Merawat Pencari Selamat
- VIVA.co.id
VIVA.co.id - Pagar setinggi 2,5 meter tampak membungkus bangunan seluas 1.628 meter persegi. Anyaman kawat dan tiang besi tersebut terlihat kokoh mengelilingi bangunan warna krem yang terletak di Jalan Peta Selatan 5D, Kalideres, Jakarta Barat itu.
Di depan bangunan tampak pintu gerbang, tempat orang lalu lalang, keluar masuk bangunan. Pelang bertuliskan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tampak kokoh, terpampang di dekat pagar bagian depan.
Pagi itu, bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 4.881 meter persegi ini tampak sepi. Tak terlihat lalu lalang orang dan aktivitas yang berarti dari bangunan dua lantai ini. Hanya ada sejumlah staf dan pegawai Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yang terlihat sibuk bekerja di ruangan masing-masing.
Sebelum menjadi rumah detensi, bangunan yang terdiri atas lima blok ini adalah rumah karantina imigrasi.
“Sesungguhnya, Rudenim kita ini sudah overload. Maksimal kapasitas Rudenim Jakarta itu berisi 85 orang. Ini sudah 141 orang yang menghuni di sini,” ujar Kepala Rudenim Jakarta, Haykel kepada VIVA.co.id, Rabu, 9 September 2015.
Ia mengatakan, para warga negara asing (WNA) yang sudah menjadi deteni di Rudenim melewati proses panjang di imigrasi. Rudenim hanya “persinggahan” bagi para WNA sebelum kembali ke negara asal atau negara ketiga yang bersedia menampung mereka.
Menurut Heykel, rumah detensi Jakarta didominasi oleh WNA asal Timur Tengah. “Afghanistan, Iran, Palestina. Mereka sengaja datang untuk meminta suaka, karena negara mereka bergejolak,” dia menambahkan.
Para deteni ini sebelum “dikandang” adalah hasil tangkapan kantor imigrasi masing-masing wilayah. Mereka kemudian menjalani tahapan penyelidikan. WNA yang bermasalah di imigrasi akan berada 1 bulan di ruang detensi di kantor imigrasi, kemudian baru dilimpahkan ke Rudenim.
“Namun, imigrasi bisa langsung memulangkan WNA (mendeportasi) jika prosedurnya sudah lengkap, dilempar ke sini yang masalahnya tidak selesai dalam jangka waktu sebulan,” kata dia.
Tempat Persinggahan
Para penghuni Rudenim di Kalideres ini hanya sebagian dari para pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan pengungsi UNHCR menyatakan, saat ini ada sekitar 13.000 orang yang mengungsi dan mencari suaka di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 5.600 merupakan pengungsi. Sementara itu, sisanya adalah para pencari suaka.
“Pengungsi, 46 persen dari Afghanistan, 12 persen Myanmar, 6 persen Iran, dan 5 persen dari Irak. Sisanya dari negara lain," ujar perwakilan UNHCR di Jakarta, Mitra Salima kepada VIVA.co.id, Kamis, 10 September 2015.
Sementara itu, pencari suaka 48 persen dari Afghanistan, 12 persen Myanmar, 9 persen Somalia, 6 persen Irak, dan 5 persen dari Iran. Sisanya dari negara lain.
Mitra menjelaskan, para pengungsi dan pencari suaka tersebut berasal dari 40 negara. Menurut dia, Indonesia bukan negara tujuan para pengungsi tersebut. Mereka hanya transit. Karena, Indonesia bukan negara tujuan akhir atau negara resettlement.
Ia mengatakan, belasan ribu orang itu terpaksa mengungsi dan pergi dari negara asalnya guna mencari perlindungan.
Meski belum meneken konvensi 1951 tentang status pengungsi dan protokolnya, Indonesia adalah negara yang baik karena memberikan perlindungan internasional yang dibutuhkan pengungsi dan pencari suaka.
Menurut Mitra, Indonesia tidak pernah memulangkan secara paksa orang-orang yang mencari selamat tersebut. Indonesia selalu memberikan bantuan kepada pengungsi dan pencari suaka.
Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Kalideres, Jakarta Barat. Foto: VIVA.co.id
“Dalam hal ini, Indonesia memberikan mandat kepada UNHCR untuk melakukan proses pencarian suaka orang-orang tersebut,” tuturnya.
Direktur HAM Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar, mengatakan, Indonesia akan menerima WNA yang masuk wilayah Indonesia. Menurut dia, sebagian dari para pengungsi merupakan WNA yang akan mencari suaka di negara lain, namun kebetulan terdampar ke Indonesia.
“Kita terima, kemudian diproses, apakah mereka murni mencari suaka. Pencari suaka itu mereka yang mengalami tekanan, penyiksaan di negaranya, kemudian mencari perlindungan di negara lain,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 10 September 2015.
Senada dengan Mitra, Dicky mengatakan, Indonesia bukan negara tujuan dari para pengungsi dan para pencari suaka tersebut. Menurut dia, Indonesia hanya menjadi tempat persinggahan.
“Mungkin mereka mau ke mana, lalu terdampar di Indonesia. Banyak kasus seperti itu,” ujarnya.
Ia menuturkan, meski bukan mayoritas, warga negara dari Timur Tengah banyak yang "mendarat" di Indonesia. Selain dari kawasan padang pasir tersebut, mereka berasal dari negara-negara yang sedang terlibat konflik atau perang seperti Afghanistan, Irak, dan Palestina.
Menurut Dicky, belasan ribu pengungsi tersebut tersebar di sejumlah daerah. Mereka ada yang ditempatkan di Medan, Makassar, Kupang, Jakarta, dan sejumlah wilayah lain.
“Paling banyak di sekitar Jakarta sekitar 4.800an orang, Makassar 1.800, Medan hampir 2.000, Aceh 900an,” ujarnya.
Dicky mengakui, Indonesia tidak memiliki tempat penampungan khusus untuk para pengungsi dan pencari suaka tersebut. Ia berdalih, Indonesia bukan negara yang terikat dengan konvensi 1951.
“Sebenarnya kita sama sekali tak punya kewajiban. Yang kita lakukan selama ini, semata-mata hanya karena kemanusiaan,” ujarnya.
Lokasi yang selama ini digunakan untuk menampung mereka sebenarnya bukan tempat untuk pengungsi atau pencari suaka. Tempat yang dimilki oleh imigrasi tersebut sebenarnya diperuntukkan bagi penampungan WNA yang melanggar keimigrasian.
Imbas Perang
Kasubag Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Yan Wely Wiguna, menjelaskan, ada sekitar 5.233 pengungsi dari Timur Tengah. Sebanyak 3.606 di antaranya merupakan pencari suaka.
Ia mengatakan, pencari suaka adalah pengungsi yang sudah memohon kepada UNHCR untuk ditempatkan ke negara ketiga. Sementara itu, pengungsi belum meminta ditempatkan ke negara ketiga dan bisa dikembalikan ke negara asalnya jika sudah aman. Namun, para pencari suaka tidak akan dipulangkan ke negara asalnya.
“Yang dikembalikan lagi ke negaranya namanya pengungsi. Kalau pencari suaka mereka tidak akan kembali lagi ke negaranya. Mereka akan mencari asylum seeker di negara lain,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 9 September 2015.
Ia menjelaskan, meski Eropa sudah dibanjiri gelombang pengungsi dari Suriah dan sejumlah negara di Timteng, namun belum ada tanda-tanda mereka akan masuk ke Indonesia.
“Buktinya, pengungsi dari Suriah hanya 35 orang. Pencari suakanya hanya 6 orang,” ia menerangkan.
Menurut dia, para pengungsi dan pencari suaka ditampung di rumah detensi imigrasi yang berjumlah 13 unit di seluruh Indonesia. Rumah detensi yang cukup besar menampung para pengungsi ini, di antaranya Tanjung Pinang, Medan, dan Kalideres.
Mereka juga ditempatkan di ruang detensi kantor imigrasi, ruang detensi Direktorat Jenderal Imigrasi, community house, dan imigran mandiri. Community house adalah rumah yang disediakan UNHCR untuk membantu para pengungsi dan pencari suaka di luar rumah detensi. Ada lagi imigran mandiri. Mereka adalah yang bisa membiayai diri sendiri.
Ia menjelaskan, para pengungsi dan pencari suaka yang ditempatkan di rumah detensi berjumlah 2.732 orang, di ruang detensi kantor imigrasi 2.280 orang, di ruang detensi Ditjen Imigrasi berjumlah 5 orang, dari 47 community house tertampung sebanyak 3.064 orang, dan imigran mandiri 5.027 orang.
Yan Wely yakin, para pengungsi dari Suriah dan Timteng tidak akan datang ke Indonesia. Sebab, jaraknya terlalu jauh. Menurut dia, mereka datang dari negaranya saja memakan waktu hampir satu bulan dengan bekal seadanya.
Sementara itu, untuk menuju Indonesia, mereka harus menempuh lautan dengan persiapan yang cukup. “Kemarin saja yang lewat lautan sudah berapa yang meninggal. Saya tidak yakin akan sampai ke sini,” katanya.
Meski "dikandang", para deteni yang mendiamin Rudenim di Kalideres ini memiliki rutinitas. Bagi yang muslim, setiap Rabu diadakan pengajian. Pihak Rudenim mengundang ustaz untuk memberikan asupan rohani.
Sementara itu, pada Jumat, mereka akan salat Jumat berjamaah. Bagi yang memeluk agama Kristen, setiap Kamis mereka akan beribadah bersama di gereja. Mereka sengaja beribadah di hari Kamis, karena Sabtu dan Minggu petugas Rudenim libur.
Tak hanya beribadah, para pengungsi dan pencari suaka ini juga difasilitasi untuk berolahraga yang dilakukan sepekan sekali. Olahraga itu di antaranya adalah senam aerobic, bola voli, dan futsal. Untuk mengisi waktu luang, mereka juga diberi keterampilan mulai dari belajar komputer, Bahasa Inggris, bermain gitar hingga berkebun.
Khusus untuk deteni yang berkeluarga, ibu dan anak, seminggu sekali bisa renang dan belanja ke mal.
“Mereka ini bukan tahanan seperti di LP. Mereka ini deteni, hanya singgah,” ujar Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban Rudenim Jakarta, Raden Achmad Wahyudiono. (art)