Karena Tambang Nyawa Melayang
- VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
VIVA.co.id - Hari masih pagi. Jarum jam masih menunjuk pukul 10.00 WIB. Namun, keramaian sudah tampak di rumah almarhum Salim. Belasan orang terlihat keluar masuk rumah berdinding putih yang terletak di Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur ini. Sementara itu, puluhan polisi tampak berjaga-jaga di sekitar rumah.
Rumah berukuran 4x4 ini tak pernah sepi sejak media massa ramai memberitakan pembantaian pria yang akrab disapa Salim Kancil tersebut. Belasan orang dari beragam latar belakang, silih berganti menyambangi rumah yang tak seberapa besar ini. Tijah, istri almarhum, tak lelah menjelaskan perihal sosok suaminya dan bagaimana dia menemui ajal.
Tijah menggunakan salah satu ruang di rumahnya untuk menerima para tamu. Tak ada meja dan kursi di ruangan yang berbentuk L ini. Hanya ada tikar yang digelar.
Namun, itu tak menyurutkan semangat para tamu yang datang. Di ujung ruangan ada sebuah televisi tabung yang terus memutar tayangan salah satu televisi berita nasional, yang rutin menyiarkan kasus pembunuhan Salim Kancil.
Abdul Hamid, salah satu anggota Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar menemani Tijah. Ia seolah menjadi juru bicara keluarga dan menjadi penunjuk jalan bagi tamu yang masih awam terkait kasus pembunuhan Salim dan penganiayaan Tosan. Juga, terkait latar belakang kasus tersebut.
Safari dan Mulyadi, kerabat Salim yang sempat menerima ancaman pembunuhan juga tampak di antara mereka.
Istri Salim Kancil (kanan) menemui para tamu di rumahnya. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
***
Kematian karena Menolak Tambang
Tragedi kematian Salim Kancil masih segar dalam ingatan S. Warga yang mengurus ternak Salim ini tak lupa, bagaimana Salim diseret dan disiksa.
Kala itu, dia sedang sibuk dengan kambing dan sapi milik Salim yang diikat di halaman belakang rumah Salim. Sementara itu, Tijah sedang mencari rumput untuk pakan ternak.
“Tijah sudah keluar mencari rumput sebelum saya tiba,” kata S kepada VIVA.co.id, Rabu 30 September 2015.
Ketika menuju rumah Salim, S melihat tuannya sedang diseret beramai-ramai. “Salim tangannya dipegang banyak orang. Yang lain bergantian memukuli, ketika saya dekati, Salim bilang, nitip anakku, aku akan mati hari ini,” kata S menirukan pesan Salim.
Karena takut akan keselamatan dirinya, S bersembunyi di tepian sungai dan tidak mengikuti rombongan orang yang membawa Salim. “Saya kan masih saudara Pak Salim. Saya juga takut. Jadi, saya pulang ke rumah Salim dan langsung ke sungai,” ujarnya mengenang.
Salim digelandang ke Balai Desa Selok Awar-Awar dan disiksa di sana. Ia terus dipukuli dengan kondisi tangan terikat. “Waktu rekonstruksi, Salim disetrum kemaluannya. Dipukul pakai batu di seluruh badannya,” kata Tijah dengan suara lantang.
Usai disiksa beramai-ramai, jasad Salim yang masih bernapas dibawa ke jalan sepi dekat tempat pemakaman umum setempat. Di sana, di tengah hutan jati, Salim masih dipukuli bertubi-tubi dengan batu hingga meregang nyawa. Kemudian, jasad Salim dibiarkan begitu saja, teronggok di tengah jalan.
Pendopo balai desa Selok Awar-Awar tempat Salim Kancil dianiaya. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
***
Petani Kecil
Salim lahir dari keluarga petani. Ia dikenal sebagai pekerja keras. Bersama sekitar 40 warga, ia mulai bertanam padi di pesisir Pantai Watu Pecak pada tahun 1980an.
Kala itu, kawasan pesisir masih berupa rawa dengan kedalaman hingga dada orang dewasa. Salim dengan tekun menyeret pasir untuk menimbun rawa menjadi lahan yang bisa ditanami padi. Total terdapat 10 hektare lahan di pesisir Watu Pecak yang berubah menjadi lahan persawahan.
Namun, kondisi itu berubah sejak penambangan pasir di pesisir terus berkembang. Pasir yang menjadi pembatas antara laut dan sawah semakin terkikis habis. Imbasnya, sawah semakin sering terendam air laut. Dampaknya, panen sering gagal.
Tijah mengatakan, lebih dari dua tahun terakhir, suaminya dan petani lain sering gagal panen. Berbagai upaya dilakukan Salim untuk memperjuangkan nasib keluarga dan puluhan petani lainnya. Mereka berupaya meminta ganti rugi terkait rusaknya sawah dan hilangnya mata pencaharian mereka.
“Pak Salim bertanya, ke mana hasil parkir, portal, dan tambang. Apa warga tidak dapat ganti rugi. Dia bertanya pada kades yang mengelola tambang. Tapi, oleh kades ia diminta bertanya ke kepala pengamanan desa. Tapi, dikembalikan lagi ke kades. Pak Salim merasa seperti jadi pengemis,” ujar Tijah dengan suara bergetar.
Penambangan pasir semakin meresahkan para petani. Setiap hari, ada sekitar 300 truk yang lalu lalang di jalanan desa. Tak hanya lahan persawahan dan jalanan yang rusak, kecelakaan juga kerap menimpa warga. Sementara itu, di Pantai Watu Pecak semakin banyak kubangan bekas penambangan.
Pantai Watu Pecak yang rusak akibat tambang pasir liar. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
“Suami saya menuntut penutupan tambang, walaupun dia tak punya sawah. Karena, dia tak ingin anak sekolah kena truk dan lingkungan rusak,” kata Ati Haryati, istri Tosan, warga yang ikut dianiaya hingga nyaris meregang nyawa.
Resah dengan kondisi itu, Salim dan 11 warga lain, termasuk Tosan, menginisiasi lahirnya Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar pada Januari 2015. Tujuan mereka hanya satu, menutup penambangan pasir ilegal.
Ada petani yang resah lantaran sawahnya tak bisa dipanen, ada yang merasa terganggu dengan lalu lalang truk pasir, dan ada juga yang ingin menuntut transparansi, lantaran uang pengelolaan tambang pasir tak pernah jelas ke mana mengalirnya.
Selain itu, ada yang tak suka melihat pesisir rusak akibat penambangan. Mereka melaporkan perihal penambangan ilegal itu kepada camat hingga bupati Lumajang.
Namun, upaya itu tak membuahkan hasil. Pada 9 September, warga menggelar aksi damai dengan menghentikan truk pasir di Balai Desa setempat.
Saat itu, forum menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain menuntut penambang memindahkan semua alat berat di pantai, menghentikan kegiatan penambangan, meminta transparansi uang hasil penambangan serta transparansi pungutan di portal pantai.
Sehari usai aksi, ancaman diterima oleh sejumlah anggota forum. Keluarga Tosan mengatakan, ada sekitar 20 orang bersenjata celurit dan membawa peledak jenis bondet yang mengancam akan membunuh Tosan dan istrinya, jika tak berhenti melakukan aksi menolak penambangan pasir.
Kondisi serupa juga dialami keluarga Salim. Saat itu, Salim bahkan sempat dipukul oleh sekelompok orang yang diduga dibayar oleh pengelola tambang.
Kediaman Tosan di Desa Selok Awar-Awar. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
Forum melaporkan ancaman itu ke polsek setempat yang kemudian dilempar ke Polres Lumajang pada 11 September. Laporan diterima langsung oleh kasat Reskrim Polres Lumajang dan polisi berjanji akan menindaklanjuti.
Ada delapan nama pelaku pengancaman yang dilaporkan. Mereka diduga sebagai orang kepercayaan kades. Pada 21 September, forum mengirim surat pengaduan terkait penambangan ilegal yang diduga dilakukan oknum aparat Desa Selok Awar-Awar di daerah hutan lindung ke Perhutani.
Mereka juga berencana kembali menggelar aksi pada 26 September 2015. Namun, aksi tersebut urung dilakukan. Sebab, Salim dan Tosan keburu diculik dan diseret oleh sekelompok orang pada 26 September pagi sekira pukul 07.00 WIB.
***
Penambangan di Rembang
Salim Kancil tak sendiri. Di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, warga juga melakukan perjuangan yang sama. Warga menolak penambangan untuk bahan baku semen yang dianggap mengancam kelangsungan hidup mereka.
Warga menolak rencana pembangunan pabrik semen di Kecamatan Bulu dan Gunem, Rembang. Mereka keukeuh menolak keberadaan pabrik Semen Indonesia.
Meski sempat kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, warga tak patah arang. Mereka melawan dengan mengajukan upaya banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya.
Selain menempuh jalur hukum, warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Pegunungan Kendeng (JMPK) juga melakukan berbagai cara guna menentang berdirinya pabrik semen. Meski, pembangunan sudah mencapai 60 persen dan akan selesai pada Oktober tahun depan.
Koordinator JMPK Joko Priyanto (32) mengatakan, warga yang menolak pabrik semen masih terus menyosialisasikan keberadaan pabrik semen yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan.
"Sampai kapan pun kami akan tetap menolak," ujar warga Tegaldowo, Kecamatan Gunem Rembang ini kepada VIVA.co.id, Rabu, 30 September 2015.
Selain kerusakan lingkungan, warga khawatir, beroperasinya pabrik semen akan mengancam penghidupan warga. "Manusia tidak bisa hidup dengan alam yang rusak. Ketika pabrik semen berdiri, akan 'membunuh' generasi kami, yang tidak akan bisa hidup di situ," dia menambahkan.
Perjuangan warga bukan tanpa hambatan. Pada November tahun lalu, warga yang menggelar aksi unjuk rasa menolak pabrik semen bentrok dengan aparat keamanan. Seorang ibu-ibu bahkan terluka dalam insiden tersebut.
Selain itu, warga Desa Trimbangan pernah didatangi sekelompok preman bersenjata. Tanpa alasan yang jelas, para preman itu mengancam warga. "Saya lupa tanggalnya. Tapi itu malam-malam. Kami didatangi preman bawa pedang,” kata dia.
Demonstrasi penolakan pabrik semen di Rembang. Foto:
ANTARA/R. Rekotomo
***
Gara-gara Tambang
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan, yang menimpa Salim dan Tosan serta warga Rembang hanya sebagian kecil dari kasus pertambangan di Indonesia. Manajer Emergency Response Jatam Ki Bagus Hadikusuma mengatakan, dari 2012-2104 ada hampir 580 kasus kekerasan di sektor pertambangan dan memakan korban nyawa 71 orang.
Menurut dia, pemerintah harus menyelesaikan akar persoalan dari banyaknya sengketa dan konflik akibat pertambangan. Sebab jika tidak, kasus yang sama akan kembali terjadi.
“Ke depan akan muncul Salim Salim lain. Ketika masyarakat ada yang buat gaduh, ya dilibas,” ujar Ki Bagus Hadikusuma kepada VIVA.co.id, Rabu, 30 September 2015.
Ia mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus turun tangan. Karena, penolakan masyarakat terkait dengan ancaman kerusakan lingkungan yang terjadi karena tambang.
Ki Bagus menjelaskan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seharusnya juga turun tangan melakukan audit lingkungan di Lumajang, terutama di pesisir selatan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga diminta turun tangan guna melakukan audit perizinan. Sebab, obral perizinan diduga marak di berbagai wilayah. “Jadi, jelang pilkada ada obral perizinan dan gratifikasi. Karena, industri ekstraktif jadi potensi yang besar untuk dana kampanye,” ujar Ki Bagus.
Pendapat senada disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Lembaga Swadaya Masyarakat yang perhatian dengan isu lingkungan ini menyatakan, tambang selalu menjadi pemicu konflik. Walhi dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dari 472 kasus, 3 persennya merupakan sengketa pertambangan.
Suasana jalan menuju kediaman Salim di Desa Selok Awar-Awar. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
“Tambang ini termasuk suplai konflik yang cukup besar,” ujar Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, Muhnur Satyahaprabu, kepada VIVA.co.id, Rabu, 30 September 2015.
Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia membenarkan, pertambangan memicu terjadinya konflik. "Banyak sekali. Hampir di seluruh Indonesia terjadi konflik. Masalahnya, pemerintah kita tidak mengurus tambang. Dia hanya mengurus pengusaha," ujar Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia, Gatot Sugiharto, kepada VIVA.co.id, Kamis, 1 Oktober 2015.
Menurut dia, banyak pertambangan yang dilakukan tanpa persetujuan dari masyarakat. Misalnya, ada yang tiba-tiba menambang di depan sawah. "Pengusaha merasa sudah mendapatkan izin, sedangkan rakyat tidak mendapatkan informasi kalau lahannya menjadi lokasi pertambangan," kata Gatot.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkritik aparat keamanan yang tak mampu memberikan jaminan keamanan terhadap warga yang menolak tambang. Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Nurlaila, mengatakan, telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan Salim dan penganiayaan Tosan.
“Kasus ini terulang, berarti menunjukkan bahwa negara tidak hadir. Padahal, masyarakat sudah melapor sebelum terjadi pembunuhan itu bahwa mereka menerima ancaman. Kalau laporan masyarakat direspons oleh kepolisian, tentu penganiayaan nggak akan terjadi. Peristiwa itu menunjukkan aparatur tidak melindungi masyarakat,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 30 September 2015.
Hari menjelang sore. Namun, rumah mendiang Salim masih dipenuhi tamu yang datang dari Pasirian dan Lumajang. Polisi juga masih tampak berjaga. Hal serupa juga terlihat di kediaman Tosan. Rumah sederhana dengan dinding anyaman bambu itu tebuka lebar tanpa daun pintu dengan garis kuning di sekeliling rumah.
Polisi juga berjaga di Balai Desa Selok Awar-Awar. Di pendopo Balai Desa banyak berjajar kasur lipat milik polisi yang digunakan untuk istirahat di kala malam.
Di ujung bangunan, berlantai keramik putih, tepat di bawah lambang Garuda yang diapit foto Presiden dan Wakil Presiden RI, masih tercecer bercak darah milik Salim yang sudah mengering. Ceceran darah ini seolah menjadi bukti, bagaimana Salim disiksa hingga mati.
Lilis Khalisotussurur turut melaporkan