Kala Harapan Kian Hilang

Aksi demonstrasi satu tahun pemerintahan Jokowi - JK
Sumber :
  • ANTARA/Hafidz Mubarak A.

VIVA.co.id - Hari masih pagi. Jarum jam di tangan masih menunjuk angka delapan. Namun, suasana di depan Istana Merdeka tampak mencekam. Sekitar seribuan polisi terlihat sudah bersiaga di depan kantor Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut.

Mereka tersebar di sejumlah titik, dari depan Istana hingga di seputaran Monumen Nasional (Monas). Sejumlah Barracuda dan mobil "Water Cannon" serta ratusan motor trail tampak berjejer gagah di antara mereka. Tak hanya itu, demi alasan keamanan, kawat berduri juga dipasang memanjang di Jalan Medan Merdeka Utara.

Hari itu, Selasa, 20 Oktober 2015, tepat satu tahun pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Beredar kabar, pada hari ke-365 duet Jokowi-JK memimpin Indonesia itu akan ada aksi unjuk rasa besar-besaran di Ibu Kota Jakarta.

Untuk itu, aparat gabungan telah bersiaga di sejumlah titik yang dianggap akan menjadi sasaran aksi unjuk rasa. Salah satunya depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara.

Namun, aksi unjuk rasa baru terlihat sekira pukul 11.00 WIB. Puluhan orang yang mengatasnamakan Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) 1.300 buruh PT Panarub Dwikarya. Aksi GSBI tak berlangsung lama.

Sekelompok massa menyusul menggantikan aksi demo. Mereka menamakan dirinya Dewan Pimpinan Nasional-Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (DPN-SPRI).

Dalam orasinya mereka menyatakan, Jokowi-JK telah gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga meminta rakyat Indonesia tak lagi menaruh harapan kepada Jokowi dan JK.

Puluhan ibu-ibu yang mendiami Rumah Susun (Rusun) Pesakih Kalideres, Jakarta Barat juga tak mau ketinggalan. Dengan membawa anaknya, mereka ikut menggeruduk Istana.

Namun, mereka langsung "diamankan" Polisi Wanita (Polwan) dengan alasan membawa anak-anak dalam aksi tersebut. Rombongan keempat yang menyambangi Istana adalah Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

Berbeda dengan aksi unjuk rasa sebelumnya, massa PMKRI ini mengenakan baju adat beragam suku di Indonesia. Mereka menuntut Jokowi-JK untuk mundur dari jabatannya dan membubarkan parlemen serta membentuk pemerintahan transisi.

“Kembalikan sistem pemerintahan dan ekonomi kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” teriak salah seorang demonstran saat berorasi.

Mahasiswa Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar berunjukrasa memperingati setahun pemerintahan Jokowi-JK, Selasa (20/10/2015). Foto: ANTARA/Yusran Uccang



Tak Sesuai Harapan

Salah seorang demonstran, Anton Sardi (20) mengaku kecewa dengan Jokowi. Menurut dia, Jokowi selalu berlindung di balik kondisi perekonomian global untuk menutupi kegagalannya. Menurut dia, sebagai Presiden, Jokowi seharusnya melakukan langkah- langkah nyata.

“Paket kebijakan ekonomi nggak ada yang menyentuh rakyat kecil. Itu hanya untuk kepentingan industri dan kapitalisme,” ujar Anton kepada VIVA.co.id, Selasa, 20 oktober 2015.

Keluhan senada disampaikan Herman (27). Warga Tangerang ini menyoroti soal minimnya lapangan pekerjaan di era Jokowi. Sebagai buruh, ia berharap, Jokowi bisa membuat berbagai kebijakan yang bisa membuka lapangan kerja, bukan malah memicu PHK.

Ia juga menyoroti kinerja sejumlah menteri yang sering ribut sendiri. Menurut dia, sebagai Presiden, Jokowi seharusnya mampu memimpin dan mengendalikan para pembantunya tersebut.

“Kalau dari menterinya udah nggak kompak, nanti ke bawahnya nggak bisa kerja,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 20 Oktober 2015.

Kekecewaan juga dirasakan Nur Rizal (35). Buruh pabrik asal Bekasi ini menagih janji Jokowi saat kampanye yang mau membantu dan membela "wong cilik". Karena, hingga saat ini, ia tak merasakan janji manis tersebut.

“Saya milih Jokowi. Saya sangat kecewa dengan pemerintahannya yang tidak jelas sekarang ini. Sudah tidak konsekuen dengan apa yang dia kampanyekan. Sebagai simpatisan, saya kecewa,” ujar ayah dua anak ini.

Anton, Herman, dan Nur Rizal tak sendiri. Sejumlah orang juga mengaku kecewa dengan pemerintahan Jokowi–JK. Survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga menyebutkan, kepuasan publik terhadap Jokowi terus menurun.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC), Djayadi Hanan, mengatakan, Jokowi harus bekerja keras untuk meningkatkan kepuasan publik.

Menurut dia, dari survei yang dilakukan SMRC, 50 persen lebih responden mengaku tak puas dengan kinerja Jokowi. “Tingkat kepuasan masyarakat terhadap setahun kinerja Jokowi lebih rendah bila dibandingkan kinerja setahun SBY,” ujar Djayadi kepada VIVA.co.id, Rabu, 21 Oktober 2015.

Ia menjelaskan, sebanyak 41 persen responden menyatakan, kondisi ekonomi nasional lebih buruk dari tahun lalu. Sementara itu, yang menilai kondisi politik lebih buruk tahun lalu juga lebih banyak 36 persen, daripada yang menilai baik sebanyak 19 persen.

Kondisi penegakan hukum juga tak luput dari penilaian buruk. Sebanyak 40 persen responden menilai buruk, sedangkan yang lebih baik 31 persen. “Sementara itu, sebanyak 55 persen responden menilai bahwa korupsi makin banyak,” dia menambahkan.

Menurut Djayadi, penilaian masyarakat yang negatif terhadap penegakan hukum sejalan dengan apa yang terjadi. Banyak kasus di mana pemerintah tidak tegas memberantas korupsi.

Pemerintah tampak ragu-ragu berdiri di belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau tidak tegas terhadap upaya-upaya dari sejumlah pihak yang ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi melalui KPK.

“Konflik lembaga hukum antara KPK dan Polri tak lepas dari penilaian negatif publik,” ujarnya.

Sejumlah mahasiswa berunjukrasa memperingati setahun pemerintahan Jokowi-JK di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (20/10/2015). Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A.

Penilaian senada disampaikan Muhamad Qodari. Direktur Eksekutif Indo Barometer ini mengatakan, kepuasan publik terhadap Jokowi melorot dari 57 persen menjadi 46 persen. “Untuk kegagalan, ternyata jawaban paling tinggi itu sembako mahal, kurs rupiah yang melemah, kemudian kemiskinan,” ujar Qodari kepada VIVA.co.id, Rabu, 21 Oktober 2015.

Pengamat politik Hanta Yudha mengatakan, popularitas Jokowi memang menurun. Menurut dia, ada ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah, baik kepada Jokowi maupun JK. Sependapat dengan Qodari, Hanta mengatakan, salah satu faktor ketidakpuasan publik adalah faktor ekonomi.

“Problemnya harga bahan pokok yang mahal, mencari lapangan pekerjaaan susah, soal pengentasan kemiskinan, lalu pelemahan kurs rupiah,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 22 Oktober 2015.

Direktur Eksekutif Poltracking Institute ini mengatakan, ketidakkompakan Kabinet Kerja juga berbanding lurus dengan kinerja menteri. Menurut dia, harus ada sistem dan kekompakan di jajaran pembantu Jokowi. "Bicara kekompakan harus ada leadership yang mengelola. Siapa, ya Presiden," kata Hanta.

Sementara itu, pengamat ekonomi Enny Srihartati menilai, semakin hari kehidupan masyarakat semakin sulit. Kondisi itu terjadi karena harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Sementara itu, usaha apa pun yang dilakukan tak membuahkan hasil.

“Satu sisi, PHK, di sisi lain usaha informal nggak laku. Masalahnya adalah daya beli masyarakat,” ujar Enny kepada VIVA.co.id, Kamis, 22 Oktober 2015.

Direktur Eksekutif Indef ini menjelaskan, harga-harga barang yang terus naik dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan membuat persepsi kepuasan ekonomi masyarakat menurun drastis. Menurut dia, di tataran kebijakan, pemerintah sudah bagus. Namun sayangnya, hal itu tak sesuai dengan implementasi di lapangan.

“Pak Franky (Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Franky Sibarani) komitmen penyederhanaan perizinan tiga jam selesai. Tapi, realisasi investasi berhadapan dengan kepala daerah,” dia menjelaskan.

Ia juga menyoroti kinerja sejumlah menteri. Misalnya Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri. Menurut dia, menaker sudah bilang banyak melakukan reformasi dan komunikasi untuk pekerja serta mediasi pengusaha dan tenaga kerja.

Namun faktanya, Enny menjelaskan, di era Jokowi terjadi PHK massal. Menteri perdagangan juga sama. Kinerja perdagangan memang surplus. Turunnya impor jauh lebih besar daripada turunnya ekspor.

“Intinya, surplus, tapi ekspornya minus. Bukan karena perbaikan kinerja menteri perdagangan,” ujarnya.

Kritik juga ia lontarkan ke Kementerian Usaha Kecil dan Menengah serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Menurut dia, ketika UMKM menjadi bumper saat krisis, tapi faktanya saat ini UMKM mandul. Banyak sekali UMKM yang kolaps tanpa ada kehadiran pemerintah. Sementara itu, Bappenas dinilai tak mampu menerjemahkan Nawa Cita dan program prioritas.

“Kami harapkan Bappenas mampu terjemahkan Nawa Cita, organisir, dan padukan program-program yang dilakukan kementerian. Nyatanya, sejumlah kementerian jalan sendiri-sendiri, nggak fokus. Hasilnya seperti ini, tak ada hasil yang optimal,” tuturnya.



Belum Panen

Catatan satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK, juga datang dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wakil Ketua DPR, Agus Hermanto, mengatakan, rakyat melihat adanya dinamika tertentu di internal pemerintah dan kekuasaan.

"Terlihat nyata adanya hubungan yang tidak mudah di antara key players dalam lingkar kekuasaan, yang menghambat soliditas dan efektivitas pekerjaan pemerintah secara keseluruhan," kata Agus ketika ditemui VIVA.co.id di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2015.

Menurut politisi Partai Demokrat ini, publik juga mencermati kemelut yang terjadi di beberapa partai politik. Publik melihat adanya intervensi dari pemerintah terhadap kemelut itu.

"Hal begini tidak seharusnya terjadi, karena pemerintah seharusnya menghormati kedaulatan dan otonomi partai-partai politik serta tidak mencederai nilai-nilai demokrasi serta ketentuan perundang-undangan yang harus kita junjung tinggi," ujarnya.

Selain itu, hal lain yang membuat kepercayaan publik berkurang adalah benturan antara penegak hukum, yaitu KPK dengan Polri di awal-awal pemerintahan. Walaupun akhirnya bisa diatasi, penanganan dari Jokowi kurang cepat dan berlarut-larut.

Politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon menilai, popularitas Presiden Jokowi menurun, karena banyak janji yang tidak ditepati. Bahkan, menurut dia, ada janji-janji yang dilanggar oleh Jokowi sendiri.

“Jokowi janji jaksa agung akan ditempati orang bukan dari parpol, faktanya malah diangkat dari kader partai. Janji akan hanya ada di kantor 1-2 jam, faktanya tidak demikian. Membuka 15 juta lapangan kerja baru, faktanya saat ini justru banyak rakyat kena PHK, malah impor ribuan buruh asing,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 21 Oktober 2015.

Untuk itu, ia meminta agar Jokowi tak terlalu banyak mengumbar janji. Ia menyarankan agar Jokowi mengerjakan hal-hal yang lebih konkret terlebih dahulu.

Wakil Ketua DPR ini juga menyoroti internal kabinet yang dinilainya kerap menjadi hambatan dalam menjalankan roda pemerintahan. Fadli menilai, Presiden Jokowi tidak mampu membangun tim yang baik.

“Kurangnya kepemimpinan dan gagal membangun tim yang berkualitas dalam kabinet. Jadi lambatnya pemerintah karena hambatan internal,” kata Fadli.

Namun, pendapat berbeda disampaikan Adian Napitupulu. Anggota dewan asal PDIP ini mengatakan, rapor Jokowi tak seburuk yang disampaikan orang. Pria yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis ini menyatakan, Presiden Jokowi pantas mendapatkan nilai delapan.

Mahasiswa Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar berunjukrasa memperingati setahun pemerintahan Jokowi-JK, Selasa (20/10/2015). Foto: ANTARA/Yusran Uccang

“Rata-rata (nilai Jokowi) delapan. Tapi, rapor pimpinan DPR, merah semua,” ujar Adian kepada VIVA.co.id, Rabu, 21 Oktober 2015.

Pembelaan juga disampaikan mantan Sekretaris Seknas Jokowi, Dono Prasetyo. Ia mengatakan, meski banyak program yang belum terealisasi, tapi menurut dia, Jokowi masih "on the track". Ia mengakui, Jokowi belum bisa berbuat banyak dalam bidang ekonomi.

Namun, Jokowi mampu mempercepat pembangunan infrastruktur. Menurut dia, menurunnya popularitas Jokowi merupakan konsekuensi dari sejumlah keputusan tak populis yang diambil Jokowi, seperti mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter.

Relawan Jokowi ini mengatakan, kerja Jokowi tak mungkin bisa dirasakan dalam satu tahun masa pemerintahan. Menurut dia, minimal butuh tiga hingga empat tahun, baru kinerja Jokowi bisa dirasakan hasilnya. Meski demikian, Dono mengkritik komunikasi pemerintah yang buruk.

Menurut dia, Jokowi harus memperbaiki pola komunikasi Istana dan pemerintah. Sebab, komunikasi yang buruk membuat publik bingung dengan kebijakan pemerintah. Selain itu, Jokowi diminta hati-hati jika akan membuat kebijakan.

“Jika tak hati-hati, Jokowi bisa dipersoalkan karena dianggap melanggar undang-undang,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 21 Oktober 2015.

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki tak menyangkal, kinerja Jokowi dalam satu tahun pemerintahan memang belum bisa dirasakan masyarakat. Menurut dia, tahun pertama, pemerintah fokus membangun fondasi yang kuat. Menurut dia, pemerintah ingin membangun fondasi ekonomi yang kuat.

“Misalnya, inefisiensi ekonomi kita pangkas, pengalihan subsidi BBM, dan memangkas birokrasi perizinan yang rumit,” ujar Teten kepada VIVA.co.id, Rabu, 21 Oktober 2015.

Selain itu, pada tahun pertama, pemerintah sibuk konsolidasi politik, birokrasi, dan pembangunan infrastruktur sekaligus mengubah mindset atau revolusi mental. “Tahun ini memang tahun sulit, tapi kita gunakan untuk membangun fondasi. Tahun ini memamg belum panen,” ujarnya.

Menurut dia, Presiden berulangkali mengatakan, tahun ini memang pahit. Teten mengatakan, pencabutan subsidi BBM membuat kelas menengah tidak senang. Sementara itu, di sisi lain terjadi perlambatan ekonomi.

“Justru dalam kondisi ini pemerintah sekarang sedang betul-betul mengubah kondisi tersebut,” dia menambahkan.

Teten mengakui, popularitas Jokowi juga rontok akibat konflik KPK–Polri dan rencana revisi UU KPK. Namun, Teten memastikan, Presiden Jokowi tidak akan merevisi UU KPK. Menurut dia, revisi akan dilakukan jika untuk memperkuat KPK, bukan melemahkan.

“Karena itu, Presiden meminta, bicarakan ide tentang revisi ini dengan para ahli hukum dan pegiat antikorupsi, akademisi serta sebagainya. Tapi, tidak ada keinginan melemahkan KPK.”

Hari beranjak sore. Puluhan orang yang menggelar aksi unjuk rasa berangsur-angsur pulang. Mereka meninggalkan kawasan depan Istana dengan jalan kaki atau naik bus metromini. Namun, para polisi masih tetap berjaga dan bersiaga di depan Istana. Juga Barracuda dan ‘Water Cannon’ serta motor trail yang menemani mereka.