Indonesia Bikin Robot
- VIVA.co.id/Agus T Haryanto
VIVA.co.id – Hening. Di ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu nyaris tanpa suara. Duduk di kursi roda adalah seorang “pasien,” Jennifer Santoso. Sambil memangku laptop, dia diam seribu bahasa. Matanya terus fokus pada layar laptop yang menyala. Jarinya bergerak di papan ketik laptop.
“Pasien” itu menunggu munculnya kedip lampu hijau di layar laptop. Beberapa saat setelah duduk di kursi roda itu, kedip warna yang menyala pada sketsa otak masih hitam. Pertanda masih belum fokus.
Di belakang kursi roda, bersiap seorang “trainer,” Ivan Halim Parmonangan. Melihat kedip hitam di layar, lalu sang ‘trainer’ ini membetulkan posisi neuroheadset yang ada di kepala ‘pasien’.
Tak beberapa lama, kedip warna hijau muncul di bagian sketsa otak di layar laptop. Sang ‘pasien’ tetap fokus pada layar laptop. ‘Pasien’ menjalankan kursi roda dengan perintah otaknya. Dengan fokus berpikir, kursi roda ia gerakkan mengitari ruangan dengan jarak tiga meter. Tak jauh. Semua arah dicoba, ke depan, belok kiri, belok kanan sampai berhenti.
Trainer dan pasien tersebut bukan sedang di rumah sakit, bukan pula sedang dilaboratorium. Keduanya nyatanya sedang mendemonstrasikan apikasi Bina Nusantara Wheelchair (BNW) atau kursi roda kendali otak, di di Lantai 2 Gedung Kampus Anggres Bina Nusantara University, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa 26 Januari 2016. Bentuknya seperti kursi roda pada umumnya, tapi bedanya, untuk menggerakkan kursi itu, butuh perintah dari otak.
Kunci operasi BNW itu adalah pada neuroheadset. Perangkat ini menangkap sinyal otak Jennifer untuk dimasukkan dalam aplikasi yang namanya Bina Nusantara Wheelchair (BNW). Aplikasi ini bekerja menerjemahkan sinyal otak dengan algoritma, sebelum menggerakkan roda tersebut.
Ivan menjelaskan, pikiran seseorang bisa diterjemahkan melalui aplikasi buatannya, usai dipasang sebuah neuroheadset. Aplikasinya ini akan mengolah sinyal yang diterima dari perangkat di kepala itu, kemudian difilter untuk mengambil gelombang alfa dan beta.
Setelah itu, gelombang tersebut akan diterjemahkan ke dalam bentuk algoritma Fast Fourier Transformation yang nantinya dinput ke mesin. Lalu, aplikasinya ini akan meneruskan sinyal yang diproses ke Arduino Uno, yakni papan mikrokontroler dan diteruskan ke motor driver yang digunakan untuk menggerakan motor DC, motor listrik yang bekerja menggunakan sumber tegangan DC.
Ivan Halim Parmongan dan Jennifer Santoso memperlihatkan cara kerja kursi roda yang beroperasi dengan bantuan sinyal otak. Foto: VIVA.co.id/Agus T Haryanto
Kursi roda itu memakai dua data dengan electroencephalograph (EEG) alias sinyal otak untuk penyandang disabilitas yang lehernya kesulitan untuk bergerak. Secara teoritis, otak manusia memancarkan sinyal dalam orde sekitar 50 mikroVolt atau kurang, yang namanya EEG. Teknologi EEG ini pun bukan hal baru, sebab seorang ilmuwan sudah menampilkan sinyal EEG pada 1929.
Selain itu, kursi roda khusus ini dilengkapi dengan gyroskop untuk menangkap sensor gerak, bagi penderita yang masih menggerakkan leher. "Kursi roda ini berguna bagi yang tangannya patah, cacat seluruh tubuh, lumpuh dari leher ke bawah. Kami ingin membuat sistem yang dapat menolong orang lain," ucap Ivan.
Dia mengaku bersama Jennifer hanya meneruskan penemuan kakak tingkat kuliah mereka. Dia mengatakan keduanya menyempurnakan kursi roda itu dengan aplikasi yang bisa menjalankan kursi roda. Senior keduanya sudah membuat alat kursi roda dan mereka hanya menyempurnakan dengan menghadirkan aplikasi software.
Dengan merendah, Ivan mengatakan bersama Jennifer sebenarnya tak menciptakan temuan apa pun. Teknologi pembaca sinyal otak, kata dia, juga sudah bukan barang baru. Di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Jepang sudah menjadi hal yang umum. Bahkan di kampus di Indonesia, ujar Ivan, juga sudah mengembangkan pola kerja seperti kursi roda tersebut, namun dengan pendekatan yang berbeda.
Namun demikian, Ivan mengatakan mereka tak meniru temuan yang sudah ada sebelumnya. Aplikasi itu untuk memastikan sinyal otak itu bisa lebih dapat dipercaya dan lebih akurat diproses.
"Jadi nggak duplikat dan tidak membajak. Kami tidak memakai apa yang sebelumnya dipakai sinyal otak yang kami olah, kami klasifikasi, hingga bisa bergerak," kata Ivan.
Soal cara operasi kursi roda, pengguna hanya butuh fokus berpikir dan memaksimalkan kerja otak saja. Misalnya pengguna cukup fokus berpikir memajukan kursi roda. Memang untuk menjinakkan BNW itu butuh menyesuaian. Sebab fokus pikiran sangat dibutuhkan untuk mengendalikan kursi tersebut.
Tapi Ivan punya tips agar mudah fokus dalam memerintah kursi roda tersebut. Untuk bergerak maju, pengguna cukup fokus membayangkan objek yang ada di depan mendekati pengguna, untuk menghentikan gerak BNW, pengguna cukup mengedipkan mata. Untuk belok kiri atau kanan, pengguna cukup membayangkan objek atau benda di sebelah kanan atau kirinya.
Ivan mengibaratkan proses fokus pikiran otak pada saat duduk di kursi roda itu yaitu berpikir seperti orang sedang mengemudikan mobil. Saat akan berbelok, pengemudi pastinya akan melihat sisi kendaraan melalui kaca spion. Kurang lebih demikian.
Ini mengingat kursi roda khusus itu diposisikan untuk penyandang disabilitas atau patah tulang, maka pada sistem kursi itu disiapkan EEG. Ini menolong bagi pengguna yang lehernya tidak bisa bergerak.
"Kalau yang tidak bisa bergerak, kami pakai EEG juga, kami ambil sinyal otak juga. Kalau yang bisa bergerak, kami pakai gyroskop yang sudah embbed di alatnya," kata dia.
Ivan mengatakan belum berpikir jauh untuk mengembangkan karya bersama Jennifer tersebut, misalnya dipatenkan atau mau dipasarkan secara komersil. Dia mengatakan fokus jangka dekat ini adalah menjadikan kursi roda kendali otak itu bisa digunakan secara aman oleh pengguna. Sebab untuk memakainya masih memerlukan asisten yang mematikan fungsi BNW, dalam kasus alat tersebut mengalami malfunction.
Soal penyempurnaan kursi roda kendali otak tersebut, Ivan mengatakan, lebih ingin mengalir saja. Namun demikian, penemuan keduanya mendapatkan dukungan dari kampus mereka belajar.
Lili Ayu Wulandari, dosen Tim Riset Binus University mengatakan proyek BNW merupakan bagian dari skripsi Ivan dan Jennifer. Proyek itu juga merupakan salah satu topik dari proyek di Binus. Artinya ketika mengerjakan proyek tersebut bukan hanya berhenti pada proses skripsi saja. Kampus, kata Lili, akan terus berusaha mengembangkan, menyempurnakan kursi roda kendali otak tersebut.
Senada dengan Ivan, Lili mengatakan belum ada kepikiran untuk memasarkan karya tersebut ke masyarakat. Apalagi menurutnya, untuk bisa dipakai masyarakat, kemampuan akurasi BNW itu harus sudah sempurna. Saat ini tingkat akurasinya masih pada posisi 86 persen. Jika ingin meningkatkan atau memasarkan proyek kursi roda itu, kemampuan akurasi kursi paling tidak sampai 98 persen.
"Sehingga apa yang terbaca dalam pikiran kita itu benar-benar akurat, dapat digerakkan kursi roda," kata Lili.
Tantangan lainnya, tutur Lili, dibutuhkan kondisi yang tenang, agar pikiran pengguna bisa fokus dan menggerakkan kursi roda. Sementara dalam nantinya jika dipraktikkan dalam masyarakat untuk kehidupan sehari-hari, kursi roda itu bakal berpotensi bersentuhan dengan keramaian.
Ivan Halim Parmongan dan Jennifer Santoso memperlihatkan cara kerja kursi roda yang beroperasi dengan bantuan sinyal otak. Foto: VIVA.co.id/Agus T Haryanto
Untuk itu, Lili mengatakan hal yang perlu disempurnakan dari kursi roda kendali otak ini adalah akurasi, penerjemahan sinyal otak, gestur, emosi ke pergerakan roda. "Sehingga gangguan apapun yang terjadi di sekelilingnnya penggunanya dapat menggerakan kursi roda dengan baik,” kata dia.
Binus University mengaku tak terburu-buru membuat proyek kursi roda itu bisa segera dipasarkan ke masyarakat. Prinsipnya kampus mendukung proyek inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat. Lili mengatakan, dalam kurun waktu 1,5-2 tahun, kampus optimis bisa menciptakan sesuatu yang bisa digunakan masyarakat.
Dikatakan Lili, kampus juga sudah ingin memperluas aplikasi kursi roda kendali otak itu ke platform yang lain. Saat ini aplikasi itu, sudah berjalan pada laptop, dan sudah ancang-ancang untuk melahirkan aplikasi bisa berjalan pada platform Android dan iOS.
"Jadi, penyempurnaanya nanti ke arah sana," kata dia.
Kontroversi Tawan
Beriringan dengan inovasi kursi roda karya mahasiswa Binus tersebut, di Pulau Bali, belakangan sedang muncul perhatian tentang inovasi berbasis kendali otak dari seorang tukang las, I Wayan Sumardana.
Pria yang karib disapa Tawan itu tampak gesit menyambung besi di bengkel las miliknya dengan bantuan rangkaian mekanik yang diikat di lengan kirinya. Lengan tawan lumpuh setengah tahun belakangan sehingga memaksa menggunakan rangkaian itu untuk bekerja.
Pusat rangkaian tersebut berada pada alat yang dipakai melingkar di kepala. Lampu berwarna merah, biru dan hijau selalu berkelip pada alat yang dipasang melingkar di kepala dan punggung.
Dia mengatakan cara kerja alat rakitannya menggunakan sensor otak. Menggunakan kekuatan otak, alat yang dipakai di kepala akan mengalirkan apa yang diinginkannya melalui dinamo yang dipasang di punggungnya.
Selanjutnya hal itu dialiri ke tangan kirinya yang mengalami kelumpuhan. Ia berhasil menciptakan alat tersebut. Alhasil, ia dijuluki ‘Iron Man’ dari Bali lantaran alat yang digunakannya tersebut.
Alat itu mampu kembali menggerakkan tangannya seperti sediakala. Tawan kembali bisa mengelas, mengangkat beban berat dan aktivitas lain yang menggunakan tangan kirinya. Sehari-hari, Tawan menggunakan alat robotik tersebut untuk melakukan aktivitas, termasuk di luar aktivitas melakukan pekerjaan rutinnya mengelas besi.
Meski karyanya itu telah menarik perhatian publik, namun ada pula beberapa orang yang mencibir, menyangsikan karyanya tersebut. Tawan dianggap menyebarkan kabar bohong alias hoax. Alasannya pun beragam. Mulai dari ada yang meragukan cara kerjanya yang sangat sederhana, sehingga tak masuk akal, sampai pada menjurus pada latar belakang pendidikan Tawan yang dinilai tidak akan bisa membuat robot. Hanya SMK saja.
Menanggapi hal itu, Tawan tak pusing memikirkan komentar orang lain. Ia mengaku siap mempertanggungjawabkan di hadapan publik jika diinginkan. Namun yang pasti, alat tersebut kembali membuat roda ekonominya bergairah.
"Saya siap tanggung jawab dengan alat ini. Tapi orang mau percaya atau tidak, alat ini bisa membuat saya mencari nafkah lagi," ucap dia. Tawan mengaku bukan yang pertama menemukan alat tersebut. Dia menyebutkan sudah banyak mahasiswa dan ahli yang menciptakan robot canggih.
"Sudah banyak yang ciptakan di luaran sana yang canggih-canggih. Alat saya ini belum sempurna," kata dia kepada VIVA.co.id.
I Wayan Sumardana alias Tawan bekerja menggunakan tangan robot buatannya. Foto:
Karya robot lainnya yaitu Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Ary Setiaji Prihatmanto yang membantu mahasiswa Teknik Elektro ITB untuk mengembangkan teknologi serupa. Sejak 2007/2008, mereka meneliti dan mengembangkan alat bantu untuk orang berkebutuhan khusus. Bukan hanya robot, tetapi juga beberapa jenis permainan.
Salah satunya adalah untuk anak-anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak. Hal tersebut biasanya menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan.
“Bagaimana anak ADHD yang tidak bisa diam bisa menyelesaikan permainan dengan lebih tenang,” imbuhnya.
Pengembangan teknologi tersebut terjadi saat Ary mendorong Reza Darmakusuma, salah satu mahasiswanya untuk mendapatkan gelar S3. Salama proses tersebut, dia mengajak mahasiswa S1 untuk mengerjakan berbagai proyek Brain Computer Interface (BCI). Salah satunya adalah pembuatan tangan robot.
Bagi Ary, teknologi BCI bukan hal yang sulit. Meski begitu, pengembangannya membutuhkan teori yang tidak sederhana. Menurutnya, perlu pemahaman untuk mengubah teori menjadi alat sesuai yang diinginkan. Jika proto type sudah terbangun, Ary menambahkan, tidak perlu orang yang memahami untuk membuatnya.
Ambisi Lama
Tiga kasus di atas hanyalah bagian kecil dari dunia robotika di Tanah Air. Dunia ini bukan bidang baru di Indonesia. Bicara jejak karya robotika, sejatinya Indonesia sudah memulainya sejak 30 tahun lalu, tepatnya era-80-an dan awal 90-an.
Salah satu pionir pengembangan robotika di Indonesia adalah Endra Pitowarno, yang pada awal pengembangan robot di Indonesia adalah dosen Politeknik Elektronika Negeri Surabaya-Institut Teknologi Sepuluh November (PENS-ITS). Sebagai salah satu orang yang mengenalkan dunia robotika di Indonesia, Endra mengakui, perjuangan dan perkembangan dunia robot di Indonesia mengalami masa pasang surut.
Endra memulai sepak terjangnya dengan menulis sebuah laporan riset terkait dengan robot di sebuah surat kabar di Surabaya, pada 1989. Saat itu, artikel yang ditulisnya itu seolah memantik perbincangan masyarakat pada umumnya, dan kalangan akademisi terkait dengan bidang robotika.
Pada tahun ini juga, Endra bersama empat dosen mengikuti joint research atau training di Kumamoto National College of Technology, Jepang. Dari keempatnya, Endra mengaku hanya dialah yang tertarik mempelajari robotika saat mengikuti joint research tersebut.
Endra mengatakan pertama kali menciptakan sebuah robot tikus kecil atau micro mouse pada 1989. Penemuan itu ia bawa pulang ke Tanah Air sebagai ‘oleh-oleh’ dan secara tidak langsung melambungkan namanya. Sebab, berkat robot tikus itu lah, mahasiswa PENS juga mulai tertarik melakukan penelitian dalam Tugas Akhir (TA) mereka tentang robot.
“Setelah itu, barulah saya mulai mengajak mahasiswa-mahasiswa saya untuk membuat, serta mengikuti berbagai kontes robot yang lebih serius pada tahun 1993," kenang Endra. Tercatat, 60 mahasiswa angkatan pertama, 12 mahasiswa di antaranya berhasil membuat karya Tugas Akhir (TA) bertema robotika.
Robot tikus itu seakan menjadi pintu bagi perkembagan dunia robotika di Indonesia. Setelah robot tikus, munculah robot route runner atau yang sekarang dikenal dengan line tracer, yang makin menambah antusias mahasiswa.
Denyut antusiame kepada robotika di dalam negeri itu akhirnya terdengar sampai telinga pada ahli robotik dari Jepang. Maka tim PENS-ITS diundang perusahaan penyiaran Jepang Nippon Hooso Kyokai (NHK) untuk berlaga dalam kontes rovot NHK Robocon pada 1991.
Jadi, saat itu PENS-ITS merupakan satu-satunya peserta dari negara lain. Tak disangka, robot PENS-ITS yang bernama Bima X-1 mampu mengalahkan robot dari Kyoto pada pertandingan pertama. Meski akhirnya tidak menang, tapi Bima X-1 pulang dengan menyabet The Best Idea. Prestasi itu memikat NHK, maka kompetisi setahun berikutnya, PENS-ITS kembali diundang dalam NHK Robocon 1992.
Pada kompetisi 1992 itu, memboyong robot CARAKA XH, PENS-ITS yang membawa bendera merah putih mengejutkan Jepang dengan menembus semifinal dan meraih juara ketiga. Prestasi itu pun cukup membuat Jepang kaget, hingga pada kontes NHK Robocon di tahun berikutnya, PENS-ITS tidak diundang lagi oleh NHK.
Meski demikian, mereka tak putus asa dan akhirnya muncul ide untuk mengadakan kontes robot bernama Indonesian Robot Contest (IRC) yang kemudian menjadi Kontes Robot Indonesia (KRI). Terdapat delapan tim dari empat institusi peguruan tinggi yang berlaga dalam IRC 1993 kala itu. Hingga 2007, sudah 9 kali KRI digelar, yang mana sejak 2002, KRI rutin diadakan sekali dalam setahun hingga tahun ini.
Pada 2003, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, mulai mendanai KRI. Pelaksanaan KRI-5 pada 2003 dipindahkan ke Univeristas Indonesia Jakarta, untuk dapat menjaring lebih banyak peserta. Hasilnya jumlah peserta bertambah terus, baik jumlah perguruan tinggi (PT), maupun tim peserta yang ikut berpartisipasi. Dari 16 PT yang mendaftar pada 2002, bertambah menjadi 34 PT pada 2003. Jumlah terus meningkat secara signifikan pada tahun-tahun berikutnya.
Tidak hanya KRI, atas usulan Universitas Indonesia, sejak 2004 juga dilangsungkan Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI) bersamaan dengan digelarnya KRI. Beberapa tahun terakhir peminat KRI dan KRCI mengalami kenaikan yang signifikan. Pada 2007, tercatat 138 pendaftar untuk KRI dan 205 untuk KRCI. Menandakan robot semakin digandrungi di Indonesia. Di tahun ini ada berbagai kategori yang dipertandingkan dalam KRI, yaitu Robot Sepak Bola, Robot Menari, dan Robot Pemadam Api.
Selanjutnya mulai 2008, konten robot itu dilakukan dalam empat regional yaitu area sumatera dan sekitarnya; DKI Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya; Jawa Tengah dan Yogyakarta dan sekitarnya; Jawa Timur, Kalimantan dan Indonesia timur. Dua tahun kemudian Kalimantan dan Indonesia timur menjadi satu regional.
Intan Ahmad, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan mengatakan KRI mengompetisikan empat divisi, yaitu Kontes robot ABU Indonesia (KRAI) yang berafiliasi dengan ABU (Asia-Pasifik Broadcasting Union) Robocon; Kontes Robot Pemadam Api Indonesia (KRPAI) yang berafiliasi dengan Trinity Coolage International Robot Contest; Kontes Robot Seni Tari Indonesia (KRSTI); Kontes Robot Sepak Bola Indonesia (KRSBI) yang berafiliasi dengan roboCup.
Robot RI Merajai
Menurut Endra perkembangan robot saat ini sudah mengalami perkembangan yang cukup bagus. Bahkan, saat ini Indonesia sudah masuk ke dalam kategori tim elit dalam dunia robot. Hal itu terbukti dengan berhasilnya Indonesia mengalahkan tim robot dari sejumlah negara besar. “Israel saja itu berulang kali kita kalahkan di Humanoid Robot Soccer. Jadi saat ini mungkin kita sejajar dengan Amerika, dan Eropa. Kalau dalam dunia sepak bola mungkin kita seperti Barcelona, atau Real Madrid,”ujar Endra lalu tertawa.
Soal konten robot, Endra mengatakan Tahapan pertama kontes itu adalah seleksi pada tingkat regional. Selanjutnya, pemenang dari masing-masing regional akan diadu pada tingkat nasional yang akan digelar setiap bulan Juni.
Kontes seperti itu rupanya juga menjadi pemicu bagi sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, untuk memberikan perhatian khusus kepada dunia robotika. Bahkan, untuk kampus tempat Endra mengajar, yaitu PENS, juga ikut merasakan dampak dari perkembangan dunia robotika yang cukup melesat itu. PENS saat ini seolah sudah menjadi kiblat bagi bidang robotika yang ada di Indonesia.
“Boleh dibilang, kalau mahasiswa baru masuk ke PENS itu aromanya saja sudah aroma robot," kata Endra lalu tertawa.
Bicara soal prestasi, sudah ada beberapa raihan karya robot dari anak bangsa. Misalnya menurut data Kemendiknas pada 2001, tim B-Cak dari PENS memenangkan juara pertama pada Asia-Pasifik Broadcasting Union (ABU) robocon yang diselenggarakan di Koriyama, Fukushima-Jepang.
Kemudian pada 2015, PENS mearih prestasi di antaranya runner up (humanoid kidsize category) pada robocop 2015 di Heifei, China; Kompetisi Roboboat, Virginia, Amerika Serikat dengan meraih Best Performance Award, peringkat ketujuh, Small Autonomous Boat Category; dan Excellent Medal Award for Mobile Robotics, meraih posisi ke 4 dari 23 negara.
Prestasi lainnya yaitu The Best Idea Award di NHK Robocon (1991), posisi Runner up (juara ketiga) di NHK Robocon (1992), Best Spirit University Level NHK Robocon (1995), Fukushima Prefecture Award. NHK Robocon Fukushima (2000), Medali perak dan perunggu di The 13th International Robot Olympiad (2011), Juara III Category Sprint pada Robotics FEST, Singapura (2014), Juara I Creative, International Robotic Olympiad Committee (IORC), Beijing (2014), Juara III Kontes Robot Internasional di KINTEX, Korea Selatan (2015), dua medali emas dalam Trinity College International Robot Contest, Connecticut (2015).
Program Pengembangan Robot
Pemerintah mengklaim telah memperhatikan dunia robotika di Indonesia. Intan Ahmad, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan mengatakan pemerintah telah memfasilitasi dan mengapreasiasi pembimbing mahasiswa. Dia mengakui kemampuan mahasiswa dan dunia kampus di Indonesia dalam menciptakan karya robot sudah mumpuni. Secara intelektual, kemampuan sumber daya dalam negeri dalam hal ini tidak kalah dengan luar negeri.
Terkait pendanaan, Intan mengakui pemerintah memang mengalokasikan dana meski tidak semuanya. Dia mengakui biaya untuk mengikuti kompetisi robot di luar negeri bisa dibilang mahal. Jika pemerintah punya dana besar, Intan mengatakan, pastinya pemerintah bakal memberikan sokongan dana. Tapi beberapa kasus, karena keterbatasan dana riset, pemerintah hanya membantu mendorong mahasiswa untuk membuat proposal. Dia mengatakan untuk menciptakan ekosistem pendanan robotika di Tanah Air, setidaknya harus melibatkan industri.
"Tapi mahasiswa ada juga yang menulis proposal, pergi ke industri, ke mana yang bisa membantu," kata dia.
Namun, Intan mengatakan antusiasme kalangan kampus tentang dunia robot harus didukung dengan ekosistem yang lainnya, misalnya dukungan bengkel maupun laboratorium. Intan mengakui, pada bidang ini Indonesia masih punya kekurangan. Jalan keluarnya, pemerintah meminta kalangan kampus untuk berkolaborasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau lembaga lainnya.
"Selain laboratorium, kita harus beli alat di luar negeri, seperti chips tertentu yang tidak mudah diperoleh, atau hanya boleh dijual pada pihak tertentu," kata dia.
Intan menambahkan untuk ke depan dunia robotika di Tanah Air perlu diperluas topiknya, yaitu mengembangkan kreatititas robot yang dibutuhkan untuk publik, misalnya pengembangan robot pemadam kebakaran, robot sepak bola atau kreativitas lainnya.
"Jadi, bukan saja masalah kreativitas tapi juga kerja sama mahasiswa itu kan perlu mengembangkan kemampuan untuk kerjasama, critical thingking, kreativitas, kemudian juga, bekerjasama tidak hanya di bidangnya sendiri," jelas dia.
Yudi Purwantoro, Direktur Pustek Elektronika TIEM BPPT juga tutur menyoroti perkembangan teknologi robot di Indonesia. Menurutnya, aplikasi robot yang berkembang di Tanah Air masih untuk kepentingan dan kebutuhan praktis, yaitu industri.
Namun karena kebanyakan industri di Indonesia masih merupakan industri multinasional, maka hampir semua robot industri yang digunakan dimiliki oleh investor asing. "Misalnya Jepang. Robot dari Jepang, karena dia menduplikasi yang ada di sana, enggak mungkin dia membuat sesuatu yang lain, karena kalau lain, spesifikasinya yang dihasilkan bisa beda, itu terkait spek," kata dia.
Yudi juga mengamini soal tak meragukan dengan kemampuan orang Indonesia membuat robot. Tapi menurutnya, dalam sisi aplikasi karya, belum banyak yang membutuhkan. Belum ada industri yang siap mengambil karya robot buatan Indonesia.
"Karena yang punya investasi bukan orang Indonesia," ujar dia.
Menurut pengamatannya, peran pemerintah dalam mendukung pengembangan robot di dalam neegri sudah cukup baik. Kementerian Pendidikan sudah mau jadi sponsor dalam acara atau event yang berkaitan dengan robot. Tapi menurutnya pemerintah perlu dan terus mengusahakan alokasi dana penelitian khusus untuk pengembangan robot. Dana riset secara umum di Indonesia yang masih kecil juga diakuinya mempengaruhi perkembangan robot.
Terkait kontribusi BPPT dalam pengembangan robot, Yudi mengatakan institusinya lebih mengarah pada kebutuhan dan peluang industri. "Jadi kalau di dunia kampus, berdasarkan kreativitas mahasiswa, tapi kalau di BPPT berdasarkan peluang kebutuhan industri, industri butuh apa," kata dia.
Dijelaskan, biasanya sistem anggaran untuk robot industri itu melibatkan pembagian sokongan dana. Dalam bentuknya, industri bisa berkontribusi dalam bentuk fasilitasnya, berbentuk barang atau lainnya.
"Biasanya kalau industri minta, ada sharing, kadang dari Kemenristekdikti, dulu ada prgram insentif, jadi BPPT melakukan bersama industri, untuk menciptakannya, tapi industri juga harus sharing," tutur dia.
Sebagai salah satu perintis dunia robotika di Indonesia, Endra juga punya beberapa harapan.
Endra berharap dunia robotika di Indonesia bisa menjadi budaya baru bagi bangsa Indonesia. Sehingga, ke depannya generasi muda bisa menunjukkan eksistensi dalam bidang robotika kepada dunia internasional.
Sebab, pada dasarnya generasi muda Indonesia sudah memiliki kemampuan atau kualitas yang tidak kalah dengan negara lainnya. Terlebih, sejak beberapa tahun lalu dunia robotika tidak hanya dikenal oleh kalangan perguruan tinggi saja. Melainkan, mereka yang masih menempuh pendidikan pada tingkat SMP, dan SMA juga sudah mulai mengenalnya.
“Buktinya, ada SMP, maupun SMA yang sudah menjadikan bidang robotika ini menjadi salah satu ekstra kurikulernya, dan pesertanya pun juga cukup banyak,”papar Endra. Oleh karena itu, apabila pemerintah terus memberikan perhatian, maka bukan tidak mungkin kedepannya Indonesia tidak akan membutuhkan bantuan, atau kerja sama teknologi dengan negara lainnya.
“Misalnya saja dalam pengolahan berbagai sumber daya alam kita. Ke depannya kita sudah tidak membutuhkan lagi perusahaan asing semacam Chevron, Freeport, dan yang lainnya untuk mengeksplorasi kekayaan alam kita, apabila teknologinya sudah bisa dibuat oleh generasi muda kita sendiri,” kata Endra.
Oleh karena itu, Endra berharap perkembangan yang sudah sangat signifikan itu tidak mengalami kemunduran lagi. Terlebih, kondisi alam Indonesia yang luas, sangat memungkinkan untuk mengembangkan berbagai teknologi robot, mulai dari robot yang berbasis keperluan udara, maupun air, hingga darat.
“Sangat disayangkan kalau kedepannya kita justru mengalami kemunduran. Makanya jangan sampai hal itu terjadi, dan tidak perlu banyak teori, yang penting adalah praktik,” kata Endra. (ren)