Saat Matahari Tak Kunjung Terbenam
- iStockPhoto
VIVA.co.id - Jarum jam menunjuk pukul 17.52 WIB. Azan Maghrib pun berkumandang. Terdengar merdu mendayu di sebuah musala kecil di pinggiran Bogor.
Tanda waktu berbuka pun tiba. Sekelompok anak bergegas menyantap kolak yang disediakan sebagai takjil di musala itu. Hari itu, bulan Ramadhan telah memasuki hari ke-16.
Berbuka bersama di musala atau masjid, memang rutin terjadi setiap Ramadhan. Aktivitas serupa juga ditemui di berbagai daerah di Indonesia.
Namun, di saat umat Islam di Indonesia sedang berbuka, Kurniawan harus bersabar. Diplomat Indonesia di Spanyol itu masih harus menunggu 4 jam lagi untuk berbuka.
"Ramadhan ini adalah yang pertama kali bagi saya, berpuasa dari pukul 04.30 hingga 21.50," kata Kurniawan, yang baru lima bulan menjalani penempatan di Madrid, sejak akhir Januari 2015.
Ya, Kurniawan hanyalah salah satu contoh kecil bagaimana warga negara Indonesia (WNI) menjalankan puasa di perantauan. Setiap bulan suci Ramadhan, umat Muslim dunia akan berpuasa menahan lapar dan dahaga.
Untuk Indonesia, waktu Imsak antara pukul 04.29-04.34 WIB dan Maghrib antara pukul 17.49-17.55 WIB.
Periode puasa di Indonesia berlangsung sekitar 13 jam 20 menit. Waktu yang berbeda akan terjadi pada bagian lain dunia, dengan waktu terpendek sekitar 9 jam, sedangkan yang paling lama 22 jam.
Imsak dan Maghrib ditentukan berdasarkan waktu terbit dan terbenamnya Matahari. Lantas, bagaimana di kawasan Lingkar Kutub Utara, di mana Matahari akan bersinar hampir 24 jam selama musim panas?
"Sudah tiga tahun ini puasanya lama, karena berlangsung saat musim panas," kata Luky Setyarini, ibu satu orang anak serta mahasiswi Teknik Informatika di Hochschule Bonn Rhein Sieg, Jerman, kepada VIVA.co.id pekan ini.
Periode puasa di Jerman berlangsung sekitar 18 jam 30 menit, dengan Imsak pada 03.24 dan Maghrib 21.54. Jadi, saat Muslim di Indonesia selesai Salat Tarawih, Muslim di Jerman masih menunggu hampir dua jam untuk berbuka.
Bukan hanya waktu berbuka yang lebih lama, karena waktu Imsak pun lebih cepat satu jam. Di Bonn, Jerman, hanya ada waktu sekitar lima jam saja, antara waktu berbuka hingga sahur.
Itu tidak selama di negara-negara Nordik, di antaranya Norwegia yang periode puasanya antara 20 jam hingga hampir 22 jam. "Semakin ke utara, bertambah panjang," kata Sakti Tanripada, yang tinggal di kota Stavanger.
Penentuan Waktu
Sakti menjelaskan, Norwegia memiliki wilayah yang memanjang dari utara ke selatan, masuk dalam kawasan Lingkar Kutub Utara, di mana Matahari bersinar sepanjang 24 jam.
Penduduk di wilayah selatan Norwegia masih dapat menikmati Matahari terbenam. Sementara itu, di utara silakan buka rekaman video saja, karena tidak akan mendapat pemandangan Matahari terbit dan terbenam.
"Pada dasarnya, saat ini tidak pernah benar-benar ada malam," kata Sakti. Untuk penentuan Imsak dan Maghrib, penduduk di selatan dapat mengikuti waktu setempat. Sementara itu, di utara ada beberapa pilihan.
Sebagian memilih untuk merujuk waktu puasa di Mekah, lainnya merujuk pada waktu di negara Muslim terdekat. "Ada penyesuaian untuk daerah ekstrem. Tidak mungkin juga kan puasa 23 jam 30 menit," ucap Sakti.
Selain di Norwegia, penyesuaian waktu puasa juga terjadi di Jerman. "Kesepakatan bersama juga. Ada yang mengikuti negara Muslim terdekat seperti Turki atau Arab Saudi," kata Luky.
"Ada yang bilang boleh, dari sebelum Matahari terbit. Ada juga yang ketat harus dari Subuh," ujarnya.
Luky hanya tertawa, ketika ditanya apakah dia memilih waktu puasa bervariasi setiap harinya.
Dia menanggapi kemungkinan itu dengan bergurau. "Boleh saja. Tapi, nanti gue dikecam orang se-Indonesia Raya, karena menentukan Imsaknya jam berapa. Tapi, bukannya agama itu semangatnya memudahkan umat?," tuturnya.
***
Makan Dirapel
Sisa waktu yang cukup singkat, antara saat berbuka dan sahur, membuat sebagian merapelnya. "Buka puasa normal, tapi sahurnya malas, jadi kadang-kadang dirapel saat buka puasa," ucap Luky.
"Sahur biasanya ditambah minum susu saja, biar kuat. Paling penting itu minum dan minum, karena udara di sini kering sekali. Orang Indonesia beruntung udaranya lembap, jadi tidak mudah dehidrasi," katanya.
WNI lainnya di Jerman, Prilly Anastasia Siregar, menyebut temperatur saat ini mencapai 39 derajat. "Terasa sekali beratnya, apalagi anak sudah libur musim panas, jadi harus mencarikan aktivitas," katanya.
"Sementara, beres-beres rumah juga tetap harus dilakukan, jadi lumayan lemas juga, sih," kata ibu satu orang putra berusia 7 tahun itu. Namun berbagai hal itu, tetap disebutnya tidak menjadi kendala.
Hanya dua hingga tiga hari pertama, ketika tubuh masih melakukan penyesuaian. Hari-hari berikutnya tubuh sudah terbiasa. "Lapar tidak terlalu, yang sulit sebenarnya menahan kantuk," ujarnya.
Selain pola makan, pola tidur adalah kendala yang berat. Apalagi, jam kerja dan sekolah di Jerman yang bukan negara Muslim, tidak ada penyesuaian seperti yang terjadi di Indonesia.
Bayangkan menunggu waktu berbuka puasa, sekitar pukul 10 malam, setelah aktivitas harian yang melelahkan. Prilly menyebut hal itu dirasakan oleh suaminya, yang tetap harus bekerja seperti biasa.
***
Makanan Halal
Menurut Sakti, tidak ada kendala soal makanan, karena terdapat toko yang menjual makanan halal, sekalipun hanya ada sekitar 300 orang Muslim, dari total 500.000 penduduk di kota Stavanger.
Pada setiap kota di Norwegia, juga terdapat setidaknya satu masjid di setiap kota. Sementara itu, di Jerman, mencari makanan halal juga bukan persoalan, karena terdapat banyak toko Turki dan Arab.
"Daging halalnya dari Belanda atau Prancis, yang membolehkan rumah potong menyembelih hewan ternak secara Islami. Di Jerman aturan menyembelih ternak sangat ketat," kata Luky.
Penyembelihan ternak secara Islami disebut Luky bertentangan dengan aturan di Jerman. "Misal sapi dan ayamnya harus pingsan atau tidak sadar sebelum dipotong, supaya tidak merasakan sakit," tuturnya.
"Sementara itu, cara yang Islami kan, sapi dan ayamnya tidak boleh pingsan, harus dalam keadaan sadar. Kalau di Jerman caranya disetrum dulu sampai pingsan hewannya, tapi tidak sampai mati," ucapnya.
Sejauh ini, sudah atau pernah ada sekitar dua rumah potong Islami, yang dianggap memenuhi persyaratan di Jerman, dengan izin hasil pengecualian, karena adanya protes dari warga Muslim.
Namun, akhirnya produk mereka tidak laku, karena harganya yang mahal. "Cara Islami biayanya tinggi, seperti daging organik, jadi harga jualnya juga mahal. Serba salah," kata Luky, yang telah 11 tahun tinggal di Jerman.
Lalu, bagaimana dengan pandangan warga negara asing terhadap pendatang Muslim?
"Banyak gue dengar atau baca, orang Eropa tidak toleran pada orang asing, khususnya Muslim. Itu sama sekali tidak benar. Mereka sangat pengertian dan toleran," turut Luky, menceritakan pengalaman pribadinya.
Dia mencontohkan kebiasaannya makan siang bersama rekan kerja. "Saat makan siang, pasti mengajak, dong. Spontan gue bilang, maaf sebulan ini tidak bisa ikut dulu, karena sedang puasa. Reaksi mereka kaget, malah minta maaf," katanya.
"Hari berikutnya, mereka kalau mau makan atau minum bersembunyi. Gue bilang kalau mau makan atau minum di depan saya, tidak apa-apa. Tapi tetap saja, kalau ada yang ketahuan minum kopi, mereka minta maaf."
Luky juga menceritakan pengalamannya di rumah sakit. Khawatir mengganggu pasien lain, dia meminta izin bangun pagi untuk Salat Subuh pada perawat, serta pasien lain yang sekamar dengannya.
"Mereka bilang tidak apa-apa, malah besoknya kira-kira jam empat, perawat datang membangunkan, supaya gue Salat Subuh," ucapnya. Disebut Luky, hanya ada segelintir orang Jerman yang tidak toleran.
Mereka membenci orang asing, tidak khusus hanya Muslim. "Xenophobia. Mereka tergolong orang kanan dan ekstrem kanan. Tapi sedikit sekali, mereka langsung dilawan oleh orang-orang Jerman yang toleran."
"Demonstrasi pegida (kelompok anti-Islam) atau sejenisnya, hanya dihadiri 20 orang. Di Koln malah cuma 6 orang. Tapi yang demonstrasi anti-pegida ada ribuan orang. Jadi kelihatan, pembenci Muslim cuma sedikit."
Toleransi dan Godaan
Sakti mengatakan, di Norwegia yang mayoritas ateis, beda keyakinan tidak menjadi persoalan. "Pada dasarnya orang menghargai perbedaan, termasuk pandangan dan keyakinan," ujarnya.
"Di tempat kerja, banyak yang heran kok mau puasa, bisa bertahan dan bekerja seperti biasa. Lebih heran lagi, saat mereka tahu kalau minum pun tidak boleh," kata Sakti, yang harus bekerja antara pukul 08.00-16.00 setiap hari.
Toleransi di negara-negara Eropa memang berbeda dengan Indonesia, di mana restoran dan kedai makan biasanya diminta untuk tutup selama Ramadhan, demi menghormati mereka yang berpuasa.
Rumah makan tetap buka, orang-orang makan minum dengan bebasnya, jam kerja seperti biasa tanpa pengecualian pulang lebih cepat. "Tapi itu tidak mengganggu khusyuknya ibadah puasa," ucap Prilly.
"Madrid ini kota turis, jadi godaan bagi yang berpuasa sungguh besar juga. Restoran selalu terbuka," kata Kurniawan, diplomat Indonesia di Spanyol.
Kurniawan saat ini menjabat sebagai koordinator Fungsi Pensosbud Kedutaan Besar RI di Madrid.
Sementara itu, untuk toleransi, tidak ada persoalan di Madrid. Komunitas-komunitas Muslim tumbuh dan berjalan, baik itu komunitas Islam global maupun diaspora, seperti komunitas Islam Indonesia.
***
Makna Puasa
Meski baru pertama kali menjalani puasa di negeri orang, Kurniawan mengaku tidak ada keterkejutan dengan waktu puasa yang lama. Karena puasa itu dijalani bukan tanpa paksaan, namun penuh kesadaran sebagai ibadah yang memperkuat keimanan.
"Semua tidak berat karena terbiasa. Kembali juga ke niatnya. Kalau memang niat benar dan berserah diri, Insha Allah diberikan kemudahan. Seperti anak miskin yang niatnya benar sekolah untuk memperbaiki hidup," ucap Sakti.
Berpuasa di kampung halaman atau negeri orang, memiliki kelebihan masing-masing. "Di sini ibadah itu jadi hal yang pribadi sekali. Itu mungkin enaknya. Malah semangat dan penuh motivasi," kata Luky.
Di negeri lain yang non-Muslim, Ramadhan tidak menjadi saat istimewa, tidak ada perlakuan khusus. Namun, hal itu yang menurut Luky, membuatnya merasakan makna puasa sebagai ibadah.
Untuk mengobati rindu pada kampung halaman, komunitas bisa menjadi sedikit pelepas. Prilly mengatakan di Jerman ada komunitas Indo Muslim Bonn (IMB), yang menggelar silaturahmi sebulan sekali.
Tapi selama Ramadhan, mereka bertemu setiap pekan pada Sabtu. Mereka menggelar acara buka bersama, Salat Tarawih, bahkan sampai sahur, yang dimungkinkan karena singkatnya jeda waktu buka dan sahur. (art)