Darurat Air Bersih

Pemprov DKI Berencana Beli Lahan di Bantaran Sungai
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Wanita usia tiga puluhan itu terlihat sibuk. Gelas, piring, dan seperangkat peralatan dapur kotor tampak menumpuk dan berserakan di sekitarnya. Dengan lincah, dua tangannya mencuci perkakas dapur tersebut, kemudian membilasnya dengan air dari ember yang berada di sampingnya. Beberapa kali, ia harus menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi wajah.

Maya, demikian wanita ini biasa disapa. Pagi itu, ia sibuk mencuci perkakas dapur miliknya. Ia tak sendiri. Di sisi kiri dan kanannya, sejumlah ibu-ibu juga tak kalah sibuk dengan pakaian kotor. Sesekali, terdengar tawa renyah mereka memecah kesunyian permukiman padat penduduk yang terletak di Manggarai, Jakarta Selatan ini.

Tak jauh dari mereka, Kali Ciliwung terlihat menggelora. Airnya yang berwarna kecokelatan meluap, menggenangi bantaran sungai, tempat para wanita ini mencuci baju dan peralatan dapurnya. Air sungai juga hampir menggenangi rumah warga yang hanya berjarak beberapa meter dari kali yang berhulu di Bogor, Jawa Barat tersebut.

Beberapa dari wanita tersebut menggunakan air Kali Ciliwung untuk mencuci baju dan peralatan dapur. Juga untuk mandi dan keperluan lain. Sebab, air sumur yang ada di permukiman ini sudah keruh karena terlalu dekat dengan kali.

"Dulu saya pakai air kali mas. Tapi, sekarang, saya sudah pakai pompa. Habisnya, air kali sudah semakin kotor," ujar Maya saat VIVA.co.id berkunjung ke rumahnya, Kamis, 26 November 2015.

Selain air kali dan sumur, warga juga mengandalkan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK). "Kalau tidak di MCK umum, kadang saya beli pada tukang air yang lewat. Harganya Rp15 ribu satu drum. Kalau pakai air di MCK umum, harus bayar Rp10 ribu per bulan buat perawatan," ibu dua anak ini menambahkan.

Meski demikian, ia dan warga lain masih sering menggunakan air kali. "Masih ada yang mandi pakai air kali. Tapi disaring lagi supaya bersih. Itu tidak mudah mas," ujarnya.

Maya mengaku sempat berlangganan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, menurut dia, PDAM tak berfungsi dengan baik bagi masyarakat miskin macam dia.

"Kami pernah pakai PDAM. Tapi, mungkin karena kami golongan rendah, ya airnya jarang keluar kalau mau dipakai. Keluar-keluar baru tengah malam. Jadi, kami kesal karena merasa tidak diperlakukan dengan adil," ujar wanita yang sehari-hari berjualan nasi uduk ini. 

"Kami bayar kok, walau murah. Tapi, airnya susah banget keluar. Makanya warga di sini nggak mau lagi pakai PDAM. Selain itu, karena biayanya memberatkan," tuturnya.

Nasib serupa dialami Lasmi. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, wanita paruh baya ini terpaksa harus membeli air setiap hari. Warga yang tinggal di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat ini membeli air pada sejumlah pedagang air yang kerap melintas di depan rumahnya.

"Pakai PDAM mahal mas. Saya beli air dari abang-abang yang lewat aja biasanya. Satu drum itu 20 liter, harganya Rp20 ribu,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 November 2015.



Ancaman Krisis Air

Kondisi yang dialami warga Manggarai maupun Senen itu, hanya contoh kecil bahwa air kini menjadi "barang berharga". Krisis air bersih sudah terjadi di sejumlah wilayah.

Di Jakarta, wilayah yang sudah mengalami krisis air bersih terjadi di Tanjung Priok dan Pluit.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHK) menyatakan, ada penurunan tinggi muka air tanah di Indonesia. "Kalau dulu di rumah itu ngebor katakanlah 12 meter sudah keluar air, sekarang ngebor 30 meter baru keluar air,” ujar Kepala Biro Humas KLHK, Eka Widodo Sugiri kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 November 2015.

Menurut Eka, sumur di daerah-daerah Jakarta Utara sudah tidak ada yang air bersih. Air di wilayah itu tidak layak dikonsumsi.

Tak hanya itu, di pantai utara Jawa mulai Jakarta, Karawang, Cirebon, dan daerah-daerah lain di kawasan itu sudah mengalami kesulitan air bersih. Sebagian besar karena hilangnya mangrove di laut.

Ia mengatakan, di dalam konsep tata kota seharusnya dibangun ruang-ruang terbuka hijau, minimal 10 persen dari total luas wilayah. Upaya tersebut dilakukan untuk menyimpan air saat hujan dan agar air tak hilang ketika musim kemarau. Selain itu, membuat hutan kota dan penghijauan.

"Seperti yang disampaikan Ibu Menteri, orang nikahan, hajatan, sunatan harus menanam pohon dan seterusnya,” dia menyarankan.

Eka menuturkan, setiap tahun, air yang masuk Jakarta saat puncak musim hujan sekitar tiga miliar meter kubik. Namun, yang bisa tertampung di dalam Jakarta hanya sedikit.

"Jadi, Jakarta mestinya membuat desain penampungan-penampungan buat air. Manakala air melimpah ke sungai, tidak akan lagi ke permukiman atau ke jalan raya, tapi ada tempat transit-transit air,” dia menjelaskan.

Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Sumber Daya Air, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Foto: unorcid.org)

Hal senada disampaikan Basah Hernowo. Direktur Kehutanan dan Sumber Daya Air, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini mengatakan, sejumlah wilayah di Indonesia memang mengalami defisit air bersih. Misalnya di Sumatera.

“Sekarang, hutan makin berkurang. NTT, NTB, Bali sudah mulai kritis,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 November 2015.

Ia menjelaskan, dalam wilayah dengan iklim subtropik, air disimpan di dalam salju. Saat suhu naik, air tersebut akan mencair. Sementara itu, di wilayah dengan iklim tropis seperti Indonesia, air disimpan di dalam tumbuhan.

“Hujan memang sudah mulai. Tapi, hutannya banyak menghilang. Ini penyebab berkurangnya air,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Mudjiadi, mengatakan, krisis air itu bukan hanya dari segi kuantitas, tapi juga kualitas dan distribusinya. Menurut dia, di Indonesia sebenarnya air banyak. Namun, masalahnya adalah dalam distribusi.

“Di sebelah barat masih banyak air, namun di sebelah timur kurang. Kemudian di Jawa air sedikit, padahal penduduknya banyak. Jadi, yang menjadi masalah itu hanya distribusinya,” kata Mudjiadi kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 November 2015.

Ia mengklaim, direktoratnya sudah membuat tata kelola air dengan baik. Namun, jika hutan gundul semua, yang ia lakukan tak ada artinya. Selain itu, di Indonesia banyak terjadi urbanisasi, khususnya di Jawa. Kondisi itu membuat kebutuhan air di perkotaan meningkat.

Anggota Komisi V DPR Nizar Zahro mengatakan, sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kualitas air Indonesia terburuk ketiga setelah Kongo dan Zimbabwe. Menurut dia, kondisi itu terjadi karena pemerintah tak mampu membuat tata kelola air dengan baik.

Selain itu, adanya otonomi daerah dan otonomi khusus membuat regulasi dari pusat dan daerah tumpang tindih dalam mengurus tata kelola air. “Pemerintah tidak mampu mengelola sumber air yang ada. Pemerintah juga tidak mampu menjaga tata kelola air,” ujar anggota dewan dari Fraksi Gerindra ini kepada VIVA.co.id, Rabu, 25 November 2015.

Pendapat berbeda disampaikan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA). Koordinator Nasional KRuHA, Muhammad Reza Sahib mengatakan, sebenarnya krisisnya adalah krisis manajemen bukan krisis sumber daya alam. “Kita itu tidak punya data resmi soal ketersediaan sumber air, pengelolaan dan lain sebagainya. Data kita terus berubah-ubah,” kata Reza kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 November 2015.

Menurut dia, sejumlah data justru menunjukkan, simpanan air Indonesia masih berlebih. Hanya, tata kelola atau pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) dan kebijakannya yang belum beres. Indonesia masuk dalam lima besar negara dengan SDA terbesar.

“Tapi, memang ada persoalan distribusi alamnya yang tak merata. Dari 2012, khususnya wilayah Jawa, Bali, NTT sudah mengalami krisis air. Artinya water balance-nya tidak seimbang,” tuturnya.

Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) menambahkan, air baku untuk air minum minimal dari tiga sumber, yaitu mata air, air permukaan, dan sungai serta air tanah seperti sumur dalam.

“Dari ketiga sumber ini yang paling besar adalah yang berasal dari sungai. Mungkin 95 persen lebih. Nah, kondisi air sungai kita parah, dalam konteks kualitas maupun kuantitas,” ujar Direktur Eksekutif Perpamsi, Teguh Subekti.

Menurut dia, air baku tak selalu siap diolah untuk didistribusikan. Artinya, kondisi air baku terbatas dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Ia mengatakan, akses masyarakat terhadap air minum yang aman baru 68,8 persen.

Dari jumlah itu, yang mampu dilayani PDAM baru sekitar 26 persen. Target pemerintah meningkatkan dari 26 persen, menjadi 60 persen. “Ketika kita akan mencapai target itu, tentu salah satunya, yang ditanya, air bakunya ada tidak. Yang sebagian besar dari sungai itu ada tidak?” dia bertanya.

Ia juga menyoroti soal tumpang tindihnya kewenangan dan regulasi terkait air baku.  Menurut dia, lembaga yang memiliki wewenang terhadap air baku sangat banyak.

“Air baku dari hutan kewenangan KLHK. Air baku yang di permukaan kewenangan PU. Air tanah dalam ESDM,” ujarnya mengeluh.

Teguh mengatakan, situasi itu membuat pemanfaatan air baku tidak efisien. “Kita harus integral berpikirnya. Ke depan harus ada badan regulator nasional. Apakah bentuknya kementerian air atau apa. Kalau di negara lain itu di bawah satu payung,” katanya.



Antara Hak Azasi dan Privatisasi

Reza menyatakan, air merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Hal itu yang membuat negara harus menguasai air. “Karena air itu hak strategis. Kalau dibiarkan pengelolaannya tanpa kontrol akan terjadi ketimpangan seperti sekarang,” dia menjelaskan.

Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyatakan, negara atau pemerintah baru diperbolehkan "menjual" air jika kebutuhan pokok warga terpenuhi. Menurut dia, seharusnya perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) mendapat alokasi sesuai dengan ketersediaan air, jadi tidak mengakses langsung.

“Selama ini, mereka bebas mengakses air, memonopoli air. Dan itu yang kita sebut sebagai perampasan air lewat penguasaan tanah,” dia menegaskan.

Menurut dia, ekspansi AMDK ini masif sekali. Itu yang menyebabkan banyak warga yang kesulitan air, baik untuk konsumsi maupun irigasi. “Air memang tidak ada di ranah publik, di rumah-rumah, tetapi air justru ada di pasar. Itu ironisnya,” ujar Reza.

Pernyataan senada disampaikan Basah Hernowo. Ia mengatakan, maraknya perusahaan AMDK mengancam kebutuhan air masyarakat. Ia juga menyoroti keberadaan perusahaan tambang yang abai terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Perusahaan tambang yang mengabaikan Amdal akan merusak bentang alam. “Bentang alam bisa berubah. Kestabilan juga berubah. Sejak bikin Amdal seharusnya sudah dihitung. Sayangnya tidak diawasi,” kata dia.

Eka mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi keberadaan perusahaan AMDK, sehingga, banyak institusi dan perizinan yang ditarik ke provinsi. Menurut dia, hal Itu menjadi salah satu cara agar perizinan dilakukan dengan kajian yang sangat matang dan mendalam, tidak semata-mata karena ada pihak yang punya otoritas, apalagi menjelang momen politik.

"Perizinan tidak dipersulit. Tapi, perizinan itu diterbitkan setelah melalui kajian yang sangat benar, detail, dan teliti. Kemudian dievaluasi, nah, nanti direkomendasi apakah dilanjutkan, diperbaiki, atau disetop," ujarnya.

DPR juga mengkritisi penguasaan sumber air oleh perusahaan AMDK yang semakin masif. Menurut Nizar, keberadaan perusahaan swasta ini menimbulkan banyak permasalahan dengan warga. Mulai penguasaan hak atas air hingga tanah ulayat.

Ia menambahkan, Komisi V DPR pernah meminta agar undang-undang tata kelola air tidak dipisahkan dengan minerba. Sebab, pertambangan sering merusak wilayah resapan, sehingga mengganggu stok air serapan. Selain itu, pertambangan berpengaruh pada menurunnya kualitas air.

Menurut dia, pemerintah pusat dan daerah harus berkoordinasi dengan baik dan menjalankan peraturan yang ada.

“Bukan menghambat investasi, tapi menata investasi sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Pemerintah harus ketat mengawasi proses perizinan," katanya. "Pemerintah harus tegas, bila perusahaan mengganggu hak masyarakat atas air, jangan ragu, cabut izinnya. Pemerintah harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dulu akan air, baru swasta”.



Upaya Pemerintah

Nizar Zahro menilai, pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat atas air bersih. Ia menambahkan, pemerintah tak serius menangani soal air. Hal itu terlihat usai putusan MK, pemerintah belum melakukan apa pun.

Ia pernah menanyakan hal itu saat rapat dengan Kementerian PU dan Pera. Setelah putusan MK, apa yang akan dilakukan pemerintah. Kementerian PU Pera menyatakan, pemerintah akan kembali menggunakan undang-undang lama dan membuat peraturan pemerintah.

“Dari waktu itu sampai hari ini peraturan pemerintahnya sendiri mana? Mereka bilang belum diteken Presiden. Kita rencana akan memberikan teguran pada awal 2016 bila peraturan ini belum diselesaikan,” kata Nizar.

Basah Hernowo mengatakan, pemerintah akan mengupayakan agar air yang mengalir jadi air permukaan yang bisa ditampung. Selain itu, pemerintah mesti rajin membangun bendungan.

“Kita kembalikan hutannya. Hutan kita rehabilitasi. Tata ruang harus sampai ke daerah resapan. Jadi tetap hijau. Sayangnya, alokasi dari pemerintah sangat kecil. Hanya Rp46 ribu per hektare per tahun. Itu nggak cukup,” ujarnya.

"Air itu ada kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Kalau bicara kuantitas, ini yang mengelola adalah Kementerian Pekerjaan Umum. Dia membuat bendungan, diatur untuk perikanan, untuk pertanian, untuk penyedia air. Dia menjaga kuantitas, jadi pengatur distribusi air," ujar Eka.

Sementara itu, soal kualitas dan kontinuitas merupakan tugas KLHK. “Upayanya adalah dengan menanam pohon, melakukan konservasi tanah dan air, rehabilitasi hutan, rehabilitas lahan dan sebagainya,” Eka menambahkan.

Menurut Eka, untuk melakukan tata kelola air yang baik, perlu ada sinkronisasi banyak sektor yang terlibat. Air seharusnya bukan menjadi pusat masalah, namun menjadi integrator.

"Jadi, tata kelola itu fungsinya air menjadi integrator. Semua sektor yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air harus kerja sama, sehingga bisa dimanfaatkan sesuai dengan kegunaannya, tidak menjadi musibah di musim kemarau dan musim banjir,” ujarnya.

Guna memperbaiki kualitas air, KLHK akan melakukan konservasi tanah dan air, rehabilitasi lahan, menanam pohon, dan membuat sumur resapan. Kedua, melalui pola vegetatif dan membuat waduk, sumur resapan dan lain sebagainya untuk mempertahankan air selama mungkin berada di dalam tanah.

"Terakhir, bagaimana menyiapkan regulasi yang bisa menjadi pijakan semua pihak bahwa air itu penting. Oleh karena itu pelanggaran terhadap air harus ada sanksi tegas,” kata dia.

Hari menjelang siang. Maya dan tetangganya masih bertahan di pinggir kali, dan berkutat dengan pakaian serta perkakas dapur mereka. Maya dan warga yang lain berharap, pemerintah bisa memberikan fasilitas air bersih yang layak untuk mereka.

"Kami berharap, pemerintah itu tahu kami golongan rendah. Seharusnya dibuatkan MCK gratis di sini, biar kami bisa cari air bersih. Kalau memang disuruh pakai PDAM, tolonglah jangan seperti dulu airnya susah keluar, terus biayanya juga tolong dikurangi”. (art)