Kalijodo Selayang Pandang
- Danar Dono - VIVA.co.id
VIVA.co.id – "...Selama berabad-abad, ini tempat paling hiruk pikuk di Jakarta saat malam tiba. Di sini, sejak dulu, terlestari kebiasan-kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup bersama selama-lamanya, tapi sekadar berhibur diri sambil menikmati nyanyian-nyanyian klasik Tiongkok dinyanyikan oleh para ca-bau-kan."
Paragraf di atas merupakan nukilan novel berjudul "Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa" karya Remy Sylado. Terbit pada 1999, novel ini menceritakan kisah cinta antara Tinung - seorang perempuan Betawi yang berprofesi sebagai seorang ca bau kan - dan Tan Peng Liang, seorang pengusaha tembakau dan candu.
Dalam bahasa Hokkian, ca bau kan berarti perempuan - yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa.
Balakangan, novel yang berkisah tentang latar budaya Tionghoa peranakan di Hindia Belanda pada kurun waktu 1930-an hingga pascakemerdekaan tahun 1960-an ini banyak diperbincangkan.
Prosa itu kembali menjadi bahan diskusi setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berniat ‘meratakan’ Kalijodo, tempat yang disebut-sebut Remy Sylado dalam novelnya tersebut sebagai lokasi orang-orang ‘mencari jodoh’.
Remy Sylado, pengarang "Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa"
Berawal dari Peh Cun
Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, mengatakan, sesuai namanya, sejak zaman Belanda, Kalijodo dikenal sebagai tempat orang untuk mencari pasangan. Menurut dia, letaknya yang berada persis di bantaran sungai membuat wilayah ini selalu ramai dikunjungi muda-mudi kala itu.
Ia menuturkan, pada era 1930-an, Kalijodo dikenal dari kebiasaan warga keturunan Tionghoa yang menggelar perayaan Peh Cun. Dalam perayaan itu, ada pesta air. Baik laki-laki maupun perempuan menaiki perahu dan saling melemparkan kue.
"Perempuan dan laki-laki saling timpukan (lempar) kue kacang hijau. Kalau (laki-laki dan perempuan) saling timpukan itu namanya jodoh. Makanya dinamakan Kalijodo," ujar Ridwan kepada VIVA.co.id, Rabu, 17 Februari 2016.
Dalam tradisi masyarakat Tionghoa, Peh Cun adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah China. Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan yang artinya mendayung perahu.
Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan Peh Cun adalah pesta air. Pesta air itu diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi Kali Angke.
Ridwan mengisahkan, masa itu setiap perahu akan berisi tiga sampai empat orang laki-laki atau perempuan. Di perahu tersebut, si laki-laki akan melihat ke perahu yang berisi perempuan.
Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia akan melempar kue yang bernama tiong cu pia. Kue ini terbuat dari campuran terigu yang di dalamnya ada kacang hijau.
Bagi perempuan yang ditaksir, jika senang, ia akan melemparkan kue sejenis ke arah laki-laki yang menyukainya. “Dari sini lah kemudian kawasan ini berubah menjadi Kalijodo, karena menjadi kawasan untuk mencari jodoh," lanjut Ridwan.
Budayawan Betawi, Ridwan Saidi.
Berbeda dengan saat ini, pada masa itu Kali Angke masih jernih. Karena itu, meski tradisi ini dilakukan oleh etnis Tionghoa, tetapi masyarakat umum tetap memadati Kali Angke untuk melihat perayaan tersebut.
Sejarawan Jakarta, JJ Rizal, mengatakan, dilihat dari toponomi nama, Kalijodo adalah Kali dan Jodo, yang artinya tempat orang mencari jodoh. Menurut dia, pada tahun 1950, setelah Indonesia merdeka dan Ibu Kota kembali ke Jakarta, ada keriaan dan kebahagiaan karena bisa hidup secara normal.
Berangkat dari kondisi itu, masyarakat pun mencari ruang-ruang dimana mereka bisa melepaskan diri dari persoalan-persoalan revolusi. “Nah, saat itu kemudian orang-orang menemukan lokasi yang indah dan romantis, ada kali, lingkungan asri,” ujar Rizal kepada VIVA.co.id.
Dia menuturkan, saat itu daerah tersebut belum memiliki nama. Namun, karena tempatnya yang romantis, tempat tersebut dijadikan lokasi hang out oleh para pemuda pemudi.
“Mereka hang out ke sana kemudian kenalan, ngobrol-ngobrol, kumpul, kenalan dan akhirnya berjodoh. Karena banyak yang berjodoh akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai Kalijodo,” lanjut Rizal.
Menurut dia, tempat itu sangat fenomenal pada era 1960-an. Bahkan pada tahun 1965, seorang komikus terkemuka Indonesia, Ganes TH membuat komik khusus dengan judul "Kalijodo."
Sejak saat itu, Ganes memasuki penceritaan dalam komik-komiknya tentang dunia Betawi, Jakarta. “Jadi Kalijodo menjadi ikon Kota Jakarta dari tahun 50-an sampai 60-an,” kata Rizal.
Lokasi Prostitusi
Namun, pelan-pelan, Kalijodo berubah karena ada sejumlah proyek dan Kota Jakarta mulai ditata. Soemarno Sosroatmodjo, gubernur DKI Jakarta kala itu, pada tahun 1960-an sering merazia tempat-tempat yang diduga menjadi lokasi berkumpulnya wanita malam.
Salah satu tempat yang dianggap besar pada saat itu adalah Planet Senen. “Maka dibersihkanlah, dirazialah Planet Senen secara besar besaran,” ujar Rizal.
Sayangnya, pembersihan itu tanpa dibarengi dengan rencana yang matang, apa yang akan dilakukan terhadap para perempuan malam itu setelah mereka diusir dan digusur. “Akhirnya mereka yang digusur di Senen mencari tempat-tempat baru, salah satunya Kalijodo,” ujar Rizal.
Sejarawan kelahiran Jakarta ini menjelaskan, ada metamorfosa terkait Kalijodo. Rizal mengatakan, pada awalnya aktivitas di Kalijodo sesuai dengan namanya, yaitu dipakai warga untuk nongkrong dan tempat mencari jodoh. Namun, aktivitas itu berubah menyusul penggusuran tempat hiburan di kawasan Senen.
"Kalijodo berubah pelan-pelan dari tempat nongkrong dan cari jodoh, jadi tempat orang cari rezeki dengan jual diri, cari uang,” kata Rizal.
Pelan-pelan, Kalijodo pun berubah dan bertambah besar dan menjadi masalah di masyarakat. Kondisi ini terjadi saat Ibu Kota dipimpin Ali Sadikin.
Suasana di kawasan Kalijodo, Jakarta.
Menurut dia, saat itu Jakarta seperti neon yang menarik laron. Banyak terjadi urbanisasi. Meledaknya jumlah penduduk di Jakarta menambah banyak kebutuhan, salah satunya seks.
“Nah kebutuhan seks untuk kelas bawah salah satunya di Kalijodo,” ujar Rizal. Sejak saat itu, Kalijodo semakin masyhur sebagai tempat untuk mencari pasangan.
Kini, kawasan seluas 1,6 hektar yang membentang di sepanjang Kali Angke ini terancam diratakan dengan tanah. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, akan menyulap kawasan yang berada di RW 05, Kelurahan Penjagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Rizal berharap, penertiban Kalijodo memperhatikan rekayasa sosial dan efek lainnya setelah penggusuran. Sebab, jika tak diantisipasi dan disiapkan, bisa jadi setelah Kalijodo digusur, warga yang berbisnis di kawasan itu akan mencari tempat baru.
"Seperti kasus Senen. Di situ ditutup, mereka menyebar dan mengakuisisi Kalijodo," kata Rizal. (ren)