Kapan Krisis Rumah Berakhir?

Deretan apartemen baru di Jakarta.
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id - Sengketa antara penghuni dan pengelola apartemen kerap terjadi. Misalnya, aksi bentrok antara penghuni dengan pengelola apartemen di bilangan Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Para penghuni beramai-ramai turun ke jalan.
 
Beberapa di antaranya, membawa spanduk. Satu dua orang membawa pengeras suara. Mereka terpaksa menyampaikan aspirasi mereka melalui unjuk rasa.
 
Tak hanya itu, nyaris semua penghuni salah satu apartemen itu menumpahkan uneg-unegnya melalui media sosial, dengan harapan suara mereka didengar oleh pengelola.
 
Kejadian itu menjadi satu contoh dari banyaknya permasalahan perumahan di Jakarta. Sebagai kota metropolitan yang terfragmentasi, jumlah penduduk Jakarta terus bertambah.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk DKI pada 2010, mencapai 9,6 juta jiwa. Imbasnya, tingkat kepadatan penduduk pun terus meningkat.
 
BPS melaporkan, pada 2014, tingkat kepadatan penduduk Jakarta mencapai 15.015 per kilometer persegi. Kondisi itu, menempatkan Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia.

Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia.
 

Tak hanya itu, berdasarkan data BPS pada 2014, proyeksi jumlah penduduk di Jakarta pada malam hari sebanyak 10 juta jiwa, sedangkan pada siang hari mencapai 20 juta jiwa. Perbedaan itu, karena aktivitas komuter yang ada di Jakarta, 85,47 persen untuk bekerja dan 14,53 persen untuk sekolah.

 
Para komuter ini bekerja di Jakarta, tetapi tinggal di luar Jakarta, karena tidak ada lagi perumahan yang terjangkau bagi mereka di Jakarta. Besarnya angka komuter ini menimbulkan problem transportasi, yang sayangnya, juga tak kalah buruknya dengan sektor perumahan.

 
Direktur Perumahan dan Pemukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Nugroho Tri Utomo, memaparkan bahwa dalam kurun waktu 1990 dan 2010, jumlah penduduk perkotaan meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 56 juta jiwa menjadi sekitar 128 juta jiwa.

 

"Diperkirakan, penduduk perkotaan mencapai 66,6 persen pada 2035, dengan pertambahan 3,4 juta jiwa setiap tahunnya antara 2010 dan 2035," kata Nugroho, belum lama ini.

 

Artinya, lebih dari separuh penduduk tinggal di perkotaan. Bisa dibayangkan, bagaimana memenuhi kebutuhan perumahan dengan jumlah penduduk yang membeludak?

Isu Besar
 
Maka tak heran, pengamat perumahan Panangian Simanungkalit menyebut perumahan menjadi isu besar di Jakarta dan sekitarnya. Apalagi, jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mencapai 30 juta jiwa, menjadi aglomerasi terbesar kedua di dunia, setelah Tokyo-Yokohama.
 
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mengaku selama ini, Pemerintah Provinsi DKI selalu memutar otak mencari solusi terbaik untuk mengatasi masalah perumahan bagi semua warga Jakarta tanpa terkecuali.
 
“Untuk wilayah Jakarta, pembangunan rusunawa (rumah susun sederhana sewa) itu adalah salah satu solusi utama, di samping solusi lainnya," katanya.
 
Direktur Jenderal Penyediaan Rumah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Syarif Burhanudin, mengatakan bahwa saat ini, ada 13,5 juta jiwa keluarga yang belum memiliki rumah di Indonesia.
 
"Setiap tahun, kebutuhan rumah kurang lebih 800 ribu unit. Sedangkan kemampuan pemerintah dan masyarakat, hanya bisa memenuhi 400 ribu unit," paparnya.
 
Di Jakarta, ungkapnya, ada 550 ribu kepala keluarga yang belum memiliki rumah. Maka, lahirlah program sejuta rumah dari Presiden Joko Widodo, guna mempercepat penyediaan rumah.

Tak tanggung-tanggung, potensi dana pembiayaan program sejuta rumah yang ditargetkan Jokowi mencapai Rp67,8 triliun. Kebijakan yang terbaru, pemerintah membangun rusun (rumah susun) minimal 20 lantai, lantaran sulitnya mencari lokasi yang strategis.
 
Seperti diketahui, pembangunan rusun setidaknya membutuhkan lahan dengan luas minimal 3.000 meter persegi. Padahal, lahan seluas itu di tengah kota Jakarta sangat terbatas.

Pemerintah membangun rusun (rumah susun) minimal 20 lantai, lantaran sulitnya mencari lokasi yang strategis.
 

"Persoalan perumahan Jakarta, bisa diselesaikan dengan rusun. Saya melihat, rusun ini dibangun jangan lagi dengan empat, atau lima lantai, kami usahakan di atas 20 lantai," kata Syarif.


 
Target Pembangunan 2015
 
Kementerian PUPR baru saja menender enam titik lokasi rusun. Rencananya, satu titik akan dibangun satu tower (menara) dengan enam lantai. Setiap lantai ada 100 unit.
 
Ada pun, beberapa subsidi yang bisa dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), seperti penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi dari 7,25 persen menjadi lima persen, dengan masa kredit, atau tenor hingga 20 tahun.
 
Selain itu, pemberian bantuan uang muka Rp4 juta bagi MBR, yang membeli rumah pertamanya dan penurunan pembayaran uang muka kepada bank pelaksana dari lima persen menjadi satu persen untuk KPR rusun.
 
Pemprov DKI juga ambil bagian. Tahun ini, Pemprov menargetkan membangun 50 ribu unit rusunawa.
 
“Kami targetkan akan bangun 50 unit rusunawa. Untuk tahap awal, akan dibangun 21 ribu unit di 15 lokasi rusunawa,” kata Kadis Perumahan dan Gedung DKI Jakarta, Ika Lestari Aji.
 
Ika menjelaskan, dalam waktu dekat ini ada lima rusunawa akan dibangun, yakni di kawasan Kampung Bandan dengan jumlah 1.054 unit, Ujung Menteng sebanyak 1.054 unit, Rawa Buaya 4.576 unit, Waduk Pluit 4.000 unit, dan Wisma Atlet Kemayoran sebanyak 5.566 unit.
 
Tidak cukup hanya sampai di situ, rencana Pemprov DKI selanjutnya adalah mengintegrasikan rusunawa dengan pusat kegiatan ekonomi untuk semakin memudahkan dan memberikan banyak fasilitas serta pelayanan kepada warga masyarakat.
 
Pasar-pasar besar di lima wilayah DKI dalam keadaan yang sudah tidak layak akan direvitalisasi dan didesain ulang dengan menambahkan unit rusunawa di bagian atas pasar.
 
Dengan demikian, lantai dasar berfungsi sebagai sarana dan prasarana pasar rakyat, sedangkan lantai atas akan dipakai sebagai hunian bagi warga, khususnya para pedagang yang berjualan di pasar tersebut dan warga sekitar.
 
10 lokasi pasar tradisional‎ yang akan disulap untuk menjadi rusun terpadu, yaitu di Pasar Sunter, Pasar Cempaka Putih, Pasar Jembatan Besi, Pasar Sindang, Pasar Serdang, Pasar Grogol, Pasar Lontar Kebon Melati, Pasar Jelambar Polri, Pasar Sukapura, dan Pasar Blok G Tanah Abang.
 
Lalu, bagaimana dengan pengembang swasta. Real Estate Indonesia (REI) menyatakan beberapa pengembang besar sedang merencanakan membangun rumah susun sederhana milik (rusunami).
 
"Kami lihat Pemprov DKI punya banyak program rusun sewa. Dari pengembang, kami sedang merencanakan beberapa pengembang besar membangun rusunami, tetapi di Jabodetabek. Sebab, kalau di Jakarta sulit, lahan semakin mahal," ujar Eddy Hussi, Ketua Umum REI, beberapa waktu lalu.
 
Tahun ini, REI menargetkan bisa membangun 50 ribu unit rusunami yang penyelesaiannya ditargetkan dua hingga tiga tahun ke depan.
 
Lain halnya dengan Perusahaan Umum Perumnas. Pada tahun ini, Perumnas menargetkan membangun 19 ribu unit rusunami di Jabodetabek.
 
"Lokasinya ada di Cengkareng, Kemayoran, Bantar Gebang, Bekasi, dan Karawang. Anggaran untuk membangun apartemen itu dari hasil penjualan dan PMN (penyertaan modal negara)," tutur Dirut Perumnas, Himawan Arief Sugoto.

Tak Diminati
 
Sayangnya, sejumlah pengembang ogah menjangkau kalangan menengah ke bawah. Selain untung yang kecil, pengembang juga dihadapkan mahalnya biaya konstruksi dan harga lahan.
 
Untuk itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, mendorong perusahaan pelat merah melanjutkan sinergi BUMN. Misalnya, membangun rusun di dekat area transportasi publik, seperti stasiun kereta api.
 
Saat ini, ada dua BUMN yang terlibat dalam pembangunan rusunami dan rusunawa, yaitu PT Kereta Api Indonesia dan Perumnas.
 
Mantan menteri perindustrian dan perdagangan itu mengatakan, pembangunan rumah susun di tanah PT KAI untuk memaksimalkan aset KAI yang berupa lahan. Selain bisa memenuhi kebutuhan perumahan, rumah susun yang dibangun di tanah itu, diklaim bisa mengurangi kemacetan.
 
"Masyarakat jadi dekat dengan public transportation, sehingga tidak perlu kendaraan pribadi untuk bepergian," kata Rini.
 
Indra Widjaja Antono, vice president Corporate Marketing PT Agung Podomoro Land Tbk, mengatakan minat masyarakat Jakarta untuk membeli hunian vertikal cukup tinggi. Terutama, dalam tiga hingga empat tahun terakhir orang lebih ingin tinggal yang praktis.
 
Indra menilai, permintaan apartemen terbanyak ada di harga kurang dari Rp1 miliar. "Pangsa pasar apartemen di Jakarta saat ini 70-75 persen," ujarnya.
 
Dia mengungkapkan, perseroan pernah membangun apartemen dengan kisaran harga Rp200-300 juta per unit di Kalibata.
 
Selanjutnya, lebih memilih bangun apartemen untuk kelas menengah dengan kisaran harga Rp800 juta sampai Rp2 miliar, dan kelas menengah atas.
 
Tak bisa dipungkiri, pengembang lebih memilih membangun apartemen kelas menengah dan menengah atas juga akibat kurangnya dukungan dari pemerintah.
 
Sedangkan Eddy Hussi mengakui, sejumlah kebijakan pemerintah yang memperingan pembangunan rusun subsidi masih belum jelas.
 
"Misalnya, soal pembebasan PPN (pajak pertambahan nilai) rusunami masih belum diperbaharui sesuai dengan harga yang ditentuan Kementerian PUPR, termasuk pembebasan PPh (pajak penghasilan)nya," tuturnya.
 
Padahal, dalam undang-undang, rumah menjadi salah satu kebutuhan pokok. Sudah seharusnya negara hadir memastikan rakyatnya memiliki rumah yang layak huni.
 
Penyediaan lahan untuk membangun rusunami dan rusunawa di kota besar juga membutuhkan koordinasi antarinstansi dan keberpihakan anggaran.


 
Negara Lain yang Berhasil
 
Mungkin pemerintah perlu mencontoh negara yang sudah merumahkan rakyatnya dengan layak. Nugroho Tri Utami memaparkan, Brasil, India, Singapura, dan Thailand menjadi negara yang sukses mengembangkan rusun untuk MBR.
 
“Hal itu, karena adanya kerja sama dengan swasta. Pemerintah juga berhasil menciptakan iklim yang kondusif dengan menerapkan insentif bagi swasta yang mengembangkan perumahan untuk MBR,” ungkapnya.
 
Selain itu, kerja sama dengan para pemilik tanah dari kalangan masyarakat setempat (landlord), di mana pemerintah bekerja sama membangun rumah sewa dengan landlord setempat dan pengelolaannya diserahkan kepada yang bersangkutan.
 
Menurutnya, keberhasilan penerapan pembangunan rusun di luar negeri karena pemerintahnya berhasil menghapus mitos bahwa, setiap rumah tangga harus memiliki rumah serta rumah yang layak dan aman adalah rumah tapak.
 
“Masyarakat ditekankan bahwa menghuni rumah yang layak dan aman serta dekat ke pusat kegiatan adalah hal terpenting dalam mencapai hidup yang berkualitas. Hal itulah yang kemudian mendorong warganya untuk tinggal di rusun,” katanya.

Sekarang kita hanya menunggu janji Presiden menyelesaikan krisis rumah di Indonesia. Tempat berlindung, beristirahat, juga tempat awal pendidikan mental sebuah keluarga. Kapankah, pemerintah benar bersungguh-sungguh merumahkan rakyatnya? (asp)