Tabungan Perumahan Rakyat, untuk Siapa?
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Obrolan sejumlah pekerja kelas menengah di suatu senja akhir pekan lalu mendadak menghangat. Percakapan mereka menyentil iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat bagi pekerja dengan upah di atas minimum yang undang-undangnya disahkan 26 Februari 2016. Mereka mempertanyakan letak keadilannya.
Sebab, iuran ini akan melengkapi iuran-iuran wajib lainnya yang terlebih dahulu memangkas pendapatan mereka: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kesehatan, Pajak Penghasilan, dan Jaminan Hari Tua.
Semula Erry (30), karyawan swasta sebuah perusahaan di Bekasi yang terlibat dalam percakapan itu menyambut baik adanya UU Tapera. Ia berancang-ancang bisa segera memanfaatkan dana yang bakal dipotong dari gajinya kelak.
Namun, semringah hilang dari wajahnya begitu ia mengetahui tujuan Tapera yang tercakup dalam UU itu dirancang untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yakni masyarakat dengan gaji sampai dengan Rp4 juta per bulan, untuk mendapatkan rumah.
Sementara itu, pekerja dengan gaji lebih dari Rp4 juta per bulan seperti dia, atau kategori non-MBR, tidak bisa menikmati kemudahan mendapatkan rumah dengan skema Tapera. Mereka hanya bisa menikmati Tapera sebagai tabungan investasi pensiun yang bisa diambil pada umur 58 tahun.
"Seharusnya pembayar iuran dengan gaji di atas Rp4 juta juga bisa menikmati Tapera, nggak menunggu pensiun. Ini demi keadilan," kata Erry.
Sejawatnya, Harto (46), juga bertanya-tanya, mengapa pekerja bergaji di atas Rp4 juta yang notabene nantinya akan membayar iuran justru tidak bisa menikmati manfaat Tapera. "Tak semua orang dengan gaji di atas Rp4 juta memiliki rumah. Bagaimana orang yang belum punya rumah mensubsidi orang lain? Sementara, mereka saja rumahnya masih kontrak," kata Harto.
Dalam amanah UU Tapera yang mulai diberlakukan 2018, seluruh pekerja lintas sektor, baik pekerja formal, pekerja mandiri, maupun pekerja asing wajib menyisihkan 2,5 persen dari gaji bulanan mereka.
Layaknya skema BPJS, pengupah juga diwajibkan berkontribusi 0,5 persen dari gaji pekerja. Adapun, besaran iuran Tapera itu belum disetujui pengusaha dan pekerja. Kesepakatan belum tercapai di tengah pembahasan yang sangat alot.
"Stakeholder (pemangku kepentingan) tidak diajak bicara. Banyak serikat pekerja dan konfederasi pekerja yang tidak tahu," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani, kepada VIVA.co.id.
Apindo keberatan iuran Tapera dibebankan ke dunia usaha.
Mereka mengeluh, masukan-masukan yang disampaikan ke pemerintah dan parlemen terhadap rancangan payung hukum itu seperti tidak dianggap. Padahal, dijelaskan dasar penolakan karena Tapera dianggap duplikasi JHT yang sebelumnya sudah dipelopori BPJS Ketenagakerjaan.
Apindo keberatan iuran Tapera dibebankan ke dunia usaha, sebab akan menambah pungutan perusahaan dan pekerja. Padahal, beban pungutan di perusahaan atau pekerja atas persentase tertentu dari penghasilan pekerja sudah sangat besar. Karena itu, penambahan pungutan, berapa pun besarnya, akan semakin menjadikan dunia usaha tidak kompetitif.
Selama ini, beban pungutan yang sudah ditanggung perusahaan adalah 18,24 persen sampai 19,74 persen dari gaji bulanan pekerja.
Pengupah saat ini dibebani iuran BPJS Ketenagakerjaan yang meliputi JHT sebesar 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24 persen sampai 1,74 persen, dan Jaminan Pensiun dua persen.
Belum lagi BPJS Kesehatan sebesar empat persen dan cadangan pesangon sekitar delapan persen. Ditambah lagi rata-rata kenaikan upah dalam lima tahun terakhir sekitar 14 persen.
"Maka beban tahunan pengusaha untuk taat pada peraturan perundang-undangan bisa mencapai sekitar 35 persen," katanya.
Hariyadi menegaskan, seharusnya program Tapera tidak perlu lahir, karena pola dan sistem tabungan investasi ini tidak jauh berbeda dengan JHT BPJS Ketenagakerjaan.
Pengusaha saat ini memilih menunggu pembahasan kembali UU Tapera untuk mencari solusi dan jalan keluar, setelah sebelumnya berwacana melakukan judicial review bersama-sama UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, Hariyadi enggan memerinci simulasi apa yang sedang dicari jalan tengahnya. "Kami meminta tidak ada tambahan iuran dari pengusaha. Saat ini sedang dalam pembahasan. Kami masih menunggu hasil pembahasan sebelum melakukan uji materi," ujarnya.
Selanjutnya...Punya rumah jadi mimpi buruh
Mimpi Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal berharap pengusaha tidak terburu-buru menolak Tapera karena mengesankan tidak peduli pekerjanya tinggal di kontrakan yang sempit, dan tidak punya tempat tinggal saat pensiun nanti.
Saat berbincang dengan VIVA.co.id, Said menuturkan, memiliki rumah saat ini hanya mimpi bagi buruh, terutama MBR. Bagaimana tidak? Rumah tapak tipe 27 dan tipe 30 paling murah dibanderol Rp120 juta. Dengan keharusan uang muka 30 persen, setidaknya buruh harus menyiapkan uang Rp36 juta.
Tak hanya itu, angsuran Kredit Pemilikan Rumah selama 10-15 tahun rata-rata Rp1,2-1,5 juta per bulan juga menjadi beban bagi buruh. Sebab, dengan upah minimum Rp3,1 juta, buruh tidak mungkin menganggarkan lebih dari 40 persen upah mereka untuk membayar cicilan rumah.
"Buruh, MBR, dan kelas menengah ke bawah butuh rumah sebagai kebutuhan primer yang murah, bersih, dan nyaman," kata dia.
Said menegaskan, buruh sangat mendukung UU Tapera yang memiliki tujuan mulia, namun tidak setuju dengan isi UU itu. Selain tidak jelas, ada kesan pemerintah dan DPR hanya mau mengumpulkan uang rakyat saja atas nama Tapera.
KSPI pun meminta pemerintah merevisi beberapa pasal dan aturan dalam UU Tapera sebelum diterapkan. Ada beberapa hal yang diusulkan dalam revisi beleid itu. Pertama, iuran tidak boleh memberatkan pengusaha dan buruh. Misalnya, iuran buruh sebesar satu persen, maka pengusaha juga satu persen.
Kedua, tidak ada batasan untuk peserta Tapera, sehingga buruh formal dan informal bisa menjadi peserta. Ketiga, KSPI meminta iuran Tapera bisa diambil setelah 10 tahun kepesertaan, bukan saat pekerja pensiun.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Foto: VIVAnews/Muhamad Solihin
Tujuannya, supaya jika manfaatnya digabung dengan 30 persen dari JHT pada program BPJS Ketenagakerjaan, maka pekerja bisa menggunakan dana tersebut untuk uang muka dan cicilan rumah. Dengan begitu, saat pensiun, mereka dipastikan sudah punya rumah.
Bagian penting lainnya, iuran Tapera tidak dikelola dalam investasi bentuk apa pun. Dananya hanya boleh digunakan untuk membangun rumah. Misalnya, disimpan di PT Bank Tabungan Negara Tbk sebagai bank khusus perumahan, dan menunjuk Perum Perumnas sebagai kontraktor yang membangun rumah.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dilarang mengelola dana Tapera. Pengelolaan harus diserahkan ke Badan Pengelola yang berasal dari unsur pemerintah, buruh, dan pengusaha, mengingat dana yang dihimpun dari iuran Tapera bisa mencapai puluhan triliun per tahun.
Sebagai gambaran, jika iuran disepakati tiga persen, lalu dikalikan dengan 12 bulan, dengan upah rata-rata, misal, sebesar Rp2 juta dan 44 juta pekerja formal. Jumlahnya mencapai Rp2,7 triliun per bulan atau Rp32 triliun per tahun. Dana ini diklaim bisa untuk membangun program sejuta rumah.
Pemerintah pun diminta andilnya dalam bentuk penyertaan modal awal, subsidi kredit konstruksi, subsidi bunga, atau lainnya.
Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk perumahan harus dimasukkan dalam satu akun bank untuk menghindari penyelewengan dan memudahkan pengawasan.
KSPI juga meminta aturan ini memuat ketentuan buruh sudah menempati rumah yang ready stock saat masuk usia pensiun, sama seperti pegawai negeri sipil dan TNI dalam program Bapertarum.
Selanjutnya...Gotong royong ala pemerintah
Gotong Royong ala Pemerintah
Direktur Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Maurin Sitorus, mengklarifikasi aturan iuran Tapera yang diprotes pengusaha dan buruh ini. Pada dasarnya, kata dia, Tapera merupakan salah satu satu upaya pemerintah menghimpun dana murah jangka panjang untuk pemenuhan kebutuhan perumahan layak dan terjangkau.
Potensi pengumpulan dana Tapera bahkan sangat besar, yakni dalam lima tahun pertama diperkirakan Rp50-60 triliun. Dana itu bisa untuk membiayai 500an ribu unit rumah untuk MBR.
Konsep awal Tapera, kata dia, pengumpulan dana berdasarkan gotong royong. Pada azas keadilan, yang berhak mendapat pembiayaan perumahan adalah MBR yang belum memiliki rumah. Maka, wajar bila MBR lebih diutamakan menikmati skema Tapera. Selain untuk pembiayaan KPR, MBR juga bisa menggunakan Tapera untuk membangun atau merenovasi rumah.
Demi menyempurnakan UU Tapera, pemerintah pun membentuk lembaga pendukungnya, seperti Badan Pengelola Tapera dan Komite Tapera.
Pembentukan, status, dan kedudukan Badan Pengelola Tapera tercantum dalam Bab IV Pasal 32 dan 33 UU Tapera. Dalam pasal itu dijelaskan, Badan Pengelola Tapera dibentuk berdasarkan UU Tapera, bertanggung jawab kepada Komite Tapera, dan berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Karena ditetapkan berdasarkan UU, Badan Pengelola Tapera diklaim memiliki bentuk hukum yang kuat dan dipastikan aman dalam mengelola dana Tapera.
Badan Pengelola Tapera nantinya bertugas menetapkan kebijakan operasional, menunjuk dan menetapkan operator dan pengelola Tapera, serta melakukan pengawasan pelaksanaan tugas bank pelaksana perusahaan pembiayaan, bank kustodian, dan manajer investasi.
Lembaga lain yang akan dibentuk adalah Komite Tapera. Lembaga ini berfungsi menetapkan kebijakan strategis dan umum terkait pengelolaan Tapera, serta pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Badan Pengelola Tapera.
Mengenai iuran Tapera yang ditetapkan di peraturan pemerintah, pemerintah akan mengkaji besaran yang terbaik, agar tidak memberatkan pihak manapun, pekerja maupun pemberi upah.
Maurin menegaskan, pemerintah akan mendengar semua keluhan dan mengambil win-win solution dalam mengatur kebijakan ini.
Di sisi lain, menanggapi keinginan pengupah untuk tidak menambah beban iuran, Maurin memilih bersinergi dan melihat lebih detail iuran di BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu, agar bisa dipetakan dan diletakkan proporsi yang sebenarnya.
Dalam prosesnya, menurut dia, tak hanya melibatkan pengusaha dan pekerja, pemerintah juga ikut berkontribusi pada UU Tapera. Pemerintah akan memberi modal untuk Badan Pengelola Tapera. Sebagai pemberi upah bagi Pegawai Negeri Sipil, pemerintah juga berkontribusi memberi iuran kepada pekerja.
Tak hanya itu, pemerintah juga akan memasukkan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan sebesar Rp24 triliun dan pada 2018 menjadi Rp50 triliun ke dalam Tapera.
Dengan segala penjelasan soal Tapera, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, menilai pemerintah seolah lepas tangan sebagai penyedia rumah rakyat, karena justru membebani dana Tapera ke pengusaha dan pekerja.
Padahal, seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab, dengan memberi modal. Jangan istilahnya gotong royong, namun pengusaha dan pekerja yang dibebani. Karenanya, wajar jika pengusaha menolak terlibat iuran Tapera. Sebab, pengusaha telah dibebani banyak iuran dengan mekanisme masing-masing dan berjalan sendiri-sendiri.
"Seharusnya pemerintah dapat melakukan integrasi antara semua iuran yang ada, seperti yang dilakukan Singapura dengan Central Provident Fund (CPF)," ujar Ali.
Sistem CPF di Singapura, yakni iuran tunggal peserta akan langsung dibagi dalam empat rekening, mulai dari pendidikan, kesehatan, pensiun, sampai kebutuhan hunian. Dengan sistem ini pengusaha tidak lagi dipusingkan dengan beberapa tagihan yang memakan waktu.
"Kami tetap mendukung Tapera, dengan kritikan keras agar segera dibuat rencana implementasi yang jelas mengenai tata cara bagaimana peserta dapat memperoleh rumah, karena terindikasi banyak hal yang harus diluruskan dalam UU Tapera," katanya.
Hal lain berkaitan dengan pengelolaan dana Tapera yang harus melalui manajer investasi, dikhawatirkannya justru memicu penyimpangan mengingat iuran Tapera rentan jadi dana “bancakan”.
"Belum lagi bila adanya risiko kerugian akibat investasi yang dilakukan manajer investasi. Bila merugi, maka berdasarkan UU Pasar Modal, manajer investasi tidak dapat dipersalahkan. Sungguh ironis karena uang dana Tapera semuanya berasal dari masyarakat dan Tapera harus mempertanggungjawabkan hal tersebut," ungkapnya.
Belum lagi penolakan dari pekerja kelas menengah atas yang keberatan pungutan Tapera, karena mereka tidak bisa menikmati manfaatnya karena tidak termasuk dalam target Tapera.
Karena itu, harus dipertimbangkan kepesertaan Tapera tidak terbatas untuk MBR, tetapi untuk semua peserta Tapera. Meskipun dengan bantuan dan sistem yang berbeda antara MBR dan non MBR di segmen menengah.