya...Konsistensi Pusat
Konsistensi Pusat
Proyek reklamasi Teluk Benoa pun menjadi polemik tak berujung. Beberapa menyatakan penolakannya secara terbuka, sementara sisanya memilih menyetujui namun tak secara frontal bersikap.
Senator asal Bali, I Gede Pasek Suardika, dengan lantang menyampaikan penolakannya atas proyek reklamasi Teluk Benoa. Sebabnya, Gede menduga ada motif lain di balik proyek raksasa tersebut.
"Reklamasi Teluk Benoa ini kan (ada) perumahan. Jangan dikira tidak. Ini yang selalu ditutupi. Di sana (nantinya akan) dibangun perumahan elit," ujar Gede.
Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) turun ke jalan untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa menyusul adanya wacana proyek tersebut akan berjalan terus.
Gede begitu meyakini, bahwa reklamasi Teluk Benoa akan memberi rezeki bagi segelintir orang. Khususnya kepada mereka yang mendapat hak pengelolaan lahan. Lewat tanah baru yang dibangun lewat pengurukan, tentu menyediakan lahan kosong yang bisa dikelola untuk kepentingan ekonomi.
"Reklamasi itu kan cara mudah bagi mereka (perusahaan) untuk mengambil lahan di tempat yang paling baik," kata Gede.
Sekretaris Fraksi Golkar DPRD Bali Ida Gede Komang Kresna Budi juga melontarkan kritiknya atas Teluk Benoa. Ia menilai bahwa rencana reklamasi tak sejalan dengan kondisi kawasan di Teluk benoa.
"Kalau sedimentasi itu maka perlu dikeruk, bukan justru direklamasi. Kalau di bangun hotel, infrastruktur, keramaiannya pindah," kata Kresna Budi.
Begitu pun Ketua DPD Partai Gerindra Bali Ida Bagus Putu Sukarta. Ia meyakini bila reklamasi Teluk Benoa tetap digulirkan, maka akan tempat wisata baru yang akan menjadi korban.
"Ketimpangan kunjungan wisata di Bali tinggi. Perlu pemerataan, kalau Teluk Benoa jadi, maka akan semakin tinggi timpangnya. Jadi, lebih baik kembangkan daerah lain daripada harus memaksakan reklamasi Teluk Benoa," urai Putu Sukarta.
Koordinator Divisi Teknis ForBALI, I Nyoman Mardika, lembaga yang selama ini menentang keras reklamasi Benoa bersuara lebih keras."Jika reklamasi Benoa jadi, maka akan ada kenaikan air laut hingga 0,4 meter. Yang artinya wilayah Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tuban, Semawang, dan Sanur akan terkena banjir," kata dia.
Lalu bagaimana respons pemerintah? Sejauh ini, Pemerintah Bali sepertinya memilih untuk tidak menyatakan sikap secara tegas. Dalih Perpres 51 tahun 2014 yang diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi ganjalan bagi pemerintah setempat.
"Kami ini dalam posisi menjalankan proses saja. Mau jadi atau tidak, itu bukan kewenangan kami yang menentukan. Kami menyerahkan semuanya pada proses," kata Kepala Biro Humas Pemprov Bali Dewa Gede Mahendra Putra.
Mahendra juga memastikan Pemprov Bali kini masih menunggu hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atas proyek reklamasi Teluk Benoa. Jika itu disetujui, maka reklamasi dipastikan berlanjut.
"Semuanya tergantung keputusan pusat, apakah dihentikan atau dilanjutkan. Kami mengikuti saja," katanya.
Selanjutnya...Siapa Untung
Siapa Untung?
Lantas, bagaimana sesungguhnya reklamasi Teluk Benoa yang digagas oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional? Mengutip dari laman resmi mereka, proyek ini dinamakan dengan revitalisasi Teluk Benoa atau Nusa Benoa.
Nantinya, kawasan perairan Teluk Benoa sebagian besar akan diperuntukkan untuk area residensial atau perumahan. Rencananya kawasan yang akan dikelola seluas 638 hektare atau seluas 52,1 persen dari total perairan Benoa.
Seluas 332,9 hektare akan dimanfaatkan untuk perumahan. 127,5 hektare untuk taman kota, 48,8 hektare untuk infrastruktur, 44,4 hektare untuk komersial, 26,6 hektare untuk vila dan hotel, 35,2 hektare untuk taman rekreasi dan sisanya 22,6 hektare untuk fasilitas umum.
Perusahaan ini mengklaim akan bisa menyerap 210.806 tenaga kerja dan sebanyak 75 persennya masyarakat lokal akan diperkerjakan bila reklamasi ini berjalan.
"Kami ingin jadikan ini (Teluk Benoa) pulau budaya, komitmennya tegakkan filsafat Tri Hita Karana," ujar Komisaris PT TWBI Marvin Lieano dalam presentasi AMDAL Januari silam.
Lalu apakah ini tidak menarik? Sepenuhnya memang harus dikaji lebih dalam. Konsep kearifan masyarakat Bali soal air sebagaimana tertuang dalam Kitab hukum Hindu Bali, Manawa Dharmasastra, tak bisa diabaikan begitu saja.
Sebab Bali selain menjadi ikon untuk wisata alam, sektor budaya dan adat istiadat mereka justru yang paling memiliki nilai jual di mata wisatawan.
Apa pun itu, di sisi lain, Gus Adhi, nelayan yang sudah 20 tahun mencari ikan di kawasan perairan Teluk Benoa mengeluh. Sebabnya, pendangkalan telah membuat para nelayan kesulitan.
"Dulu, kami tak perlu mencari ikan ke tengah laut. Cukup di bibir pantai tangkapan sudah lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Paling di saat situasi tertentu terjadi air pasang baru ada ikannya," kata Adhi.
Begitu pun dengan Arik. Pemburu ikan dan kepiting bakau ini sudah semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hariannya. "Dulu di pinggir pantai saja anak-anak bisa menangkap kepiting atau hewan laut lainnya. Sekarang jangan ditanya, sulit sekali. Dapat 10 atau 20 kilogram saja itu sudah lumayan," ujar dia. (ren)