Melawan Kutukan Jerebu
- VIVA.co.id/Ramond EPU
VIVA.co.id - Seharusnya matahari pagi ini sudah menyeruak di rumah Achmad Firdaus (25). Usai subuh biasanya, sinar hangat menusuk disertai kicau burung menelusup di beranda rumahnya.
Namun sudah beberapa bulan ini semua berbeda. Di Kampungnya kini secercah sinar matahari sangat susah ditemui. Semuanya hanya buram berkabut disertai aroma asap mengental di lubang hidung hingga menyesak dada.
Firdaus setiap pagi sudah harus bergegas. Berseragam merah ditimpali garis perak, ia tunggang langgang mengejar api ke dalam hutan. Ia berjuang keras untuk nyawanya termasuk juga untuk hidup seluruh orang di Pulau Sumatera.
"Setiap hari kami harus berjalan berkilo-kilometer membawa mesin pompa seberat 30 kilogram dan menerobos api di hutan," ujar anggota Manggala Agni Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Selatan tersebut, Rabu 16 September 2015.
Pekerjaan yang dilakoni Daus --sapaan Firdaus-- memang menantang bahaya. Bagaimana tidak, tak jarang, demi mencegah api muncul lagi, ia bersama puluhan rekannya harus menginap di dalam hutan.
Sebab itu juga kadang pria yang baru menikah lima bulan lalu ini kerap tak tidur di rumah. “Namanya juga tugas, jadi saya telah siap untuk risiko ini. Istri saya sudah mengerti dengan keadaan setiap bulan kemarau, saya harus tidak pulang dan tidur di hutan untuk memadamkan api di lahan gambut,” ujar suami Khadijah ini.
Nun jauh di Riau. Sejak bencana jerebu mengepung Riau, Hasan (61) selalu was-was siang dan malam hari. Petani karet ini begitu khawatir api menjalar ke kebunnya.
"Kadang ada orang buka lahan atau memang lahannya terbakar bisa menjalar ke lahan kita. Jadi khawatir saja," ujarnya.
Tahun ini Hasan merasakan cobaan cukup berat. Sudahlah jerebu mengancam kesehatannya, kebakaran juga mengincar kebun miliknya. Kini harga karet hasil sadapannya juga merosot tajam, hanya Rp7.000 per kilogram.
Orang-orang Melayu memang kebanyakan menyebut bencana kabut asap sebagai jerebu, yakni kondisi asap pekat yang menyelimuti pandangan. Sudah hampir dua dekade ini Pulau Andalas atau Sumatera mengidap kutukan jerebu.
"Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja berat ditambah lagi biaya berobat karena kabut asap," ujarnya.
Orang-orang Melayu menyebut bencana kabut asap sebagai jerebu, yakni kondisi asap pekat yang menyelimuti pandangan. Foto: ANTARA/Rony Muharrman
Mengapa Berulang?
Delapan belas tahun silam, kutukan jerebu sudah menghantui orang di Pekanbaru atau Sumatera. Kala itu sekitar 11,6 juta hektare hutan Sumatera menjadi arang. Negara merugi sedikitnya Rp47 triliun.
Jerebu merebak hingga menembus batas negara, meruap sampai Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Tak kurang dari US$760 juta kerugian yang terjadi akibat ulah jerebu.
Konon, sejak itu juga ungkapan Melayu yang tertanam di dada orang-orang suku Melayu, yakni "Tebasnya tidak menghabiskan, tebangnya tidak memusnahkan dan bakarnya tidak membinasakan", mulai lenyap bak asap diembus angin.
Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Riau sesungguhnya pemilik lahan gambut terbesar di Sumatera. Hebatnya, gambut-gambut yang mencapai luasan lebih dari 60 kali luas DKI Jakarta ini menyebar luas hingga kedalaman tiga meter di bawah permukaan.
"Namun sejak 1997, perilaku pembakaran lahan untuk land clearing mulai tidak terkontrol. Lebih dari sepuluh juta hektare lahan pun jadi korban," ujar Mukri Friatna, Manager Penanganan Bencana Walhi.
Tahun itu juga bisa dibilang menjadi titik mula 'kutukan jerebu' melekat di Indonesia. Masa Orde baru menjadi masa pesta poranya izin-izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) saling berkejaran dengan izin konsensi untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Semua berebut masuk ke dalam hutan dan hendak menelanjanginya.
Akibatnya sejak itu juga tak kurang dari 4,5 juta hektare lahan gambut yang seharusnya menjadi penyimpan air sekaligus penangkap jutaan karbon akhirnya beralih menjadi HTI.
Tentu saja, kondisi itu belum melingkupi bagaimana mengularnya kanal-kanal raksasa yang merusak siklus hidrologis di wilayah itu. Air-air diatur sedemikian rupa agar menuju laut demi tersedianya lahan siap tanam untuk sawit, akasia atau tanaman ekspor lainnya.
Alhasil, sentuhan yang mengubah kesatuan ekologis hutan tropis menjadi bentangan perkebunan monokultur, akhirnya memutus mata rantai sistem hidrologis. Titik-titik api pun dengan mudahnya merebak massal di sejumlah lahan konsensi, kawasan hutan hingga lahan kritis.
"Sebab itu pada masa tertentu atau musim panas, jutaan hektar ini akhirnya menjadi tumpukan bahan bakar kering yang siap melahap apa saja," kata Mukri.
Ya, jutaan hektare gambut di Riau atau pun di Jambi, Sumatera Selatan hingga Kalimantan kini tak ubahnya seonggok bahan bakar kering. Sedikit saja salah pengelolaannya, 'hantu jerebu' langsung bangun dan siap menenggelamkan Sumatera dan Kalimantan.
Sebab itu juga, berbagai kasus kebakaran khususnya di hutan gambut begitu sulit dituntaskan. Berjuta-juta liter air yang dijatuhkan dengan helikopter sekali pun belum tentu menjamin bisa melembabkan kembali serasah-serasah gambut.
Sadar atau tidak, kini lahan-lahan gambut memang sudah berubah fungsinya. Ia menjadi bahan bakar abadi yang paling hebat kalau hendak membangunkan hantu jerebu.
"Satu-satunya jalan paling efektif adalah mengembalikan tutupan lahan. Lahan gambut harus dipertahankan. Dia harus steril dari semua aktivitas perladangan dan perkebunan," ujar Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Herman Hidayat.
Berjuta-juta liter air yang dijatuhkan dengan helikopter sekali pun belum tentu menjamin bisa melembabkan kembali serasah-serasah gambut. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro
Skenario Terselubung
Ibarat pepatah, tak ada asap tak ada api. Artinya ada akibat tentu ada sebab. Jerebu menjadi akibat sementara api adalah sebabnya.
Sejak lama, banyak pihak menyorot tajam maraknya perusahaan di Sumatera dan Kalimantan. Bukan apa, fakta menunjukkan memang ada korelasi kuat antara sumber api dan aktivitas perusahaan dan manusia.
Sebagai perbandingan saja. Biaya pembukaan lahan tanpa membakar butuh biaya hingga Rp5 juta per hektarenya, sementara dengan membakar sebuah kawasan cukup merogoh kocek hingga Rp800 ribu.
Sebab itu, muncul dugaan bahwa pembakaran lahan pun disengaja. Tujuannya cuma satu, menghemat biaya. Atau pilihan lainnya adalah, menyengajakan membakar lahan untuk mendapatkan predikat lahan kritis, lalu baru diajukan untuk dimanfaatkan ke pemerintah daerah.
"Ada praktik penghematan biaya pembukaan lahan dan siasat untuk meloloskan pelepasan kawasan hutan," kata Mukri.
Tahun ini, tak ubahnya dengan tahun-tahun lalu. Bahkan masuk bencana asap terparah sepanjang masa. Titik-titik api bak tak pernah habis. Data Sawit Watch saja menyebut setidaknya ada 1.062 titik api muncul di hanya di areal perkebunan sawit di seluruh Indonesia.
Tentu titik ini baru sebagiannya saja. Sebab, setiap hari jumlahnya selalu fluktuatif di setiap lokasi. Hanya saja dipastikan, titik api memang tiada habisnya.
Kutukan jerebu sesungguhnya tak lepas dari lemahnya masalah penegakan hukum di Indonesia. Hukum negara yang kedodoran menjadi alasan kenapa bencana kabut asap sudah 18 tahun berulang.
Sejak lama, negara kita tak menerapkan sanksi kuat untuk menjerat perusahaan atau orang yang dengan sengaja membuat lahannya muncul titik api. Hukum akhirnya hanya ditegakkan pada saat kebakaran terjadi dan bukan diberlakukan untuk mencegah kebakaran.
Lihat saja tahun ini, setelah Riau, Jambi, Palembang dan Kalimantan dikepung udara berbahaya dan tidak sehat, secara beruntun polisi berusaha memburu para pelaku yang dianggap menjadi penyebab.
Ratusan warga sipil yang beberapa diantaranya orang suruhan pun lagi-lagi menjadi korban. Sementara sang dalang tetap bersembunyi di balik asap.
Di Jambi dan Kalimantan Barat, misalnya. Kepolisian setempat mengaku telah menjaring masing-masing 15 orang tersangka dan semuanya adalah perorangan. “Untuk perusahaan baru ada dua yang sedang kita dalami. Tapi saya lupa nama-nama perusahaannya,” ujar Kompol Wirmanto, Kasubbid Penmas Bidang Humas Polda Jambi.
Tak jauh berbeda dengan Palembang, Sumatera Selatan. Meski mengklaim sedang membidik 19 direktur perusahaan sawit, namun faktanya 14 warga sipil sudah ditahan dan dianggap menjadi pelaku utama.
"Mereka yang tertangkap tangan melakukan pembakaran, mayoritas warga sekitar dan kini telah ditahan," ujar Kapolda Sumatera Selatan Iza Fadri.
Di tingkatan nasional. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengaku memang sedang memfokuskan diri pada sejumlah korporasi yang diduga terlibat. Namun memang belum ada hasil signifikan yang bisa dicatat.
"Di Riau ada 31 kasus, Sumatera Selatan 14 area konsensi, Kalimantan Barat empat kasus dan Kalimantan Tengah tujuh kasus. Sedangkan Jambi belum kita cek. Kami fokuskan ke indikasi kebakaran di area konsensi," ujar Siti.
Sejauh ini, seluruh proses hukum memang masih berjalan. Meski belum bisa diakumulatifkan, namun setidaknya sudah ada tujuh perusahaan yang akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Yakni PT PMH di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tersangkanya berinisial JLT. Lalu, PT RPP di Sumatera Selatan dengan tersangka P.
PT RPS di Sumsel dengan tersangka S, PT LIH di Riau dengan tersangka FK. PT GAP di Sampit, Kalimantan Tengah, dengan tersangka S. PT MDA di Kapuas, dengan tersangka GRN. Juga ada PT ASP di Kalimantan Tengah, dengan tersangka inisial WD. "27 perusahaan lagi masih dalam proses," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Kutukan jerebu sesungguhnya tak lepas dari lemahnya masalah penegakan hukum di Indonesia. Foto: VIVA.co.id/Aceng Mukaram
Harus Diakhiri
Terlepas dari proses hukum yang sedang dilakukan terhadap para pelaku penyebab kabut asap, kutukan jerebu tak ada alasan untuk tidak diakhiri.
Derita warga Sumatera dan Kalimantan bahkan hingga ke Singapura, Malaysia dan Brunei tak layak diabaikan begitu saja.
Tak kurang dari 30 juta warga kini sedang terancam kesehatannya akibat penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Di Riau saja sudah mencapai 26.051 warga menderita ISPA akibat kabut asap. Belum di Jambi yang kini sudah menembus 28.948 orang.
"Kami di Kalimantan saja ada peningkatan antara 25 persen hingga 50 persen. Setidaknya ada 20 ribu warga yang menderita," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Andy Jap.
Sudah waktunya 18 tahun kutukan jerebu di Sumatera dan Kalimantan harus diakhiri. Sehingga ke depan tak perlu lagi puluhan pesawat memuntahkan garam di langit. Dan teka perlu lagi juga ribuan TNI atau manggala agni berjibaku di tengah asap dan api.
Meski terlalu dini menilai ada hasil, namun komitmen negara mulai dari mencokok para korporasi penyebab asap patut diapresiasi. Sebab sejatinya, negara ini sudah memiliki sejumlah pagar hukum yang cukup kuat. Tinggal bagaimana mengukuhkannya dan menerapkannya tanpa pandang apakah ia korporasi, penyumbang investasi, petani atau siapa pun dibelakangnya.
Ide untuk merevisi undang-undang yang berkaitan dengan kehutanan, rasanya belum perlu diwujudkan bila hukum di negara masih kedodoran. "Yang harus dilakukan saat ini adalah memperkuat undang-undang dan mengecilkan celah korporasi bermain-main dengan api di area konsesi mereka," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Anton P Widjaya.
Prinsipnya, kutukan jerebu telah membuat rakyat dan negara menderita. Kerusakannya menerabas multi sektor mulai dari ekonomi, politik, transportasi, kesehatan, sosial hingga ke ekologis.
"Pemerintah harus memperbaiki tata kelola lingkungan. Indonesia (sudah) menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia sementara kita sudah mendeklarasikan akan menurunkan emisi sebesar 26-40 persen pada tahun 2020. Nah bagaimana kita tekan emisi ini kalau masalah asap aja tidak beres-beres," Mukri menambahkan. (umi)
Laporan: Lilis Khalisotussurur
Sudah waktunya 18 tahun kutukan jerebu di Sumatera dan Kalimantan harus diakhiri. Foto: ANTARA/Jessica Helena Wuysang