Buah Lokal, 'Raja' Tanpa Tahta
- VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
VIVA.co.id - Siang itu, Sasmita dan Soma sibuk menyortir buah apel Batu. Di bawah rimbunnya dedaunan pohon buah khas kota Malang, Jawa Timur itu, delapan keranjang berisi berton-ton apel Manalagi menunggu untuk dipilah. Disortir sesuai ukuran sebelum dijual ke pasar.
Wajah Soma berseri-seri. Panen musim kemarau kali ini menghasilkan apel lebih banyak, ketimbang saat musim penghujan.
Ya, Soma dan Sasmita, yang juga petani sekaligus penjual buah apel Batu, merasakan legitnya panen apel di dusunnya. Di salah satu lahan Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, itu, warga menikmati panen melimpah tahun ini.
Setidaknya, mereka bisa menikmati jerih payah, di tengah musim kemarau panjang. Apalagi, buah lokal yang dipanennya, memiliki kualitas lebih baik dari buah impor. Mereka pun meyakinkan apel lokal yang dipetiknya lebih segar.
“Apel lokal ini jauh lebih awet dibanding apel impor. Setelah dipetik, bisa tahan 1 bulan di luar lemari es dan semakin manis," kata Soma, petani dan buruh petik apel Batu, Malang, kepada VIVA.co.id, Kamis 29 Oktober 2015.
Kondisi itu berbeda dengan apel impor, yang akan keriput dan kusut jika tidak masuk lemari es sehari saja. Makin bagus kualitas, buah lokal makin banyak dicari.
Tak hanya apel Batu, banyak buah domestik lainnya yang juga kian disukai. Durian Medan, misalnya.
Ismail Ginting, petani di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, kepada VIVA.co.id, mengatakan, sepintas buah durian di daerahnya sama dengan negara lain. Jika dilihat dari warna dan ketebalan daging durian relatif sama.
"Namun, kadar alkoholnya paling unggul dibanding durian dari daerah mana pun," ujarnya.
Ginting menilai, petani di Indonesia semestinya bisa memanfaatkan keunggulan itu untuk meningkatkan kualitas buah. Jika kualitas buah lokal makin baik, buah impor perlahan akan ditinggalkan masyarakat.
Rasa lebih manis, dan tingkat kesegaran yang terjaga, menjadikan sejumlah buah lokal seolah telah jadi "tuan rumah" di negeri sendiri. Kondisi itu menunjukkan bahwa tak semua "barang" impor memiliki kualitas lebih baik. Supermarket di sejumlah kota besar pun kini banyak menjajakan buah lokal kualitas "super".
Pusat perbelanjaan tak mau ketinggalan. Bertajuk "Pameran Sayur dan Buah Lokal," Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyasar beberapa mal untuk promosi produk dalam negeri itu. Tentunya, penjualan langsung di sejumlah supermarket hingga "mempertontonkan" melalui pameran, buah lokal akan semakin dikenal masyarakat.
Pemilihan mal sebagai lokasi pameran ini tidak luput dari peran pemerintah dalam ikut menyosialisasikan buah lokal. Pengunjung dan konsumen pun akan teredukasi bahwa hasil buah-buahan petani Indonesia sehat, aman, dan higienis untuk dikonsumsi.
Parhan (35), pedagang buah di Kalimalang, Jakarta Timur, juga mengatakan, konsumen saat ini banyak yang mencari buah lokal karena umumnya lebih murah dibanding buah impor. Selain itu, buah lokal lebih segar dan vitaminnya masih terjaga.
"Beda sama buah impor. Biasanya lama di kapal, disimpan di gudang baru dijual. Jadi, vitaminnya juga berkurang," kata Parhan kepada VIVA.co.id.
Buah lokal yang sering dicari pembeli di antaranya jeruk, mangga, dan pisang. Mereka banyak memburu buah lokal sejak 2008.
Saat itu, buah impor yang seharusnya merapat di Tanjung Priok, dipindahkan ke Surabaya, di Pelabuhan Tanjung Perak. Pemindahan itu membuat biaya distribusinya naik, sehingga buah impor harga jadi mahal.
"Kemudian, masyarakat lebih nyari buah lokal," tuturnya.
Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi produk hortikultura yang dilarang impor selama periode 2010-2014, memang berfluktuasi. Namun, beberapa produk buah menunjukkan tren naik.
Melon misalnya. Pada 2010, produksi hanya mencapai 85,2 ribu ton, sebelum melonjak hingga 150,3 ton pada 2014. Pisang juga cenderung naik, meski sempat turun pada 2013.
Pada 2010, produksi pisang mencapai 5,81 juta ton dan meningkat menjadi 6,86 juta ton pada 2014. Sementara itu, yang relatif stabil di antaranya nanas. [Lihat INFOGRAFIK: Laju Ekspor Impor Buah Indonesia]
Gaya Hidup
Mengonsumsi buah-buahan terkait erat dengan kesehatan tubuh dan perlindungan dari serangan penyakit. Buah-buahan memiliki kandungan yang sangat baik untuk tubuh seperti vitamin, mineral serta serat yang bisa membuat tubuh menjadi sehat bila dikonsumsi secara teratur.
Selain itu, terdapat buah yang banyak mengandung antioksidan tinggi yang bisa menangkal radikal bebas. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki beragam buah yang sangat menyehatkan.
Bahkan, buah telah menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan hingga kalangan selebriti. Mereka mencoba untuk sering mengonsumsi buah agar tubuh tetap terjaga kesehatannya.
Presenter Chocky Sitohang menerapkan gaya hidup sehat dengan mengonsumsi buah-buahan. Ia tidak melabeli buah-buahan tersebut dengan buah impor atau lokal. “Untuk persentase, saya lebih banyak mengonsumsi buah lokal,” kata Chocky.
Ia mengonsumsi buah sejak kecil karena didikan orangtuanya. Orangtua biasanya membeli dan menyediakan buah lokal seperti pisang Ambon, pisang raja, dan apel. Buah-buahan yang menjadi favoritnya, di antaranya pisang dan nnaas madu.
Chocky Sitohang pun punya cara dalam mengonsumsi buah-buahan. Ia biasa makan tiga sampai empat potong buah yang berbeda-beda. “Saya antimainstream, orang memakan buah kebanyakan sebagai menu penutup. Sebenarnya, buah itu dijadikan makanan pembuka dan saya terapkan," kata dia. "Saya makan buah di awal sebelum menyantap makanan utama”.
Karena, jika mengonsumsi buah di awal, tubuh bisa terkontrol, dan buah lebih tercerna duluan. Ia lalu memberikan tips untuk tetap sehat. “Gaya hidup itu harus diseimbangkan dengan kesehatan. Kalau gaya hidup terus jalan dan kesehatannya drop, ya buat apa? Sebaliknya, kalau sehat, tetapi gaya hidupnya monoton, ya sama saja. Jadi harus seimbang,” kata dia.
Artis Laudya Cynthia Bella juga tak berbeda dengan Chocky. Ia sudah menyukai buah-buahan sejak kecil. Kebiasaannya menyukai buah sudah menjadi kesehariannya. Karena itu, ia selalu menyiapkan buah di rumah.
Artis yang sekarang berhijab ini sering menyiapkan jus yang dicampur dengan beberapa buah dan sayur. “Di rumah itu selalu ada. Setiap bangun pagi, saya minum jus yang isinya brokoli, buah bit, jeruk, apel, dan beberapa sayuran,” kata Bella.
Ia juga sering mengonsumsi buah yang mempunyai kadar antioksidan dan vitamin tinggi seperti kiwi.
Namun, Bella juga menyiratkan kekhawatiran terhadap buah yang dijual di pasaran. Karena banyak buah yang menggunakan lilin agar tetap terlihat segar. “Khawatir sih iya, kita sekarang harus lebih perhatian lagi dengan mencuci buah agar lebih higienis,” kata Bella.
Selebriti lain penggemar buah-buahan adalah Olivia Jensen Lubis. Ia mulai mengonsumsi buah sejak kecil sebagai sarapan pagi. Walaupun mengonsumsi buah impor, buah lokal tak pernah ditinggalkan. “Karena, rasa buah tropikal Indonesia jauh lebih enak dibandingkan negara lain,” kata Olivia.
Ia menilai, mengonsumsi buah-buahan adalah bagian gaya hidup tepat dan sehat. Karena, tubuh memerlukan asupan buah tiap hari.
Bagi artis sinetron ini, buah lokal memiliki kelebihan dibanding buah impor. Soal harga, juga lebih terjangkau. Buah lokal yang paling digemari Olivia adalah mangga, semangka, pepaya, nanas, dan pisang.
Sementara itu, menurut Chocky, perbedaan buah impor dengan lokal adalah dari sisi penampilan. Buah impor biasanya lebih cerah. Namun, menurut dia, dibandingkan buah impor, buah lokal tidak ada tandingannya. Lebih alami.
Dorong Budidaya
Tak dipungkiri, dikeluarkannya dua peraturan menteri ikut mendongkrak popularitas buah lokal. Kedua peraturan itu adalah Peraturan Menteri Pertanian No. 60/permentan/OT.140/9/2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan No 27/M-DAG/PER/5/2012.
Peraturan itu mengatur pembatasan importasi untuk buah jenis anggur, apel, pir, jeruk, lemon, jeruk bali, pisang, mangga, nanas, wortel, cabai, dan lainnya.
Meskipun, pembatasan impor buah dan sayuran yang berlaku pada Oktober 2012 itu, diklaim berdampak cukup besar bagi importir dan distributor buah-buahan.
"Kami jadi kekurangan buah-buahan impor untuk didistribusikan ke luar kota Jakarta dan seluruh Indonesia," kata Sekretaris Umum Asosiasi Eksportir dan Importir Buah dan Sayur Segar Indonesia, Hendra Juwono kepada VIVA.co.id.
Apalagi, sebagian besar, daerah menjadi pusat perdagangan buah-buahan di Nusantara. Peluang ini yang kemudian dimanfaatkan oleh petani buah lokal untuk menggenjot produksi dan pemasaran.
Walaupun, petani menilai, tidak gampang membudidayakan tanaman buah. Sentra pembudidayaan buah belum merata dan terpusat di beberapa daerah tertentu.
Hendra menilai, seharusnya, sentra buah lokal tidak di satu daerah, tapi menyebar sehingga menekan biaya distribusi. Ada petani buah lokal yang belum mampu menghasilkan buah-buahan baik dan berkualitas.
Padahal, jika melihat luas panen produk buah-buahan lokal selama 2013-2014, beberapa di antaranya meningkat. Kenaikan tertinggi dialami anggur, rambutan, dan durian.
Luas panen anggur naik 31,3 persen dari 167 hektare pada 2013 menjadi 219 hektare setahun kemudian. Sementara itu, luas panen rambutan meningkat 18,1 persen dari 87,06 ribu hektare pada 2013 menjadi 102,8 ribu hektare pada 2014.
Pada 2013, luas panen durian 61,2 ribu hektare, sebelum meningkat 10,67 persen menjadi 67,7 ribu hektare pada 2014. Meskipun apel pada tahun ini menunjukkan panen melimpah, luas panen justru turun 25,7 persen.
Pada 2013, luas panen apel tercatat 3,73 ribu hektare, sedangkan pada 2014 hanya 2,77 ribu hektare.
Pemerintah pun tak tinggal diam. Sudah ada gagasan untuk mendukung pengembangan buah lokal dan mengurangi impor itu. Presiden Joko Widodo mendorong Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat proyek percontohan pembudidayaan dan pengembangan buah lokal Nusantara.
“Dalam penelitian IPB, setidaknya ada 12 jenis buah lokal yang bisa menggantikan dominasi buah impor. Tanaman buah lokal ini bisa dikembangkan di berbagai daerah, yang masing-masing bisa berbeda satu sama lain,” kata Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, (saat ini menjabat kepala staf kepresidenan) saat menyampaikan hasil pertemuan antara Rektor IPB Herry Suhardiyanto dengan Presiden Jokowi, di kantor Presiden, Jakarta, Rabu 24 Juni 2015, seperti dikutip dari lama Setkab.go.id.
Adapun buah-buah yang nantinya akan dibudidaya adalah jeruk, durian, pepaya, pisang, melon, semangka, manggis, nanas, avokad, rambutan, dan salak. “Tanaman buah lokal ini bisa dikembangkan di berbagai daerah, yang masing-masing bisa berbeda satu sama lain,” kata Teten dalam siaran pers itu.
Teten menyebutkan, pengembangan buah lokal itu harus dilakukan dalam skala kebun, bukan rumah tangga. “Setiap kebun buah membutuhkan lahan antara 30 hingga 50 hektare,” ujar Teten mengutip pertemuan Presiden Jokowi dengan Rektor IPB itu.
Kalau program ini dilaksanakan secara masif, Rektor IPB Herry Suhardiyanto, meyakini, pada 2025, Indonesia bisa menjadi produsen buah tropika terbesar di Asia.
Untuk itu, Presiden menyanggupi untuk mendorong setiap pemerintah daerah berlomba mengembangkan buah lokal ini. Sementara itu, Herry menyatakan siap untuk menyediakan bibit dan teknologinya.
Herry menjelaskan, program pengembangan buah lokal itu akan melibatkan petani buah. Ia berharap ada konsolidasi yang baik, sehingga produksi buah nasional meningkat dan mampu bersaing dengan buah impor.
Sebagai permulaan, kata Herry, pemerintah memanfaatkan acara festival bunga dan buah di Bogor, 16-18 Oktober. “Festival bunga dan buah ini menjadi jembatan antara penyandang dana dengan pelaku usaha budidaya buah,” ujar Herry.
Harapannya, melalui "Festival Bunga dan Buah" itu, berdampak pada produksi buah lokal untuk menyaingi buah impor.
Sulitnya Pemasaran
Selain persoalan budidaya, susahnya pemasaran juga diakui oleh sebagian petani buah. Petani dan penjual apel Batu misalnya. Kualitas yang sering kalah dengan buah apel lokal lain, memaksa penjual apel Batu harus pandai melihat celah pasar.
Apalagi, informasi harga jual buah di pasaran luar negeri tak pernah petani dapatkan. Praktis, tak ada motivasi lebih untuk meraup lebih banyak rupiah dari pasar luar negeri.
“Kami tidak tahu harga jual buah ketika diekspor. Mungkin ada pedagang di Jakarta yang kemudian mengekspor apel ke luar negeri. Tapi, sampai saat ini, petani di sini belum bisa mengekspor langsung,” kata Sasmita, pedagang apel Batu.
Sementara itu, petani durian Medan, Ginting, juga berharap agar kebijakan pengetatan buah impor ini diikuti oleh kebijakan lainnya yang berpihak kepada petani. "Contohnya ada kebijakan subsidi buah, dalam arti pemerintah memberikan subsidi, jika buah tersebut melimpah di pasaran," tuturnya.
Dengan kebijakan ini, menurut Ginting, petani akan mampu berbuat lebih baik untuk peningkatan kualitas. "Saya yakin, di negara-negara lain, pemerintahnya mendukung petani untuk meningkatkan kualitas buah," katanya.
Ginting menilai, jika pemerintah terus mengeluarkan berbagai kebijakan yang berpihak kepada petani buah, di masa mendatang Indonesia akan menjadi negara pengekspor buah.
"Langkah ini sudah sangat tepat. Tinggal bagaimana petani dengan dukungan pemerintah meningkatkan kualitas. Yakinlah kita mampu menjadi negara pengekspor buah," ujarnya.
Ginting yakin, dalam beberapa tahun ke depan, masyarakat akan lebih memilih buah petani lokal. "Kuncinya, kembali ke kualiats buah itu. Jika buah lokal lebih baik, ngapain takut dengan buah impor," katanya.
Segarnya apel Batu dan manisnya durian Medan serta jeruk Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, telah kondang hingga ke luar Jawa. Rasanya pun diakui masyarakat setempat jauh lebih manis dari buah impor.
Meskipun, pujian itu tak sempat dibuktikan sendiri, lantaran "raja lokal" tak pernah beranjak merasakan pasar bebas di luar Indonesia, akibat berbagai kendala.
“Kami tak tahu harus memulai dari mana, tak ada koneksi untuk jualan ke luar negeri,” kata Suwaji, petani jeruk di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kota Batu.
Pemilik lahan dengan luas sekitar 2 hektare itu tak pernah merasakan pasar luar negeri sejak memulai menanam jeruk sejak 1998. Hal serupa juga dirasakan oleh seluruh petani jeruk lain di Selorejo dan juga Dau.
Tak adanya koneksi dan jaringan membuat mereka kesulitan menyiapkan diri untuk berkompetisi di pasar luar negeri. Suwaji hanya mengetahui beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin mengekspor buah jeruknya.
“Jumlahnya harus banyak dan konsisten sepanjang tahun. Kami belum punya bapak angkat yang bisa mengepul jeruk sepanjang tahun. Petani juga tak semua bisa panen sepanjang tahun, karena beban tunggakan utang yang harus segera diangsur,” katanya.
Kendala itu sudah pernah disampaikan ke petugas penyuluh lapangan setempat, meskipun jawabannya juga tidak memuaskan. “PPL juga bilang tidak tahu pasar luar negeri. Soal pemasaran sampai sekarang adalah upaya masing-masing petani, bukan pemerintah,” katanya.
Tak hanya itu, sosialisasi setelah panen kepada petani buah lokal dinilai Hendra juga masih kurang. Kondisi ini yang mengakibatkan petani kurang memahami bagaimana membuat buah-buahan yang mereka hasilkan bisa tahan lama.
"Kasihan petani-petani kita, banyak hasil panennya yang tidak layak jual, karena kekurangan pengetahuan pasca panen dan manajemen distribusi pendingin berantai agar panennya bisa tahan lama," tuturnya.
Pemerintah juga dinilai kurang mengembangkan penghasil sentra buah lokal yang berskala komersial, sehingga upaya itu diharapkan dapat menunjang petani Indonesia.
Sementara itu, Parhan (35), pedagang buah di Kalimalang, Jakarta Timur, mengatakan, petani buah harus siap untuk memasok buah dalam jumlah besar. Jangan sampai impor dibatasi, tetapi petani belum bisa memasok buah. Akhirnya, buah jadi langka dan mahal harganya.
Harapannya adalah buah lokal dapat merajai pasar buah di Indonesia. (art)