Dari Singosari hingga Majapahit

Arca Prajnya Paramita di Candi Singasari
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

VIVA.co.id - Kabupaten Malang, Jawa Timur tak hanya identik dengan wisata alam dan buah apelnya. Namun, kota ini juga menyimpan sejarah yang sangat berharga. Banyak destinasi wisata sejarah di kota yang sejuk ini.

Di kota ini terdapat sejumlah candi dan lokasi yang diyakini sebagai peninggalan dari Kerajaan Singasari. Bagi Anda yang menyukai sejarah dan budaya, jangan lewatkan sejumlah destinasi wisata yang sarat dengan sejarah ini.

Candi Singosari
Arca Dewi Parwati berdiri tegak di tepi halaman Candi Singosari, berhadapan dengan pintu utama candi yang menghadap ke Barat. Layaknya sosok seorang ibu, arca Dewi Parwati dipahat lengkap bersama anak–anaknya dalam batu yang sama.

Arca milik istri Dewa Siwa itu kini tak lagi memiliki candi sendiri, seperti juga arca Prajnya Paramitha atau perwujudan dari Ken Dedes, istri raja pertama Singosari, Ken Arok. Dua sosok wanita utama itu mendapat tempat penting di Candi Singosari. Candi ini dibangun sebagai tempat pendarmaan Kertanegara, Raja Singosari terakhir.

“Candi ini lebih condong ke wanita, ada Dewi Parwati istri Siwa dan Ken Dedes yang dianggap sebagai wanita utama, ibu yang melahirkan raja-raja di Jawa,” kata Juru Pelihara Candi Singosari, Rahmat Gilang Surya Putra, Minggu, 20 Desember 2015.

Arca Dewi Parwati berdiri di atas pedestal bulat didampingi arca kedua anaknya Kartikeya (Kanda) dan Ganesya, suaminya Siwa Bhairawa dan Resi Agastya, murid Dewa Siwa. Seperti banyak arca lain di Indonesia, bagian kepala Parwati hilang akibat dirusak dengan berbagai tujuan.

“Ada dua teori. Pertama kepala sengaja dihancurkan ketika Islam masuk agar tidak digunakan sebagai berhala. Teori lain, bagian kepala dihancurkan Belanda karena berpendapat ada emas di dalam kepala arca,” ujarnya menambahkan.

Parwati kemudian mendapat kepala sambungan buatan pemahat setempat pada tahun 1970 an.

Candi ini dibangun sebagai tempat pendarmaan Kertanegara, Raja Singosari terakhir. FOTO: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

Tak jauh dari Dewi Parwati, terdapat arca Prajna Paramitha, perwujudan dari Ken Dedes, permaisuri Tunggul Ametung, Akuwu atau pejabat di Tumapel. Ken Dedes digambarkan dalam posisi duduk bersila sempurna di atas padmasana atau bunga teratai dengan posisi tangan bermeditasi. Arca tersebut melambangkan dewi kebijaksanaan yang diukir dengan sangat halus dan megah.

“Ini adalah arca Prajnya Paramita yang terbaik di Indonesia. Arca yang asli dahulu sempat dibawa ke Belanda sebelum dikembalikan ke Museum Nasional di Jakarta,” katanya menerangkan.

Berbeda dengan Dewi Parwati, arca Ken Dedes hingga saat ini masih tanpa kepala.

Sosok dua dewi yang berada di halaman Candi Singosari diperkirakan berasal dari candi lain di sekitar Singosari yang hancur. Diperkirakan, ada tujuh candi lain ketika Singosari dibangun pada tahun 1267 dan terbengkalai di tahun 1292.

Candi Hindu yang kini memiliki ketinggian 17 meter dan berkiblat ke Timur itu ditemukan tahun 1803 oleh Belanda dan sempat dipugar satu kali pada tahun 1943 hingga 1947. Bangunan tujuh candi lain yang ada di sekitar telah hilang dan banyak digunakan sebagai fondasi jalan dan bangunan penduduk setempat.

Di masa Kerajaan Singosari yang hanya berusia sekitar 70 tahun, dari tahun 1222 hingga 1292, candi itu juga tak pernah tuntas dibangun. Candi utama saat ini memiliki enam ruangan dengan empat ruangan di bagian bawah menyisakan satu arca saja, yaitu arca Dewa Siwa Guru di sisi Selatan. Arca lain di empat ruangan sudah diboyong ke Museum Nasional dan juga di Leiden, Belanda.

“Ada arca Nandiswara, Ganesha, Dewi Durga Mahesasura Nandini dan arca Parwati. Sebagian besar arca masih disimpan di Leiden, Belanda,” katanya.

Candi tersebut dibangun dari tumpukan batuan andesit yang kemudian diukir dari atas ke bawah. Itu sebabnya, relief dan ukiran candi paling lengkap ada di bagian puncak. Mahakala, makhluk gaib penjaga pintu telah diukir sempurna di bagian atas, berbeda dengan ukiran Mahakala di bagian bawah.

Candi itu tak pernah tuntas dibangun setelah Kertanegara diserang oleh Kerajaan Kadiri.

Ketika Majapahit berkuasa sejak abad 14 sampai 16, candi itu dibiarkan terbengkalai, seperti yang tersisa saat ini.  Hayamwuruk, yang membawa Majapahit berkuasa hingga ke Semenanjung Malaya, sengaja membiarkan candi utama Singosari tak terbangun tuntas.

“Dari catatan Negarakertagama Hayamwuruk merenovasi 28 candi peninggalan leluhurnya di Jawa Timur, termasuk candi milik raja Singasari dan juga Kajuruhan. Singasari sengaja dibiarkan tak tuntas,” kata Arkeolog asal Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono.

Berkunjung ke Candi Singosari
Candi Singosari terletak di Jalan Kertanegara, Desa Candirenggo Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Dari Kota Malang cukup naik mikrolet warna hijau dengan kode LA dari terminal Arjosari, Kota Malang.

Jaraknya sekitar 20 menit dari Kota Malang. Tarifnya sekitar Rp4.000. Kemudian turun di perempatan Garuda, tak jauh dari Pasar Singosari. Jika berangkat dari Surabaya, cukup naik bus menuju Malang.

Dari perempatan Garuda, pengunjung bisa masuk dengan menumpang ojek dan dokar atau kereta kuda dengan tarif sekitar Rp5.000 per orang. Jika berkenan untuk berjalan kaki, hawa sejuk di Singosari akan menjadi teman yang baik. Sebab, jarak antara jalan raya dengan candi tak lebih dari 1 km.
Destinasi wisata ini tak memungut biaya dari pengunjung alias gratis.

Pengunjung hanya diminta mengisi identitas di buku tamu dan menyumbang biaya perawatan seikhlasnya. Candi tersebut bisa dikunjungi setiap hari dalam sepekan dari pukul 07:30 hingga pukul 17:00. Jika beruntung, pengunjung bisa menjumpai aneka kegiatan seni dan budaya yang sering mengambil tempat di halaman candi yang luas dan asri ini.

Patirtan Watu Gede
Sumber atau mata air Watu Gede berada di Desa Watu Gede Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Pemandian ini dipercaya sebagai tempat mandinya wanita bangsawan di masa Kediri, Singosari hingga Majapahit. Putri bangsawan sengaja dipersiapkan menjadi putri raja dengan berada di keputren Watu Gede.

Termasuk Ken Dedes, putri cantik jelita yang melahirkan raja-raja besar di Jawa. Menurut sejarah, saat mandi di Kolam Watu Gede, tubuh Ken Dedes mengeluarkan sinar biru, pertanda sebagai wanita utama yang kemudian menjadi permaisuri raja pertama Singosari, Ken Arok.

“Watu Gede diterangkan dalam kitab Pararaton dengan nama Bubuji. Jika diprediksi dari arti kata, Bu berarti bangunan, beji adalah tempat yang disucikan. Tempat ini adalah taman penyucian putri, tempat memberi bekal sebelum siap menjadi putri ketika dipersunting raja,” kata Agus Irianto, Juru Pelihara Patirtan Watu Gede, Minggu 20 Desember 2015.

Kondisi pemandian seluas 300 meter itu masih sangat terasa alami. FOTO: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

Kondisi pemandian seluas 300 meter itu masih sangat terasa alami. Sumber dengan dasar lantai pasir dibangun dari batu dikelilingi pepohonan yang asri.

Di tepi kolam terdapat 16 lubang air atau jaladwara berukuran sebesar batu bata kecil. Dari sana memancar air yang tak pernah surut sepanjang tahun.

Agus menyebut, awalnya ada arca di setiap jaladwara ketika pemandian pertama kali ditemukan Belanda pada tahun 1931. Setelah terjadi kemelut kemerdekaan, kolam terbengkalai dan baru dibuka kembali pada tahun 1970-an dengan menyisakan empat arca di empat jaladwara.

Menurut dia, tiga arca kecil saat ini berada di Museum Trowulan, Mojokerto. Satu arca tersisa berada di pojok kiri kolam berupa arca Dewi Durga berdiri di atas dua kepala kera yang mengeluarkan air dari mulutnya. Seperti yang lain, arca Dewi Durga juga tanpa kepala.

“Arca itu bermakna wanita yang siap menjadi ratu adalah wanita yang bisa menjaga dan mengendalikan kata-katanya,” kata Agus menambahkan.

Sementara itu, 15 jaladara lain menurutnya bergambar arca wanita yang masing-masing mengeluarkan  air dari payudara, pusar dan bagian tubuh yang lain.

Seperti putri bangsawan lain, Ken Dedes juga dipersiapkan menjadi ratu dengan digembleng di Watu Gede. Ken Dedes dibekali dengan berbagai pengetahuan dan dididik dengan sifat ketuhanan agar bisa sejajar dengan Dewa.

Ketika mandi di kolam, dikisahkan, muncul sinar biru dari tubuh Ken Dedes. Brahmana setempat meramal Ken Dedes akan menjadi Nareswari, wanita utama yang melahirkan keturunan raja-raja di Jawa. Saat itu, entah bagaimana caranya, Ken Arok sempat melihat meskipun Watu Gede terutup bagi pria.

Di sudut kolam, tepat di bawah pohon Elo, terdapat batu asah pedang, tempat untuk mengeksekusi para pria yang kedapatan masuk atau mengintip kegiatan di Watu Gede.

“Entah bagaimana, Ken Arok melihat itu. Dia yang berlatar seorang pencuri, perampok dan tak punya darah biru, bertekad memperistri Ken Dedes,” kata Agus.

Akhirnya, Ken Arok berhasil menyunting Ken Dedes melalui kudeta berdarah, dengan membunuh Mpu Gandring, pembuat keris dan membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Arok mendirikan Kerajaan Singosari bersama Ken Dedes. Usia Singosari yang bertahan 70 tahun pun penuh dengan intrik politik dan pembunuhan.

Patirtan Watu Gede hingga saat ini masih jadi jujugan masyarakat untuk berbagai tujuan. Ada banyak keluarga dan anak-anak setempat mandi di kolam tersebut pada sore dan pagi hari, terutama saat hari libur.

Sejumlah pengunjung juga memakai Watu Gede sebagai tempat untuk memanjatkan doa sesuai dengan kepercayaan mereka. FOTO: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

Sejumlah pengunjung juga memakai Watu Gede sebagai tempat untuk memanjatkan doa sesuai dengan kepercayaan mereka. Ada banyak warga yang mandi tengah malam di Watu Gede pada saat malam tahun baru Suro atau Muharram.

Kolam alami berukuran 8x25 meter itu dipercaya berasal dari tiga mata air dari Gunung Arjuno, Semeru dan Gunung Bromo yang akan bermuara di pantai selatan. Menurut Agus, dulu terdapat goa yang mengarah pada sungai bawah tanah di sudut kolam. Namun, goa itu kini sudah tertimbun ketika direnovasi oleh Belanda.

Lokasi
Lokasi Watu Gede mudah dijangkau dari Kota Malang. Jika berangkat dari Arjosari di Kota Malang, cukup memilih mikrolet atau angkutan kota berkode LA dengan tarif Rp 4000 untuk turun di depan Stasion Singosari. Dari Stasiun, pengunjung bisa berjalan ke timur mengikuti penunjuk arah Watu Gede, yang berjarak sekitar 300 meter dari jalan raya.

Cagar Budaya Watu Gede buka dari Senin hingga Minggu dari pukul 07:30 hingga 17:00. Pengunjung cukup mengisi buku tamu di pos jaga dengan mendonasikan uang perawatan kepada petugas jaga setempat.

“Sekadar uang perawatan saja, bisa untuk membantu saya menjaga Watu Gede agar tetap bersih dan terawat,” kata Agus yang mengaku berstatus honorer dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto sejak bertugas di tahun 1996.

Candi Sumberawan, Borobudur Kecil di Malang
Candi Sumberawan adalah satu-satunya Candi Budha berbentuk stupa yang ada di wilayah Malang Raya. Seperti halnya Borobudur, Candi Sumberawan dipercaya sebagai mandala, kiblat tempat penganut Budha di Malang beribadah.

Sumberawan yang dikelilingi dengan mata air yang tak pernah surut dipercaya mengubah air menjadi air suci yang baik untuk kehidupan.

“Sumberawan berasal dari kata Sumber yang berarti air dan Awan yang dimaknai sebagai Rawa-Rawa,” kata Nuryadi, juru pelihara Candi Sumberawan, Sabtu, 19 Desember 2015.

Candi Sumberawan berada di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari. Candi ini diduga berdiri sebelum Kerajaan Singosari ada. Saat itu, Sumberawaran masih bernama Kasuranggan atau taman bunga tempat mandinya bidadari dan putri bangsawan.

Terdapat dua tempat mandi di taman bunga itu. Di bagian kiri airnya dipercaya berkhasiat untuk memunculkan aura positif sementara di bagian kanan airnya dipercaya bagus untuk kesehatan.

Candi Sumberawan adalah satu-satunya Candi Budha berbentuk stupa yang ada di wilayah Malang Raya. FOTO: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

“Air kehidupan, memang tanpa air tak akan ada kehidupan. Hanya kepercayaan di sini menyebut air sebelah kiri bagus untuk jabatan, kewibawaan, karir dan yang lain sedangkan yang di patirtan kanan itu mujarab untuk kesehatan,” Nuryadi menjelaskan.

Di abad ke 14, sekitar 1359 ketika Majapahit berkuasa, Sumberawan dipilih sebagai tempat sakral untuk membangun stupa, pusat ibadah umat Budha. Satu stupa berukuran tinggi 5,3 meter dengan lebar 6,25 meter dan panjang sekitar 8 meter kini berdiri di tengah lahan seluas 50x50 meter itu. Stupa itu hingga saat ini menjadi kiblat bagi umat Budha ketika merayakan Waisak.

Di hari biasa, berbagai umat dari agama dan kepercayaan berbeda sering memanjatkan doa dan tirakat di candi ini. Sejumlah tokoh dan pejabat penting di wilayah Kabupaten dan Kota Malang serta Kota Batu menurut Nuryadi, sering berkunjung ke Sumberawan untuk sekadar cuci muka, mandi atau ritual yang lain.

“Mengapa dipilih tempat ini membangun mandala atau stupa, karena tempat ini dianggap sakral dan memenuhi unsur sebagai kiblat. Stupa dipercaya mengubah air, menjadi air suci atau tirta amarta,” katanya.

Menurut dia, tinggi stupa saat ini bukan tinggi semula. Ada banyak batu terserak di sekitar stupa yang diduga sebagai bagian dari puncak stupa.

“Kami tak bisa memasang lagi karena sudah tidak presisi,” katanya. Bedanya dengan Borobudur, tak ada relief ataupun ukiran khusus apapaun di tubuh stupa Sumberawan.

Sebagai taman Kasuranggan, hingga saat ini sekeliling Sumberawan terlihat terawat dan dipenuhi banyak bunga taman. Tak jarang pengunjung yang datang meminta bunga untuk ditanam di tempat mereka.

Pohon besar berusia ratusan tahun menaungi sekeliling stupa dengan rindang. Di luar pagar cagar budaya itu, hamparan hutan pinus dan sawah membuat suasana Sumberawan sangat menyejukkan mata. Bagi yang hobi mancing, terdapat rawa yang cukup luas di samping Sumberawan sebagai lokasi untuk mengadu keberuntungan mengail ikan.

Debit air yang mengalir dari mata air sumberawan menurut Nuryadi tak pernah surut. Saat ini ada sekitar 26 pipa yang mengambil air dari mata air sumberawan untuk digunakan ribuan jiwa, salah satunya termasuk pipa milik Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Kabupaten Malang.

Menuju Sumberawan
Lokasi sumberawan terletak cukup jauh dari jalan raya Singosari. Terdapat angkotan rute Singosari-Sumberawan dengan tarif sekitar Rp5.000 dari pasar Singosari. Selain itu, ada angkutan yang bisa disewa khusus untuk mengantar dan menjemput penumpang menuju Sumberawan. Candi buka setiap hari dari pukul 07:30 hingga pukul 17:00.

Pengunjung Sumberawan, Sucipto menyebut Sumberawan sangat rindang. Meskipun untuk menuju ke lokasi dia sempat bertemu dengan jalan yang berlumpur dan curam.

“Mungkin tadi saya salah masuk, ada jalan baru yang sedang diperbaiki, jalan belum jadi penuh lumpur dan curam. Tapi lokasi candinya sangat bagus dan rindang,” ujar pengunjung asal Madiun yang sedang berlibur di Malang ini.

Di dua patirtan kecil yang menyerupai kamar mandi, di dalam lingkungan candi Sumberawan, pengunjung bebas untuk mandi. Terdapat kolam kecil dan gayung dari plastik yang disediakan oleh pengelola sebagai alat untuk mandi.

Terdapat arca dan batu yang menyerupai kura-kura, sebagai perwujudan Dewa Wisnu di dalam patirtan.

“Batu itu alami ada di sana, tapi oleh seorang pengunjung diberi guratan menyerupai kura-kura, jadi tampak tidak alami dan terkesan mengada-ada.”

Hanya saja, keindahan patirtan itu sering ternoda dengan ulah pengunjung. Sejumlah bungkus sampo dan sabun dibiarkan teronggok di dalam patirtan dan merusak pemandangan.