Melancong ke Jakarta Masa Lampau
- VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Batavia, begitu nama kota ini dikenal pada 1619-1942. Usianya sudah ratusan tahun. Menjadikan dia sebagai kota metropolis yang menarik banyak turis. Di beberapa sudutnya, tersimpan riwayat kota yang mengagumkan. Magnet bagi mereka yang gemar mengeksplorasi histori.
Beberapa titik objek wisata sejarah di Jakarta dapat disusuri dalam sehari penuh. Salah satunya Kota Tua Jakarta, sekitar Monumen Nasional (Monas), dan kawasan Cilincing.
Bangunan lawas di Oud Batavia
Jika ingin merasakan suasana Jakarta tempo dahulu, pijakkan kaki ke kawasan wisata satu ini. Kota Tua Jakarta atau dikenal juga dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia), menyimpan sederet bangunan lawas yang mempesona.
Di Kota Tua Jakarta, jenis bangunan terbagi menjadi empat tipologi, yakni bangunan masyarakat kolonial Eropa (Colonial Indische, Neo-Klasik Eropa, Art Deco, dan Art Noveau), bangunan masyarakat China (gaya China Selatan dan campuran dengan gaya kolonial Eropa), bangunan masyarakat pribumi (kolonial indiche), dan bangunan modern Indonesia (international style).
Menuju Kota Tua Jakarta, wisatawan bisa memanfaatkan dua moda transportasi utama. Pertama, menggunakan kereta Commuter Line dan turun di Stasiun Jakarta Kota. Kedua menggunakan bus TransJakarta koridor satu Blok M-Kota. Dari stasiun dan halte, turis dapat berjalan kaki menyusuri Kota Tua.
Suasana di Stasiun Jakarta Kota, tidak jauh dari kawasan Kota Tua. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Perjalanan di kawasan Kota Tua dimulai dari Museum Keramik. Pengunjung bisa membeli tiket yang loketnya berada di depan gerbang. Cukup murah, Rp5.000 untuk orang dewasa, dan Rp3.000 untuk anak-anak. Menyusuri dari pintu masuk di sebelah kiri, pengunjung diajak melihat berbagai penjelasan mengenai asal usul keramik di Indonesia. Kondisi bangunan cukup terawat. Tidak ada cat yang luntur, toilet bersih dan disediakan musala.
Setelah dari museum keramik, perjalanan dilanjutkan ke Museum Fatahilah. Saat sampai di pintu masuk, pengunjung diminta mengganti alas kaki dengan sandal yang sudah disediakan pihak museum. Kemegahan gedung yang dibangun pada 1620 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen itu sangat terasa, didominasi warna putih dan cokelat.
Pengunjung serius melihat-lihat benda-benda bersejarah di Museum Keramik. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Di sini, pengunjung diajak lebih mengenal sejarah Jakarta lebih dekat. Mulai dari kedatangan Portugis, Inggris hingga Belanda. Tiket masuk museum juga sangat murah, yakni Rp5.000 untuk orang dewasa dan Rp3.000 untuk anak-anak.
Bangunan yang awalnya diperuntukkan sebagai balai kota atau dalam Bahasa Belanda disebut Stadhuis ini terdiri dari dua lantai. Lantai satu lebih memperlihatkan lukisan dan keterangan tentang sejarah Jakarta. Lantai dua berisi kursi, meja, lemari, cermin dan perabotan rumah. Pengunjung dilarang menyentuh barang-barang itu. Dari balik jendela Museum Fatahilah, pengunjung bisa melihat pemandangan sekitar kawasan Kota Tua.
Di Museum Wayang, pengunjung bisa melihat berbagai miniatur wayang yang terbuat dari bahan-bahan unik. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Destinasi berikutnya adalah Museum Wayang. Saat masuk, pengunjung akan melihat patung wayang golek yang cukup besar di sebelah kanan. Menyusuri lorong, di bagian kiri dan kanan bisa melihat berbagai wayang dari seluruh Indonesia. Lampu di lorong sini tidak terlalu gelap, tapi tidak terlalu terang.
Keluar dari lorong, terdapat taman berukuran sedang. Pada dinding taman, tertulis cerita mengenai sejarah gedung yang dituliskan dengan Bahasa Belanda. Berkeliling museum, pengunjung bisa melihat berbagai miniatur wayang yang terbuat dari bahan-bahan unik. Seperti rotan, dan serbuk kayu.
Dari kejauhan, kesan mewah Café Batavia sudah terlihat. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Lantai satu berisi bar dan panggung kecil untuk live music. Lantai dua, ruangan lebih luas dan gaya arsitektur Eropa sangat kental . Di lantai ini juga dipajang foto-foto pemilik gedung dari tahun ke tahun.
Cafe Batavia, populer di kalangan turis Belanda, terletak di sebelah utara Museum Fatahillah. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
“Gedung ini kan the second building tertua di kawasan Museum Fatahillah. Berdiri tahun 1805, sebelumnya ini tempat kediaman gubernur pada zamannya,” ujar Host Receptionist Café Batavia, Tuti, kepada VIVA.co.id.
Sempat menjadi kediaman gubernur atau resident house, galeri, coffee shop, gedung yang kayu-kayunya masih asli tersebut berubah menjadi Café Batavia pada 1992. Kini, kafe ini lebih populer di kalangan turis Belanda karena merunut dari sejarahnya.
Dari kompleks Kota Tua, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak terlalu jauh, tapi memang harus memutar jalan. Masuk pelabuhan memang harus berpacu dengan nyali. Banyak truk-truk membawa barang untuk didistribusikan ke kapal. Masuk ke sini hanya membayar Rp3.000 untuk motor dan Rp5.000 untuk mobil.
Sesampainya di sana, banyak kapal phinisi bersandar. Di Pelabuhan bisa melihat bagaimana barang-barang dari jawa didistribusikan ke pulau lain. Seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Rata-rata, mereka berangkat di sore membawa semen dan logistik.
Setelah takjub melihat kapal-kapal besar, langkahkan kaki ke Museum Bahari. Letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa, sekitar 500 meter. Tempat ini dahulunya adalah gudang penyimpanan rempah-rempah.
Lukisan Laksamana Malahayati di Museum Bahari, Jakarta.
Suharto, pemandu wisata di sana menceritakan, museum ini dibagi menjadi empat bagian. Pabean atau tempat sitaan, kantor navigasi yang sekarang jadi ruang kepala museum, gudang penyimpanan rempah, dan Menara Syahbandar yang difungsikan sebagai mercusuar di masa lalu.
Menara Syahbandar dibangun pada 1839 untuk memantau pergerakan Pelabuhan Sunda Kelapa. Namun saat ini, bangunan tersebut mengalami kemiringan lima derajat karena abrasi air laut. Menara memiliki 56 anak tangga dengan tinggi 18,3 meter, panjang empat meter dan lebar enam meter. Dari atas sini, pengunjung bisa melihat pemandangan Pelabuhan Sunda Kelapa, laut lepas, dan sebagian Jakarta.
Menuju bagian dalam museum, pengunjung harus berjalan sekitar 50 meter melewati pasar ikan. Desainnya seperti benteng dengan meriam di bagian depan. Bangunan ini terdiri dari dua lantai.
Perjalanan menjelajahi bahari Indonesia dimulai dari sebuah peta yang menggambarkan kondisi Jakarta di tahun 1800-an. Ada pula berbagai penjelasan mengenai kekayaan rempah-rempah nusantara.
Kemudian pengunjung akan melihat kapal-kapal tradisional dalam ukuran asli dan miniatur dari berbagai daerah di Indonesia. Lengkap, dari sabang sampai merauke. Lantai dua lebih berisi patung-patung menjelaskan siapa saja yang pernah datang ke Indonesia. Jepang, Belanda, Spanyol, hingga sedikit sejarah Jakarta dengan patung Fatahillah.
Di sudut taman Fatahillah, terdapat sebuah kedai yang selalu ramai pengunjung. Letaknya bersebelahan dengan Bangi Kopi dan kafe Historia. Dari kejauhan, tulisan Djakarte sangat mencuri perhatian. Masuk ke dalam, jejeran meja dan bangku ‘jadul’ terisi penuh, pelayan sibuk wara-wiri memenuhi pesanan pengunjung.
Bangunan peninggalan Belanda bernama Kedai Seni Djakarte ini terdiri dari dua lantai. Di lantai satu, pengunjung lebih diajak untuk kembali ke masa lalu. Mulai dari arsitektur, interior, dan berbagai frame-frame lukisan yang menggambarkan suasana kedai di masa lalu. Nuansanya lebih temaram, cocok untuk kongko berlama-lama .
Naik ke lantai dua, pengunjung bisa melihat berbagai lukisan karya si empunya kedai yang juga seorang seniman. Di lantai dua, jendela-jendela besar membuat cahaya dengan mudah menerabas masuk ke ruangan.
“Tahun 1986-an pernah dijadikan kantor untuk gudang alkohol ke apotek-apotek. Pernah dikontrakkan ke orang dan jadinya malah enggak terurus. Dahulu ini hampir ambruk. Atapnya habis,” ujar pemilik Kedai Seni Djakarte, Susi Ratnawati.
Semenjak dimiliki Susi, gedung telah mengalami renovasi tiga kali. Pada tahun 2012, 2014, dan 2015. Pada tahun inilah, ujar Susi, ia mendapat bantuan dari UNESCO untuk merenovasi gedung tersebut.
“Kebetulan orang UNESCO-nya orang Jepang yang suka banget sama gedung ini. Dia punya dana untuk perbaikan gedung di Kota tua,” ucap Susi.
Untuk di kawasan kota tua, kedai ini terbilang murah meriah. Cocok bagi kantong pelajar hingga pekerja. Harga minuman dimulai dari Rp15.000, makanan Rp22.000– Rp40.000.
***
Menjelajahi Monas dan sekitarnya
Kawasan lainnya yang sangat kental dengan bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda adalah di sekitar Monas. Dalam buku Sejarah Perkembangan Kota Jakarta karya Abdurrachman Surjomihardjo diceritakan bahwa pada tahun 1818, Gubernur Jenderal Herman William Daendels membuka sebidang tanah yang diberi nama Koningsplein. Luasnya sekitar 1 x 0,85 kilometer. Kini, tanah lapang tersebut dikenal sebagai Medan Merdeka atau lapangan Monas.
Di sekitarnya terdapat empat jalan utama, yakni Merdeka Utara, Merdeka Timur, Merdeka Selatan, dan Merdeka Barat. Di sepanjang jalan tersebut berjejer gedung-gedung tua yang kini telah beralih fungsi menjadi gedung pemerintahan dan Istana Negara.
Sebagai contoh kantor Kementerian Pertahanan yang terletak di Jalan Merdeka Barat. Gedung yang dibangun pada 1928 tersebut dahulunya merupakan Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtshogeschool. Tak jauh dari sana, berdiri gedung RRI yang sebelumnya adalah tempat siaran radio NIROM. Gedung ini dirancang oleh arsitek Blankenberg.
Kemudian bangunan jadul lainnya yang bisa ditemui di sepanjang Jalan Merdeka Barat adalah Museum Nasional. Pembangunan gedung ini dilakukan pada 1862 oleh pemerintah Hinda-Belanda. Gedung dibangun untuk menampung koleksi yang sudah tidak tertampung lagi di museum sebelumnya, Societeit de Harmonie, di jalan Majapahit.
Museum Nasional, dibangun untuk menampung koleksi yang sudah tidak tertampung lagi di museum sebelumnya, Societeit de Harmonie, di jalan Majapahit. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
"Kemudian dibuka untuk umum 1868 sejak saat itu sudah jadi tempat yang dikunjungi banyak orang terutama Jakarta," ujar Kepala Bidang Penyajian dan Publikasi Musem Nasional, Dedah Rufaedah.
Saat ini, Museum Nasional terdiri dari dua bagian. Gedung A yang merupakan bangunan asli, dan B bangunan baru yang diresmikan pada 2007 lalu. Di Gedung A dipamerkan sejarah, pra sejarah, arkeologi Hindu Buddha, sehingga masyarakat bisa melihat sesuai dengan pembabakan sejarah. Sementara di gedung B, koleksi yang ditawarkan lebih lengkap. Ada ruang pameran tetap, auditorium, pameran khusus temporer.
“Lingkungan, ilmu pengetahuan, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, pola lingkungan, dan ruang khazanah untuk keramik serta emas,” ucapnya. Tiket masuk gedung yang juga dijuluki sebagai Museum Gajah ini adalah Rp5.000 untuk orang dewasa dan Rp3.000 untuk anak-anak
Dari Museum Nasional, turis bisa menyeberang jalan ke arah Lapangan Monas. Di tempat ini berdiri landmark Kota Jakarta, yakni Tugu Monas setinggi 132 meter. Tugu dibangun guna mengenang perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari pemerintahan Hindia-Belanda.
Di bagian luar tugu yang dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 ini, pengunjung dapat melihat relief yang menggambarkan sejarah Indonesia, seperti kejayaan Nusantara di masa lampau. Puas melihat relief tersebut, jangan lupa susuri bagian bawah Tugu Monas. Di sana terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia yang memuat 51 diorama sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga Orde Baru.
Lelah mengitari Lapangan Monas, pengunjung bisa rehat dan menyantap sejumlah kuliner di Jalan Veteran I. Lokasinya berada di samping gedung Markas TNI AD. Tak jauh dari Jalan Medan Merdeka Utara.
Di Jalan Veteran I itu berdiri sebuah toko es krim legendaris, Ragusa Es Italia. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Di Jalan Veteran I itu berdiri sebuah toko es krim legendaris, Ragusa Es Italia. Toko es krim tersebut didirikan pada tahun 1932 oleh pria berkebangsaan Italia, Luigie Ragusa dan Vincenzo Ragusa. Hingga saat ini, toko es krim tersebut tak pernah sepi pengunjung. Harga es krim berkisar Rp15.000-Rp35.000.
Perjalanan menjalajahi kawasan sekitar Monas berlanjut dengan menyambangi Masjid Istiqlal. Masjd yang disebut-sebut sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara itu berlokasi di depan Ragusa, namun terpisah olah kanal. Menuju ke sana, pengunjung harus berjalan terlebih dahulu ke arah Halte TransJakarta Juanda.
Lokasi kompleks masjid yang dahulunya merupakan Taman Wilhelmina itu memang sangat luas. Tak heran jika pembangunannya memakan waktu hingga 17 tahun. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Lokasi kompleks masjid yang dahulunya merupakan Taman Wilhelmina itu memang sangat luas. Tak heran jika pembangunannya memakan waktu hingga 17 tahun, hingga akhirnya diresmikan pada 22 Februari 1978.
Bangunan masjid yang pernah dikunjungi Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan Pangeran Charles ini, terdiri dari lima lantai dan satu lantai dasar. Masjid bergaya arsitektur Islam modern internasional, dengan dinding dan lantai berlapis marmer.
Bangunan utama masjid mempunyai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi 96,66 meter berdiri di sudut selatan selasar masjid. Uniknya arsitek Masjid Istiqlal adalah seorang seorang Kristen Protestan, Frederich Silaban.
Tepat di depan pintu masuk Masjid Istiqlal berdiri Gereja Katedral dengan arsitektur Neo-Gotik khas Eropa. Meski demikian, bangunan Katedral saat ini sesungguhnya bukan gedung gereja yang asli. Sebab, Katedral yang diresmikan pada 1810 mengalami kebakaran pada 1826 dan kemudian roboh di tahun 1890.
Gereja Katedral yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Katedral yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Provicaris Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.
Di dalam Katedral ini terdapat museum yang diresmikan pada tanggal 28 April 1991. Seperti dilansir situs web Katedral Jakarta, benda-benda yang disimpan meliputi alat ibadat seperti Monstrans bercorak barok yang digunakan Pastor Limburg pada tahun 1700. Detailnya memperlihatkan relief seekor Domba duduk dia tas sebuah Kitab, yang diyakini lambang Yesus sebagai Anak Domba Tuhan. Koleksi lain berupa Tongkat gembala dan piala yang diterima Mgr. A. Claessens, pastor Agama Katolik yang datang ke Indonesia sekaligus pendiri Gereja Katedral.
Beberapa teks doa berbingkai juga disimpan, ketika itu, Bahasa Latin masih digunakan sebagai bahasa ibadat resmi dan sang imam masih membelakangi umat. Di sudut lain, kasula-kasula dalam berbagai bentuk tersimpan dalam lemari antik, diantaranya kasula model kuno lima warna hingga kasula tiga rangkap yang tempo dulu digunakan uskup. Kasula itu sendiri merupakan pakaian terluar yang dikenakan iman dalam perayaan di Gereja-Gereja Kristen bertradisi Barat.
Jam buka Museum adalah setiap hari Senin, Rabu dan Jumat pukul 10.00- 12.00 WIB. Kunjungan di luar jam yang sudah ditentukan perlu membuat kesepakatan terlebih dahulu.
***
Jejak Walisongo di Cilincing
Bila dibandingkan dengan tempat sejarah lainnya, akses menuju Masjid Al-Alam di Cilincing, Jakarta Utara, cukup sulit. Namun, pengunjung bisa menggunakan busTransJakarta koridor 10, Tanjung Priok-PGC dan turun di halter terakhir. Setelah itu ada dua pilihan, yakni naik Metromini 23 atau Mikrolet 14 dan turun di perempatan Cilincing. Dari sana, bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik ojek, jaraknya sekitar 600 meter.
Menurut sejarah, Masjid Al-Alam tak lepas dari peran Walisongo saat mensyiarkan Islam di tanah Banten. Adalah Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin yang mendapat restu dari sang ayah, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, mensyiarkan Islam di tanah Banten.
“Lazimnya, pasukan Kerajaan Islam ketika hendak salat membutuhkan tempat untuk berjamaah, maka dibangunlah surau. Artinya sekadar memenuhi syarat salat berjamaah. Dinamakan Masjid Al-Alam karena secara etimologi tadi, siangnya enggak ada, besok paginya sudah ada,” ujar Muhammad Ridwan, anak dari almarhum Ustaz Ahmad Sarjono, sesepuh Masjid Al-Alam Cilincing.
Masjid Al-Alam Cilincing terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Jakarta. FOTO: VIVA.co.id/Riska Herliafifah
Saat ini Masjid Al-Alam Cilincing terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Jakarta. Masjid sudah mengalami pemugaran sebanyak dua kali, yakni 1976 dan 1984. Meski demikian, bangunan asli tetap dipertahankan.
“Karena serupa dengan Masjid Agung Cirebon dan Demak,” ucapnya.
Luas bangunan masjid sekitar 900 meter per segi. Cukup untuk menampung sekitar 400 jemaah. Saat ini, masjid itu masih sering dikunjungi oleh wisatawan dari luar daerah, seperti dari Makassar, Bandung, dan Yogyakarta.