Hidup Bersama Sampah
- ANTARA/Iggoy el Fitra
VIVA.co.id - Jarum jam menunjuk pukul 08.00 WIB. Pagi itu, Sanusi sudah menyusuri deretan kios di Pasar Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Mata petugas Satpol PP itu tak henti menyorot setiap sudut pasar. Dari tepian kios hingga lorong jalanan.
Tiba-tiba langkah Sanusi terhenti. Seorang pedagang membawa plastik bekas dengan sampah di dalamnya. Langkah kaki pedagang itu menuju sebuah kali, tak jauh dari pasar.
Sejurus kemudian, bungkusan plastik itu berpindah tempat. Tanpa rasa bersalah, pedagang itu melemparkan plastik yang dibawanya ke tumpukan sampah yang mulai menggunung di tepi kali.
"Saat lihat orang itu buang sampah di depan mata saya, ya langsung saya semprit dan samperin orang itu," kata Sanusi kepada VIVA.co.id.
Mendapat teguran dari Sanusi, dengan wajah merah merona karena malu, pedagang itu sedikit terkejut. Dia berkilah, hanya mengikuti orang lain yang terlebih dahulu membuang sampah di tempat itu.
"Saya bicara baik-baik dan memberitahu bahwa perbuatan itu salah, karena telah membuang sampah sembarangan," ujarnya.
Petugas kebersihan membersihkan eceng gondok dan sampah yang menghambat aliran Kali Mookervart di Jakarta, Kamis (12/2/2015). Foto: ANTARA/Vitalis Yogi Trisna
Persoalan sampah itu pula yang sempat membuat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama berang. Pagi di awal pekan itu, Senin 9 Februari 2015, menjadi saksi mimpi buruk warga DKI. Jakarta dilanda banjir. Lima wilayah kotamadya di Jakarta tak luput dari rendaman air.
Jalan protokol, permukiman warga hingga sekolah dan pusat-pusat bisnis serta perbelanjaan tergenang. Celakanya, Istana Negara dan Balai Kota ikut terendam.
Ahok --sapaan Basuki Tjahaja Purnama-- naik pitam. Apalagi, ketika mengetahui kamera CCTV pemantauan air Sungai Ciliwung yang terpasang di Masjid Istiqlal tidak berfungsi. Dalam pikiran Ahok, yang terlintas saat itu ada upaya sabotase agar Balai Kota dan Istana Negara terendam banjir.
Tapi, tuduhan Ahok tentang upaya sabotase itu tidak terbukti. Saat dilakukan pemeriksaan guna mencari penyebab banjir di Balai Kota, petugas kebersihan menemukan pemicunya. Sampah kardus bekas. Kardus bekas ditemukan di dalam saluran pembuangan air di halaman Balai Kota.
"Mungkin ada beberapa pekerja bangunan yang bekerja di hari Sabtu dan Minggu, tidak membuang sampah kardus bekas material bangunannya dengan benar. Harusnya tidak boleh begitu," kata Denny Wahyu Haryanto, kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta.
Denny pun memerintahkan petugas Dinas Kebakaran untuk menyedot seluruh air yang merendam Balai Kota setelah kardus bekas diangkat dari dalam saluran air.
Volume Sampah
Perilaku membuang sampah di sembarang tempat tidak hanya terjadi di Pasar Serdang. Kini, sampah dapat dijumpai di seluruh sudut dan tengah kota Jakarta. Sungai dan waduk menjadi tempat sampah raksasa bagi warga yang tidak bertanggung jawab.
Bayangkan saja, dalam setiap hari, penduduk Jakarta memproduksi sampah tak kurang dari 6.000 ton hingga 7.000 ton. Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Nirwono Jowa menuturkan, jika diuraikan menurut data dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 6.500 ton sampah per hari terdiri atas 53 persen sampah rumah tangga dan sisanya sebanyak 47 persen adalah sampah industri.
"Dari 6.500 ton, hanya 54 persen sampah yang dapat terangkut dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang, Bekasi. Sisanya akan menumpuk dan tersebar di sungai, saluran air, TPS (Tempat Pembuangan Sampah) RT/RW atau kelurahan," kata Nirwono.
Jumlah ini belum termasuk dengan timbunan sampah yang telah menahun di bantaran sungai dan waduk. Ditambah dengan sampah kiriman dari kota-kota penyangga yang tiba di Jakarta karena terbawa arus sungai. [Lihat juga video di].
Ironisnya, Jakarta tidak memiliki sistem pengolahan sampah. Berton-ton sampah saat ini hanya ditampung dan dikirim ke TPA Bantar Gebang di Bekasi, tanpa terlebih dahulu melalui proses pemilahan.
Kondisi ini tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar Indonesia lainnya seperti Bandung, Surabaya, dan Makassar. Namun, dari semua kota besar itu, Jakarta adalah kota terbanyak dalam hal memproduksi sampah.
Surabaya dan Bandung hanya memproduksi sampah dengan volume 1.400 ton per hari. Sementara itu, Makassar jauh lebih sedikit yakni sekitar 800 ton per hari.
Wagub DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Agus Sutomo menyusuri Sungai Ciliwung, Rabu (11/2/2015). Foto: ANTARA/Widodo S. Jusuf
Berbagai upaya pun telah ditempuh Pemprov DKI Jakarta. Mulai dari pengelolaan sampah hingga razia terhadap pembuang sampah sembarangan.
Razia yang dilakukan Sanusi itu adalah salah satunya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin menjadikan ibu kota bebas sampah. Tindakan Sanusi dan petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kemayaron dalam razia sampah mengacu aturan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Yakni, Perda 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, dan perda lain tentang pengolahan sampah.
Pembuang sampah sembarangan itu selanjutnya diproses ke petugas PPNS kecamatan. Kesalahan mereka, tertangkap basah membuang sampah di sembarang tempat.
"Kalau yang ketahuan jauh dari kecamatan, kami hanya melapor ke PPNS. Kami minta data lengkap orang tersebut, untuk dilaporkan ke PPNS, bahkan ada yang KTP-nya ditahan," ujar Sanusi.
Setelah didata petugas, pelaku pembuang sampah tak lantas diberikan sanksi dan hukuman. Mereka masih harus menunggu hingga satu pekan untuk menjalani persidangan yang digelar secara kolektif.
Dalam kasus pelaku pembuang sampah di Pasar Serdang itu umumnya pedagang. Meski sejumlah personel Satpol PP disiagakan untuk merazia pelakunya, tetap saja sampah menggunung setiap hari, terutama di aliran kali.
Tak hanya pedagang, warga juga memanfaatkan kesempatan untuk membuang sampah di tempat itu. Agar tidak tertangkap basah, sampah dibuang di pagi buta antara pukul 06.00 WIB hingga 07.00 WIB.
Di kawasan itu, tidak semua pelaku pembuang sampah ditindak melalui jalur sidang. Ada tingkatan pembuang sampah yang hanya diberi hukuman untuk memungut kembali sampah yang mereka buang. Salah satunya adalah puntung rokok dan bungkus permen.
Jakarta Selatan merupakan salah satu wilayah di DKI Jakarta yang sudah menerapkan tindakan tegas terhadap pelaku pembuangan sampah di sembarang tempat. Sudah lebih dari 100 orang yang ditangkap dan mendapatkan sanksi setimpal karena membuang sampah.
Untuk menjerat pelaku pembuang sampah tidak mudah. Karena pelaku selalu menanti waktu tertentu untuk membuang sampah.
Wali Kota Jakarta Utara, Rustam Efendi, mengatakan, razia yang dilakukan Sanusi untuk menekan volume sampah di Jakarta Pusat sangat menentukan bagi lingkungan di Jakarta Utara. Karena, sebagai wilayah hilir, Jakarta Utara menjadi lumbung sampah bagi sampah-sampah asal wilayah Jakarta lain yang hanyut terbawa arus sungai.
Kondisi itu diperparah dengan belum adanya pola pengolahan sampah yang efektif. Sistem pengolahan sampah 3R (reduce, reuse, recycle) dinilai bukan solusi yang tepat menyelesaikan masalah sampah di Jakarta Utara.
"Jangan seperti sekarang ini, cuma kita kumpul, angkut, lalu buang. Harusnya ada pemilahan. Buat meminimalisasi sampah dari sumbernya," kata Rustam.
Apalagi, sebagian besar sampah di Jakarta Utara adalah sampah yang tak mudah diurai seperti sampah plastik. "Kami hanya berharap Gubernur mengeluarkan peraturan tentang tidak lagi menggunakan plastik sebagai kemasan makanan," ujarnya.
Jakarta Utara merupakan gerbang terakhir sampah daratan Jakarta menuju Laut Jawa. Semakin banyak sampah menumpuk di Jakarta Utara, potensi kerusakan biota laut semakin terancam.
Bahkan, dalam catatan organisasi lingkungan, Walhi, disebutkan, Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Tiongkok yang menyumbang sampah ke laut. "Seperti di Jakarta ada 13 aliran sungai, selain makin mengecil karena sampah banyak, semuanya berujung ke laut," kata Khalisah Khalid, kepala Departemen Kajian dan PSD Walhi.
Pengolahan Sampah
Masalah sampah di Jakarta makin sulit teratasi dalam waktu satu dua tahun terakhir. Kondisi itu tak lain karena ibu kota belum memiliki sistem dan pola penanganan sampah yang baik dan efisien.
Sebanyak 7.000 ton sampah setiap harinya hanya ditampung dan dikirim kembali ke TPA dengan menggunakan truk-truk sampah. Tak sedikit dana dihabiskan hanya untuk menyingkirkan sampah dari Jakarta.
Padahal, jika memiliki sistem pengolahan sampah yang baik, Pemprov DKI Jakarta akan lebih banyak menghemat biaya untuk menyingkirkan sampah itu dari ibu kota.
Memang, hampir semua kota besar di Indonesia belum memiliki sistem penanganan sampah yang baik. Tapi, Jakarta sudah harus berbenah, karena masalah sampah sudah sangat krusial. Jangan sampai sampah menenggelamkan Jakarta, baru ada langkah konkret penanganan sampah.
Ada banyak hal penting bisa dilakukan Jakarta untuk menangani sampah. Salah satunya adalah membenahi sistem penanganan sampah antar instansi yang ada di Jakarta.
Petugas membersihkan sampah yang tersangkut pada alat penyaring di Waduk Pluit, Jakarta, Jumat (20/2/2015). Foto: ANTARA/Vitalis Yogi Trisna
Menurut Khalisah Khalid, sebelum mencanangkan program penanganan sampah yang efisien, Pemprov Jakarta sebaiknya membenahi sistem integrasi antara instansi di lingkungannya terlebih dahulu.
Padahal, Jakarta sudah memiliki peraturan daerah tentang pengelolaan sampah yang dibuat sejak 2013. Tapi, pada perjalanannya, perda tak terkawal dan dalam aturan itu terlalu banyak dinas dan instansi yang dilibatkan.
Saat ini, ada beberapa dinas yang terkait dalam hal pengelolaan sampah di Jakarta. Beberapa di antaranya adalah Dinas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Tata Air.
"Semakin banyak institusi yang bekerja bukan semakin baik karena saling lempar tanggung jawab," ujar Khalisah.
Jika Jakarta sudah bisa menyatukan visi dan misi dinas-dinas yang terlibat penanganan sampah, tugas Pemprov DKI selanjutnya adalah menciptakan budaya hidup bersih kepada masyarakat. Karena, pada prinsipnya, masalah sampah tak hanya tentang teknis, pengetahuan dan juga teknologi. Tapi lebih jauh, masalah sampah adalah soal kesadaran masyarakat, konsumsi, dan gaya hidup.
"Pendekatan sosial budaya dan kultur menjadi penting selain teknologi. Pemerintah selama ini di mana-mana percaya persoalan sampah bisa melalui teknologi. Sekarang kita juga belum menemukan teknologi apa yang baik," kata Khalisah.
Setelah kedua faktor itu berjalan, Pemprov DKI tinggal membangun sistem pengolahan sampah yang menggunakan teknologi terkini dan efisien. Dalam memilih teknologi haruslah tepat guna, jangan sampai mengeluarkan dana besar hanya untuk membangun teknologi yang sia-sia.
Menjawab semakin krusialnya masalah sampah, Pemprov DKI berencana membangun pengolahan sampah yang diyakini cukup efektif mengurangi sampah di Jakarta. Pemprov DKI akan membeli alat incinerator atau instalasi pembakaran dan pemusnahan sampah dengan suhu tinggi pada 2015.
Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, alat itu akan disimpan di beberapa tempat pengolahan sampah terpadu yang lokasinya antara lain berada di Sunter, Marunda, dan Kembangan.
"Kita harus punya incinerator. Jadi, kita enggak bisa lagi main angkut-angkut sampah gitu. Semuanya mesti diselesaikan di tempat," ujar Ahok.
Pengadaan alat incinerator itu, merupakan bagian dari rencana Pemprov DKI untuk membangun Intermediate Treatment Facility (ITF) atau tempat pengolahan sampah terpadu dengan menggunakan teknologi tinggi. Rencana itu sebenarnya sudah digaungkan sejak era kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 2011.
Menurut Ahok, sudah saatnya DKI benar-benar mandiri dalam hal mengelola sampah, tanpa lagi harus ketergantungan pada daerah lain pemilik TPA. Upaya ini diperlukan untuk strategi penanganan sampah jangka panjang.
Di balik semua semangat itu, Ahok mengakui tidak mampu menyelesaikan masalah sampah dalam waktu singkat. Karena, semua proses dilakukan secara berkala dan bertahap.
Untuk mempercepat pengadaan incinerator, tidak hanya akan mengandalkan Dinas Kebersihan DKI. Pemprov DKI juga melibatkan pihak lain yakni PT Jakarta Propertindo yang merupakan salah BUMD milik Pemprov DKI.
"Dinas Kebersihan baru mengajukan pengadaannya untuk dilakukan secara multiyears. Jakpro juga. Jadi, Jakpro bikin, Dinas Kebersihan juga bikin," ujar Ahok.
Tentunya, untuk membangun sistem pengolahan sampah yang diimpikan Ahok itu akan menelan biaya yang tidak sedikit. Menurut Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Saptastri Ediningtyas, dibutuhkan dana sebesar Rp1,5 triliun untuk membangun instalasi itu di satu titik.
Bila akan membangun tiga titik sekaligus, Pemprov DKI harus merogoh APBD dengan besaran mencapai Rp4,5 triliun. "Untuk urusan pelelangan incineratornya baru akan kami lakukan setelah semua tahapan studi kelayakan ini diselesaikan," kata Saptastri.
Tyas mengakui, pembangunan sarana incinerator di tiga titik di Jakarta memang baik, tapi sarana itu tidaklah akan membuat DKI benar-benar mandiri dalam mengurus sampahnya.
Sebab, ketiga incinerator itu bila telah selesai dibangun, Tyas melanjutkan, diperkirakan hanya mampu mengolah hingga 4.000 ton sampah setiap harinya. Sementara itu, 2.000-3.000 ton sampah dalam setiap harinya tetap harus dikirimkan ke TPA Bantar Gebang, Bekasi.
Selama sarana incinerator berjalan dan semua sampah di Jakarta mulai bisa diolah, Ahok akan memperketat aturan sampah sesuai perda yang telah diterbitkan pada 2013 itu.
Selain sosialisasi penyadaran masyarakat, Pemprov DKI juga akan mulai memungut restribusi sampah dengan pola autodebet. Nantinya, warga DKI Jakarta akan dikenai iuran sampah yang dibayar dalam durasi satu tahun.
"Jadi, yang ngangkutin sampah dari rumah-rumah mewah itu sebenarnya mobil kebersihan DKI. Tapi, duitnya masuk ke DKI enggak? Enggak. Masuk ke RW," ujar Ahok. "Enggak bisa itu, kalau mau, semua sekarang kayak bayar iuran juga, langsung setor. Saya lagi suruh siapkan, jadi kayak autodebet, atau dia bayar setahun berapa," ujar Ahok.
Selain semua cara di atas, Walhi meminta Pemprov DKI untuk mendesak pengusaha yang industrinya beroperasi di Jakarta mematuhi kewajiban membuat roadmap. Upaya ini agar kemasan produknya ramah lingkungan dan pengelolaan produk sesuai Undang-Undang No.18 Tahun 2008, PP No.81 Tahun 2012, yang mengatur kewajiban produsen tentang sampah.
Dampak bagi Jakarta
Krisis sampah di Jakarta kini bukan hanya berdampak pada kesehatan masyarakat semata, tapi Jakarta juga terancam jadi "kota mati" karena tertimbun sampah.
Sungai, waduk, dan laut Jakarta bukan tidak mungkin akan semakin menyempit karena timbunan sampah yang tak terbendung. Dampaknya, populasi makhluk air yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi asupan protein menjadi berkurang.
Jika hal itu terjadi, Jakarta harus siap menghadapi banjir besar, karena air tak bisa lagi mengalir ke tempat yang seharusnya mereka tempati.
Air di sungai tak lagi bisa mengalir ke hilir hingga sampai ke laut. Air sungai akan tertahan dan meluap di daratan Jakarta seperti yang terjadi beberapa tahun
terakhir ini. Jika sudah begini, tak hanya kemacetan lalu lintas yang terjadi, tapi seluruh warga DKI bisa saja harus pindah dari kota ini.
"Selama warga masih membuang sampah sembarangan, sistem pengelolaan sampah belum terpadu dan penegakan hukum masih lemah, hal ini sangat bisa saja terjadi," ujar Nirwono Jowa. (art)