Bank Syariah, Antara Label dan Praktik

Bank Muamalat
Sumber :
  • atestate.org

VIVA.co.id - Bangunan itu berlantai 20. Berdiri kokoh di antara gedung-gedung bertingkat di kawasan pusat bisnis, Kuningan, Jakarta. Di lobi gedung tidak ada aktivitas mencolok. Hanya beberapa karyawan terlihat lalu lalang.

Bernama Muamalat Tower, gedung itu tergolong baru. Belum tampak operasional bank syariah yang selama ini melekat pada nama Muamalat. Bank yang diklaim lahir dari keinginan sejumlah masyarakat yang menginginkan adanya lembaga keuangan berprinsip syariah.

Diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, Bank Muamalat memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawal 1412 H atau 1 Mei 1992.

Dengan dukungan eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat itu juga diklaim didukung masyarakat. Terlihat dari komitmen pembelian saham perseroan senilai Rp84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian perusahaan.

Pada acara silaturahmi pendirian di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp106 miliar.
 
Dua tahun setelah pengoperasian, pada 27 Oktober 1994, Bank Muamalat menyandang predikat sebagai bank devisa. Kondisi yang menegaskan posisi perseroan sebagai bank syariah pertama di Indonesia, dengan beragam jasa maupun produk layanannya.

"Saat pendirian Bank Muamalat, kami memang tidak berpikir sampai akan sebesar ini. Karena, saat itu yang ada di pikiran kami adalah Bank Muamalat adalah second player," kata Head of Corporate Communication Bank Muamalat, Oman Sukmana, saat ditemui VIVA.co.id, Rabu 6 Januari 2016 di Muamalat Tower.

Menurut Oman, pada akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang memporakporandakan sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional tergulung oleh kredit macet di segmen korporasi.

Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis. Pada 1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari 60 persen. Perseroan mencatat rugi Rp105 miliar. Bahkan, ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp39,3 miliar, kurang dari sepertiga modal setor awal.
 
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi.

Pada RUPS 21 Juni 1999, IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu antara 1999 dan 2002, merupakan masa-masa penuh tantangan sekaligus perkembangan bagi Bank Muamalat.

"Dalam kurun waktu tersebut, Bank Muamalat berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba, berkat upaya dan dedikasi setiap kru Muamalat, ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni," kata dia.

***
 
Kelahiran Perbankan Syariah

Dalam perkembangan perbankan di Indonesia, kini makin diramaikan dengan slogan bank berprinsip syariah. Bank-bank tersebut menawarkan produk keuangan dan investasi yang diklaim berbeda dibanding bank konvensional yang sudah lama ada.

Meskipun dianggap pemain baru, perbankan syariah berkembang cukup pesat. Situasi itu ikut ditopang posisi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Kondisi yang dapat membuka ruang perbankan menggunakan hukum dan asas Islam.

Bahkan, kondisi itu ikut menyentil bank-bank konvensional di Indonesia. Mereka ikutan tren dengan mendirikan institusi syariah atau unit usaha syariah sendiri. Upaya ini dilakukan untuk mengaet lebih banyak nasabah yang tertarik dengan keunggulan bank syariah.
 
Sebagai pemain pertama, Bank Muamalat Indonesia, diakui oleh Oman Sukmana, sempat terlena. Namun, seiring perkembangan industri perbankan, ditambah dengan regulasi pemerintah, perlahan tapi pasti mulai lahir lembaga keuangan maupun unit usaha yang berlabelkan syariah.

Situasi yang membuat Bank Muamalat Indonesia harus bebenah diri. Ditambah lagi dengan kelahiran Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang makin menguatkan keberadaan lembaga/perbankan syariah hadir di tengah masyarakat Indonesia.

Direktur Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dhani Gunawan Idat, menyatakan, perkembangan perbankan syariah mulai meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan catatan OJK dan Bank Indonesia (BI), bank berlabel syariah ini terus berkembang setiap tahunnya.

Menurut dia, berdasarkan riset yang dilakukan bersama dengan sejumlah universitas dalam negeri, tercatat hampir 90 persen masyarakat memang menyatakan minatnya untuk menjadi nasabah syariah.

"Kami riset, melibatkan akademisi di sepuluh provinsi. Hasilnya, hampir 90 persen minat di perbankan syariah itu kuat. Riset ini kami mulai untuk mengembangkan syariah. Dalam sepuluh tahun terakhir itu tumbuh pesat di kisaran 30-40 persen," kata Dhani saat berbincang dengan VIVA.co.id, Kamis 7 Januari 2016.

Meskipun pertumbuhan syariah terbilang tinggi, pangsa pasar industri syariah justru tumbuh di bawah rentang lima persen. Penyebabnya adalah dari sisi kapasitas, serta teknologi perbankan syariah. Terbukti, perbankan syariah masih masuk dalam kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I dan II.

Oman Sukmana menambahkan, ada tiga hal yang menjadi penyebab perbankan syariah belum mampu bersaing dengan perbankan konvensional. Pertama, soal sumber daya manusia (SDM). Kedua, dari sisi infrastruktur, dan ketiga belum adanya dukungan dari regulator yang benar-benar membantu keberadaan perbankan syariah.

"Minat orang terhadap bank syariah besar. Walaupun tumbuh, pasarnya nggak habis, karena kita baru punya lima persen. Buat saya, bukan masalah, karena kuenya masih banyak. Untuk ambil kue yang 95 persen, persoalan dasar di bank syariah harus diselesaikan," kata dia.

Dia menjelaskan, sumber daya manusia menjadi persoalan paling mendasar, karena belum banyak yang mengerti dan memahami mengenai apa itu sistem syariah. Terkait infrastruktur, kembali lagi ke regulator. "Karena, untuk membuka cabang harus ada izin dari regulator dan itu prosesnya juga lumayan lama," kata dia.

Ia mengaku, SDM yang berkontribusi di perbankan syariah masih sangat minim. Lantaran hambatan pengetahuan karyawan mengenai perbankan syariah yang mempunyai kekhususan secara prinsip maupun bahasa.

Hal senada diungkapkan Dhani. Pertumbuhan perbankan syariah kuat, tapi masih perlu pembenahan yang lebih baik. Kapasitas harus lebih besar, sehingga bank memiliki kemampuan lebih melayani masyarakat. "Ini bersifat implementatif," kata dia.

***

Sikapi Persaingan

Sejak diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Muamalat Indonesia tidak lagi menjadi pemain tunggal di pasar perbankan syariah. Sejumlah bank nasional maupun swasta dan lembaga keuangan lainnya mulai menerapkan konsep-konsep syariah dalam bisnisnya.

Hingga 2007, terdapat tiga institusi bank syariah di Indonesia, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank Mega Syariah. Selain itu, terdapat PT BCA Syariah. Sementara itu, bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah (UUS) adalah 19 bank, di antaranya merupakan bank besar seperti dan PT Bank Negara Indonesia Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.

Seperti Bank Muamalat Indonesia, saat ini mengklaim telah memberikan layanan bagi lebih dari 4,3 juta nasabah melalui 457 gerai yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Jaringan Bank Muamalat didukung pula oleh aliansi melalui lebih dari 4.000 Kantor Pos Online/SOPP di seluruh Indonesia, 1996 ATM, serta 95.000 merchant debet.

Muamalat saat ini juga merupakan satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang di luar negeri, yaitu di Kuala Lumpur, Malaysia. Untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah di Malaysia, kerja sama dijalankan dengan jaringan Malaysia Electronic Payment System (MEPS), sehingga layanan BMI dapat diakses di lebih dari 2.000 ATM di Malaysia.

Adapun PT BNI Syariah yang diresmikan sejak 2010, merupakan anak usaha PT Bank Negara Indonesia Tbk. Aset yang saat ini mencapai Rp23 triliun telah menjaring sekitar satu juta nasabah.

Direktur Bisnis BNI Syariah, Imam Teguh Saptono, mengaku, di antara BNI dan BNI Syariah memang ada persaingan bisnis, namun skalanya sangat kecil.

Karena, tak semua karakteristik nasabah di pasar loyalitas menggunakan prinsip syariah. Tapi, banyak juga yang memiliki latar belakang dalam mengejar keuntungan.

"Jadi, mereka bisa pindah dari konvensional ke syariah atau sebaliknya. Itu pada saat pricing, lebih baik (menguntungkan) di bank mana. Baik dari sisi pembiayaan maupun kredit," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis 7 Januari 2016.

Tidak hanya bank pemerintah, bank swasta pun mulai menawarkan layanan berbasis syariah, sebut saja BCA Syariah. Saat ini, BCA Syariah mengaku telah memiliki 47 jaringan cabang yang terdiri atas sembilan kantor cabang (KC), tiga kantor cabang pembantu (KCP), tiga kantor cabang pembantu mikro bina usaha rakyat (BUR), delapan kantor fungsional (KF), dan 24 unit layanan syariah (ULS).

"Kami akui usaha syariah tumbuh pesat dari sejak awal berdirinya, yang baru memiliki 11 jaringan cabang. Sejak kehadirannya, BCA Syariah berkomitmen untuk memberikan produk dan layanan yang terbaik bagi nasabah," kata John Kosasih, Wakil Presiden Direktur BCA Syariah melalui surat elektronik yang diterima VIVA.co.id, Kamis 7 Januari 2016.

Oman Sukmana dari Bank Muamalat menuturkan, perseroan tidak pernah menganggap ada persaingan terhadap bank syariah lainnya. "Menurut saya, malah bagus, dengan begitu perbankan syariah makin berkembang, dan market share yang dari awalnya hanya lima persen akan bisa meningkat," kata dia.

Ia mengungkapkan, jika ingin meningkatkan pertumbuhan bank syariah, perlu mengubah perspektif dari memandang bank syariah sebagai bank alternatif, menjadi perbankan yang berprinsip dengan manfaat khusus. Apalagi, sebentar lagi akan dihadapkan persaingan perbankan di kawasan ASEAN pada 2020.

Sementara itu, Imam Teguh Saptono, menambahkan, ke depannya, di antara perbankan konvensional yang mempunyai anak usaha perbankan syariah dalam satu grup, akan saling bersinergi kuat, lantaran mempunyai platform infrastruktur yang sama.

"Karena, penggunaan teknologi yang sama akan menarik nasabah di luar BNI untuk masuk grup ini. Dengan kemudahan yang ada," tuturnya.

Menurut dia, tantangan dan peluang bagi perbankan yang berbeda prinsip dalam satu grup pasti ada. Namun, ia optimistis dengan tren syariah yang semakin tinggi, bank syariah berpotensi menyamakan pertumbuhan dengan bank konvensional.

Saling bersinerginya perbankan dalam satu grup, bank induk akan mendorong anak usahanya dalam memperluas jaringan.

"Bukan nggak mungkin, tapi dari bank konvensional akan mendorong lahirnya inovasi baru yang ada di sisi bank syariah. Misalnya, BNI syariah akan di-support BNI induk dengan infrastruktur dan jaringan untuk menangkap gelombang syariah," ujarnya.

Upaya tersebut, Imam melanjutkan, tergantung seberapa cepat BNI Syariah bersinergi dengan induk, di samping mengeluarkan inovasi baru. Dengan adanya sinergi tersebut, maka bukan lagi persaingan, namun menjadi pelengkap, sehingga ada pilihan bagi nasabah BNI.

Sementara itu, John Kosasih mengatakan, antara perbankan syariah dan konvensional sangat berbeda. Perbankan syariah menawarkan produk yang mengedepankan prinsip kepastian, fairness, dan kemitraan.

Salah satunya adalah dengan adanya produk pembiayaan dengan akad jual beli atau murabahah. Dengan akad ini, nasabah memperoleh jaminan kepastian, yaitu nilai angsuran yang tetap hingga akhir masa pembiayaan.

"Fleksibilitas juga menjadi salah satu keunggulan produk pembiayaan perbankan syariah, misalnya pada pembiayaan dengan akad sewa. Dengan akad ini, nasabah tidak harus langsung melakukan pembelian aset, melainkan nasabah dapat membayar sewa kepada bank dan pada akhir masa pembiayaan nasabah diberi opsi untuk membeli aset tersebut," tuturnya.

Keunggulan lainnya adalah adanya akad bagi hasil yang mengedepankan konsep kemitraan dan saling menguntungkan. Tidak hanya itu, bank syariah memiliki produk berbasis emas yang tidak dimiliki perbankan konvensional, baik untuk kepemilikan emas maupun gadai.

***

Untuk Semua Agama

Dari sisi produk, Dhani Gunawan Idat memaparkan, salah satu perbedaan paling mencolok antara perbankan syariah dan konvensional adalah tidak ada unsur-unsur spekulatif. Contohnya, adalah produk yang dihasilkan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

"Tidak mengandung unsur bunga, dan tidak ada unsur yang diharamkan syariah Islam. Produk syariah itu pada dasarnya tidak mengandung bunga, sehingga hanya bagi hasil dan jual beli serta berbasis sewa," kata dia.

Sementara itu, dari perlakuan, ia menjabarkan, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara syariah dan konvensional. Hanya nuansa yang lebih syariah pasti dirasakan oleh para calon nasabah maupun nasabah lama dalam meneken perjanjian dengan perbankan syariah.

"Dari sisi pengajuan oleh nasabah tidak jauh berbeda dengan konvensional. Sama, profesional. Bedanya, nuansa syariah di kontrak, deposito, atau investasi dana berdasarkan syariah. Tapi, di konvensional, kontrak itu bicara mengenai bunga," ungkapnya.

Di sisi lain, Dhani mengatakan, untuk aspek regulasi, ada perbedaan yang cukup signifikan. Mulai dari regulasi pendirian perbankan syariah, regulasi aktiva dan pembiayaan, sampai dengan struktur kelembagaan yang berbeda jauh dengan perbankan konvensional.

"Regulasi produk itu diatur secara rinci. Apakah produk syariah ini diperbolehkan atau tidak. Pengurus, pemilik, struktur organisasi semua itu sendiri," tuturnya.

Meski demikian, ada beberapa poin yang ditekankan oleh Dhani. Pertama, adalah mengenai pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah yang dianggap tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional.

"Dalam syariah itu perbedaan dengan konvensional adalah tidak ada jual beli berbasis bagi hasil. Prosesnya itu menggunakan margin keuntungan dan menggunakan persentase. Persentase ini jual beli, bukan bunga. Sering salah kaprah," kata dia.

Selain itu, ia melanjutkan, dalam produk syariah ada yang namanya tabungan deposito atau biasa disebut dengan misbah. Tabungan ini memberikan imbalan berdasarkan kesepakatan antara nasabah dan perbankan. Tetapi, sebagian kalangan justru menganggap ini sebagai bunga.

"Itu salah tafsir. Ini lebih ke imbal bagi hasil," katanya.

Poin kedua, adalah terkait dengan pandangan yang menganggap bahwa mayoritas nasabah perbankan syariah hanya boleh dinikmati oleh nasabah yang beragama Islam.

Dhani menegaskan, perbankan syariah terbuka bagi seluruh elemen masyarakat. "Yang saya ingin tekankan, syariah ini disangka khusus untuk Islam. Padahal, non Islam juga bisa. Sepanjang ikut aturan syariah, mau berbagi hasil, jual beli, produk sewa, deposito tabungan syariah. Itu diperbolehkan," tutur Dhani.

Oman Sukmana menjelaskan, saat ini, dari 4,3 juta nasabah Bank Muamalat Indonesia, sebanyak 30 persen berasal dari kalangan non Muslim. "Artinya, syariah memang tidak hanya berlabelkan agama, tapi karena masyarakat sudah mulai paham mengenai syariah ini," ujarnya.

Belum Syar'i?

Namun, terlepas dari klaim pertumbuhan maupun layanan produk yang ditawarkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sempat "mempertanyakan" label syariah pada perbankan syariah.

Bahkan, PBNU sempat meninjau ulang konsep serta praktik perbankan yang dioperasikan oleh bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya di Indonesia. Transaksi yang dijalankan bank dan jasa keuangan yang mendompleng kata “syariah” dinilai bergeser jauh dari fiqih muamalah.

Dikutip dari situs nu.or.id, isu ini mengemuka saat Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah Muktamar NU membahasnya di Jakarta pada April lalu. Saat itu, dibahas sikap NU menghadapi pasar bebas negara ASEAN per akhir Desember 2015.

Salah seorang anggota komisi ini, Abdul Jalil menyatakan bahwa bank syariah dan bank konvensional secara substansi tidak jauh berbeda.

“Kalau perbedaan syar’i dan non-sya’ri itu diukur hanya dari akadnya, ini namanya simplifikasi. Selisih bagi hasil bank syariah dan bunga bank konvensional antara keduanya, tipis. Kalau yang satu disebut ‘bunga’ dan yang lain ‘bagi hasil’, terlalu sederhana,” kata Jalil.

Ia juga mempersoalkan masalah akad. Termasuk akad al-ijaroh almuntahiyah bit tamlik. "Apa bedanya dengan leasing pada bank konvensional?” ujar Jalil.

Jalil menjelaskan, jika bank syariah sebagai sebuah nama, dia mempersilakan. Tetapi, dia tidak sependapat kalau bank syariah itu dibilang “syar’i” hanya karena akad dan pelayanannya yang menggunakan atribut keislaman.

Anggota komisi lainnya, Syafiq Hasyim, menambahkan, bank-bank syariah itu menjalankan syariah hanya di awal, yaitu saat akad. Selebihnya, bank syariah itu juga menjalankan transaksi ribawi karena mengikut pada bank konvensional.

“Mereka nyatanya tidak bisa lepas dari praktik riba. Uang yang terkumpul juga digunakan dalam transaksi non syariah," tuturnya.

Menurut dia, bank-bank syariah pun tetap menempatkan uangnya di bank sentral yang juga beroperasi secara konvensional. Artinya, dia menambahkan, problem yang tidak bisa diselesaikan bank syariah hingga kini ialah riba.

***

Prospek Cerah?

Meski masih ada pekerjaan rumah untuk menciptakan industri keuangan yang syar'i itu, perjuangan perbankan syariah untuk dapat menyamakan posisi dengan bank konvensional juga bukan perkara mudah.

Menurut John Kosasih, pangsa pasar keuangan syariah belum mencapai lima persen dibandingkan perbankan konvensional. Namun, pertumbuhannya lebih pesat dibandingkan perbankan konvensional.

"Hal ini menunjukkan animo masyarakat yang semakin tinggi dan bahwa perbankan syariah semakin diterima masyarakat," kata dia.

Ia mengatakan, kondisi itu terjadi karena dukungan dari regulator, baik OJK maupun Bank Indonesia yang aktif melakukan sosialisasi dan edukasi secara berkesinambungan agar perbankan syariah semakin dikenal dan populer di masyarakat Indonesia.

"Pemerintah juga memberikan perhatian khusus kepada perbankan syariah. Terbukti dari dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi Tahap V, di mana di dalamnya mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong percepatan pertumbuhan perbankan syariah," ujar dia.

Oman Sukmana berharap, pemerintah mendukung dengan aturan-aturan dan regulasi yang memudahkan bank syariah dapat berkembang dan memperluas jaringannya.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga di Malaysia, perbandingan pertumbuhan industri keuangan syariah di Malaysia dengan Indonesia masih sangat jauh. Di Malaysia dengan penduduk yang lebih sedikit dibandingkan Indonesia, namun dapat menjaring pangsa pasar 20 persen.

"Market (Indonesia) nggak pernah lepas dari data lima persen, malah turun terus. Selama 24 tahun, kami nggak bisa lepas dari data trap itu, dibanding di Malaysia yang di atas 20 persen," kata dia.

Menurut Oman, dukungan pemerintah Malaysia sangat maksimal. Salah satunya melalui regulasi, yakni 10 persen dana di bank konvensional harus dilarikan ke bank syariah.

"Di kita juga dipikirkan seperti merger. Menjadi lebih besar, tapi kan secara market share nggak berubah. Ada yang usul satu bank BUMN yang sudah besar disyariahkan. Tapi, kan itu tidak mudah, butuh political will (kebijakan politik)," ujarnya.

Dukungan terhadap keuangan syariah juga ditujukan Presiden Joko Widodo. Jokowi akhirnya menyetujui pembentukan Komite Keuangan Syariah Nasional. Komite ini langsung di bawah pengawasan Presiden.

"Keputusan yang sudah dibikin tinggal di-follow up lagi, yaitu Presiden setuju kami membentuk Komite Keuangan Syariah Nasional yang akan langsung di bawah Presiden," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sofyan Jalil, dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 5 Januari 2016.

Dia menjelaskan, pengembangan keuangan syariah di Indonesia, masih sangat jauh dari potensi yang ada. Apalagi, kalau dibandingkan dengan Malaysia.

Adapun, saat ini kontribusi keuangan syariah hanya 4,5 persen. Sementara itu, di Malaysia, sudah mencapai 21 persen.

"Oleh sebab itu, dalam rapat bersama Presiden dibahas bagaimana pemerintah bisa berperan untuk mendorong pengembangan keuangan syariah ini yang tentu sinkronisasi dengan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," ujar Sofyan.

Dia menambahkan, komite tersebut langsung berada di bawah Presiden, sehingga pembentukan badannya menggunakan payung hukum peraturan Presiden atau perpres. (art)