Menelusuri Terowongan Bawah Tanah di Ambon
- VIVA.co.id/Vander Christian Baronda
VIVA.co.id - Pulau Ambon, yang terletak di Provinsi Maluku, kini menjadi salah satu destinasi pariwisata ternama di Indonesia, dan turut menjadi tujuan wisata para pelancong dari dalam negeri maupun mancanegara.
Walaupun peta geosrategis dalam dunia pariwisata Indonesia, Ambon belum setenar Bali, Jakarta, Raja Ampat, Papua, dan lainnya. Tetapi, fakta historis telah memposisikan Maluku, sebagai satu dari sekian wilayah di dunia yang penting dicari, karena komoditi rempah-rempahnya.
Hal ini, yang kemudian membuat di Pulau Ambon banyak ditemukan bekas peninggalan era kolonial maupun era kemerdekaan, yang dapat dijadikan referensi penting bagi generasi muda dalam mengembangkan konsep pikir yang berorientasi pada wisata sejarah.
Terowongan Bawah Tanah Benteng Amsterdam
Benteng Amsterdam terletak di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku. Benteng ini dibangun bangsa Portugis dan pada awalnya digunakan sebagai lobi tempat penyimpanan rempah-rempah (Pala dan cengkih).
Setelah diambil alih Belanda, gudang penyimpanan rempah-rempah itu dijadikan benteng Kongsi Dagang, atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, atau VOC). Sekitar tahun 1640, Gubernur Gerard Demmer memugar bangunan ini dan berganti nama menjadi Benteng Amsterdam.
Benteng ini sudah dipugar selama dua kali. Tahun pertama, pemugaran dilakukan saat era Soeharto, pemugaran total dilakukan pada 2008. Dengan menggantikan atap yang awalnya terbuat dari tanah liat dengan multi roop. Tebal dinding pagar benteng ini mencapai 1,5 meter, dengan ketinggian lima meter.
Perjalanan menuju Benteng Amsterdam hanya menempuh jalur darat dari pusat kota Ambon dengan menggunakan angkutan umum maupun carteran.
Jarak dari pusat kota, yakni kurang lebih 35 kilometer dengan menggunakan jasa angkutan umum Rp12 ribu sekali pergi, dan carteran mencapai Rp300 ribu pulang pergi. Sedangkan dari Bandara Pattimura, kurang lebih 25 Km dengan mencarter mobil sewaan.
Selama menempuh jalan yang berkelok, mendaki, dan menurun, kita akan disuguhi pemandangan alam yang mempesona, dan lebih terasa makin menyapa saat lambaian pohon cengkih dan pala menari gemulai di kiri kanan jalan, ketika memasuki Kecamatan Leihitu.
Saat memasuki kecamatan ini, kita akan kembali disuguhi pemandangan pantai yang indah dari ketinggian bukit karang di desa Hitu. Dari desa Hitu menuju Desa Hila, hamparan pasir putih dengan kilauan cahaya yang bermain di riak air laut akan senantiasa mendampingi perjalanan kita.
Di Benteng Amsterdam, pengunjung hanya diwajibkan mengisi buku tamu dan membayar sumbangan, selama berada di benteng. Ada tiga gaet yang akan menemani pengunjung berkeliling secara gratis.
Pengelola Benteng, Jamal Lating, yang juga warga Desa Hila, menuturkan benteng ini terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama saat masa Belanda, dijadikan sebagai tempat istirahat para serdadu Belanda. Lantai kedua, ruang rapat para serdadu. Lantai ketiga, dijadikan sebagai pos pemantau pantai.
Pintu masuk utama terowongan bawah tanah melalui mulut sumur tua di belakang benteng. FOTO: VIVA.co.id/Abu Angkotasan
Di areal benteng ini juga ada satu menara (tower) pemantau dan terowongan bawah tanah, yang pintu masuk utamanya melalui mulut sumur tua di belakang benteng.
"Sekarang sumurnya sudah tertutup," kata Jamal kepada VIVA.co.id.
Menurut Jamal, di Benteng Amsterdam sudah tidak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal tumpukan batu karang sisa pembuatan benteng. Sementara itu, barang-barang peninggalan berupa meriam, pakaian perang, sudah diambil pihak-pihak tertentu dan dijadikan barang koleksi. Padahal, dulunya ada sembilan meriam dengan diameter berbeda-beda.
"Hanya tinggal sejarah saja dan batu prasasti itu pun dibangun tahun 1991. Tidak ada barang lain, meriam di ambil moseum," kata Jamal.
Kendati demikian, setiap hari banyak yang mengunjunginya. Ada dari Luar negeri, dalam negeri, dan dari Kota Ambon sendiri. Para pengunjung juga hanya datang sekedar berfoto saja. Terutama, para anak muda, mereka lebih menyukai suasana sunset.
"Hari libur itu biasanya, 10-30 kelompok yang datang. Satu kelompok, ada dua tiga sampai sepuluh orang. Kalau bulan Desember, pasti lebih banyak lagi pengunjung," ucap Jamal.
Alquran Tua di Masjid Tua Wapauwe
Selain Benteng Amsterdam, bangunan yang memiliki nilai bersejarah dan menjadi juga objek wisata di Maluku adalah Masjid Tua Wapauwe. Masjid ini sangat bersejarah. Umurnya mencapai tujuh abad. Masjid ini dibangun pada tahun 1414 Masehi. Masjid yang saat ini masih berdiri dengan kokohnya, menjadi bukti sejarah Islam di Maluku pada masa lampau.
Untuk mencapai masjid yang berada di Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku, kita hanya menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari pusat kota Ambon.
Wapauwe dalam bahasa tradisional Kaitetu, berarti mangga hutan. Berdasarkan cerita lisan masyarakat setempat, yang turun dari gunung ke tempatnya sekarang di Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, masjid ini terkenal karena mitos berpindah sendiri.
Masjid tertua itu dibangun Perdana Jamilu dan orang kaya Alahahulu di Gunung Wawane. Masjid tersebut lalu dipindahkan Imam Rijali ke kawasan Tehala, sekitar enam kilometer dari puncak Gunung Wawane.
Konstruksi bangunan induk Mesjid ini dirancang tanpa memakai paku, hanya menggunakan pasak kayu pada setiap sambungan kayu.
Di masjid ini juga tersimpan mushaf Alquran tertua di Indonesia. FOTO: VIVA.co.id/Abu Angkotasan
Di masjid ini juga tersimpan mushaf Alquran tertua di Indonesia, yang selesai ditulis tangan oleh Imam Muhammad Arikulapessy pada tahun 1550, dan tanpa iluminasi atau hiasan pinggir. Usia Alquran ini sudah terbukti saat dipamerkan pada festival Istiqlal di Jakarta pada 1991 dan 1995.
Salah satu penghulu, Mejis M.Rajab menuturkan, selain Alquran, terdapat pula sekumpulan naskah khotbah Jumat pertama Ramadhan tahun 1661 Masehi, kalender Islam tahun 1407 Masehi, timbangan zakat dengan pemberat batu karang, lampu minyak kuno yang masih tergantung, beduk dari kulit rusa serta sebuah Falaqiah (peninggalan) dan manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Untuk menjaga kekhasan Masjid tersebut, saat pemugaran, tidak ada pergantian sifat dan jenis barang yang dipakai untuk menggantikan bahan bangunan yang sudah lapuk.
"Dari dulu sampai sekarang, tetap seperti ini. Hanya daun atap dan dinding saja yang digantikan, karena usang. Selain itu, tidak ada lagi. Alquran tertua juga kami rawat dan tidak sembarang bisa diperlihatkan kepada masyarakat umum," ujar Rajab.
Alquran tertua dirawat dan tidak sembarang bisa diperlihatkan kepada masyarakat. FOTO: VIVA.co.id/Abu Angkotasan
Gereja Tua Imanuel
Selain itu, bangunan bersejarah lainnya di Maluku, terdapat juga Gereja Tua Imanuel yang berada persis di perbatasan Desa Kaitetu dengan Desa Hila. Bangunan bersejarah ini terlihat sangat sederhana, dindingnya terbuat dari kayu, yang di cat putih dengan atap rumbia dan sebuah tiang lonceng yang menghiasi halamannya.
Desain dalam gedungnya pun sangat sederhana, dengan sebuah mimbar yang menghadap dua barisan kursi yang berjajar ke belakang dan sebuah ruangan kecil bagi pendeta. Gereja ini sempat mengalami kerusakan akibat perang saudara yang terjadi di Provinsi Maluku pada tahun 1999. Setelah perdamaian disepakati, gereja ini kembali dibangun dengan arsitektur dan bentuk yang sama.
Untuk mengunjungi gereja ini tidak dipungut biaya sepeser pun, namun wajib mengisi buku tamu dan sebuah kotak persembahan sebagai bentuk soladaritas untuk membantu perawatan gereja ini. Gereja ini memiliki hubungan sejarah dengan berdirinya benteng Amsterdam.