Kaya Berkat Rokok
- REUTERS/Beawiharta/Files
VIVA.co.id - Siapa yang tidak kenal dengan Djarum, Gudang Garam, Sampoerna dan Bentoel? Mereka adalah merek-merek rokok terkemuka di Tanah Air.
Walau beberapa tahun belakangan ini pemerintah memperketat distribusi rokok, merek-merek itu masih saja menjadi primadona dan mendatangkan pundi-pundi kekayaan bagi pengelolanya. Itu karena masih tingginya konsumsi rokok di Indonesia di tengah gencarnya kampanye akan bahaya merokok bagi kesehatan.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, setiap tahun masyarakat Indonesia mengonsumsi 350 miliar batang rokok. Produsen rokok terbesar di Tanah Air adalah PT Djarum, PT Gudang Garam Tbk, PT HM Sampoerna, dan PT Bentoel.
Patut diakui, rokok pun masih jadi sumber kemakmuran bagi sejumlah produsennya. Buktinya, orang-orang kaya di Indonesia pun didominasi oleh para pengusaha rokok berkat tingginya konsumsi rokok Indonesia, tertinggi ketiga di dunia pada 2014. Para pengusaha rokok menikmati kekayaan dari rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan bahaya rokok.
Bos Djarum, Robert Budi Hartono, bahkan menjadi orang terkaya nomor satu di Indonesia selama tujuh tahun berturut-turut, menurut Majalah Forbes. Robert juga menduduki posisi nomor 12 orang terkaya di Asia pada 2015. Di urutan nomor dua ada bos Gudang Garam, Susilo Wonowidjojo.
Forbes mencatat total kekayaan Robert Hartono mencapai US$ 8,4 miliar atau setara dengan Rp116,760 triliun, dengan kurs Rp13.900. Robert dan keluarganya mencatat kekayaannya dari bisnis rokok Djarum. Dia mengambil alih perusahaan rokok kretek almarhum ayahnya, Oei Wie Gwan, yang dibangun setengah abad lalu di Kota Kudus, Jawa Tengah.
Produksi Djarum mencapai 48 miliar batang rokok per tahun atau 20 persen dari total produksi nasional. Salah satu produk rokoknya yang populer adalah L.A Lights dan Djarum Black.
Djarum bahkan masuk lima perusahaan rokok terbesar di dunia, bersama Philip Morris, British American Tobacco, Reynolds American, dan Imperial Tobacco Group PLC. Pemilik nama Tionghoa Oei Hwei Tjhong ini memperluas kerajaan bisnisnya ke sektor perbankan, kelapa sawit, properti, elektronik, dan multimedia.
Grup Djarum menguasai 51 persen saham PT Bank Central Asia (BCA) dan memiliki 65 ribu hektare perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. BCA kini menjadi mesin pencetak uang bagi grup Djarum.
Anak tertua Robert, Victor, sekarang menjabat sebagai chief operating officer (COO) Djarum. Anaknya yang lain, Martin, memulai bisnis startups, mulai dari Kincir.com hingga Global Digital Prima (GDP) Venture.
GDP Venture fokus bergerak di sektor internet consumer. Proyek bisnis pertama GDP Venture adalah Blibli.com (PT Global Digital Niaga), dan menanamkan modalnya di situs forum komunitas online terbesar Indonesia, Kaskus, serta Merah Putih Incubator, yang berfokus pada investasi pengembangan start-up.
Kerajaan bisnis keluarga Hartono dipamerkan dengan membangun mega proyek properti mewah Grand Indonesia, dengan total investasi mencapai Rp1,3 triliun. Kekayaannya ditunjukkan dari arsitektur dan interior mewah kompleks Mall Grand Indonesia, dan gedung pusat perkantoran 57 lantai, hotel dan apartemen mewah Kempinski di pusat Jakarta.
Mall Grand Indonesia bahkan telah menjadi ikon Jakarta seolah mengukuhkan kerajaan bisnisnya di ibu kota Indonesia. Di dalam mall berjejer toko-toko barang mewah kelas dunia, seperti Banana Republic, Bebe, Guess, dan lain-lain.
Senasib dengan Robert Hartono, Susilo Wonowidjojo, 87, juga mendapat keuntungan dari rokok Gudang Garam, perusahaan rokok tertua dan terbesar setelah Djarum. Susilo menjadi orang terkaya nomor dua di Indonesia pada 2015.
Kekayaannya saat ini mencapai US$5,5 miliar atau setara Rp76,45 triliun. Kekayaannya turun dibanding tahun lalu sebesar US$2,5 miliar, karena sahamnya merosot empat persen.
Pada 2000, Susilo menjadi pemimpin Gudang Garam setelah mendapat mandat dari ayahnya, Suryo Wonowidjojo, sebagai presiden direktur menggantikan kakaknya, Rachman Halim yang meninggal pada 2008. Bisnis keluarganya ini berhasil membuka pasar di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura hingga ke Jepang. Gudang Garam memproduksi rokok sekitar 50 miliar batang rokok per tahun.
Saham PT Gudang Garam Tbk, yang pertama kali ditawarkan di bursa efek pada 1990, menjadi pencetak uang miliknya. Saham Gudang Garam bahkan menjadi penggerak Bursa Efek Indonesia dengan kapitalisasi pasar atau nilai perusahaan mencapai Rp107,4 triliun.
Laba bersih PT Gudang Garam Tbk, pada kuartal ketiga 2015 naik 1,05 persen menjadi Rp4,1 triliun dari Rp4,01 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Laba per saham perusahaan rokok asal Kediri ini naik menjadi Rp2.135 dari Rp2.101 pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan perseroan juga naik menjadi Rp51 triliun dari Rp48 triliun pada sembilan bulan pertama.
Ketika di bawah kepemimpinan Rachman Salim, Gudang Garam melakukan ekspansi bisnisnya dengan merambah sektor perbankan, perhotelan, dan indsutri kertas pembungkus rokok yang bahkan telah diekspor ke Tiongkok. Beberapa merek produk minuman kemasan terkenal juga diambilnya seperti Total, Zangrandi Tawar, Atlantic Air Minuman, dan Spirit AMDK.
Gudang Garam memiliki afiliasi dengan 10 perusahaan, yakni PT Adilaksa Manunggal, PT Karya Niaga Bersama, PT Madistrindo Abadi, PT Madistrindo Makmur, PT Madistrindo Prima, PT Pandya Perkasa, PT Surya Bhakti Utama, PT Surya Jaya Bhakti, PT Surya Kerta Bhakti dan Enso Surya Pte. Ltd.
Selain Robert Hartono dan Susilo Wonowidjojo, sebelumnya ada Putera Sampoerna masuk jajaran orang terkaya di Indonesia karena bisnis rokoknya terbesar ketiga di Indonesia. Nilai kekayaan Sampoerna dari industri rokok mencapai US$2,3 miliar. Namun kerajaan bisnisnya, PT HM Sampoerna Tbk, ia jual ke Philip Morris International, produsen rokok asal Amerika Serikat, pada 2005.
Saat ini Putera mencoba keberuntungan di kelapa sawit melalui PT Sampoerna Agro yang dikendalikan anaknya, Michael Sampoerna. Ia juga menekuni bisnis telekomunikasi, properti, dan perjudian dengan membeli kasino Les Ambassadeurs di London, Inggris, Maret 2006.
Penjualan rokok Sampoerna, yakni Dji Sam Soe dan A Mild, di Indonesia telah berkotribusi besar bagi peningkatan pendapatan dan keuntungan Philip Morris. Konsumsi rokok yang besar di Indonesia inilah yang menarik Philip Morris bernafsu membeli saham Putera Sampoerna. HM Sampoerna bahkan berhasil mencatat kapitalisasi pasar terbesar di bursa efek mencapai Rp440,6 triliun.
Penjualan rokok HM Sampoerna per September 2015 (kuartal III) lalu mencapai Rp65,5 triliun, dengan laba kotor perusahaan mencapai Rp15,74 triliun. Nilai aset per September 2015 mencapai Rp31,57 triliun. Gedung Sampoerna Strategic Square di Sudirman menjadi bukti kuatnya kerajaan bisnis rokok Sampoerna di Indonesia.
Longgarnya Hukum
Philip Morris pernah menyatakan tujuannya membeli saham Sampoerna karena melihat bisnis rokok kretek di dalam negeri cukup besar, hingga mencapai sekitar 92 persen dari total konsumsi rokok. Produsen rokok Marlboro ini mengincar pasar Indonesia lantaran minimnya regulasi pengendalian tembakau, sementara usaha mereka terjepit di banyak negara lain karena jeratan tuntutan hukum mengenai pelanggaran kesehatan.
Analis Pasar Modal, David N Sutyanto mengungkapkan, industri rokok menjadi primadona untuk ladang berinvestasi dan menjadi daya tarik investor karena potensi konsumsi rokok yang sangat besar di Indonesia. "Sekali merokok akan merokok terus," ujar David kepada VIVA.co.id di Jakarta, Kamis, 14 Januari 2016.
Margin atau keuntungan dari penjualan bisnis tembakau pun sangat tinggi. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya rokok bagi kesehatan, dan regulasi pelarangan rokok di Indonesia membuat industri rokok terus berkembang.
"Hal itulah alasan mengapa perusahaan rokok di dunia menyasar negara berkembang termasuk Indonesia. Padahal di negara maju citra merokok jelek dan dilarang, karena merugi keuangan negara dan kesehatan masyarakat," kata David.
(ren)