Karut-marut Rusun Jakarta
- VIVAnews/Fernando Randy
VIVA.co.id - Siang itu, cuaca cerah. Jarum jam menunjuk pukul 10.30 WIB. Tidak ada aktivitas mencolok. Kawasan apartemen di Jakarta Timur itu bahkan cenderung sepi.
Mayoritas penghuni sudah memulai aktivitas rutin. Bekerja. Deretan mobil yang terparkir di halaman apartemen juga tak banyak. Jika dibanding luas lahannya, jumlah mobil bisa dihitung dengan jari.
Joko Supriatna (58), salah seorang penghuni apartemen itu, tampak santai hari itu. Tubuhnya berbalut celana jin dan polo shirt.
Sejak tiga tahun lalu, Joko tinggal di apartemen itu. Impiannya memiliki sebuah rumah atau hunian di Jakarta akhirnya terwujud. Bersama anaknya, ia menempati unit rumah susun di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Joko membeli rumah susun tersebut secara tunai pada Juni 2012, dari seorang teman yang berprofesi sebagai dokter.
Namun, persoalan muncul karena hingga kini, pensiunan PT Bank Mandiri Tbk itu belum menerima sertifikat hak milik. Padahal, kewajiban membayar sudah dia tunaikan.
"Sertifikat hak milik belum ada, lagi diproses. Yang saya pegang sekarang adalah Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB)," kata Joko saat ditemui VIVA.co.id, belum lama ini.
Joko bukan tidak pernah berusaha mendapatkan sertifikat hak miliknya. Dia bahkan sering menanyakan kepada developer atau pengelola apartemen mengenai persoalan tersebut.
"Sudah saya tanyakan beberapa kali. Bulan Desember lalu kami tanda tangan, semua sudah lunas. Katanya sih harusnya bulan Juni sudah selesai. Tapi, sampai sekarang belum," tuturnya.
Joko pun sudah mengejar ke notarisnya. "Notaris bilang sudah jadi. Mudah-mudahan bulan ini bisa (terima)," ujarnya.
Tak hanya soal sertifikat, Joko ternyata juga belum mendapat akta jual beli. Menurut dia, sang pengelola berjanji akan memberikan secara bersamaan.
"Kata mereka berbarengan dikasih nanti, akta jual beli sama sertifikat hak milik itu," katanya.
Beruntung, selama tinggal di rumah susun tersebut, Joko tidak mengalami kenaikan biaya pengelolaan atau operasional seperti listrik, lingkungan, parkir dan lain-lain. Setiap tahun biayanya relatif tetap.
Joko menambahkan, penghuni lain dari rumah susun itu kebanyakan adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hunian itu awalnya adalah rusunami, namun kemudian berubah menjadi apartemen. "Ini kan jadinya 2011," ucap Joko.
Realitas Jakarta
Saat ini, jutaan orang bekerja di Jakarta, tapi tinggal di luar ibu kota. Saat malam hari, penduduk Jakarta hanya sekitar 10 juta jiwa. Namun, pada siang hari, saat jam kerja, bisa 20 juta orang memadati ibu kota RI ini.
Minimnya perumahan yang terjangkau di Jakarta, mau tak mau, mendorong mereka mengarahkan pilihan ke hunian vertikal (rumah susun).
Walaupun, budaya tinggal di rumah susun masih kurang. Selain peliknya masalah terkait rumah susun, pemain-pemain properti enggan menjangkau konsumen bawah. Pengembang lebih memilih membangun rumah susun yang menyasar kelas menengah ke atas.
Rumah susun sederhana milik (rusunami) awalnya digagas oleh Jusuf Kalla saat menjabat Wakil Presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kekacauan dan kesalahsasaran program rusunami ini yang membuat Pemprov DKI Jakarta menghentikan pengembangannya. Mereka lebih memilih mengembangkan rusunawa, sebuah konsep rusun yang dimiliki negara. Penggunanya menyasar kelas menengah ke bawah yang tinggal di permukiman kumuh.
Peran penting rusunami atau apartemen di Jakarta itu diakui oleh salah satu penghuni apartemen di kawasan Jakarta Pusat, Heddy Nuria (43). Menurut Heddy, masyarakat membutuhkan, sehingga pemerintah wajib membuatnya.
"Karena, kalau kami lihat lalu lintas kendaraan, bisa dibayangkan macetnya. Tinggal di Bogor kerja di Jakarta," kata dia.
Sementara itu, jika membeli rumah di Jakarta, khususnya di Jakarta Pusat, dekat dengan perkantoran adalah sesuatu yang tidak mungkin. Oleh karena itu, satu-satunya jalan adalah membangun apartemen yang secara harga lebih murah dibanding membeli rumah tapak.
Tentu saja, selama tinggal di apartemen, Heddy tak luput dari masalah. Tak jauh berbeda dengan Joko Supriatna, dia mendapat perlakuan tidak wajar dari pengelola.
"Kami mengalami kenaikan tarif listrik yang tidak logis," kata dia memulai cerita.
Saat Heddy mencoba bertanya, kenapa kenaikan tarif listrik begitu tinggi, pengelola justru tidak memberikan solusi. Dia pun akhirnya tak bisa berbuat banyak.
"Pengelola malah bilang begini, kalau tidak mampu bayar, nggak usah tinggal di sini," katanya.
Heddy mengungkapkan, tarif listrik tidak sesuai dengan yang ditetapkan PT Perusahaan listrik Negara (PLN). Selain itu, layanan tidak nyaman, misalnya saja lift sering rusak hingga berapa bulan lamanya baru diperbaiki.
"Alasannya, dari montirnya lama. Padahal, lift itu kan menyangkut keselamatan warga. Tarif air juga dinaikin, sama seperti listrik," ungkapnya.
Walaupun, Heddy tak memungkiri jika tetap ada sisi positif selama tinggal di apartemennya itu. Antara lain adalah tempatnya strategis dan dekat dengan kantor tempatnya bekerja.
"Sebenarnya bukan penghentian pembangunan yang seharusnya dilakukan, tetapi melaksanakan undang-undang yang sudah ada itu saja," kata Heddy. "Kepastian hukum harus diterapkan. Misalnya, UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun itu".
Persoalan juga menghampiri para penghuni salah satu apartemen di Jakarta. Bagaimana tidak, selain masalah sertifikat hak milik serta problem sehari-hari lainnya, tarif listrik di hunian yang terletak di kawasan Jakarta Selatan itu terus naik.
Apalagi, mereka harus membayar lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan oleh PLN.
Warga yang tergabung dalam forum komunikasi penghuni pun menggelar pertemuan. Hasilnya, mereka akhirnya mengeluarkan petisi melalui sebuah situs online pada pengelola apartemen, pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) yang dibentuk oleh pengelola apartemen dan perusahaan pengelola apartemen itu.
Penghuni menuntut transparansi terkait tarif listrik di apartemen yang lebih tinggi dari ketentuan PLN, serta menghentikan intimidasi terhadap unit warga The Lavande Residences dalam bentuk pemutusan aliran air dan listrik.
"Rumah kami sendiri, tapi diperlakukan seperti narapidana," kata salah satu pendukung petisi, Winny Kwee.
Winny meminta pertanggungjawaban atas upeti yang dipungut pengelola setiap bulan. Protes yang selama ini mereka sampaikan tak pernah digubris. Justru, yang sering terjadi mereka malah dibentrokkan dengan satpam dan diputus listrik serta air ke unit.
"Hal semacam ini sering terjadi di rumah susun yang dikelola oleh developer, listrik dan air dijadikan alat untuk mengintimidasi para pemilik/penghuni agar terus membayar berapa pun diminta tanpa ada pertanggungjawaban," ujarnya.
Pendukung petisi lainnya, Hardjoko Sastromidjojo, mengaku turut menandatangani petisi, karena merasa dirugikan. Sementara itu, Seng Seng Khoe, mencatat kondisi atau masalah yang tak jauh berbeda di beberapa apartemen atau rumah susun di Jakarta.
"Ini yang terjadi hampir di semua rumah susun di DKI Jakarta yang dibiarkan saja oleh pimpinan Pemda DKI Jakarta," tutur Seng Seng Khoe.
Sementara itu, salah satu penghuni rumah susun di Jakarta Selatan, Shara, mengungkapkan masalah lain. Tempat tinggalnya itu seharusnya dihuni oleh kalangan menengah ke bawah. Namun, kenyataannya justru dihuni oleh kalangan menengah hingga menengah ke atas.
Shara mencontohkan. Di area basement parkir rusun terdapat beberapa mobil mewah seperti Jeep Wrangler, Mercy, hingga BMW. Bahkan, dalam satu unit kamar, para penghuni rusun mempunyai dua jenis kendaraan roda empat yang berbeda.
Dia menjelaskan, area parkir basement tidak mampu dikelola secara optimal. Selain itu, sistem manajemen keamanan masih tidak memenuhi standar. Seperti banyaknya kendaraan yang tidak terdata oleh keamanan, sehingga menyebabkan parkiran yang membeludak melebihi kapasitas.
"Bahkan, beberapa bulan lalu, rusun sempat didatangi oleh Dinas Perhubungan terkait parkiran yang membeludak sampai ke pinggir jalan," ujar Shara kepada VIVA.co.id.
Shara menceritakan, banyak penghuni rusun membeli hunian dengan menggunakan subsidi pemerintah. Harga satu unit kamar di kisaran Rp300 juta per unit.
"Dengan subsidi, turun di kisaran Rp150 juta hingga Rp200 juta sesuai dengan tipe kamar yang dihuni," kata dia.
Setelah hunian tersebut dibeli, para pemilik hunian mayoritas menyediakan penyewaan hunian kamar. Harga sewa unit kamar dihargai Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta, tergantung dari spesifikasi kamar.
Untuk hunian kosong, berada di angka Rp1,5 juta. Sementara itu, untuk full furniture, mencapai Rp3,5-4 juta.
"Selain itu, rusun seharusnya digunakan oleh masyarakat kalangan bawah sesuai dengan ketentuan pemerintah, yaitu wajib mempunyai KTP Jakarta dan Kartu Keluarga. Tetapi, justru mayoritas orang yang tinggal di sana adalah mahasiswa-mahasiswa yang memanfaatkan harga sewa rumah,"ucapnya.
Shara melanjutkan, di rusun tersebut juga ditemukan beberapa imigran gelap yang berasal dari benua Afrika. Dalam beberapa bulan terakhir, terjadi penggeberekan.
Sertifikat Akan Diberikan
Customer Relations salah satu apartemen di kawasan Jakarta Selatan, Ristofani, mencoba menjawab tentang persoalan para penghuni rumah susun di Jakarta, khususnya mengenai sertifikat hak milik. Dia menuturkan, setiap seseorang membeli apartemen, tentu sudah ada pemberitahuan mengenai kapan pembangunan selesai, kapan tanggal atau tahun penyerahan kunci.
"Apartemen itu kan lahan bersama, sertifikatnya induk, baru dipecah-pecah. Nah, itu selesainya kapan, hanya developer yang tahu. Intinya harus tepat waktu bayarnya, pasti developer akan memberikan hak mereka," kata Ristofani kepada VIVA.co.id.
Untuk menyelesaikan sejumlah persoalan lainnya, dia setuju jika setiap rumah susun mempunyai P3SRS. Karena, mereka itu lah yang nantinya membentuk peraturan rumah tangganya.
"Setiap tahun, mereka akan mengadakan rapat umum. Dari rapat umum ini, nanti mereka bisa menentukan tentang kenaikan tarif yang ada," katanya.
Menurut Ristofani, setiap rusun memang seharusnya ada Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) dengan syarat orang-orang yang dipilih harus kompeten. Misalnya, ia bisa menyempatkan waktu, tinggal di situ, bekerja atas nama warga, tidak mengincar uang, dan juga di PPRS itu harus memilih pengelola yang punya nama baik.
"Bisa PT, bisa perorangan, pengelola yang dipilih dalam PPRS," katanya.
Namun, dia berpendapat, sebaiknya yang dipilih adalah PT, karena ada nama besar. Istilahnya, dia memiliki dana cadangan agar suatu saat jika ada pembayaran listrik dan air bisa segera membayarnya.
"Pemerintah nggak mau dong, tagihan Rp1 miliar dibayar Rp500 juta. Nah, kemampuan finansial berupa uang itu harus kita lihat juga," katanya.
Sebab, dia mengungkapkan, rata-rata yang tinggal di apartemen kebanyakan ada yang membayar tepat waktu, ada yang tidak. Sementara itu, tarif PLN dan PAM tidak bisa dicicil.
"Nah, ini kalau tidak dibayar, diputus kan dari PLN dan PAM-nya. Kan, kalau begini kasihan warga. Apalagi, warga yang bayarnya cepat jadi kena dampaknya juga," tuturnya.
Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun, Ibnu Tadji, mengakui, masalah rumah susun sangat kompleks, sehingga tidak bisa disebutkan secara umum. Misalnya, saja, masalah kebijakan.
Dia mengungkapkan bahwa langkah pemerintah yang membangun rusunami sejak 2006 sudah baik. Namun, kebijakan itu tidak diimbangi dengan aturan perundang-undangannya sebagai rambu-rambu.
"Nah, yang terjadi, kebijakan itu kurang diikuti dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai atau yang baik, sehingga menciptakan persoalan baru," kata Ibnu.
Soal pembangunan rusunami yang menjadi tidak tepat sasaran, dia melihat, karena kebijakan itu tidak diawali dengan survei terlebih dahulu. Seperti, tentang siapa saja yang membutuhkan rusun tersebut, dan di mana saja. Sayangnya, angka-angka atau data valid tentang itu tidak ada. Jikapun ada, tetapi kurang komprehensif.
"Seyogyanya, pemerintah itu, bisa mengidentifikasi dulu, nanti ini untuk sasaran apa? Mau MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) atau apa?"
Menurut dia, pemerintah harus tahu bahwa masyarakat berpenghasilan rendah itu belum bankable. Mereka belum bisa mengikuti aturan perbankan yang berlaku.
"Jadi sulit, masa, orang yang misalnya pegawai di pabrik gitu, harus ikuti aturan perbankan yang sudah sangat rigid? Kami (rasa) tidak mungkin. Maka akhirnya banyak ditolak, lalu berpikir nggak ada cara lain, mereka tidak bisa miliki rusunami," ujar dia.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya pengembang menjual rusunami pada non-MBR. Akhirnya, dijual kepada orang-orang yang tidak tepat sasaran. Mereka-mereka yang punya uang dan sebelumnya memiliki rumah, ikut membeli bukan untuk tujuan dihuni, tapi investasi atau bahkan yang lebih parah lagi, spekulasi.
Ibnu menilai, falsafah yang dipakai atau mendasari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun itu sangat keliru. Undang-undang tersebut hanya mengakui ada dua kepemilikan. Satu kepemilikan pribadi, konsumen dalam bentuk unit dan kedua adalah kepemilikan bersama.
"Nah, bersama para pemilik pribadi itu memiliki bagian-bagian bersama, tanah bersama di sana. Jadi dua kepemilikan, yaitu kepemilikan pribadi dan kepemilikan bersama, itu prinsip dasarnya dulu," dia menganalisis.
Persoalan yang dia tangkap adalah tidak ada kepemilikan pemerintah. Padahal, sebagai pembuat kebijakan, pemerintah seharusnya terlibat, misalkan dalam landed house, yakni kepemilikan pemerintah dalam bentuk fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum).
"Jalannya, listriknya, pipa-pipa saluran air, taman, di rumah susun, UU itu tidak mengakomodasi. Kepemilikan pemerintah itu tidak ada, sehingga pengembang jual semuanya, dia kuasain satu-satu," tuturnya.
Tidak adanya kepemilikan pemerintah, membuat pemerintah tidak bisa turut serta di dalam persoalan yang muncul di kemudian hari. Padahal, dalam UU Nomor 20 Tahun 2011, pasal 70 dan 71, dikatakan pemerintah terlibat dalam hal pengawasan, pengendalian, dan pengawasan.
"Jadi, apa yang mau dikendalikan dan awasi ketika pemerintah tidak mempunyai hak apa-apa di dalamnya. Nah, salah satu yang saya katakan adalah undang-undang ini," kata Ibnu.
Ibnu menilai, pemerintah sudah tahu persoalan tersebut, tapi mereka tidak berbuat banyak. Dia pun mengimbau agar masyarakat lebih baik tidak membeli rusunami dahulu.
"Kita moratorium tidak membeli rusunami, tidak perlu beli rusunami. Kenapa? Karena kalau membeli, Anda akan terjebak di dalamnya, tidak bisa keluar dari sana sehingga pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi atas kebijakan yang dia keluarkan," ujarnya.
Ibnu menyarankan, masyarakat bisa membeli rusunami, bila pemerintah sudah dapat melindungi warganya, atau bisa mencari jalan keluar atas persoalan tentang rumah susun ini. Sejauh ini, dia tidak melihat kejelasan konsep dari pemerintah.
"Ya, akhirnya, bila ada pertarungan antara pemilik dan developernya, pastilah rakyatnya yang kalah. Karena, rakyatnya tidak paham tentang masalah hukum dan rumah susun," kata dia.
Ibnu mengatakan, institusi pemerintah yang punya kewenangan terkait problem rusunami adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Langkah Pemprov DKI Jakarta
Permasalahan permukiman dan hunian di wilayah DKI Jakarta hingga kini masih belum dapat terselesaikan dengan baik. Tingginya jumlah penduduk tak berbanding lurus dengan ketersediaan lahan permukiman.
Bukti di lapangan, masih banyak permukiman kumuh yang ditemukan, baik di wilayah bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, maupun wilayah permukiman tidak layak lainnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mencari solusi terbaik untuk semua warga Jakarta tanpa terkecuali. Salah satunya adalah dengan pembangunan rumah susun sederhana sewa atau rusunawa.
"Untuk wilayah Jakarta, pembangunan rusunawa itu adalah salah satu solusi utama di samping solusi lainnya," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat.
Walaupun Pemprov DKI Jakarta telah berulang kali mendirikan rusunawa untuk membantu warga dalam menyediakan hunian mereka, hingga kini, pemprov masih saja mengalami kendala dan permasalahan yang sama.
Contoh batu sandungan yang menghalangi Pemprov DKI Jakarta, menurut Djarot, adalah sulitnya mengubah cara hidup, kebiasaan, dan budaya masyarakat yang telah terbiasa hidup serta tinggal di hunian atau rumah horizontal untuk kemudian diarahkan hidup di hunian vertikal seperti rusunawa tersebut.
"Sulit untuk mengubah mental masyarakat," kata Djarot.
Djarot mengakui, mental harus dipersiapkan terlebih dulu sebelum mereka direlokasi (pindah) ke rusunawa. Ini agar ada penyelesaian yang cepat untuk mereka yang akan tinggal di sana.
"Kan, mereka belum terbiasa, apalagi yang sebelumnya tinggal di permukiman sangat kumuh seperti di bantaran sungai itu. Niat kami kan untuk membantu mereka dan membenahi kawasan supaya lebih tertata dan tertib," tutur mantan wali kota Blitar tersebut.
Permasalahan lainnya, warga menolak relokasi dengan alasan telah terikat dengan rumah dan lingkungan yang ditempatinya selama ini. Walaupun terbukti mendirikan hunian di atas tanah negara, mereka menggangap tanah itu adalah kepunyaan mereka, karena telah diduduki selama puluhan tahun.
Akhirnya, mereka tak berminat direlokasi ke rusunawa dan lebih memilih hidup di permukiman kumuh, dibandingkan harus pindah ke tempat yang lebih layak dengan alasan sudah mendarah daging.
"Pasti ada kendala penolakan, tapi coba kita pikir kembali. Siapa sih yang mau dan rela tinggal di kolong jembatan serta terkena banjir setiap tahunnya? Pasti tidak ada," ujar Djarot.
Puluhan Ribu Rusunawa
Untuk menyelesaikan permasalahan atau krisis rumah yang ada di ibu kota, Pemprov DKI Jakarta tahun ini juga berencana membangun puluhan ribu unit rusunawa di 15 lokasi.
Di antaranya adalah Rusunawa Kampung Bandan sebanyak dua tower dengan 1.054 unit, Rusunawa Ujung Menteng dua tower berjumlah 1.054 unit, Rusunawa Rawa Buaya dibangun enam tower dengan jumlah 4.576 unit, Rusunawa Waduk Pluit dibangun tujuh tower dengan jumlah 4.000 unit, serta Wisma Atlet Kemayoran yang dibangun tujuh tower dengan jumlah 5.566 unit.
"Kami targetkan akan bangun 50.000 unit. Untuk tahap awal akan dibangun 21 ribu unit di 15 lokasi rusunawa," kata Kepala Dinas Perumahan dan Bangunan DKI Jakarta, Ika Lestari Adji.
Pembangunan tahap awal, 21 ribu unit rusunawa menelan anggaran sekitar Rp3,3 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI, yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
Rusunawa atau rusun terpadu juga dibangun di 10 lokasi pasar tradisional, yakni Pasar Sunter, Pasar Cempaka Putih, Pasar Jembatan Besi, Pasar Sindang, Pasar Serdang, Pasar Grogol, Pasar Lontar Kebon Melati, Pasar Jelambar Polri, Pasar Sukapura, dan Pasar Blok G Tanah Abang.
Pemprov DKI juga berencana mengintegrasikan rusunawa dengan pusat kegiatan ekonomi untuk semakin memudahkan dan memberikan banyak fasilitas serta pelayanan kepada warga masyarakat.
Pasar-pasar besar di lima wilayah DKI dalam keadaan yang sudah tidak layak akan direvitalisasi dan didesain ulang dengan menambahkan unit rusunawa di bagian atas pasar. Dengan demikian, lantai dasar berfungsi sebagai sarana dan prasarana pasar rakyat.
Sementara itu, lantai atas akan dipakai sebagai hunian bagi warga, khususnya para pedagang yang berjualan di pasar tersebut dan warga sekitar. "Harapannya tahun depan sudah mulai dibangun," tutur Ika.
Selain soal pembangunan rusunawa, Ika mendukung terbentuknya Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). Karena, merupakan hak warga untuk membentuknya. Pembentukan P3SRS akan meningkatkan nilai investasi di masing-masing apartemen.
"P3SRS ini juga dapat dimanfaatkan menjadi forum komunikasi antara pihak developer dan penghuni apartemen," kata Ika.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, menargetkan bahwa pembentukan Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di setiap apartemen di ibu kota dapat dilakukan mulai tahun ini. Dengan adanya RT/RW, maka penghuni akan dipermudah untuk pengurusan atau berbagai perizinan tertentu yang diperlukan.
"Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI, di Jakarta ada sebanyak 281 apartemen atau rumah susun sederhana milik (rusunami). Dari jumlah tersebut, ada sebanyak 172 apartemen yang sudah berstatus badan hukum," kata Djarot.
Berdasarkan data yang disebutkan, dari 172 apartemen yang berbadan hukum, masih ada sebanyak 18 persen atau sekitar 31 apartemen yang belum membentuk RT/RW. Selebihnya, 141 apartemen telah terbentuk pengurus RT dan RW.
"Dari 18 persen dari 172 apartemen yang sudah berbadan hukum ini, saat ini sedang kami atur pembentukan RT/RW bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, termasuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun," ujar Ika melengkapi perkataan Djarot.
Dengan adanya pembentukan RT/RW di apartemen atau rusun yang ada, maka pemprov akan membantu untuk mempermudah pembentukan kepengurusan tersebut dengan cara merevisi Peraturan Gubernur (Pergub) No.168 tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW.
Sebelumnya, pada pergub disebutkan bahwa dari awalnya harus membentuk P3SRS dulu, baru RT/RW, maka dalam revisi akan dibuat aturan baru, boleh dibentuk RT/RW terlebih dahulu, baru pembentukan P3SRS.
"Kami mau balik. Pembentukan RT/RW dulu baru P3SRS. Supaya kontrol sosial terhadap penduduknya lebih cepat. Pembentukan RT paling tidak ada 40 KK dalam satu RT, sehingga sampai pada pembentukan RW," ucap Djarot.
Selain sulit mengubah budaya dan kebiasaan cara hidup warga untuk menyesuaikan diri tinggal di hunian vertikal, Pemprov DKI Jakarta ternyata menemukan satu lagi persoalan. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, bahkan sampai geram dibuatnya.
Masalah itu adalah banyaknya orang yang tidak bertanggung jawab dan memanfaatkan rusunawa untuk kepentingan pribadi.
Rusunawa yang seharusnya diperuntukkan bagi warga kelas menengah ke bawah justru dimanfaatkan kaum berada untuk kemudian dijual atau disewakan kembali ke orang lain, dengan mencantumkan harga tinggi yang memberinya keuntungan besar. Tidak sedikit pula mereka yang kaya raya malah mengambil beberapa unit rusunawa untuk ditempati, mengesampingkan kebutuhan orang lain yang lebih mendesak dan memerlukannya.
Ahok menilai, warga mampu alias orang kaya, banyak harta yang dibuktikan dengan kepemilikan mobil-mobil mewah, tidak layak menghuni rusunawa. Dalam operasi kependudukan yang digelar pada Sabtu, 13 Juni 2015, Suku Dinas Dukcapil Jakarta Utara menemukan puluhan mobil mewah terparkir di halaman Rusunawa Kapuk Muara.
Ahok juga mengungkapkan tindakan yang menurutnya sering dilakukan oleh pengembang rumah susun atau apartemen "nakal" di Jakarta. Para pengembang itu sering kali tidak melepas seluruh kepemilikan unit di suatu apartemen.
Pada saat penghuni hendak mendirikan P3SRS sesuai dengan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, penghuni dipastikan tidak akan memiliki jumlah suara yang cukup untuk memilih ketua P3SRS yang dikehendaki. Sebab, hak suara untuk seluruh unit apartemen yang tidak dimiliki penghuni masih dimiliki oleh pengembang.
"Dia (pengembang) memang enggak mau unitnya dilepas semua," ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis, 2 Juli 2015.
Kenyataan itu kemudian berimbas kepada P3SRS yang dalam menjalankan tugasnya masih dikendalikan oleh kepentingan para pengembang. Akibatnya, para penghuni seolah tidak memiliki kedaulatan atas tempat huniannya.
Mereka dibebankan biaya Iuran Perawatan Lingkungan (IPL) yang besar dan tak dapat dikendalikan. Beberapa pengembang bahkan belum memberikan Sertifikat Hak Milik, meski penghuni telah melunasi cicilan.
Meski demikian, Ahok mengakui Pemprov DKI Jakarta dibatasi geraknya oleh undang-undang yang mengatur pemerintah tak bisa intervensi terhadap pengelolaan apartemen atau rumah susun dengan sistem hak milik. DKI lebih memilih opsi antisipatif dengan menghentikan pemberian izin terhadap pembangunan apartemen atau rumah susun dengan sistem hak milik tahun ini.
Jakarta akan lebih banyak membangunan apartemen atau rumah susun dengan sistem sewa, sehingga memiliki kontrol penuh atas tempat-tempat hunian itu. Cara ini dinilai akan mencegah para penghuni mengalami tindakan sewenang-wenang, bahkan disebut menghindarkan tindak prostitusi di rusun atau apartemen seperti yang sempat membuat heboh warga Jakarta beberapa waktu lalu.
Pemprov DKI Jakarta, meski mengayomi para penghuni, tetap berwenang memberi tindakan tegas saat ada dari mereka yang kedapatan melanggar peraturan atau menyewakan unit huniannya.
Terhadap tindakan pengembang nakal yang menahan Sertifikat Hak Milik, Ahok mengatakan, meski DKI belum bisa intervensi, para penghuni bisa mengadu kepada lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.
"Dia bisa gugat, bisa lapor ke Ombudsman," ujar Ahok.