Mereka Dipandang Sebelah Mata
- Kemdikbud
VIVA.co.id - Hari Disabilitas yang jatuh awal Desember lalu gaungnya terdengar samar-samar. Meski tak banyak yang tahu, tidak sedikit pihak yang menaruh perhatian pada momen itu, salah satunya Yayasan Peduli Tuna Daksa, yang menyumbang 1.000 kaki palsu guna meringankan beban penyandang difabel, agar kehidupan mereka dalam menjalani aktivitas keseharian terbantu.
Tak hanya di Indonesia, momen yang sama juga diperingati di seluruh dunia, karena sejak 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan tanggal ini sebagai Hari Disabilitas Internasional.
Tujuannya untuk memerluas wawasan warga dunia tentang isu-isu yang dihadapi penyandang difabel. Dengan terwujudnya hal tersebut, diharapkan hak, kesejahteraan dan martabat kaum disabilitas meningkat.
Penyebutan Hari Disabilitas Internasional dinilai banyak kalangan sebagai sesuatu yang baik, karena sebelumnya momen peringatan itu disebut Hari Internasional Penyandang Cacat, sebuah julukan yang seolah-olah menandakan, kaum difabel identik dengan mahkluk yang serba tidak mampu akibat kekurangan fisik. Padahal di dunia nyata mereka sangat berdaya, dan hanya memiliki perbedaan dari sisi kemampuan saja.
Namun kini para penyandang difabel memiliki secercah harapan, karena sejak 20 Oktober 2015, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Sidang Paripurna.
Membawa harapan, karena poin-poin dalam RUU itu diharapkan dapat menjamin terpenuhinya harkat dan martabat penyandang difabel, sekaligus memberi kesempatan bagi mereka berkontribusi dalam pembangunan Indonesia.
RUU ini dianggap penting untuk segera disahkan menjadi UU, menggantikan UU No 4/1997 yang dirasa membawa paradigma bahwa penyandang difabel, sekadar orang dengan kemampuan terbatas dan perlu dikasihani.
Diskriminasi Itu Masih Ada
Meski banyak pihak berupaya membantu kehidupan penyandang difabel, sayangnya masih ada saja perlakukan diskrimasi yang dirasa. Salah satunya dialami Trian Airlangga, penyandang tuna netra yang sempat dipersulit saat ingin membuka rekening tabungan di sebuah bank ternama.
Ditemui awal pekan ini, Trian menjelaskan, kasus itu terjadi tahun 2013. Saat itu, pihak bank menolak membukakan rekening baginya, karena ia tidak bisa membaca. Merasa putus asa, akhirnya Trian membuat tulisan tentang diskriminasi yang dialami, dan tulisan itu langsung menjadi pembicaraan hangat di media sosial.
Tak hanya itu, saat dimuat sebagai petisi di laman Change.org, banyak orang langsung memberi perhatian. Tak lama kemudian, seorang pengacara datang untuk memediasi dirinya dengan pihak bank.
"Jadi kasusnya sudah selesai, dan pelayanan bank itu sekarang jadi lebih baik bagi kaum difabel. Mereka mengakui kesalahannya dan telah mengubah kebijakan," ujar Trian senang.
Ironisnya, Trian menjelaskan perlakuan diskriminasi yang ia alami tak hanya terjadi di bidang perbankan, karena dalam dunia pendidikan ia pun mengalami kasus serupa.
"Dulu waktu mau masuk SMA swasta, saya ditolak dengan alasan mereka belum punya fasilitas untuk tunanetra. Padahal, yang mereka takutkan itu apa? Toh alat tulis braille saya bawa sendiri. Tongkat untuk jalan, saya bawa sendiri. Jadi saya tidak mengerti, kenapa (mereka takut direpotkan)?" ujarnya kecewa.
Ketua Persatuan Tuna Netra Aria Indrawati, yang juga penyandang difabel, menjelaskan, kasus yang dialami Trian bukan hal pertama yang ia dengar. Ia melihat, masyarakat kita masih banyak yang melihat kaum difabel sebelah mata, layaknya makhluk tak berdaya yang merepotkan.
"Kami memang sering mendapat diskriminasi hampir di semua aspek. Jadi bisa dilihat, bahwa kaum difabel belum bisa diterima dengan baik. Yang disayangkan, diskirimasi bahkan bisa terjadi mulai dari lingkungan terdekat, keluarga," katanya.
Selain itu, Aria menilai beberapa layanan publik belum seutuhnya memudahkan aktivitas kaum difabel. Hal itu tentunya masih membuat rawan bagi keamanan dan keselamatan kaum difabel. Padahal, sudah menjadi tugas pemerintah, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidup penyandang disabilitas.
Karena itu, menurutnya campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan. "Saya ingin UU yang memuat hak-hak penyandang difabel segera disahkan. Sebab hal itu sudah masuk DPR sejak 2013, jadi kami ingin segera ditandatangani Presiden," katanya penuh harap.
Pelayanan yang sama
Terkait kasus diskriminasi yang pernah dialami Trian, Sekretaris Perbanas, Eri Unanto, membantah kalau dikatakan industri perbankan tak ramah kepada kaum difabel.
“Saya belum dengar kasus itu, tapi seharusnya tidak terjadi demikian. Lembaga pemberi jasa harusnya punya standar yang sama, apakah nasabah itu premium, orang normal, atau penyandang disabilitas,” ujarnya.
Menurut dia, justru pelayanan kepada kaum difabel lebih diperhatikan. Contohnya, kursi roda disediakan di samping tangga dan ada jalur khusus untuk kursi roda.
Namun, sepengetahuannya, memang tidak ada aturan dari BI terkait pelayanan khusus bagi nasabah difabel. Jadi, sebaiknya ada kebijakan di masing-masing bank.
“Ini kami anggap masukan dan akan diangkat ke pengurus. Minimal, menyiapkan petugas frontliner khusus untuk penyandang disabilitas,” ujar Eri.
Sementara itu, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo, mengatakan, jika benar ada kasus diskriminasi seperti itu, yang bersangkutan bisa mengadu ke OJK. Karena ada regulasinya.
“Kami memantau pelaksanaan regulasi itu. Dalam pelaksanaannya, bank bersangkutan sudah ada SOP untuk atasi pembukaan rekening nasabah dengan keterbatasan fisik. Intinya, nasabah tuna netra atau difabel, harus mendapat perlakuan sama layaknya orang normal,” ujar Anto.
Bahkan, hal itu sudah diatur dalam regulasi POJK No 1 Tahun 2013, tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, yang di dalamnya mengatur fasilitas untuk konsumen dan masyarakat.
Banyak pihak terutama penyandang difabel menginginkan agar RUU Penyandang Disabilitas segera digoalkan. Ketua Komisi VIII, Saleh Partaonan Daulay menjelaskan, ada banyak poin penting yang diperjuangkan dalam RUU itu. Intinya, semaksimal mungkin agar hak dan kebutuhan penyandang difabel di Indonesia bisa dipenuhi pemerintah.
"Kita sudah menyelesaikan di DPR, kini tinggal di pemerintah. Sekarang kita mendesak pemerintah kembali ke DPR, karena batas waktu mereka membicarakan hal itu sudah selesai. Mestinya, sekarang sudah dikembalikan dan ditetapkan menjadi UU. Kalau pemerintah belum menyerahkan, ya tidak bisa jalan," ujar Saleh.
Saat ditanya apa pendapatnya, terkait keseriusan pemerintah dalam memenuhi hak kaum difabel, ia jelaskan sampai saat ini dinilai belum maksimal. Hal serupa juga terkait keseriusan pemerintah dalam menyediakan anggaran yang cukup.
"Karena untuk (penyandang difabel mendapat fasilitas di bidang) pendidikan dan pekerjaan, pemerintah membutuhkan program spesial. Mungkin kendalanya di situ, soal penganggaran yang masih minim,” tambahnya.
Cara berpikir yang salah
Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM, ikut bicara tentang keseriusan pemerintah dalam penyediaan fasilitas bagi Penyandang Difabel. Ia jelaskan, di usia Indonesia yang sudah kian matang, harus diakui persepektif HAM pemerintah belum merata. Karena itu, pelayanan mereka terhadap kelompok difabel belum maksimal.
"Cara berpikir mereka itu salah. Misalnya begini, mereka mikirnya, melayani masyarakat umum saja belum selesai, apalagi melayani (kaum) yang khusus," kritiknya pedas. Padahal sebenarnya, ada pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakukan semua kelompok, termasuk penyandang difabel.
Misalnya, PNS di bagian administrasi, penyandang difabel bisa melakukannya, bahkan mungkin akan lebih tekun. Di bidang IT, atau bahkan bisa menjadi tentara yang mengelola bagian administrasi.
Ia katakan, Komnas HAM termasuk pihak yang mendorong percepatan pengesahan RUU Penyandang Disabilitas. "Kami juga terlibat dari awal, mendorong beberapa substansi yang berkaitan dengan isi RUU tersebut," jelasnya.
Menurutnya, yang paling mendasar, UU itu nanti akan mendorong negara agar memfasilitasi hak-hak dasar warga yang berkebutuhan khusus. Baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun layanan publik lainnya. Termasuk pengembangan kesejahteraan di pekerjaan dan kehidupan sosial.
Mensos Khofifah Indar Parawansa saat meresmikan Gedung Sentra Pemberdayaan Sosial dan Vokasional Penyandang Disabilitas Intelektual di Jakarta.
Bicara tentang pemenuhan hak kaum difabel di Indonesia, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menjelaskan, koordinasi kementerian antar lembaga sudah selesai. Pihaknya bahkan sudah menyampaikan pembahasan ini ke Setneg, yang selanjutnya Setneg nanti yang akan menyampaikan daftar inventarisasi masalah itu, atas nama pemerintah ke DPR.
"Jadi kita sudah pada posisi siap, sesuai amanat Presiden yang menugaskan beberapa kementerian, menjadi wakil pemerintah dalam membahas RUU Penyandang Disabilitas," katanya. Ia jelaskan, matrix persambungan dari seluruh regulasi yang ada sudah dibuat. Tujuannya guna memberi maksimalisasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Tanah Air.
Khofifah mengingatkan, tak hanya di kota, peran pemerintah daerah juga penting, karena menurut Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebetulnya secara bertahap, yang menjadi urusan pemerintah pusat tinggal Napza (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat adiktif) dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Maka secara bertahap isu ini harus diserahkan sampai ke daerah.
"Nah sambil masa transisi, tanggal 11 Desember kemarin, dilauncing program Kota/Kabupaten Ramah HAM. Di dalam strukturnya, harus menjalankan 88 aksi HAM, yang 16 di antaranya, bicara tentang pemenuhan hak-hak kaum difabel," Khofifah menambahkan.
Mensejajarkan Anak Difabel
Sementara itu, Dirjen Dikdas Kemendikbud Hamid Muhammad menjelaskan, pemerintah mengakui masih banyak hal yang harus diperbaiki, berkaitan dengan pemenuhan hak pendidikan kaum difabel.
Saat ini baru 10 persen anak difabel yang terlayani dari sisi pendidikan, tetapi setiap tahunnya selalu diupayakan pembangunan unit SLB baru, minimal 35 unit, khususnya untuk daerah yang belum memiliki SLB.
Namun demikian, menurutnya diskriminasi di dunia pendidikan terhadap kaum difabel kini sudah berkurang jauh. Yang sekarang menjadi fokus pihaknya, adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran orangtua, agar mau menyekolahkan anak-anaknya yang difabel. Jangan justru dikurung di rumah.
Pemerintah juga berterima kasih, terhadap segala masukan masyarakat, namun Kemendikbud, dalam hal ini Direktorat Jenderal Dikdasmen, mengaku sangat memerhatikan kebutuhan anak difabel. Caranya dengan menjalankan program dan berbagai kegiatan, yang mensejajarkan mereka dengan teman sebaya yang tidak berkebutuhan khusus.
"Jika ada kegiatan Kepramukaan, Kawah Kepemimpinan Pelajar, O2SN, FLS2N, OSN, dan lainnya bagi siswa reguler, hal yang sama juga dilaksanakan bagi anak-anak difabel. Tahun 2016, Direktorat Pembinaan PKLK juga telah menganggarkan kegiatan tersebut sebesar Rp41,3 milyar,” jelas Hamid.
Ia terangkan, bagi anak difabel juga ada kegiatan bernama Gebyar PKLK, di mana mereka bisa mengikuti pameran kerajinan tangan tingkat nasional, Inacraft. Di sana, orangtua dan pelaku dunia usaha bertemu, untuk membuktikan kemampuan karya anak-anak difabel.
Tentang sekolah inklusi, ia jelaskan pihaknya juga sedang menggenjot penyediaan Guru Pendidikan Khusus (GPK) yang diprioritaskan (khususnya) di 73 daerah, yang sudah mendeklarasikan diri sebagai daerah inklusif, dengan cara mengoptimalkan kemampuan pendanaan APBD.
Setiap tahun, telah disalurkan dana minimal Rp25 milyar untuk peningkatan kompetensi GPK, yang disalurkan melalui kelompok kerja pendidikan inklusif daerah.
Kasubdit Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sapto Purnomo, tak mau ketinggalan angkat bicara soal kebijakan Kemenaker terkait dunia kerja bagi kaum difabel.
Menurutnya, implementasi yang sudah dilakukan guna membantu kehidupan mereka, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja 205 Tahun 1999, dalam hal pelatihan dan penempatan tenaga kerja disabilitas, yang merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 49 Tahun 1997.
Bentuk nyatanya sudah dilakukan setiap tahun, salah satunya dengan melakukan job fair. Ia jelaskan, kalau dulu job fair terkesan tidak ramah bagi kaum disabilitas, tapi sejak 2014 hal itu diperbaiki. Ini dibuktikan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang menawarkan lowongan bagi penyandang difabel.
"Kemudian hal itu ditingkatkan lagi di job fair 2015, di mana disediakan expo sehingga produk-produk kaum difabel bisa dipamerkan. Ada 40 stand yang kita hadirkan di situ, diisi kelompok usaha dari teman-teman difabel. Jadi mereka itu punya kelompok usaha, dan produknya bagus-bagus, tapi tak punya tempat untuk memamerkan. Makanya difasilitasi," ujar Sapto.
Menurutnya, sudah ada hampir 500 penyandang disabilitas yang direkrut bekerja selama 2014-2015. Selain itu, pihaknya juga memberlakukan pelatihan kepada HRD perusahaan, agar mereka tahu bagaimana cara memerlakukan karyawan difabel dengan baik.
Kemudian bicara tentang RUU Penyandang Disabilitas, Sapto jelaskan, poin terpenting regulasi itu bagi pihaknya, adalah segala hal yang berhubungan dengan hak pekerja difabel atas pekerjaan yang layak. “Intinya agar kebutuhan mereka dapat diinformasikan, diantisipasi, dan difasilitasi,” tuturnya.