Mengungsi ke Eropa

Seorang pengungsi berdiri di dalam kereta api di Hungaria [SOROT PENGUNGSI]
Sumber :
  • REUTERS/Leonhard Foeger

VIVA.co.id - Stasiun Kereta Api Muenchen, Jerman, hiruk-pikuk melebihi biasanya. Ratusan warga Jerman berkumpul di depan stasiun, di awal pekan kedua bulan September 2015 itu. Beberapa di antara mereka membawa plakat bertuliskan "Welcome to Germany" (selamat datang di Jerman) atau "Marhaba Bikum" yang bermakna sama dalam Bahasa Arab. Beberapa plakat bahkan dihiasi bentuk hati berwarna merah.

Koresponden VIVA.co.id di Jerman, Miranti Hirschmann, melaporkan suasana bertambah riuh ketika sebuah kereta api dari arah Austria datang. Ratusan orang berwajah Timur Tengah turun dari kereta api. Tua, muda, anak kecil, laki-laki dan perempuan. Mereka terlihat lusuh dan lelah. Namun begitu turun, seketika wajah mereka merona menatap sambutan yang meriah. Mereka melihat ke arah kamera-kamera televisi dan berkata, "Thank you, Germany" (Terima kasih, Jerman--red).

Salah satu di antara yang baru datang ini bernama Nahla. Perempuan berusia 35 tahun ini mengungsi dari negerinya, Suriah. Dia berhasil mencapai Negeri Panser ini setelah delapan kali mencoba atau sekitar tiga bulan.

"Saya sungguh bahagia akhirnya bisa berada di Jerman. Saya tidak peduli berapa lama proses pendaftaran akan memakan waktu, selama tingkat keselamatan dipertimbangkan," kata perempuan yang meninggalkan suami dan putrinya yang bernama Fajer di Aleppo, Suriah, itu. Nahla meninggalkan mereka sejak Mei lalu, tidak tahan dengan perang saudara di negaranya yang sudah berlangsung sejak tahun 2011 itu.

Nahla terpaksa meninggalkan suami dan puterinya yang masih berusia dua tahun, Fajer, bulan Mei lalu di Aleppo, Suriah. Nahla mengaku kabur karena tidak tahan dengan situasi Suriah yang masih dikepung perang sipil. Perang tersebut telah berlangsung sejak tahun 2011 lalu. 

Sebulan belakangan ini, lebih dari 20 ribu pengungsi dari Suriah yang memasuki Jerman. Mereka menyeberang dari Suriah ke Turki, lalu menyeberang laut ke Yunani. Dari Yunani menempuh jalan darat lewat Kroasia, Hungaria atau Italia lalu Austria dan terakhir mencapai Jerman melalui Stasiun Kereta Api Muenchen.



Dari Yunani, mereka menempuh jalan darat lewat Kroasia, Hungaria atau Italia lalu Austria dan terakhir mencapai Jerman melalui Stasiun Kereta Api Muenchen. FOTO: Reuters/Laszlo Balogh

***

Disambut Jerman

Selain warga Jerman, Polisi Jerman turut menyambut pengungsi dengan memantau semua jenis kereta yang tiba di stasiun Muenchen, entah kereta Jerman (DB), kereta Austria OBB atau Railjet dan kereta yang datang dari Italia. Begitu pengungsi tiba, satu peleton polisi langsung merapat ke peron kedatangan.

Kehadiran polisi ini mencolok karena mereka mengenakan seragam berwarna biru gelap dengan tulisan Polizei di bagian punggung. Polisi mengumpulkan para pengungsi di peron. Tidak sulit mencari tahu mana yang pengungsi dan bukan. Selain memiliki wajah khas Timur Tengah, mereka tidak membawa koper, seadanya. Sebagian besar pengungsi hanya membawa tas ransel atau tas tangan dan beberapa kantong plastik.

Dari peron kedatangan, para pengungsi kemudian diarahkan berjalan ke aula kedatangan utama, lalu berbelok ke pintu barat stasiun. Di sini sudah ada "Welcome Centre" yang dijaga para relawan yang khusus menyambut pengungsi. Pengungsi disuguhi air minum, buah atau biskuit. Pengungsi juga diberi baju hangat, popok bayi dan makanan bayi siap saji. Mereka lalu diregistrasi.

Jika membutuhkan penanganan medis, maka pengungsi bisa langsung meminta kepada Medizinisches Katastrophen-Hilfswerk, semacam badan penanggulangan bencana khusus pengobatan. Kepala badan ini, Robert Scmitt, mengatakan tim yang terdiri dari 15 dokter dan tenaga medis selalu siaga selama 24 jam sejak bulan September. Mereka juga menyiagakan beberapa mobil ambulans besar dan kecil untuk penanggulangan medis dan tenda untuk menangani pengungsi yang sakit.

Scmitt mengatakan ada sekitar 20 pengungsi yang harus dirawat di rumah sakit, sebagian besar anak-anak. Mereka harus dirawat di ruang isolasi karena memiliki kutu atau penyakit kulit yang menular.

"Kutu dan penyakit kulit ini dapat dimengerti karena selama ini mereka tak memperoleh fasilitas higienis dan tidak mandi selama berminggu-minggu. Penyakit lain yang banyak diderita para pengungsi adalah gangguan pencernaan, infeksi saluran usus, stres, patah tulang atau luka karena terjatuh," ujar Scmitt. Namun, tidak ada penyakit serius yang diderita pengungsi.

Keluar dari Welcome Centre, para pengungsi diantar menggunakan bus ke kota-kota di negara bagian Bayern atau lainnya yang siap menampung para pengungsi.

Dalam jumpa pers yang digelar di Hotel Edel yang terletak di seberang stasiun kereta api, Wali Kota Muenchen, Dieter Reiter, mengatakan ada seribu orang yang bekerja siang dan malam untuk menangani pengungsi. Tim ini terdiri dari polisi, tim medis, pemadam kebakaran dan sukarelawan.

"Kami akan selalu berusaha yang terbaik. Setiap hari, kami siaga 20-24 jam di stasiun. Kami harus siap mengurus kedatangan para pengungsi yang tiba dengan kereta api. Setiap jam ada 300 hingga 400 orang yang datang," ujar Reiter.

Selain lewat laut, para pengungsi tiba dengan kereta api. Setiap jam ada 300 hingga 400 orang yang datang. FOTO: Reuters/Dimitris Michalakis

***

Isu Kemanusiaan

Melihat arus pengungsi yang semakin membesar, Presiden Komisi Uni Eropa, Jean Claude Juncker, pada Rabu 9 September 2015, mengumumkan rencana perubahan kuota pengungsi di 28 negara anggota Uni Eropa. Stasiun berita BBC melansir Juncker mengatakan UE siap menerima tambahan 160 ribu pengungsi yang akan ditempatkan di seluruh UE.

Jerman mendapat kuota terbesar sebanyak 31.443 pengungsi, disusul Prancis 24.031 dan Spanyol 14.931 pengungsi. Jumlah itu akan diambil dari Yunani sebanyak 66.400 orang, Hungaria 54 ribu pengungsi, dan Italia 39.600 orang.

Negara penerima pengungsi akan diberi dana senilai 6.000 euro atau setara Rp97 juta per pengungsi. Dia mengatakan semua pengungsi akan diidentifikasi kelayakan menerima suaka politik.

Dalam proposalnya, Juncker juga membangun standar bersama, bagaimana cara tiap negara memperlakukan para pengungsi. Komisi UE akan kembali bertemu untuk membahas proposal itu pada Senin pekan depan. Jika disetujui, maka proposal tersebut bersifat mengikat. Satu saja negara anggota melanggar, maka mereka akan dikenai sanksi.

Pengumuman itu disampaikan Juncker ketika memberikan pernyataan tahunan di hadapan petinggi Komisi UE. Dalam pidatonya, dia mengakui UE tidak dalam kondisi yang baik. "Ada kekurangan Eropa dalam kesatuan ini dan kurangnya persatuan dalam UE," kata dia.

Dia menegaskan, krisis pengungsi merupakan isu kemanusiaan dan menyangkut martabat manusia, tanpa memandang agama atau asal kewarganegaraannya. Juncker mengakui Eropa memang tidak bisa menampung semua penderitaan yang ada di dunia.

"Tetapi, kita harus menempatkannya dalam perspektif yang berbeda. Angka ini (kuota) baru mewakili 0,11 persen populasi UE. Jumlah pengungsi di Lebanon justru jauh lebih besar, mewakili 25 persen populasi mereka," kata Juncker.

Dia mengatakan proposal ini harus segera diberlakukan karena sifatnya darurat. "Jangan remehkan proposal penting kami untuk segera bertindak. Sebab, musim dingin kian mendekat. Pikirkan keluarga yang kini tidur di taman dan jalur kereta di Budapest, di tenda-tenda di Traiskirchen atau di tepi pantai di Pulau Kos, Yunani. Apa yang akan terjadi pada mereka jika malam musim dingin menjelang?" kata Juncker.

Dalam kesempatan itu, dia turut menyadari permasalahan eksodus pengungsi tidak akan selesai hanya dengan menampung mereka.

"Mari kita perjelas dan jujur dengan kekhawatiran yang sering diungkap warga negara. Selama masih ada peperangan dan teror di Suriah serta Libya, maka krisis pengungsi tidak akan begitu saja menghilang," ujar dia seperti dikutip harian The New York Times.

Krisis pengungsi merupakan isu kemanusiaan dan menyangkut martabat manusia, tanpa memandang agama atau asal kewarganegaraannya. FOTO: Reuters/Bernadett Szabo

***

Mengapa Jerman Terbuka

Sebelum Uni Eropa mengubah kuota, Jerman sudah memutuskan membuka perbatasannya lebih lebar. Kanselir Jerman Angela Merkel menegaskan, negaranya siap menampung pengungsi dari Suriah.

"Jerman akan siap membantu ketika dibutuhkan. Tidak ada toleransi bagi mereka yang mempertanyakan martabat bagi orang lain dan tidak ada toleransi bagi mereka yang tidak bersedia membantu, padahal bantuan kemanusiaan dan hukum dibutuhkan," ujar Merkel seperti dikutip harian The Telegraph.

Tahun ini Jerman akan menampung 800 ribu pengungsi. Anggaran 10 miliar euro atau setara 16 triliun rupiah sudah disiapkan.

Jerman juga akan memudahkan fasilitas suaka politik. Seperti dilansir laman International Business Times, jika status suaka berhasil dikantongi, maka pengungsi bisa menerima uang bulanan senilai 359 euro atau setara Rp5,6 juta per bulan, dan kesempatan tinggal di Jerman selama tiga tahun.

Bahkan, ketika masa tinggal itu habis, mereka masih diizinkan untuk mengajukan perpanjangan izin tinggal jika situasi di negara asal masih belum aman.  Selain itu, peraih suaka juga memiliki kesempatan untuk bekerja di Jerman.

Jelas, Jerman kini menjadi tujuan favorit pengungsi dari Timur Tengah. Selain berangkat seorang diri, pengungsi juga mengandalkan jasa jaringan penyelundup manusia untuk tiba di Negeri Panser itu.

Menteri Dalam Negeri Jerman, Harald Neymans, menyatakan Berlin sementara keluar dari aturan Dublin demi alasan kemanusiaan. Berdasarkan aturan Dublin, maka pengungsi harus mendaftar di negara pertama tempat dia tiba. Namun, Jerman tetap membiarkan para pengungsi mendaftar di negara mereka.

Namun Neymans menegaskan, aturan Dublin tetap berlaku. "Aturan Dublin mengenai pencari suaka yang telah disepakati oleh UE tetap berlaku dan kami berharap negara anggota UE lainnya tetap mematuhi aturan tersebut," kata Neymans.

Namun redaktur ekonomi BBC, Inggris, Robert Peston, menyebut ada alasan lain, mengapa Jerman begitu antusias menerima eksodus pengungsi. Peston menyebut, ada prediksi Negeri Panser itu mengalami penurunan populasi sekitar 67 ribu antara tahun 2015 dan 2020 menjadi 80,6 juta jiwa. Angka itu terus menurun di tahun 2050 menjadi 74,7 juta dan tahun 2080 hanya tersisa 65,4 juta jiwa.

Penurunan jumlah penduduk tentu mengurangi pasokan tenaga kerja di tahun-tahun mendatang. Tentu, kekurangan tenaga kerja ini bisa membuat Jerman keteteran dalam menghadapi rival kekuatan ekonomi dunia lainnya. Menerima pengungsi, menurut Peston, adalah salah satu cara mempertahankan jumlah angkatan kerja itu.

Jerman kini menjadi tujuan favorit pengungsi dari Timur Tengah. Berlin sementara keluar dari aturan Dublin demi alasan kemanusiaan. FOTO: Reuters/Ognen Teofilovski

***
Uni Eropa Terbelah

Eksodus pengungsi dari negara Timur Tengah, khususnya Suriah ke Benua Eropa, mulai disorot publik dunia, setelah foto jasad bocah Suriah, Aylan Kurdi, menghiasi halaman depan pemberitaan dunia. Bocah berusia tiga tahun itu ditemukan tewas di tepi pantai Bodrum di Turki. Jasadnya ditemukan polisi penjaga perbatasan pantai dalam keadaan tertelungkup, mengenakan kaos warna merah dan celana pendek biru. Aylan tewas bersama kakak dan Ibunya, ketika hendak menyeberang menuju Yunani.

Isu ini kemudian menjadi topik yang dibicarakan oleh berbagai pemimpin dunia, termasuk Paus Fransiskus, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Presiden Komisi Uni Eropa (UE), Jean Claude Juncker, hingga Presiden Barack Obama. Paus bahkan menyerukan seluruh paroki di Eropa membuka diri untuk pengungsi yang umumnya beragama Islam itu.

Namun, UE rupanya tidak kompak dalam menangani isu eksodus pengungsi Timur Tengah. Di saat Jerman dan Austria bersedia membuka tangan untuk membantu pengungsi. Negara UE lainnya seperti Hungaria dan Denmark malah menutup perbatasan.

Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban, mengaku sengaja memukul balik para pengungsi ke perbatasan karena mereka berpotensi menciptakan gangguan publik. Pada pekan lalu, Hungaria kebanjiran lebih dari 7.000 pengungsi dari Timur Tengah dan Asia yang ingin masuk ke Austria dan Jerman.

Hungaria dipilih pengungsi, karena area tersebut masuk ke dalam rute yang harus mereka lalui untuk sampai ke Jerman dan Austria. Alih-alih memfasilitasi, Pemerintah Hungaria malah mencegat kereta yang membawa pengungsi. Pengungsi dipaksa turun dan wajib kembali ke perbatasan dengan Kroasia.

Pengungsi menolak dipulangkan karena kadung sudah tiba di Budapest, Hungaria. Mereka lalu berunjuk rasa di depan stasiun dan menunggu agar bisa diberangkatkan ke Austria dan Muenchen, Jerman. Bahkan, ada yang sengaja nekat berjalan kaki dari Budapest menuju ke dua negara tadi.

Orban menganggap mereka bukan pengungsi. "Mereka hanya ingin hidup seperti yang kini kita miliki dan saya pahami hal itu. Tetapi, hal tersebut tidak masuk akal. Jika kita izinkan semua orang masuk, hal tersebut justru akan menghancurkan Eropa," ujar Orban seperti dikutip harian Al-Arabiya.

Namun, karena arus eksodus pengungsi yang tiba di Hungaria tak lagi bisa dibendung, maka mereka menyerah. Hungaria mengirimkan ribuan pengungsi dengan menggunakan bus menuju ke Austria dan Jerman.

Orban menegaskan, tidak akan ada lagi kebijakan serupa di masa mendatang. Pemerintah Hungaria malah berniat membangun tembok tinggi untuk menutup perbatasan.

Lain lagi cara Denmark mengurangi pengungsi. Laman Internasional Business Times melaporkan, Pemerintah Denmark sengaja memasang iklan di sebuah harian di Lebanon. Mereka memperingatkan warga Suriah akan kesulitan memperoleh suaka politik jika mencari ke Denmark.

Selain itu, mereka akan memperoleh lebih sedikit tunjangan sosial, tidak diizinkan membawa anggota keluarga selama satu tahun dan warga Suriah yang ditolak permohonan suakanya akan segera dideportasi.

"Otoritas imigrasi Denmark menginformasikan mengenai perubahan syarat terkait tinggal di Denmark. Aturan itu tengah diberlakukan oleh pemerintahan baru Denmark," tulis iklan tersebut.

Niat baik UE untuk menerima pengungsi rentan disalahgunakan oleh imigran yang sebenarnya memiliki motif ekonomi. Mereka rela melakukan apa pun agar bisa diberi suaka politik dan tinggal di Jerman. Salah satu cara mereka adalah dengan berpindah keyakinan dari Muslim menjadi Kristen. Banyak yang mengklaim dengan berpindah keyakinan maka akan meningkatkan peluang mereka untuk memperoleh suaka politik.

Dikutip dari laman Dailymail, sebagian besar pengungsi itu berasal dari Iran dan Afghanistan. Seperti yang terlihat di dalam foto yang diunggah Dailymail, beberapa pengungsi tengah dibaptis di sebuah gereja Trinity di Berlin. Dalam foto itu, seorang pastor bernama Gottfried Martens terlihat tengah membaptis seorang tukang kayu asal kota Shiraz, Iran, Zoonobi. Dia tiba di Jerman bersama istri dan dua anaknya lima bulan lalu.

Martens bukannya tidak menyadari motif ekonomi itu. Namun, dia meyakini lebih banyak yang datang dengan tujuan untuk dibaptis, karena merasa memperoleh pencerahan.

"Saya tahu ada beberapa, lagi dan lagi, orang-orang datang ke mari karena memiliki harapan terkait permohonan suaka mereka. Saya mengundang mereka untuk bergabung karena saya tahu siapa pun yang datang kemari tetap tidak akan mengalami perubahan apa pun," ujar Martens.

Dia mengatakan, berpindah agama tidak akan membantu agar permohonan suakanya diterima. Apalagi, Kanselir Angela Merkel telah menegaskan pada pekan ini, Islam merupakan bagian dari Jerman.

Salah satu contoh nyata jemaat asal Timur Tengah yang telah mengubah keyakinan dan suakanya ditolak yakni Vesa Heydari. Semula, dia berpindah keyakinan di Norwegia tahun 2009 lalu. Namun, otoritas Norwegia beranggapan, Heydari tidak akan menerima perlakuan buruk dari Pemerintah Iran, hanya karena dia beragama Kristen.

Maka, dia memutuskan pindah ke Jerman. Kini, dia tinggal menanti keputusan. Heydari mengkritik sikap pemerintah yang justru makin mempersulit upaya untuk mendapat suaka.

"Mayoritas warga Iran di sini bukan berpindah keyakinan karena yakin terhadap agama. Mereka hanya ingin tinggal di Jerman," kata Heydari.

Pengungsi menolak dipulangkan karena kadung tiba di Budapest, Hungaria. Mereka lalu berunjuk rasa di depan stasiun dan menunggu agar bisa diberangkatkan ke Austria dan Muenchen, Jerman. FOTO: Reuters/Leonhard Foeger

***

Kritik Arab

Eksodus pengungsi Suriah yang begitu besar ke Benua Eropa turut menimbulkan tanda tanya bagi publik. Mengapa, mereka justru rela menempuh perjalanan jauh dan berbahaya ke Eropa, ketimbang mencari perlindungan ke negara tetangga seperti Arab Saudi? Terlebih Saudi merupakan saudara Muslim dan memiliki sumber daya keuangan lebih besar.

Maka, negara-negara Teluk menjadi sasaran kritik publik. Laman Business Insider melansir di Twitter, tagar #Hosting_Syria's_refugee_is_a_Gulf_duty langsung menjadi tren dan forum untuk mengekspresikan kemarahan.

Publik merasa kecewa karena justru negara Eropa seperti Jerman lebih banyak bersedia menerima pengungsi, ketimbang negara-negara Teluk.

Di Facebook, muncul sebuah fanpage yang disebut Komunitas Suriah di Denmark berbagi sebuah video yang menunjukkan para migran diizinkan masuk ke Austria dari Hungaria. Kondisi ini, memunculkan tanda tanya dari salah satu pengguna mengenai sikap negara-negara Teluk.

"Bagaimana kami kabur dari negara di area saudara kami yang notabene Muslim yang justru seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap kami? Sementara, negara yang kerap mereka sebut kafir justru malah mau menerima kami?" pengguna media sosial itu mempertanyakan.

Mereka hanya bersedia menyumbangkan dana kemanusiaan kepada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Suriah. Sebagai contoh, Arab Saudi menyumbang senilai US$18,4 juta tahun ini. Sementara itu, Kuwait memberikan uang sumbangan lebih dari US$304 juta.

Salah satu warga Suriah bernama Omar Hariri yang berhasil melarikan diri dari Turki dengan menggunakan perahu karet menuju Yunani, juga menyebut negara Arab tak bersedia membantunya.

"Mereka telah membantu pemberontak, bukan pengungsi," kata Hariri yang mengungsi bersama istri dan putrinya yang berusia dua tahun.

Harian The New York Times melansir, memang negara-negara Teluk ikut menerima pengungsi Suriah. Hanya saja jumlahnya masih sedikit, jika dibandingkan pendapatan per kapita yang mereka miliki. 

Sebagai contoh, Yordania, yang memiliki pendapatan per kapita US$11 ribu, menerima 630 ribu pengungsi Suriah. Lebanon, yang memiliki pendapatan per kapita di atas Yordania, menampung 1,2 juta pengungsi Suriah.

Bandingkan dengan pendapatan per kapita negara-negara Arab yang jauh lebih tinggi seperti Qatar yang memiliki pendapatan per kapita US$143 ribu atau Arab Saudi yang menghasilkan pendapatan per kapita US$52 ribu, mereka tidak menampung para pengungsi.

Alasan lain, pengungsi Suriah meminta suaka ke negara Teluk karena sulit untuk memperoleh visa. Secara resmi, warga Suriah bisa mengajukan permohonan visa turis atau visa kerja agar bisa masuk ke negara-negara Teluk Arab itu. Tetapi, prosesnya memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, sudah tercipta persepsi yang luas, bahwa negara Teluk Arab memiliki batasan tak tertulis yang menyebabkan permohonan visa bagi warga Suriah sulit dikabulkan.

Kebanyakan visa yang dikabulkan pun, disebabkan, sudah ada anggota keluarga yang lebih dulu berada di negara-negara Teluk Arab, atau mereka sendiri yang sudah berada di sana lalu memutuskan memperpanjang masa tinggal.

Tetapi, kritikan itu ditepis pengajar ilmu politik dari Uni Emirat Arab, Abdulkhaleq Abdulla. Dia mengatakan, sejak tiga tahun lalu, negaranya telah menerima lebih dari 160 ribu pengungsi Suriah.

"Jika bukan karena negara-negara Teluk, jutaan orang itu akan berada dalam kondisi yang lebih menyedihkan dibandingkan saat ini. Kritik yang menyebut negara-negara Teluk tidak melakukan apa pun, tidaklah benar," tutur Abdulla seperti dilansir harian The New York Times. 

Sedangkan, pengajar ilmu poltik di Universitas di Riyadh, Arab Saudi, Khalid al-Dakhil, mengajak publik untuk kritis dan cermat mencari otak di balik krisis Suriah yang berkepanjangan.

"Mengapa hanya ada pertanyaan mengenai posisi negara Teluk, bukan mengenai siapa yang berada di balik krisis ini, siapa yang menciptakan krisis?" tanya Dakhil.

Dia menyalahkan Rusia dan Iran meski mengakui negara-negara Teluk bisa saja melakukan hal lebih banyak. Rusia dan Iran, kata Dakhil, mendukung Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Terlepas dari itu, Saudi toh tetap menolak membuka pintu bagi pengungsi Suriah. [aba]