Tentara Bersenjata Twitter

Serangan udara tentara Israel di Jalur Gaza
Sumber :
  • REUTERS/Majdi Fathi

VIVA.co.id - Sebuah foto diunggah ke Twitter November 2012, memperlihatkan seorang pria dengan celana berlumur darah. Dia berdiri di sebuah rumah sakit menggendong anak lelaki. Tampak sudah tidak bernyawa.

Foto yang diunggah di tengah serangan Israel ke Jalur Gaza selama delapan hari Operasi Pilar Pertahanan, dimulai pada 14 November 2012, beredar dengan cepat di sosial media, menggambarkan korban serangan Israel.

Kecaman dan kutukan pun muncul terhadap Israel, sekalipun dalam beberapa jam kemudian terungkap bahwa foto yang diunggah oleh Brigade Al Qassam itu, sebenarnya diambil di Suriah beberapa bulan sebelumnya.

Brigade Al Qassam adalah sayap militer Hamas di Palestina, yang berperan besar dalam menyebar informasi dan foto-foto dampak serangan Israel ke wilayah Palestina melalui media sosial, yang memicu respon emosional.

Pada bulan yang sama, militer Israel (IDF) juga mengunggah video dengan judul, "Bagaimana IDF meminimalisir bahaya bagi warga sipil Palestina di Gaza?" serta beberapa video lain.

IDF ingin memperlihatkan pada dunia, bahwa operasi bersenjata mereka di Gaza dapat dibenarkan dan berusaha mendapatkan dukungan. Faktanya, PBB memperkirakan 101 warga sipil Palestina tewas termasuk 33 anak-anak.

"Apa yang dilakukan baik IDF maupun Hamas, pada intinya adalah propaganda," kata Andy Carvin, stategis media sosial dan penulis buku yang dikutip CNET, pada Januari 2014.

Media Sosial

Peran media sosial banyak disorot setelah Revolusi Tunisia dan Mesir, pada 2011, ketika aktivis menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook sebagai media komunikasi alternatif yang efektif.

Media sosial telah menjadi senjata alternatif militer. (Foto: REUTERS/Kacpel Pempel)

Bagaimana seruan untuk turun ke jalan bergema, menyebar dengan cepat sehingga diikuti puluhan ribu orang yang turun ke jalan, disusul jutaan orang yang terdorong akibat pengaruh informasi di media sosial.


Tapi bagaimana media sosial memiliki peran penting, telah disadari dan dimanfaatkan sebelum revolusi di kedua negara itu, yang menjadi peristiwa populer di bawah istilah Arab Spring.


Melainkan dari konflik Timur Tengah antara Israel dan Palestina, yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade dengan korban puluhan ribu jiwa warga sipil. Kedua pihak berjuang dengan klaim hak untuk mempertahankan diri.


Konflik Israel-Palestina merupakan persoalan yang rumit, namun ada satu kesamaan tema, yaitu kedua pihak mencari simpati dunia dan media sosial menyediakan fasilitas untuk mencapainya.


Perang opini antara IDF dan Hamas, telah menjadi contoh nyata tentang bagaimana lapangan pertempuran menjadi lebih luas, bagaimana media sosial menjadi arus utama dalam perang modern.


"Hari ini di Timur Tengah, ada lebih banyak orang dengan internet dan komputer. Ini seperti tsunami," kata Orit Perlov, analis media sosial untuk Institut Studi Keamanan Nasional yang berbasis di Israel.


Penyebaran Informasi

Perlov mengatakan saat ini banyak orang memiliki telepon selular (ponsel) pintar, dengan kemampuan memotret serta merekam video dengan kualitas tinggi, lalu langsung mengunggahnya di internet.


"Sepuluh tahun lalu teknologi itu hanya ada di tangan militer atau negara. Hari ini banyak orang memilikinya di kantung mereka," ucap Perlov. Orang tidak perlu lagi menunggu media massa untuk memperoleh informasi.


Media sosial telah menjadi senjata alternatif militer, sejak penyerbuan Israel ke Jalur Gaza pada 2008-2009. Ketika itu IDF melarang jurnalis internasional masuk ke Gaza.


IDF membantah tuduhan terjadinya pembantaian warga sipil di Palestina, namun sebesar apa pun upaya Israel untuk menyembunyikan informasi, mereka menemui kegagalan.


Sebab dari dalam Palestina, warga serta militan Hamas menawarkan informasi tentang perkembangan situasi yang terjadi di internet, menyebar foto-foto dan rekaman video melalui media sosial.


"Militer Israel tidak lagi dapat memanipulasi informasi seperti yang biasanya mudah mereka lakukan," kata Maath Musleh, dosen Universitas AlQuds di Yerusalem.


Maath menambahkan, tentang menyebar informasi, jaringan Palestina di Twitter telah melakukan pekerjaan yang hebat, menjadi sumber media luar tentang situasi yang terjadi di dalam Palestina.


Investasi Besar

"Sejak saat ini IDF telah menanam investasi besar dalam operasi media sosial," kata Rebecca Stein, profesor antropologi budaya dari Universitas Duke yang mempelajari penggunaan media sosial oleh IDF.


Saat IDF mulai melakukan operasi secara serius di media sosial, Desember 2009, mereka memulainya dengan beberapa video di YouTube. Kini pasukan media sosial IDF menangani hampir 30 basis media dalam enam bahasa.


"Alasan kami memulai ini, karena kami menyadari ada pengembangan lapangan media yang sepenuhnya baru, dan kami ingin tetap relevan dan efektif serta berpengaruh di lapangan ini juga," kata Avital Leiboovich, sang kaisar pasukan media sosial IDF.


Dikatakan Leiboovich, militer adalah sebuah organisasi tertutup yang tidak akan berbagi dengan orang lain, menggunakan bahasa yang tegas, singkat, mungkin kasar.


"Tapi inilah kami (pasukan media sosial) kebalikannya. Kami kreatif, terbuka, interaktif dan kami berbagi. Ini sesuatu yang sangat unik," ujar wanita, yang memimpin tim terdiri dari puluhan orang.


Jika sebelumnya informasi disembunyikan, kini IDF dan Hamas beradu cepat menyodorkan informasi. "Ini cara yang sangat berbeda dalam melakukan perang opini dalam jaringan," kata analis media sosial Noah Shachtman.

Saat Israel kembali mengerahkan pasukan darat ke Gaza, pada 12 Juli 2014, IDF telah membuat ratusan pesan dan foto di Twitter, didesain untuk membuat opini publik berpihak pada Israel.

Tim IDF membuat berbagai grafik, memperlihatkan militan Hamas menembakkan roket dari sekolah-sekolah, jendela rumah sakit, rumah penduduk. Mencari pembenaran atas serangan mereka yang menewaskan warga sipil.

Brigade 77

Pada akhir Januari 2015, militer Inggris mengumumkan rencana pembentukan tim pasukan khusus yang mereka beri nama Brigade 77, terdiri dari para tentara yang akrab dengan media sosial (medsos).

Unit militer yang akan terdiri dari 1.500 personil itu, akan dilibatkan dalam perang non-konvensional di era informasi, menyusul langkah yang telah dilakukan Israel dan Amerika Serikat (AS).


Pasukan yang mengambil nama dari pasukan gerilya Inggris dibawah pimpinan Mayjen Orde Wingate dalam Perang Dunia II, disebut akan mempelajari kemampuan dari Israel.


Pejabat senior Inggris mengatakan, militer harus beradaptasi dengan perubahan dalam situasi perang modern, di mana informasi memainkan peran yang tidak kalah penting dibanding tank dan artileri.


"Brigade 77 dibentuk untuk merespon perubahan karakter konflik modern, dan untuk mampu bersaing dengan musuh-musuh yang lincah dan kompleks," disebut dalam pernyataan resmi Kementerian Pertahanan Inggris.


Disebutkan juga, bahwa personil brigade itu juga akan memiliki spesialisasi dalam rekonstruksi dan pengembangan, untuk memenangkan hati dan opini dalam pertempuran.


Masa Depan

Serangan dalam jaringan ditujukan untuk menjangkau orang-orang secara langsung, tanpa melalui media tradisional sebagai panyalur informasi. Sejauh mana itu efektif, masih harus diteliti.


"Media sosial adalah zona perang bagi kami di Israel. Di sini (media sosial) kami bisa melakukan kampanye, memutuskan apa yang akan jadi judul utama, serta foto dan rekaman video apa untuk diunggah," kata Leiboovich.


Dibentuknya Brigade 77 oleh Inggris, mengikuti apa yang dilakukan Israel, menjadi simbol pengakuan bahwa kekuatan senjata dan tentara, bukan lagi satu-satunya alat yang dibutuhkan dalam perang modern.


Perang di Palestina, Afghanistan dan Irak, memperjelas pentingnya memenangkan hati dan pikiran, dengan merekonstruksi cara peristiwa disampaikan pada masyarakat dunia.


Kini kekuatan media sosial sebagai bagian dari perang psikologis, telah dimanfaatkan banyak pihak. Kelompok teroris seperti ISIS di Irak dan Suriah pun telah menguasai propaganda melalui media sosial.


Mereka telah menggunakannya untuk menarik simpatisan, bahkan merekrut pendukung yang secara sukarela bergabung dengan mereka di Irak dan Suriah, serta membentuk jaringan di berbagai negara.


Membungkam informasi tidak lagi dapat digunakan menjadi cara mencegah radikalisasi, karena internet telah menjadi saluran yang sangat terbuka. Penutupan akun Facebook atau Twitter milik seorang teroris bukan solusi. (ren)