Putri nan Malang dan Tanah Bermain yang Hilang
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Gubuk kecil berdinding triplek dan beratap seng di pinggiran Perumahan Citra Garden I, kampung Rawalele, Kalideres, Jakarta Barat kini digaris polisi. Griya itu sudah kosong.
Dulu, menjadi tempat berkumpul Geng Boel Tacos pimpinan Agus Darmawan yang anggotanya anak laki-laki dan perempuan berusia 14 tahun ke bawah. Mereka berkumpul, bercanda hingga menghisap shabu dan ganja di usia yang masih belia. Berkumpul sampai larut malam, bahkan hingga pagi hari.
Warga setempat bukan tak tahu. Tapi mereka membiarkan. Seperti tak khawatir anak-anak itu bergaul dengan residivis narkoba. Tapi dari sinilah, petaka itu dimulai.
Jumat, 2 Oktober 2015, pukul 22.30 WIB, warga di Jalan Sahabat, Gang Kampung Belakang RT 06/05, Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, dikejutkan penemuan jasad bocah perempuan. Sadis, mayatnya dimasukkan ke dalam kardus dengan tangan dan kakinya ditekuk dan diikat lakban. Mulut dan kemaluan bocah itu mengalir darah segar.
Esoknya, Sabtu, 3 Oktober 2015, giliran warga di Kampung Rawalele yang lokasinya 6 kilometer dari penemuan mayat gempar. Bocah dalam kardus adalah Putri Nur Fauzia (PNF) yang sempat dicari kedua orangtuanya, Asep Saepulloh dan Ida Fitriani. Mereka kehilangan bocah kelas 2 SDN 05 Kalideres itu sejak Jumat 2 Oktober 2015.
Sontak kejadian ini menjadi menyedot perhatian masyarakat. Polisi saban hari siang dan malam mengungkap siapa yang tega memperkosa dan membunuh Putri. Tak kurang dari 200 polisi dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Barat dan Polsek Kalideres dikerahkan.
Sempat menemui jalan buntu karena minimnya saksi dan alat bukti. Tapi, pada Jumat 9 Oktober 2015, setelah 5 hari diperiksa akhirnya salah satu saksi Agus Darmawan mengaku telah membunuh Putri. Agus mengaku setelah disodori berbagai bukti yang mengarahkannya menjadi tersangka.
Agus Darmawan adalah pemilik warung yang dijadikan gubuk tempat berkumpulnya Geng Boel Tacos. Di dinding pagar pembatas antara perumahan Citra Garden 1 dan Kampung Rawalele, masih ada guratan spidol hitam bertuliskan Bul Tancos.
Nama Boel Tacos, jadi beken setelah diungkap Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Polisi Krishna Murti, dari pengakuan anak-anak yang menjadi saksi dalam kasus ini. "Mereka mengumpulkan uang Rp20 ribu sampai Rp50 ribu untuk membeli ganja dan sabu,” ujar Krishna.
Tak heran jika banyak anak-anak mau bergabung dengan Agus. Sebab, gubuknya itu berada di lapangan kosong tempat mereka bermain. Terlebih Agus terkenal royal dan suka memberikan mereka jajanan. Tak ada orangtua yang curiga Agus membawa petaka.
Kampung Rawalele memang kampung padat dengan kondisi jalan dan gang yang sempit. Jalan-jalan kecil di kampung ini hanya bisa dilalui satu motor. Nyaris tak ada lahan tersisa untuk anak-anak bermain. Hanya ada dua lokasi di mana mereka bisa bermain. Di dekat gubuk Agus, dan satu lagi di kuburan. Di kuburan Kober, mereka bermain bola tanpa takut kakinya tersandung batu nisan.
Tanah yang dipakai untuk gubuk Agus, sejatinya akan segera dijadikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Sepekan sebelum peristiwa pembunuhan bahkan lurah dan camat setempat telah melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan warga setempat untuk rencana pembangunan itu.
Menurut warga setempat, gubuk itu didirikan oleh ayah tiri Agus. “Haji Heri (ayah tiri Agus) itu orang gedongan (kaya), pegawai Citra (Ciputra Land),” kata Dadang, Ketua RT 04 Rawalele kepada VIVA.co.id, Kamis, 15 Oktober 2015.
Haji Heri adalah salah satu orang yang berperan penting dalam pembebasan lahan di Rawalele untuk dijadikan perumahan Citra Garden pada tahun 1980-an.
Orangtuanya sengaja membuatkan warung itu untuk Agus, bukannya karena tak sayang atau sengaja membuang anaknya. Tapi, karena Agus punya sifat yang unik, dan suka menyendiri serta senang bergaul dengan anak-anak.
Partini, seorang warga, juga mengakui, anak-anak terutama yang berusia mulai 10 hingga 16 tahun sering berkumpul di sana.
"Tiap hari di sana, sampai malam, begadang, orangtua sebenarnya tidak suka. Tapi, ya, tetep aja karena Agus itu disenangi anak-anak," katanya.
Kakak Putri, bernama Arya pun sering berkumpul dengan geng besutan Agus. Mahfum, Arya kerap membantu Agus melayani pembeli di warungnya itu. Putri pun beberapa kali pernah ke gubuk Agus untuk bertemu dengan kakaknya.
Meski tak suka, warga memilih membiarkan. Tak ada yang menduga, dari lahan bermain yang sangat sempit itulah kisah tragis Putri terkuak. Ternyata Putri bukan satu-satunya korban. Ada korban lain yakni T, siswa kelas 5 SDN 14 Sore Kalideres, yang gedungnya sama dengan SDN 05 yang menjadi korban pencabulan. Bahkan ada korban lainnya berinisial Y sempat hamil.
Sempitnya Ruang untuk Anak
Kasus Putri merupakan tanya. Begitu sempitkah ruang gerak dan kebebasan bagi anak negeri ini? Begitu sedikitkah lahan yang tersedia hingga anak tak leluasa mengekspresikan dirinya? Lahan yang sempit hingga membuat anak kekurangan tempat bermain ditengarai membantu maraknya angka kekerasan dan kejahatan pada anak.
Jakarta memang kekurangan lahan bermain yang layak untuk anak. Terutama di perkampungan padat penduduk, seperti Rawalele. Kondisi ini ditengarai sebagai salah satu pemicu terjadinya kekerasan dan kejahatan seksual anak. Lahan sempit membuat anak terlalu sering berbaur dengan orang dewasa, seperti yang terjadi di gubuk milik Agus.
Dari persinggungan yang terus terjadi dengan orang dewasa itulah muncul kemungkinan terjadinya kasus yang membahayakan anak. Seringnya anak bersinggungan dengan orang dewasa menimbulkan rasa percaya pada orang dewasa, sehingga anak menjadi lengah.
Psikolog dan Family Coach Ferlita Sari S.Psi, M.Psi, mengatakan kasus perkosaan dan pelecehan seksual pada anak biasanya dilakukan oleh orang dekat.
"Anak-anak biasanya masuk perangkap karena sudah mengenal dan percaya pada pelakunya," katanya saat dihubungi oleh VIVA.co.id, Jumat, 16 Oktober 2015.
Kekurangan lahan bermain tak hanya terjadi di permukiman. Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay bahkan mengatakan ruang bermain untuk anak, khususnya di kota besar, memang hampir tidak ada.
Menurut dia, jangankan di tempat seperti taman kota, area sekolah pun kini tidak memiliki ruang bermain yang memadai.
"Jangankan tempat seperti city park, ruang bermain di sekolah saja sudah jarang sekali, paling cuma ada lapangan basket yang begitu-begitu aja," kata Saleh ketika berbincang dengan VIVA.co.id.
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi lewat fisik, tapi juga dalam bentuk ketidaktersediaan ruang untuk mengekspresikan diri. Padahal katanya, dalam pemikiran filsuf Jerman, Jurgen Habermas, salah satu syarat negara demokratis dan modern adalah tersedianya ruang publik itu.
"Harus ada publicsphere itu, ruang publik. Di mana orang-orang bisa mengekspresikan eksistensinya, termasuk anak-anak. Ruang itu harus ada, diberikan gratis oleh negara untuk warga negara. Di Jakarta banyak tempat tapi bayar. Orang bisa renang, main bola. Itu kan banyak yang mahal-mahal tuh," ujarnya.
Senada dengan Saleh, Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Indonesia, Ali Aulia Ramly mengatakan, kebutuhan ruang dan sarana rekreasi umum menjadi permintaan dasar anak-anak dan remaja.
“Dalam konsultasi regional yang dilaksanakan oleh wakil sekjen PBB untuk kekerasan terhadap anak beberapa tahun lalu, anak-anak dan orang muda yang terlibat meminta agar pemerintah berkomitmen untuk membangun ruang dan sarana rekreasi umum, di mana anak dan remaja dapat mendorong kedamaian dan mencegah serta mengurangi kekerasan terhadap anak,” kata Ali kepada VIVA.co.id.
Ali juga menyebutkan, di beberapa negara, taman dan ruang publik dikembangkan untuk memberi ruang bagi anak dan remaja untuk beraktivitas, bersosialisasi, belajar bersama, dan memiliki kegiatan yang positif serta tidak terlibat kegiatan yang buruk dan mendorong kekerasan.
Namun, ketersediaan lahan bermain atau ruang terbuka publik yang ramah anak itu ternyata bukan satu-satunya solusi untuk menekan angka kekerasan dan kejahatan pada anak. Masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk melindungi dan menjaga anak-anak.
"Rasa kebahagiaan setiap anak merupakan aspek yang harus diutamakan. Sebab, dari ruang terbuka tersebut timbul pemahaman anak, orang tua, dan lingkungan sekitar," ujar Fernandez Hutagalung, Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kepada VIVA.co.id.
Fernandez lebih mengutamakan kebersamaan dan kedekatan keluarga dan publik melalui Ruang Terbuka Publik Ramah Anak (RTPRA). Menurut dia, area publik yang terbuka bagi siapa saja bisa memunculkan interaksi dengan keluarga dan warga sekitar. Interaksi yang intens bisa memudahkan warga saling mengawasi dan mengamati satu sama lain.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama juga menekankan hal yang sama. Bagi Ahok, menyediakan RTPRA sudah menjadi programnya.
“Kami harus sediakan sebanyak-banyaknya RPTRA. Itu aja. Supaya anak-anak punya teman dan ada yang memperhatikan serta mengenali. Kan aneh kalau di dekat rumah kamu ada taman, tapi ada yang enggak tertarik untuk bermain," kata Ahok.
Jika ada yang tidak tertarik, kata Ahok, pengurus RT dan RW harus lapor. "Kami akan mulai datangi rumah itu. Tanya kenapa anaknya? Apakah ada KDRT di rumahnya? Atau mungkin sakit, mungkin dipukulin," ujar Ahok.
Tak hanya menyediakan RTPRA, Ahok juga bersiap memberdayakan ketua RT/RW di seluruh Jakarta untuk menjadi pengawas utama bagi warganya. Ahok menginginkan, seorang ketua RT harus tahu persis kebutuhan warganya.
Tahun ini, DKI Jakarta akan memiliki 63 RTPRA. Sementara itu, tahun depan, angkanya melonjak drastis menjadi 150 area.
Tak hanya Jakarta, Bali yang pernah mencuat dengan kasus pembunuhan Engeline juga bergerak untuk membuka sebanyak-banyaknya ruang publik terbuka yang ramah anak.
I Ketut Teneng, Karo Humas dan Protokol Pemprov Bali mengatakan, pemerintah telah menyiapkan banyak area. “Di tiap desa di kabupaten/kota di Bali kami memiliki ruang bermain untuk anak. Di beberapa daerah, di banjar-banjar juga sudah ada ruang bermain untuk anak,” katanya.
Namun, I Ketut Teneng juga menekankan pentingnya interaksi anak dan orang tua, juga pengawasan orang tua kepada anak untuk membantu menekan angka kekerasan dan kejahatan pada anak.
Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf mengatakan, pihaknya berjanji akan membenahi persoalan ini di seluruh kota dan kabupaten di wilayahnya. Dia mengakui masih minimnya ruang bermain untuk anak di area yang ia pimpin. Namun, bukan berarti mereka tak memperjuangkan sesuatu.
Kesadaran untuk memberi area publik yang layak untuk anak makin mengemuka. Memang belum menjadi jaminan, ketersediaan lahan terbuka yang memadai akan serta merta menurunkan angka kekerasan dan kejahatan pada anak.
Namun setidaknya, ketersediaan ruang publik yang layak dan aman bagi anak-anak dan keluarga bisa menjadi tempat mereka melepas penat dan lelah serta berinteraksi dengan tetangga.
Anak-anak bisa bermain dengan leluasa, dan tetap dalam pengawasan orang tua.
Seperti yang ditekankan Gubernur DKI, RPTRA bisa menjadi pusat untuk masyarakat berkumpul di tengah kota.
“Ini mesti kita pikirkan. Jangan sampai Jakarta, kota yang begitu besar, makanan berlimpah, orang pintar melimpah, tapi enggak ada yang peduli saat ada anak menderita,” kata Ahok.
Area terbuka yang layak untuk publik, dan lahan bermain yang layak serta ramah anak, mungkin tak akan pernah dirasakan oleh Putri. Namun kepergiannya menyisakan pekerjaan besar agar pemerintah berkaca. Segera sediakan area terbuka ramah anak, agar tak ada lagi Putri lain yang menjadi korban kekejian orang dewasa.