Lian Gogali, Perempuan Agen Perdamaian Poso
Sabtu, 18 April 2015 - 01:17 WIB
Sumber :
- www.facebook.com/lian.gogali
VIVA.co.id
- Sudah empat hari ini ibu-ibu di Kecamatan Poso Pesisir, Poso Kota dan Tentena, sibuk menggagas konsep pembangunan berbasis perdamaian. Mereka berdiskusi di sebuah balai desa sederhana, mengonsep bagaimana perempuan bisa terlibat aktif dalam pembangunan desa.
Ratusan ibu-ibu ini menyoroti pembangunan di Poso, paska konflik yang mendera daerah ini selama hampir dari satu dekade, hanya terfokus pada pembangunan fisik semata, tanpa memperhatikan pembangunan manusia dalam menciptakan perdamaian di wilayah itu.
Diskusi siang itu berlanjut, para ibu juga mengkonsep naskah akademik peraturan daerah tentang perlindungan partisipasi perempuan dalam Undang-Undang Desa. Mereka ingin menjadi bagian aktif dalam proses pembangunan desa, yang selama ini kecenderungannya hanya melibatkan kepala desa, tokoh masyarakat maupun tokoh adat.
Peran aktif ibu-ibu di Poso ini tak lepas dari tangan dingin Lian Gogali. Wanita kelahiran Taliwan, 28 April 1978 silam, merupakan seorang aktivis perempuan yang bertekad membangun semangat perempuan-perempuan Poso, mengubah dari trauma ketakutan akibat konflik horisontal di Poso, menjadi sebuah kekuatan.
Ratusan ibu-ibu di Poso kini dapat lantang berpendapat, berkumpul atau bergaul dengan orang, sekalipun beda keyakinan. Sebelum ini, ketika konflik Poso masih berkecamuk, warga Poso saling benci, curiga dan menebar permusuhan satu sama lain. Tak ada yang berani lantang bersuara, apalagi berkumpul dengan orang yang beda keyakinan.
Lian mengubah cara pandang itu. Melalui Sekolah Perempuan Mosintuwu yang dia dirikan pada 2009 lalu, perlahan para perempuan yang merupakan murid di sekolah itu punya keberanian menyatakan pendapat. Mereka tak lagi takut duduk bersama, berkumpul bersama orang lain, meskipun beda keyakinan.
Lian paham betul akar permasalahan konflik sosial yang terjadi di Poso. Meskipun saat konflik itu terjadi, Lian tidak ikut merasakan, sebab saat kejadian dia tengah kuliah di Yogyakarta. Namun rumah keluarga Lian di Poso terkena imbas konflik tersebut. Rumahnya dibakar dan isinya dijarah.
Pengalaman buruk itu yang membuat Lian bertekad meneliti, apa sebenarnya yang memicu konflik di Poso. Pada sekitar tahun 2003-2004, Lian memutuskan melakukan penelitian di sejumlah tempat, termasuk pengungsian warga saat konflik Poso terjadi.
Dari riset dan wawancara dengan sejumlah perempuan dan anak-anak di pengungsian, Lian berkesimpulan bahwa perempuan sebenarnya memiliki peran pertama dan utama dalam perdamaian konflik dan paska konflik Poso.
"Peran mereka sangat signifikan dan masif," kata Lian saat berbincang dengan VIVA.co.id , Jumat, 17 April 2015.
Salah satu buktinya adalah ketika Lian mewawancarai seorang perempuan muslim yang bekerja sebagai penjual ikan di kawasan pesisir Poso. Bagi dia, perempuan itu merupakan aktor utama perdamaian di Poso paska konflik.
Perempuan itu nekat menjual ikan di saat konflik Poso tengah berkecamuk. Dia berjalan puluhan kilometer untuk menjual ikan kepada siapa saja, tak perduli beda etnis atau keyakinan. Sempat terpikir di benak perempuan itu bahaya yang akan dia alami, tapi semangatnya mengalahkan semua ketakutan.
Saat konflik terjadi, warga beragama Kristen menolak ikan yang dijual orang Muslim dari Poso pesisir karena takut diracun. Begitu juga sebaliknya, warga Muslim takut membeli sayuran dari warga Kristen. Seolah, sayuran dan ikan-ikanan saat itu punya 'agamanya' masing-masing.
"Dia Muslim, dia jual ikannya ke orang Kristen, dia tidak takut terbunuh. Itu jadi simbol. Alasannya sederhana, kalau tidak jual ikan, anak sama suaminya mau makan apa? Ini mencairkan situasi," ujar Lian yang pernah memperoleh penghargaan Coexist Prize, New York 2012, Unsung Hero untuk Isu Interfaith ini.
Sekolah Perempuan
Perjuangan perempuan dalam mewujudkan perdamaian di Poso ini yang membuat Lian merasa terpanggil untuk kembali dan menetap di Pamona, Poso, usai menyelesaikan gelar masternya dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2009 lalu. Lian sempat bekerja di Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai Koordinator Program Wilayah Poso.
Berbekal pengalaman yang cukup di AMAN, pada 2009 Lian Gogali mendirikan sebuah perkumpulan yang menjadi wadah orang-orang bekerja untuk upaya perdamaian pada saat konflik dan pasca konflik di wilayah Kabupaten Poso dan sekitarnya. Perkumpulan itu diberi nama Institut Mosintuwu. Dalam bahasa Pamona berarti kebersamaan.
Institut Mosintuwu sendiri berdiri atas keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik dibalik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada masyarakat miskin dan marginal, kini beranggotakan ribuan perempuan Poso dari berbagai latar belakang suku dan agama yang ada di Kabupaten Poso.
"Saya mendirikan Institut Mosintuwu sebagai organisasi masyarakat akar rumput yang fokus bekerja untuk isu perempuan dan anak di wilayah pasca konflik Poso," ujar Lian Gogali yang juga direktur di lembaga tersebut.
Perempuan menjadi isu yang sangat penting, karena merupakan penggerak perdamaian pertama dan utama dalam masyarakat akar rumput saat konflik maupun setelah konflik Poso. Apalagi perempuan-lah yang berada di desa, tapi pada saat bersamaan harus berhadapan dengan lapisan kekerasan, budaya patriarki juga membuat suara kaum perempuan tak didengar atau dianggap tidak penting.
Berangkat dari hal itu, Lian mengatakan, perlu membuka ruang khusus, ruang alternatif yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan dalam berpartisipasi aktif bagi pembangunan perdamaian di Kabupaten Poso maupun dalam mengembangkan diri.
"Gerakan ini adalah gerakan yang membuka ruang alternatif bagi perempuan dan anak-anak berbicara dan bersuara, menyampaikan sikap dan tindakan dari perspektif perempuan untuk membangun perdamaian dan keadilan di Poso melalui aksi dalam kehidupan sehari-hari," paparnya.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, selain mendirikan Institut Mosintuwu, Lian Gogali juga mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu, yang merupakan sekolah alternatif yang mengumpulkan perempuan dari berbagai agama, suku dan latarbelakang sosial, ekonomi dan politik untuk belajar bersama untuk meningkatkan pengetahuan, mengembangkan kreativitas dan bekerja bersama.
Selain menggelar diskusi dan menjadi relawan, serangkaian kampanye perdamaian seringkali dilakukan oleh Lian Gogali dan kawan-kawannya dari sekolah perempuan.
"Nah, sekolah perempuan ini bertujuan untuk menimbulkan kepercayaan diri masyarakat, dengan semakin percaya diri akan membuka ruang lain untuk berkampanye tentang kedamaian dan keadilan," kata Lian.
Namun jauh sebelum itu, awal mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu, ia menemui banyak kendala. Dana yang terbatas, membuat sekolah angkatan pertama dilaksanakan di teras rumah kontrakannya di Pamona. Namun kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lancar dengan murid awal berjumlah 80 orang ibu-ibu rumah tangga dengan komposisi Muslim 40%, Kristen 50% dan Hindu 10%.
Lian membiayai sendiri kegiatan di sekolah perempuan itu, melalui bekerja sebagai peneliti dan penulis. Hingga akhirnya, rekan Lian sesama peneliti merekomendasikan dia untuk mendapat bantuan dana untuk sekolahnya kepada Organisasi Internasional Mensen Met Een Missie. LSM asal Belanda itu pun tertarik dengan program yang dijalankan Lian, mereka sepenuhnya membantu operasional Sekolah Perempuan Mosintuwu.
Sekolah perempuan itu dibangun secara matang oleh Lian. Dibantu oleh sejumlah rekannya, Lian menyusun mata pelajaran yang diajarkan di dalam Sekolah Perempuan. Diantaranya soal toleransi dan perdamaian, gender dan isu-isu politik, public speaking, menonton film bersama dan mengunjungi tempat-tempat ibadah.
"Outputnya para siswa diminta tidak lagi ada curiga satu sama lain, dendam, menghilangkan trauma, saling percaya dan kerjasama," ujar Lian.
Tak terasa, sekolah perempuan yang digagas Lian makin berkembang. Setelah angkatan pertamanya lulus, banyak daerah lain di sekitar Poso minta didirikan Sekolah Perempuan. Lian kini telah memperluas jaringan dengan mendirikan sekolah perempuan di 10 desa. Tempat belajarnya pun masih sederhana, kadang di rumah warga, balai desa atau ruang terbuka.
"Kita memang tidak pernah buat acara di tempat-tempat mewah, paling mewah ya balai desa. Bukan tempatnya, tapi apa yang kami sampaikan dapat diterima dengan baik," kata perempuan yang pernah dianugerahi Women of Change, 2015, US. Embassy.
Institut Mosintuwu sendiri berdiri atas keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik. Foto: www.facebook.com/lian.gogali
Makna Kartini
Khusus untuk memperingati Hari Kartini 21 April 2015, Lian Gogali melalui Institut Mosintuwu akan melakukan dialog dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Kepolisian, dan TNI melalui Kodim 1307 Poso, untuk membicarakan soal kebijakan keamanan. Lian ingin pemerintah mendengarkan suara perempuan menyangkut keamanan Poso.
"Jadi ini berkaitan dengan suara perempuan. Dari pertemuan itu, kami berharap ada dukungan positif nantinya," tuturnya.
Lian menilai, gencatan senjata yang terjadi di Poso belakangan ini sebenarnya bukan konflik seperti yang terjadi satu dekade silam. Menurut dia, situasi ini terjadi akibat gangguan keamanan yang dilakukan kelompok bersenjata di Poso. Adapun hubungannya lebih kepada kekerasan vertikal antara negara dengan kelompok bersenjata.
"Urusan perdamaian di Poso itu sudah selesai. Sejak awal kita sudah saling mengunjungi (Kristen maupun Muslim). Ini kekerasan vertikal kepada aparat atau negara," kata Lian.
Kendati demikian, Lian mengimbau kepada aparat penegak hukum agar lebih humanis dan memperhatikan dampak yang dialami warga sekitar, bila melakukan penindakan kasus terorisme di Poso. Terkadang penindakan itu dibarengi aksi kekerasan, yang membangkitkan trauma warga Poso.
Lian punya pengalaman, betapa tindakan aparat di Poso kerap membangkitkan trauma warga. Tahun lalu, ketika dia sedang mengajar Sekolah Perempuan di Desa Kilo, Pesisir Utara Poso, tiba-tiba terdengar suara baku tembak. Rupanya sedang terjadi penangkapan terduga teroris.
"Kepala desa panik, sedang terjadi penangkapan. Salah satu ibu pernah ditodong senjata sama bayinya. Ini membangkitkan trauma dan kebencian," dia menegaskan.
Terlepas dari hal itu, Lian mengharapkan, perempuan dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Dengan melibatkan perempuan sama dengan memaknai perjuangan Kartini dalam mewujudkan emansipasi wanita di berbagai sektor.
"Tidak ada warga negara kelas dua, perempuan bersama yang lain berhak menentukan kehidupannya dan kehidupan dalam masyarakat melalui keterlibatan aktif dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik," kata Lian.
Di Hari Kartini pada 21 April 2015, Lian Gogali bersama seluruh perempuan Poso yang tergabung dalam Komunitas Sekolah Perempuan, berencana akan kembali turun ke jalan. Mereka akan mengkampanyekan pesan damai, dengan simbol obor yang dinyalakan, menyanyikan lagu, puisi dan pembacaan surat-surat yang berisikan seruan damai. Kegiatan itu merupakan dukungan terhadap pembangunan keamanan di Poso.
Kegiatan tersebut nantinya akan digelar di pertigaan desa Ratulene, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang dimaksudkan untuk memberi dukungan psikologi kepada perempuan-perempuan Poso di wilayah tersebut, atas peristiwa kekerasan yang terjadi di sekitar wilayah itu beberapa waktu lalu.
Lian bersama perempuan Poso tak henti-hentinya berkampanye untuk membuka ruang bicara serta akses ruang publik dan ruang politik bagi perempuan Poso, sehingga perempuan bisa berpartisipasi aktif dalam pembangunan, perdamaian dan mendapatkan keadilan.
"Kembalikan ruang bersuara, berbicara dan bergerak milik perempuan yang diambil alih oleh konsep-konsep ke-ibu-an yang melumpuhkan gerakan perempuan melalui kebijakan yang inklusi gender dan sosial," katanya lantang. (umi)
Mitha Meinasi - Poso