Korban Layar Kaca
- VIVA.co.id/http://www.dw.de
VIVA.co.id - Sepeda kecil itu tampak teronggok di pinggir jalan. Kereta angin tersebut disandarkan begitu saja di pagar sebuah taman yang terletak di pinggir gang.
Cat warna merah yang menghiasi sepeda ini sudah mulai pudar dimakan usia. Debu tipis terlihat menempel di sekujur rangka dan seluruh bagian sepeda.
Carissa (25) tampak nanar melihat sepeda tersebut. Matanya masih terlihat sembap dengan garis hitam di bawahnya. Ibu muda ini baru saja kehilangan anak bungsunya berinisial A (8), pemilik sepeda warna merah yang teronggok di pinggir taman tersebut.
A meregang nyawa setelah dianiaya R (8), teman sekelasnya di SDN 07 Pagi Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan. Siswa kelas dua SD tersebut mengembuskan napas terakhir usai dihajar R saat mereka tengah ikut lomba menggambar di sekolahnya, Jumat, pekan lalu.
Carissa tak sendirian. Ia ditemani mertua dan sejumlah tetangganya. Mereka duduk di depan rumah yang tak seberapa besar, milik keluarga yang sedang dirundung malang ini.
Tak ada yang istimewa dari rumah berukuran 3x4 meter ini. Selain ada loteng di atasnya, sejumlah perabotan tampak berjejal di dalam ruangan. Sementara itu, beberapa helai pakaian dan mainan terlihat menumpuk di atas lantai semen.
Dinding rumah terlihat kusam dengan cat yang mulai memudar. Pintu rumah juga langsung bertemu dengan gang yang melintasi permukiman padat penduduk di Jalan Delman Utama Nomor 62 RT 009/012 Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan ini.
Awalnya, Carissa tampak enggan ketika didekati. Ia mengaku sudah malas membicarakan kematian anaknya. Menurut dia, hal itu sudah terjadi dan ia tak ingin mengungkitnya lagi.
“Awalnya saya emosi. Tapi, ya, sudahlah kami terima saja, sudah takdirnya. Enggak karena berantem pun, kalau sudah ajalnya anak saya, tetap meninggal juga,” ujar Carissa kepada VIVA.co.id yang menyambangi rumahnya, Rabu, 23 September 2015.
Ia mengaku belum bisa melupakan A. Sebab, ia yang tiap hari mengantar anak keduanya tersebut ke sekolah. Menurut Carissa, A tak suka menonton televisi. A juga tak suka main video game atau playstation. Bungsunya itu lebih suka main sepeda dengan teman-teman sebayanya.
Meski mengaku ikhlas, Carissa dan suaminya tetap menuntut agar kematian anaknya ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Ia tak ingin jatuh korban lagi. Carissa berharap, R berubah dan tak melakukan kekerasan serupa.
“Biar dia nggak bandel lagi. Ya, diapainlah terserah polisi. Nanti kalau dia besar tetap gitu gimana. Ada lagi korban kayak A nanti. Makanya kami tetap lanjutkan ke polisi,” tuturnya.
Minim Pengawasan
Kepala SDN 07 dan wali kelas A dan R tak bisa dimintai keterangan terkait keseharian dua anak didiknya tersebut.
Seorang guru SDN 07, Hidayat, mengatakan, pihak sekolah sudah mengawasi saat lomba menggambar. Ia menjelaskan, murid kelas 1, 2, dan 3 mengikuti lomba menggambar itu. Murid yang ikut sekitar 100 orang.
Menurut dia, kejadiannya sangat cepat. Tiba-tiba A sudah tersungkur dan tidak terlihat oleh guru yang mengawasi.
“Wajarlah, kami kan manusia biasa juga. Kejadiannya cepat sekali, di luar kuasa kami, tahu-tahu A sudah terkapar,” kata Hidayat kepada VIVA.co.id, Rabu, 23 September 2015.
Menurut Hidayat, pada dasarnya A dan R berteman. A sering dibelikan jajan oleh R. Namun, karena masih bocah, keduanya memang kerap saling ledek. R kerap diledek gendut oleh A.
Selama ini, pihak sekolah menganggap perseteruan antara A dan R adalah hal yang biasa di kalangan anak-anak SD. “Kami tidak menyangka sama sekali. Selama ini, kami anggap wajar saja, biasalah anak-anak,” kata dia.
Kematian A mengejutkan publik. Karena, kali ini anak tak hanya jadi korban, namun juga pelaku. Apalagi, mereka baru menginjak kelas dua SD.
Pemerhati anak, Seto Mulyadi, mengaku sedih dan prihatin dengan kasus tersebut. Pria yang akrab disapa Kak Seto ini juga kecewa, karena kasus kekerasan tersebut terjadi di sekolah.
Menurut dia, jika ada gejala-gejala seorang anak memukul atau berantem, guru dan pihak sekolah seharusnya bertindak cepat, bukan menunggu ada yang luka atau meninggal.
“Jadi, ini merupakan tanggung jawab sekolah, karena kejadiannya di sekolah,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 23 September 2015.
Menurut dia, sekolah harus ramah anak. Upaya itu merupakan komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk itu, kepala Dinas Pendidikan atau Sub Dinas Pendidikan harus betul-betul mengontrol sekolah agar ramah terhadap anak.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, orang dewasa di sekitar anak berkontribusi mengajarkan kekerasan secara tidak langsung.
Selain itu, tayangan di televisi dan media sosial ikut berkontribusi. “Kami juga kerap dipertontonkan penyelesaian sesuatu dengan kekerasan. Di rumah, di ruang publik, ada yang saling pukul, saling membenci. Itu pemicu anak melakukan kekerasan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 23 September 2015.
Sementara itu, psikolog Universitas Indonesia, Winda Yustisia, menilai, kasus kekerasan anak yang kembali terjadi dan menelan korban sesama anak adalah masalah serius serta menjadi tanggung jawab semua pihak.
"Dalam hal ini yang paling berperan adalah orangtua. Kalau pihak sekolah yang harus tanggung jawab saya tidak setuju. Orangtua lah yang harusnya berperan aktif karena waktu anak lebih banyak dengan orangtua, bukan sekolah," ujarnya pada VIVA.co.id, Kamis 24 September 2015.
Menurut Winda, perilaku orangtua di rumah mencerminkan perilaku dan perkembangan anak. "Anak ini kan sifatnya masih meniru. Apalagi yang kita tahu, usia pelaku dan korban masih kelas 2 SD," dia menambahkan.
"Nah, usia-usia seperti itu sangat rentan. Apakah orangtuanya gampang marah dan sebagainya. Orangtua harus bisa jadi pedoman dan berperilaku baik di depan anak".
Winda mengatakan, kasus yang menimpa A menunjukkan lemahnya pengawasan dan pola didik. "Pihak sekolah lebih fokus pada sistem pengajaran, tidak pada aspek mendidik. Anak tidak diajarkan rasa empati, menahan emosi, rasa menghargai, dan sebagainya," ujarnya.
Selain pengaruh lingkungan dan pola asuh maupun cara didik yang kurang baik, Winda meyakini, aksi kekerasan bisa saja terjadi karena tidak tepatnya tayangan yang dikonsumsi oleh anak-anak.
"Bukan lagi media televisi, namun sekarang ini anak-anak juga cenderung hobi bermain game online. Nah, itu yang harus diawasi, lihat mereka main apa, berkawan dengan siapa, dan kalau ada yang aneh-aneh sebaiknya segera dibicarakan," ujar dia.
"Ajak anak berkomunikasi, dengan begitu, kita akan semakin dekat dan mengetahui masalah mereka".
Terus Meningkat
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kasus kekerasan anak bukan hanya meningkat dari sisi jumlah, namun juga intensitasnya. Saat ini, kekerasan anak bukan hanya pemukulan, bullying ringan, berantem kecil, gesekan antarsiswa, tetapi sekarang intensitasnya naik tidak wajar.
Misalnya, kekerasan yang mengakibatkan luka parah atau berujung kematian. Juga kekerasan yang sudah direncanakan. “Itu faktanya, kondisi saat ini sudah seperti itu. Ini sudah mengkhawatirkan. Karena tanpa kita sadari, anak sudah begitu akrab dengan kekerasan,” ujar Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti, kepada VIVA.co.id, Rabu, 23 September 2015
Menurut dia, saat ini kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Sebab, anak tak lagi sekadar menjadi objek, tapi sudah menjadi pelaku kekerasan. KPAI mengamati sembilan hal terkait kasus anak yang tersangkut masalah hukum.
Artinya, anak yang melakukan tindak pidana, baik menjadi pelaku, saksi, atau korban. Dari 2011 hingga 2014, jumlahnya kurang lebih enam ribu kasus. “Itu kasus tertinggi di KPAI. Itu artinya, 1.500 kasus anak per tahun. Kalau sehari berarti lima kasus anak yang terjadi. Artinya terus meningkat,” kata Maria.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menyampaikan hal senada. Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur, mengatakan, data nasional menunjukkan, kekerasan anak cukup masif terjadi.
Hasil survei prevalensi kekerasan pada anak selama 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Sosial, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, 1 dari 3 anak laki-laki mengalami satu bentuk kekerasan. Lalu, 1 dari 6 anak perempuan mengalami kekerasan.
Sementara itu, data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM per 7 Juli 2014, anak berstatus sebagai tahanan ada 2.062 orang. “Lalu, 3.736 anak berstatus sebagai narapidana. Bareskrim Polri mencatat sebanyak 1.727 perkara anak pada 2013. Ini yang masih proses. Kalau prosesnya selesai, dia akan masuk sebagai tahanan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 25 September 2015.
Penonton Segala
KPAI menyatakan, salah satu pemicu kekerasan anak adalah tayangan televisi. Banyak adegan film yang menampilkan kekerasan. Selain itu, internet ikut menyumbang. “Itu semua tidak ada filter. Anak kita bebas menonton apa saja. Anak itu penonton segala,” ujar Maria.
Menurut dia, televisi lebih berdampak ketimbang perilaku kekerasan yang dilakukan orangtuanya sendiri. Televisi itu di mana-mana, tiap rumah ada. Mungkin setiap rumah di Indonesia memiliki televisi, bahkan tidak satu. Tapi, di tiap kamar ada.
Bahkan, gadget sekarang juga tersambung dengan internet. “Artinya, ini faktor-faktor yang tidak terlihat, tetapi selalu dialami oleh anak-anak kita sehari-hari, melihat, mendengar, dan mengimitasi atau meniru,” dia menambahkan.
Ketika siswa dengan mudah mendapatkan tayangan kekerasan dari televisi atau internet, di situ dia belajar soal kekerasan. Hal paling dasar yang harus dilakukan orangtua dan guru adalah mencegah anak-anaknya belajar serta meniru kekerasan dari tayangan-tayangan audiovisual yang mereka lihat. Misalnya, dengan membatasi tayangan yang ditonton oleh anak. “Paling mudah itu,” ujarnya.
Maria menjelaskan, televisi belum bisa membuat tayangan yang pro terhadap anak. Untuk itu, KPAI meminta agar orangtua menjauhkan televisi dari anak-anak. Menurut Maria, hal itu harus dilakukan.
“Bukannya kami tidak suka dengan industri hiburan, tetapi risiko dari tayangan kekerasan jauh lebih berbahaya. Selain menjauhkan televisi, orangtua dan guru harus membuat permainan yang edukatif buat anak,” katanya.
Tudingan yang sama juga disampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Menurut Pribudiarta, televisi dan media sosial merupakan pemicu pornografi dan kekerasan terhadap anak.
Kak Seto minta KPI berikan sanksi jika ada tayangan yang memperlihatkan kekerasan.
Tayangan-tayangan di televisi sangat memengaruhi, karena anak belum bisa membedakan antara dunia nyata dan khayalan. “Misalnya, kalau di tv ada orang nonjok orang, lalu orangnya jatuh, dan bisa hidup lagi, maka anak berpikir kalau orang dipukul, ditusuk bisa bangun lagi,” tuturnya.
Kak Seto meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memperketat perizinan. Ia meminta, jika ada tayangan yang memperlihatkan kekerasan terhadap anak agar dihentikan dan dikenai sanksi. “Sekarang televisi mengejar rating, modal uang dan sebagainya.”
Namun, KPI menyatakan, tayangan televisi bukan satu-satunya pemicu kekerasan anak. Ada faktor lain seperti lingkungan, pengawasan orangtua, internet, gadget atau playstation. Wakil Ketua KPI, Idy Muzayyad, mengatakan, tak semua tayangan televisi mengajarkan kekerasan. Sebab, regulasi juga melarang hal itu.
“Seringkali yang mengganggu psikologi itu program berita tentang tawuran dan kerusuhan. Berita kayak gitu kan buruk dan packaging-nya nggak boleh ditunjukkan yang sadis-sadis,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 23 September 2015.
Menurut dia, yang harus dikuatkan adalah lembaga sensor. Karena, film dan sinetron harus mendapatkan tanda lulus sensor sebelum ditayangkan. “KPI nggak punya kewenangan untuk sensor,” katanya.
Ia mengatakan, jika masih ada program siaran di televisi yang bermasalah, yang harus dilihat adalah bagaimana sensor dilakukan. Karena, kewenangan KPI adalah menghakimi, mengkaji sesudah program tersebut tayang.
“Saya berharap LSF (Lembaga Sensor Film) bisa melakukan tugasnya dengan sensor kinerja yang akan tayang di tv, agar aman bagi remaja, sehingga tidak mengganggu pembentukan karakter bangsa,” tuturnya.
Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan, jika film anak-anak, mereka akan melihat materinya, apakah sudah sesuai dengan kondisi untuk anak-anak atau tidak.
Anggota LSF, Rommy Fibri, mengatakan, biasanya semua film yang lulus sensor, diberi keterangan batasan umur. Batasan umur itu yang dipakai untuk menyesuaikan jam tayang.
“Sebenarnya soal tayangan di televisi menjadi tanggung jawab bersama. Bahwa LSF menjadi garda depan dalam meluluskan sebuah film, memang sesuai yang diatur Undang-Undang Nomor 33/2009 tentang Perfilman,” ujar Rommy kepada VIVA.co.id, Jumat, 25 September 2015.
Menurut dia, LSF sudah berusaha semaksimal mungkin menyensor film-film yang akan ditayangkan, baik di layar lebar maupun televisi. Dalam melakukan sensor, LSF selalu mempertimbangkan unsur-unsur kekerasan dan juga pornografi. Meski demikian, LSF mengajak masyarakat untuk secara aktif melakukan sensor mandiri.
“Maksudnya, orangtua mesti berperan serta mengawasi jam tayang yang sesuai untuk putra-putrinya. Jangan sampai materi untuk remaja atau dewasa, ditonton oleh anak-anak,” katanya.
Hari beranjak sore. Namun, Carissa masih bertahan, duduk di depan rumahnya. Matanya kosong, melihat sekumpulan anak-anak yang bermain di gang depan rumahnya.
Sesekali, ia menarik napas panjang. Sementara itu, sepeda kecil warna merah masih teronggok di pinggir taman, tempat A biasa menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya. Carissa hanya berharap, tak ada lagi anak-anak yang bernasib sama dengan anaknya. (art)
Lilis Khalisotussurur turut melaporkan