Rapor Merah 100 Hari
- VIVAnews/Bayu Januar
VIVA.co.id - Ratusan orang berkerumun di dekat bundaran Patung Kuda, seberang Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat. Ada yang mengenakan seragam, pakai ikat kepala, dan banyak pula yang bertopeng sambil tenteng spanduk dengan beragam tulisan.
Puluhan bendera dari berbagai organisasi dan lembaga terlihat berkibar, menyemarakkan suasana. Massa sudah berkumpul di jantung Ibu Kota ini sejak pagi.
Mereka berasal dari berbagai lembaga dan organisasi, juga mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi. Hari itu, mereka akan menggelar aksi demonstrasi, memperingati Seratus Hari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menjelang siang, ratusan orang ini bergerak, long march menuju Istana Negara. Sesekali terdengar teriakan dari massa, mengkritik Presiden Jokowi, yang sudah 100 hari memerintah sejak dilantik pada 20 Oktober 2014.
Tak berselang lama, massa sudah menduduki tanah lapang yang berada persis di seberang istana. Tak sabar, massa langsung turun gelanggang, menggelar orasi secara bergantian.
“Presiden harus selamatkan KPK dan tidak ada lagi kriminalisasi KPK," teriak Algiffari Aqsa, salah satu peserta unjuk rasa saat berorasi, Rabu, 28 Januari 2015. Mahasiswa Universitas Indonesia ini juga meminta agar pemerintah segera menyelesaikan kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menilai, pemerintah tak tegas dalam menyikapi konflik antara Polri dengan komisi antirasuah tersebut.
Aksi demonstrasi ini merupakan puncak ‘kemarahan’ mereka terkait penangkapan yang dilakukan polisi terhadap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW). Mereka menilai, polisi telah melakukan tindakan kriminalisasi terhadap salah satu pimpinan KPK tersebut.
Mereka kecewa, karena Presiden Jokowi dinilai tak tegas dalam menyikapi kasus Cicak versus Buaya jilid dua ini. Unjuk rasa ini digelar bertepatan dengan seratus hari pemerintahan Jokowi.
Penangkapan BW seolah menjadi kado dari polisi untuk Jokowi. Sejumlah kalangan meyakini, aksi ’cowboy’ yang dilakukan sejumlah personel dari Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri tersebut terkait dengan keputusan KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka. Calon tunggal Kapolri tersebut tersangkut kasus rekening gendut.
Aksi unjuk rasa seratus hari pemerintahan Jokowi-JK merupakan puncak ‘kemarahan’ terkait penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK, oleh polisi. Foto: VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
Cicak dan Buaya II
Unjuk rasa yang digelar di seberang istana ini merupakan kelanjutan dari aksi serupa di gedung KPK, Kuningan, Jakarta. Sebelumnya, pada Jumat, 23 Januari 2015, ratusan orang ‘menduduki’ gedung KPK guna memberi dukungan.
Mereka datang tanpa diundang. Tak hanya aktivis dan warga biasa, sejumlah tokoh masyarakat juga datang untuk memberi sokongan.
Haris Azhar, salah satu aktivis Save KPK mengatakan, massa mulai berdatangan demi mendengar BW ditangkap polisi. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini mengaku mendapat informasi penangkapan tersebut dari aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan.
Pagi itu, ia langsung menuju KPK. Di sana, ternyata sudah berkumpul banyak orang. Akhirnya mereka sepakat untuk menfasilitasi dukungan tersebut dalam bentuk aksi demonstrasi dan orasi.
Massa terus berdatangan dan menyemut di halaman gedung KPK. Mereka memilih bertahan hingga malam. Massa baru bubar jalan setelah mendapat kepastian, BW tak jadi ditahan.
“Kasus yang saat ini terjadi merupakan bentuk arogansi kekuasaan,” ujar Haris membuka percakapan saat VIVA.co.id berkunjung ke Kontras, Selasa, 27 Januari 2015. Menurut dia, kasus Cicak versus Buaya jilid II ini dipicu dari upaya sebagian orang yang memanfaatkan kekuasaan demi melindungi aset dan kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar.
“Yang berada di belakang upaya kriminalisasi pimpinan KPK adalah parpol dan orang-orang di sekitar Jokowi yang berkepentingan dengan Budi Gunawan,” ujarnya menambahkan.
Ia melihat, sejumlah orang berusaha memanfaatkan institusi Polri untuk kepentingan mereka dan melayani penguasa. Oleh sebab itu, dalam kasus ini yang dirugikan bukan hanya KPK, tapi juga Polri. Haris mengatakan, saat ini yang berkuasa bukan Jokowi, namun orang-orang yang ada di selingkaran Jokowi.
“Kecurigaan sebagian orang bahwa Jokowi hanya menjadi boneka saat ini terbukti,” ujarnya menegaskan. Menurut dia, Jokowi lebih menarik saat menjadi calon presiden (capres) dibanding saat menjadi presiden. “Saat ini Jokowi menjadi persoalan baru negeri ini.”
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai kasus yang menimpa KPK saat ini merupakan pengulangan sejarah. Menurut dia, ini merupakan serangan balik dari koruptor dengan cara mengkriminalisasi pimpinan atau pegawai di KPK.
Bagi Denny, langkah Bareskrim Polri menetapkan BW sebagai tersangka tak bisa dipisahkan dengan perkara yang membelit Komjen Pol Budi Gunawan. Ketika BG ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi oleh KPK pada 13 Januari 2015, hal itu murni persoalan pribadi.
Sementara, perkara BW, indikasinya jelas menguat pada bentuk perlawanan atas perkara yang disentuhkan kepada BG. "Masalah BG adalah murni korupsi dan masalah BW adalah kriminalisasi kepada KPK,” ujar mantan staf khusus Presiden SBY bidang hukum ini, Kamis, 28 Januari 2015.
Pernyataan senada disampaikan Ade Irawan. Koordinator ICW ini mengatakan, penangkapan BW sangat politis dan tidak ditujukan untuk penegakan hukum.
Penangkapan ini diduga merupakan respon terkait apa yang dilakukan oleh KPK dalam kasus rekening gendut. Ada beberapa indikator, mulai dari proses penangkapan yang tak sesuai dengan prosedur, kasus lama dan saksi yang dituduh diarahkan telah membantah.
Ade mengatakan, penangkapan BW merupakan ancaman bagi pemberantasan korupsi. Karena, ada dugaan upaya untuk menghalang-halangi KPK dalam proses penegakan hukum dalam kasus rekening gendut.
Selain BW, sejumlah pimpinan KPK yang lain juga dipolisikan mulai dari Adnan Pandu Praja, Zulkarnaen hingga Abraham Samad. Menurut Ade, ini merupakan upaya melemahkan dan melumpuhkan KPK.
“Bisa saja semuanya saling berkaitan atau ada yang mengkoordinasikan,” ujarnya kepada VIVA.co.id melalui surat elekteronik, Kamis, 29 Januari 2015.
Peristiwa penangkapan BW ini terjadi, tepat 10 hari setelah KPK menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri, Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka.
Ia diduga menerima hadiah atau janji pada saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi SDM Mabes Polri periode tahun 2003 2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian RI. Adnan Pandu Praja menegaskan, penetapan Budi Gunawan murni penegakan hukum.
"Sekali lagi KPK menegaskan bahwa penanganan kasus BG adalah murni penegakan hukum dan tidak ada unsur lain," ujarnya. Wakil Ketua KPK Zulkarnain menyebut, penangkapan BW sebagai serangan langsung terhadap lembaga antirasuah itu. Karena KPK tengah mempercepat penanganan perkara, termasuk kasus Budi Gunawan.
BW mengatakan, banyaknya masalah yang menimpa KPK bukan hanya upaya melemahkan, namun sudah menjurus kepada penghancuran. Meski demikian, ia berjanji akan tetap mengkuti proses hukum di Mabes Polri.
Ia sudah mengajukan surat pengunduran diri dari KPK. Namun, surat permohonan tersebut ditolak oleh pimpinan KPK. Alasannya, karena pimpinan menilai, kasus yang menjerat BW merupakan rekayasa.
Mabes Polri membantah penangkapan dan pemeriksaan BW merupakan bentuk kriminalisasi dan serangan balik ke KPK terkait status hukum Komjen Pol Budi Gunawan.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Ronny F. Sompie mengatakan, penangkapan dan pemeriksaan BW murni penegakan hukum dan sudah sesuai aturan. “Kalau Polri selaku penyidik melakukan penangkapan, tentu semua sesuai prosedur,” ujarnya, Kamis, 29 Januari 2015.
Menurut dia, penangkapan itu dasarnya adalah laporan dari masyarakat dan bukan tindakan balas dendam. Sebab, posisi Polri adaalah menerima laporan dari masyarakat.
“Ini kan bukan laporan yang dicari-cari. Polri hanya melakukan pelayanan bagi masyarakat yang melaporkan. Kalau dikatakan sebagai serangan balik, silahkan saja,” ujarnya menambahkan.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyusun poster bertuliskan 'SAVE KPK' di Gedung KPK Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Mengecewakan
ICW pun mendesak Presiden Jokowi bertindak tegas. Sebab, kasus ini tak hanya merugikan KPK dan Polri, tapi juga presiden.
Menurut Ade, Jokowi harus belajar banyak dari SBY dalam menyelesaikan seteru antara KPK dan Polri. “Jokowi harus bersikap tegas. Sebab bagaimana pun kisruh ini muncul akibat ulahnya mencalonkan Budi Gunawan,” ujarnya.
Ia menilai, komitmen Jokowi terkait reformasi hukum dan pemberantasan korupsi belum jelas dalam pemerintahannya yang sudah berjalan seratus hari.
“Mengecewakan. Kami memberi nilai merah,” ujarnya. Menurut dia, langkah aksi antikorupsi Jokowi tak jelas dan lebih buruk dibanding SBY.
Menurut Ade, ada sejumlah indikator terkait buruknya komitmen Jokowi dalam reformasi hukum dan pemberantasan korupsi. Pertama, terkait pemilihan jaksa agung dan kapolri yang kompromistis.
Selain itu, orang yang diusung dinilai tak independen. Jokowi juga tak memiliki road map yang jelas dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mantan gubernur DKI Jakarta ini juga terkesan membiarkan kisruh yang terjadi antara KPK dengan Polri. “Jangankan menambah penyidik KPK dan membuat Perpres terkait pemberantasan korupsi seperti yang ia janjikan, menyelesaikan masalah yang ada di depan mata saja tak jelas.”
Kekecewaan yang sama juga datang dari warga yang memilih Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Mustafa (40) misalnya. Warga Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat ini mengaku kecewa dengan Jokowi.
“Baru beberapa bulan, kami sudah disulitkan dengan kenaikan BBM dan kenaikan harga barang," ujarnya, Kamis, 29 Januari 2015.
Menurut dia, meski saat ini harga BBM turun, namun imbas atas kenaikan sebelumnya tak berubah. Harga bahan pokok sudah terlanjur naik dan sulit untuk turun. "Barang-barang udah terlanjur naik. Dan sangat tidak mungkin kalau bisa turun lagi. Jadi sekalipun BBM sudah diturunkan, tidak ada pengaruhnya lagi," katanya menambahkan.
Zainal (39), warga yang lain, mengatakan polemik yang terjadi di elit pemerintahan berdampak negatif pada publik. "Kalau dipikir-pikir memang kami tidak ada sangkut pautnya dengan pak Jokowi dan JK.
Tapi dengan banyaknya ribut di pemerintahan, ini itulah, membuat kami ikut tidak nyaman," ujar pria yang berprofesi sebagai penarik Bajaj ini.
Keluhan serupa juga dilontarkan salah seorang relawan Jokowi, Ahmad Ali (39). Warga yang tinggal di kawasan Setiabudi ini mengaku geram dengan isu yang membelit Jokowi. Menurut dia, aroma partai terasa kental di pemerintahan.
Akibatnya, tak sedikit pemilih Jokowi yang kini berbalik, dan menentang Jokowi. "Dulu kami mendukung karena memang figur beliau memang mencirikan rakyat Indonesia. Tapi kini, rasanya berat untuk menggambarkannya. Bau partai kuat sekali menempel ke pak Jokowi."
Namun, tak semua relawan kecewa dan menarik dukungan. Fajroel Rachman salah satunya. Aktivis yang getol mendukung Jokowi dalam Pilpres tersebut menilai, Jokowi sudah bagus saat menyusun kabinet, karena melibatkan KPK dan PPATK.
Namun, prestasi Jokowi melorot saat memilih Jaksa Agung dan Kapolri. “Lebih krusial lagi dalam kasus Kapolri. Karena sudah tersangka tapi tetap dicalonkan,” ujarnya, Kamis, 29 Januari 2015.
Ia mengaku protes terkait pemilihan Jaksa Agung dan Kapolri karena prosesnya dinilai bermasalah. Menurut dia, relawan Dua Jari menginginkan proses pengisian semua jabatan serupa dengan cara Jokowi menyusun kabinet.
“Standar yang sebelumnya itu dipakai untuk semua jabatan. Apapun jabatan di republik ini,” ujarnya. Fajroel juga mengkritik proses pemilihan Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).
Menurut dia, jabatan itu seharusnay diisi oleh para guru bangsa bukan wakil partai politik. “Mestinya melibatkan publik dan dibuka untuk publik.”
Sementara, terkait konflik KPK dan Polri, Fajroel yakin Jokowi akan mengambil keputusan yang tepat. Ia mengapresiasi keputusan Jokowi yang menunda pelantikan Budi Gunawan.
Menurut dia, keputusan menunda pelantikan itu memerlukan keberanian. Ia juga yakin Jokowi tak bakal melantik jenderal yang tersangkut kasus rekening gendut tersebut.
“Aku sudah milih dia. Secara moral harus bertanggung jawab terhadap pilihanku.” Fajroel berharap, Jokowi tetap setia kepada konstitusi, rakyat dan janji yang ia sampaikan saat kampanye.
Hari beranjak sore. Massa yang menggelar unjuk rasa di seberang istana ini terlihat mulai lelah. Setelah puas berorasi dan menggelar aksi teatrikal yang mengkritik Jokowi, satu demi satu mereka meninggalkan barisan.
Sebagian dari mereka ada yang melanjutkan aksi di kantor KPK. Sementara yang lain memilih pulang. (ren)