Mualaf Berpuasa di New York
- REUTERS/Yuri Gripas
Menariknya, salah satu tokoh kunci yang berjasa bagi perubahan pemahaman itu adalah seorang ulama asal Indonesia, Shamsi Ali. Umat Muslim yang berada di distrik Queens dan sekitarnya di Kota New York tidak asing lagi mendengar namanya.
Shamsi Ali, tokoh kunci yang berjasa bagi perubahan pemahaman Amerika terhadap Islam.
Shamsi berperan penting meluruskan kesalahpahaman sebagian publik Amerika bahwa sejatinya Islam adalah agama dan ajaran cinta damai, bukan seperti pesan yang disampaikan para teroris al-Qaeda saat melancarkan "Tragedi 9/11." Tak lama setelah tragedi itu, Shamsi diundang oleh Presiden George W. Bush untuk berdoa bersama mengenang para korban aksi terorisme.
Sejak itu, Islam di Amerika berkembang pesat. Makin banyak orang yang ingin mempelajari Islam, bahkan menjadi mualaf. Salah satunya berkat syiar damai yang dibawakan Shamsi. Namun, dia pun mengedepankan semangat toleransi antarumat.
Shamsi rutin menggunakan momen Ramadhan untuk lebih giat menunjukkan indahnya kebersamaan antar warga dari berbagai keyakinan. Imam di Pusat Islam New York itu, yang berdomisili sejak 1997, kerap mengundang warga New York non Muslim untuk berbuka puasa dan kegiatan halal bihalal.
Dengan cara itu, Shamsi memiliki kesempatan untuk turut menginformasikan mengenai nilai-nilai Islam agar tak salah kaprah. Dia mengaku kerap ditanya oleh warga New York mengapa harus menyiksa diri dan berpuasa selama 17 jam di bulan Ramadhan.
"Dengan melalui acara-acara berkumpul bersama itulah, saya memiliki peluang untuk menjelaskan jawabannya kepada warga non Muslim," kata Shamsi.
Dia menjelaskan, di New York, terdapat sekitar 800 ribu hingga 1 juta pemeluk Islam. Sementara, jumlah WNI Muslim sangat kecil.
"Di New York, total terdapat sekitar 5.000 WNI. Separuhnya merupakan Muslim," Shamsi menambahkan.
Dia mengatakan, secara umum, Negeri Paman Sam merupakan negara yang sangat toleran. Di dalam konstitusinya tertulis jelas untuk menjamin agar warganya bisa menjalankan agama apa pun tanpa pandang bulu.
"Saya sendiri merasakan, karena sudah ada di dalam undang-undangnya. Setiap warga AS berhak menjalankan agama apa pun. Saya pribadi tak pernah melihat AS memperlakuan warga mana pun secara diskriminatif," Shamsi memaparkan.
Dia pun mengakui memang masih ada beberapa kasus yang terjadi terkait isu kebencian atau rasisme. Tetapi, dia menegaskan hal tersebut tak menggambarkan AS sepenuhnya.
Jumlah umat Muslim di AS kian berkembang pesat. Mereka diberikan kesempatan setara untuk bisa berprestasi di berbagai bidang mulai dari politik, pendidikan dan ekonomi.
Dia mengatakan kini, Umat Muslim di AS sedang berada di tahap integrasi. Sebab, umat Muslim saat ini masih dikenal berorientasi etnis.
"Ada Muslim Bangladesh, Pakistan, dan lain-lain. Tetapi, kini di beberapa negara bagian mereka mulai membaur dan tak terlalu terlihat lagi dengan jelas sekatnya," kata Imam yang dijuluki media New York Magazine sebagai pemimpin Muslim paling berpengaruh di kota itu.
Shamsi juga sempat mengisi ceramah dalam acara buka puasa di Masjid Al-Hikmah, kawasan Astoria, New York. Menurut informasi yang diterima VIVA.co.id dari Pejabat bidang konsuler KJRI New York, Benny YP Siahaan, acara bukber yang digelar tanggal 27 Juni lalu itu digelar dengan menggandeng organisasi Indonesian Banker's Club (IBC).
Hasilnya, acara tersebut sukses dihadiri lebih dari 400 orang.
"Jadi kami patungan dengan IBC. Mereka menyediakan takjilnya, sementara KJRI menyediakan makan malamnya," kata Benny yang dihubungi melalui telepon.
Mualaf Amerika
Berkah Ramadhan juga dirasakan mualaf Amerika. Salah satunya seorang pemrogram komputer, Shannon Johnson, yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di New York. Dikutip dari laman VOA News, Johnson mengaku belum lama menjadi seorang mualaf.
Dia berkisah, ketika awal berpuasa lebih dari 16 jam, sulit bagi dia untuk menyesuaikan diri. Johnson juga khawatir soal berpuasa sebelum Ramadhan tiba.
"Ya, saya punya kekhawatiran besar soal puasa, karena saya tidak tahan panas dan juga khawatir karena tak bisa minum," ujar Johnson.
Tetapi, setelah dijalani, nyatanya tak sulit. Di awal, Johnson mengaku kesulitan, tetapi setelah berhasil menyesuaikan diri, dia mengatakan sudah mulai terbiasa. Sayangnya, ketika berpuasa, dia mengaku tak bisa berolah raga.
Tantangan lain yang dihadapi Johnson yaitu menjelaskan kepada keluarga dan kolega yang baru mengetahui dia sedang berpuasa.
"Mereka jelas tidak mengerti hal-hal seperti itu, mereka bertanya-tanya mengapa saya melakukan itu Bahkan, mereka juga meragukan kemampuan saya berpuasa. Tetapi, keyakinan saya kuat, sehingga saya tak khawatir akan apa yang dikatakan atau dipikirkan oleh orang lain," papar dia.
Untuk bisa meyakinkan diri sendiri, keluarga dan komunitas Muslim sangat membantu agar seorang Mualaf dapat lancar menjalankan ibadah puasa. Istri Shannon, Irma Meitia, misalnya, mengaku memberi contoh dengan menjalankan berbagai ibadah secara konsisten.
Mereka kerap berdiskusi mengenai Islam dan Muslim. Pasangan suami istri itu juga menyempatkan diri untuk ikut acara berbuka puasa bersama komunitas Muslim Indonesia di kota mereka. (ren)