Raksasa-raksasa Minyak Tergelincir
- REUTERS/Dominic Ebenbichler
VIVA.co.id – Harga minyak belakangan ini terus menukik, memunculkan keresahan. Awal tahun 2016 ini diawali dengan harga minyak yang hanya berada pada kisaran US$35 per barel, padahal satu tahun yang lalu, harganya minyak masih berada di kisaran US$100 per barel.
Petaka bermula dari beralihnya pusat minyak dunia, dari Timur Tengah menuju Texas dan North Dakota, di mana dua ladang minyak raksasa di wilayah AS mulai menggurita. Penemuan ladang minyak baru di AS ini menggeser pendulum, siapa kini yang menjadi penguasa harga minyak.
Sejak dieksplorasi pada tahun 2008, AS mulai menyalip dominasi negara-negara penghasil minyak dunia. Minyak produksi AS menyumbang setengah dari produksi minyak dunia, dan sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dalam negerinya. Saudi dan negara-negara yang tergabung dalam organisasi pengekspor minyak (OPEC) tak lagi bisa menjadi penentu tunggal harga minyak dunia.
Situasi ini diawali dengan produksi minyak yang berlimpah, namun serapan pasar tak banyak karena AS tak lagi mengandalkan OPEC, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi di China, yang juga menjadi konsumen besar minyak. Negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC terlambat mensikapi situasi ini.
Tahun 2008-2009, harga minyak juga sempat merosot. Namun saat itu, OPEC mengambil keputusan untuk memangkas produksi minyak hingga empat juta barel per hari. Cara tersebut efektif. Harga kembali bergerak stabil dalam waktu yang singkat.
Namun Saudi keras menolak melakukan langkah yang sama kali ini. Rene G. Ortiz, mantan Menteri Perminyakan Ekuador yang juga pernah menjadi Sekjen OPEC, sempat mempertanyakan kepada Saudi, akhir tahun lalu. “Mengapa Arab Saudi tidak berpikir untuk menggunakan cara tersebut kali ini,” katanya, seperti dikutip dari New York Times, April 2015.
“Produksi minyak AS melonjak. Lebih baik hari ini OPEC berpikir tentang fundamental pasar dari pada memanipulasi pasar. Keduanya memiliki kekuatan yang sangat berbeda,” katanya menambahkan.
Saudi dan negara Teluk bergeming. Pertemuan OPEC di Wina pada tanggal 27 November 2014 menjadi saksi, bagaimana pertemuan antar negara pengekspor minyak itu begitu penuh guncangan.
Venezuela dan Iran menghadapi Saudi dan sekutunya di Teluk Persia. Iran dan Venezuela mendapat dukungan dari Aljazair, Nigeria, dan beberapa negara yang mendapat keuntungan dari ekspor minyak, berargumentasi bahwa OPEC harus memangkas produksi untuk mempertahankan harga, seperti yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an saat terjadi krisis finansial di Asia, juga pada awal tahun 2000 ketika terjadi buble ekonomi, dan terakhir, pemangkasan produksi juga pernah dilakukan pada enam tahun yang lalu.
Namun Saudi dan sekutunya di negara teluk bersikukuh mengatakan tidak. Mereka berargumentasi, jika mereka melakukan pemotongan produksi, maka mereka akan kehilangan pasar karena Amerika terus meningkatkan produksinya hingga jutaan barel per tahun.
Keputusan Saudi itu secara efektif menghapuskan peran OPEC sebagai kartel tradisional produsen minyak global. Padahal, OPEC tak lagi menjadi satu-satunya pemasok dengan volume produksi tinggi, dan kemampuan menaikan dan menurunkan harga dengan mengelola output. Amerika Serikat mulai membayangi dan sedikit demi sedikit mengambil peran OPEC.
Keputusan OPEC untuk mempertahankan angka produksi mengejutkan pasar minyak. Sejak itu harga menukik tajam. Awalnya, produser minyak independen Amerika melihat hal tersebut sebagai serangan langsung untuk mereka, namun waktu mengubah semuanya.
Situasi itu malah membuat pertumbuhan penjualan minyak Amerika terus meningkat. Sementara penjualan minyak OPEC terus terpuruk. Hingga sekarang, penurunan harga minyak telah mencapai 70 persen dari harga normal tahun 2015.
Hingga akhir Januari 2016, harga minyak hanya berkisar US$34 per barel. Dikutip dari New York Times, situasi ini mulai terlihat jelas sebagai ancaman.
Stasiun pengisian bahan bakar Chevron di kota Cardiff, California, Amerika Serikat. Foto: REUTERS/Mike Blake
***
Harus Berhemat
Perusahaan-perusahaan minyak mulai menghentikan operasi lebih dari dua pertiga rig mereka, dan memotong secara tajam investasi dalam eksplorasi dan produksi. Lebih dari 250.000 pekerja di sektor perminyakan telah kehilangan pekerjaan mereka.
Exxon Mobil, perusahaan minyak raksasa AS juga melaporkan kerugian. Dilansir BBC, Rabu, 3 Februari 2015, laba Exxon Mobil anjlok 58 persen menjadi US$2,78 miliar di tiga bulan terakhir tahun lalu, dibanding dengan US$6,57 miliar untuk periode yang sama tahun sebelumnya. Secara tahunan, laba Exxon menyusut 50 persen menjadi US$16,2 miliar di 2015 dari US$32,5 miliar di 2014. Exxon mengatakan akan memangkas anggaran belanja menjadi US$23,3 miliar di 2016, turun 25 persen dibanding 2015.
Pendapatan bisnis hulu migas Exxon, yakni eksplorasi dan produksi, merosot menjadi US$857 juta di kuartal IV. Nilai tersebut merosot tajam dibanding dengan pendapatan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$4,6 miliar.
Sementara British Petroleum (BP) melaporkan kerugian tahunan terburuk dalam 20 tahun terakhir. Dikutip dari CNBC, Rabu, 3 Februari 2016, pada tahun 2015, perusahaan melaporkan kerugian sebesar US$6,5 miliar. Pada saat pembukaan saham di bursa London dibuka, saham mereka turun lebih dari lima persen. Di kuartal keempat tahun 2015, keuntungan yang diterima hanya sebesar US$196 juta, jauh di bawah ekspektasi yaitu US$730 juta.
Perusahaan ini juga mengumumkan akan menghentikan proyek eksplorasi, yang artinya akan memotong lima persen dari angkatan kerja di seluruh dunia. BP secara resmi juga mengatakan akan mengurangi produksi minyak global, dan mengurangi jumlah pegawai.
Royal Dutch Shell, salah satu raksasa perusahaan minyak asal Belanda, juga melaporkan situasi yang sama. Dikutip dari New York Times, 4 Februari 2016, perusahaan tersebut menyampaikan penurunan profit hingga 56 persen pada kuartal keempat dibandingkan tahun lalu.
Ben Van Beurden, Direktur Eksekutif Shell's mengatakan, mereka telah memangkas 7.500 tenaga full time dan paruh waktu. Shell juga akan melakukan merger dengan BG Group, perusahaan minyak dan gas dari Inggris.
Jika merger terjadi, maka masih ada sekitar 2.500 tenaga kerja yang akan dieliminasi. "Kami akan membuat perubahan yang substansi dalam perusahaan ini. Kami akan memfokuskan kembali Shell menghadapi turunnya harga minyak," ujar Van Beurden. Selain itu, demi menjaga modal perusahaan, Shell menunda dua proyek besar mereka, yaitu operasi gas alam cair di Kanada, dan pembangunan eksplorasi minyak dan gas laut dalam di Nigeria.
Di Asia, perusahaan minyak milik pemerintah Malaysia, Petroliam Nasional Bhd atau Petronas, mengumumkan kerugian besar di awal tahun 2016. Dikutip dari The Sun, 20 Januari 2016, penghasilan perusahaan tersebut anjlok hingga 91 persen. Petronas dikabarkan akan melakukan pemotongan belanja modal dan pengeluaran operasional hingga 50 miliar ringgit Malaysia sampai empat tahun ke depan.
BP secara resmi juga mengatakan akan mengurangi produksi minyak global, dan mengurangi jumlah pegawai. Foto: REUTERS/Luke MacGregor/Files
Perusahaan itu juga dikabarkan akan membatalkan sejumlah proyek. Petronas telah memulai kerugian sejak akhir tahun 2014. Saat itu, perusahaan mencatat kerugian hingga 7,3 miliar ringgit atau sekitar Rp26,15 triliun.
Padahal akhir tahun 2013 masih ditutup dengan keuntungan hingga 12,8 miliar ringgit atau sebesar Rp45,86 triliun. PHK juga membayangi Petronas, dimulai dengan memutus semua tenaga kontrak di perusahaan tersebut.
Negara kuat Rusia juga tak bisa menghindar dari ambruknya harga minyak dunia. Hari Senin pekan lalu BBC mengabarkan, mata uang nasional Rusia turun ke posisi terendah, 79 rubel terhadap dolar dan 86 rubel untuk euro. Pemerintah Kremlin telah memerintahkan seluruh departemen untuk memotong pengeluaran sebesar 10 persen, dan meneruskan kebijakan yang diberlakukan pada 2015.
Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev juga meminta seluruh departemen untuk melakukan revisi pada anggaran 2016, sebagai akibat dari harga minyak yang "tak terduga.” Situasi ini berdampak pada kenaikan harga pangan di negeri beruang itu. Sejumlah analisis memperkirakan, prioritas Rusia saat ini adalah menjaga perasaan warganya dari kesengsaraan ekonomi yang terus memburuk.
***
Gejolak Arab
Situasi terburuk mungkin dialami oleh Arab Saudi. Sebagai negara yang sangat mengandalkan penjualan minyak sebagai penghasil devisa utama, ambruknya harga minyak memberi dampak sangat besar pada negara kerajaan konservatif itu.
Pendapatan Arab Saudi dari minyak turun hingga 23 persen tahun lalu. Dikutip dari BBC, 18 Januari 2016, negara ini mengumumkan defisit anggaran yang mendekati US$100 miliar.
Arab Saudi juga melakukan sejumlah langkah efisiensi. Pada bulan Desember, Raja Salman menaikkan harga bensin murah dengan mengurangi subsidi hingga sebesar 40 persen. Tak berhenti disitu, Raja Salman juga berencana mengurangi pertumbuhan gaji sektor publik dan membatasi ketergantungan negara pada minyak.
Situasi Saudi diperparah dengan pencabutan sanksi atas Iran. Segera setelah pencabutan sanksi diberlakukan, harga saham Arab Saudi Bursa Efek jatuh hingga 5,4 persen pada hari Minggu, 17 Januari 2016. Jika harga minyak tak juga mengalami peningkatan, maka Saudi dipastikan akan melakukan reformasi besar-besaran demi menyelamatkan negaranya dari kebangkrutan.
Sejumlah mobil mengantre di stasiun pengisian bahan bakar Sinopec di Zhengzhou, Henan, China, 9 Februari 2015. Foto: REUTERS/Stringer/Files
Tahun 2016 baru mulai berjalan. Namun harga minyak masih belum jelas. Dikutip dari VoA News, akhir tahun lalu, pada 2016 ini proyeksi baru dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional memperkirakan, harga akan jatuh lebih jauh - ke level US$ 20 per barel pada tahun 2016.
Prediksi yang sama juga disampaikan oleh John Demopoulos, pakar strategi pasar dari AS. Kepada VoA News, ia mengatakan, tak melihat ada tanda-tanda kenaikan yang signifikan pada 2016. Bahkan meski Iran memasuki pasar ekspor dan mengimbangi Amerika, itu semua tak akan memberi dampak besar.
Dunia dihadapkan pada situsi terjepit. Jika harga minyak terus menurun, yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, pengurangan jumlah karyawan dan meningkatnya pengangguran, harga pangan yang melambung, disertai dengan daya beli yang melemah, maka hanya kalimat ini yang layak diucapkan, dunia menghadapi krisis global. (ren)