Untung Menggigit dari Si Tahu Pedas

Tahu jeletot taisi
Sumber :
  • VIVAnews/Zahrul Darmawan

VIVAnews - Bangunan berukuran 80 meter persegi dengan keramik putih di kawasan Sawangan, Depok itu mengeluarkan aroma lezat. Puluhan perempuan berseragam dengan penutup kepala dan masker tampak mengelilingi baskom-baskom merah berisi tumisan kubis, wortel dan ulekan cabai.

Tampak menggiurkan. Para pekerja ini cekatan memasukkan tumisan sayur ke dalam tahu satu per satu.

Di berbagai sudut terlihat tumpukan boks plastik bening. Sebagian besar masih kosong. Sebagian lainnya sudah berisi tahu. Ya, inilah 'pabrik' tahu isi merek Jeletot, kudapan super pedas yang diburu para pecinta makanan pedas beberapa tahun belakangan ini.

Rudi Parlinggoman Sinurat, pemilik usaha dengan merek dagang Tahu Jeletot 'Taisi' ini tampak duduk di meja kecil yang dilengkapi kursi seadanya. Ia asyik mengetik di laptop sambil sesekali mengawasi para pekerjanya. Di ruangan inilah ia mengendalikan bisnis tahu pedasnya.

Rudi bersama istrinya Rosie Pakpahan mengawali bisnis tahu pedasnya sejak 2012 lalu. Butuh waktu setahun baginya untuk menjajaki usaha ini sebelum akhirnya ia membenahi sistem manajemen, dan mendaftarkan merek Tahu Jeletot 'Taisi'ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual hingga mendirikan CV Taisi Corporation. Sejak saat itu pula bisnis yang dia kelola mulai diwaralabakan atau franchise.

Usahanya kini perlahan mulai membuahkan hasil, setidaknya Rudi telah memiliki 5 gerai dan 80 mitra yang tersebar di Jakarta, Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Omzet yang dia terima  sudah mencapai puluhan juta rupiah per bulannya.

Kisah Rudi menjajal dunia bisnis waralaba ini berawal dari tekadnya yang kuat meninggalkan zona nyaman. Sebelum bergulat dengan pedasnya tahu jelelot, ia merupakan manajer pemasaran di sebuah bank asing. Rudi mantap menanggalkan profesinya itu, banting stir dan memulai usaha.

Tekad berbisnis sebenarnya menjadi cita-cita Rudi sejak kecil. Meski awalnya, keputusan berhenti bekerja sempat dipersoalkan keluarga, tapi Rudi mantap menanggalkan statusnya itu dan memulai bisnis.

"Intinya kepuasan batin," kata Rudi saat ditemui VIVA.co.id di sela aktivitasnya di pabrik CV Taisi Corporation, Kamis 8 Januari 2015.

Saat memutuskan berhenti kerja pada Maret 2011, Rudi memilih jualan jamur krispi. Ia menggelar dagangannya di depan teras rumahnya di sebuah gang sempit di Depok. Namun, bisnis jamur yang dia jalani ini tak bertahan lama, karena sulitnya bahan baku dan ada masa jenuhnya, Rudi akhirnya meninggalkan bisnis tersebut.

"Saya sempat bingung. Akhirnya saya putar otak hingga akhirnya ketemu yang pas, yakni tahu. Kenapa tahu?" tanya dia.
 
Rudi lalu menceritakan, suatu hari ia melihat penjual tahu pedas olahan di kawasan Kelapa Dua, Cimanggis, Depok yang banyak pembelinya. Dia kagum dengan makanan olahan sederhana tapi banyak peminatnya. Di situ terbesit dibenaknya untuk melirik usaha tahu olahan.

Rudi paham bagaimana menyajikan tahu olahan dengan cita rasa khusus, beda dengan tahu olahan kebanyakan. Dia memilih bahan baku tahu asli Sumedang dan bumbu khusus yang dia racik bersama istrinya, kebetulan sang istri piawai memasak.

Tahu Sumedang dipilih Rudi karena memiliki karakteristik yang cocok untuk tahu pedas karena teksturnya yang berongga sehingga bumbu bisa lebih meresap. "Rasa pedasnya saya menggunakan cabai rawit setan yang digiling kemudian dicampur bersama bumbu dan sayuran," terang Rudi.

Pria 33 tahun ini juga punya alasan lain kenapa memilih tahu olahan sebagai pioner bisnisnya. Menurut dia, tahu termasuk panganan pokok masyarakat Indonesia. Selain bahan bakunya mudah didapat, permintaan masyarakat terhadap panganan tahu terus meningkat.

"Kita memang kaki lima, namun konsep di atas kaki lima. Tinggal konsisten dan inovatif," ucap pria yang murah senyum itu.

Bermodalkan pinjaman dari bank sebesar Rp10 juta, Rudi merintis bisnis tahu olahannya dengan menggunakan booth. Pada masa awal-awal, dia mengaku masih melakukan penyesuaian rasa sesuai keinginan konsumen. Tak butuh waktu lama, hanya dalam waktu enam bulan dia sudah bisa melebarkan usahanya dengan membuka enam gerai.

Pilihannya menjual tahu olahan berbuah manis. Tak sampai dua tahun, bisnisnya mulai membuahkan hasil. Bahkan mitranya kini telah menjamur hingga di wilayah Jabodetabek dengan lebih dari 80 gerai. Omzet yang didapat per harinya mencapai jutaan rupiah.

"Kalau dulu omzet awal Rp200 ribu. Hari pertama laku 73 Tahu. Kemudian hari-hari berikutnya 100 tahu. Kita lalu buka pengembangan, franchise. Sekarang ini sehari 150 papan atau 8.000 sampai dengan 10.000 tahu, ya hitung saja. Lumayan lah untungnya kalau satu tahu kita jual Rp2.000 sampai Rp2.500," kata Rudi antusias.

Bisnis Menjanjikan
Rudi yakin bisnis tahu olahannya ini merupakan bisnis yang menjanjikan sepanjang itu dilakukan secara konsisten. Untuk itu, dia mulai melakukan ekspansi bisnisnya dengan menerapkan sistem waralaba atau franchise dengan brand Tahu Jeletot 'Taisi'.

Awalnya Rudi tak berniat menjadikan bisnis tahu olahannya diwaralabakan. Rudi ingin menjual sendiri produknya dan membuat cabang sebanyak mungkin. Niatnya terbentur kenyataan. Untuk membuka cabang sendiri ternyata membutuhkan modal tidak sedikit.

"Setelah saya pikir sudah waktunya diwaralabakan. Untuk franchise hanya butuh modal Rp10 juta, itu sudah termasuk bahan baku, gerobak dan pelatihan," ujar bapak tiga orang anak ini.

Dalam sistem waralaba Tahu Jeletot 'Taisi' yang dia kelola punya aturan main. Seperti halnya bisnis waralaba pada umumnya, Rudi mewajibkan kepada mitranya agar hanya menjual produk saja, tidak perlu memodifikasi produk. Cara itu lanjut dia, juga untuk menyeragamkan rasa.

"Habis bahan ya belanja di kami. Keuntungan buat dia yang penting jual produk. Saat ini terwaralaba saya sudah sekitar 80-an, tersebar di Jabodetabek. Target saya di 2015 ini adalah dua kali lipatnya," ucapnya optimis.

Bisnis yang dia kelola ini bukan tanpa kendala. Selain bagaimana agar usaha yang dia dan istrinya rintis ini tetap meningkat, bahan baku juga dinilainya sebagai kendala yang cukup berat. Apalagi bisnis tahu olahan ini sangat mengandalkan cabai rawit, yang harganya saat ini terus melonjak naik.

"Saya siasati dengan menekan keuntungan dan tidak menaikan harga produk," beber Rudi.

Sebagai pengusaha di bidang kuliner tentu berharap harga bahan baku stabil dan mudah didapat. Menurut dia, harga bahan baku sangat rentan terhadap gejolak politik. Dia hanya bisa berharap kepada pemerintah agar bisa menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Jika tidak, semua pihak akan terkena dampak.

"Kami kan UKM, katanya UKM ini kan penopang Indonesia, ya harusnya dijaga dong agar tetap stabil," pintanya.

Rudi juga berharap kerja keras dia ini dapat menjadi motivasi bagi generasi muda. Bahwa niat menjadi modal utama dalam berbisnis. "Intinya kita harus total, modal yang nomor satu bukan uang, tapi keyakinan, niat. Jika ada niat akan ada celahnya. Bisa," terang Rudi.

Prospek menjanjikan bisnis Tahu Jeletot 'Taisi' ini juga tak dirasakan Rudi semata. Mitranya, Octari Carolina mengaku sudah merasakan gurihnya bisnis kuliner tahu olahan. Carolina yang membuka booth di daerah Parung menilai bisnis Tahu Jeletot 'Taisi' ini cukup menjanjikan dan cenderung stabil.

Carolina sudah bergabung menjadi mitra merek Tahu Jeletot 'Taisi' ini sejak dua tahun lalu. Pilihannya jatuh ke merek ini dikarenakan sudah pernah mensurvei berbagai merek Tahu olahan, dan menurut dia, Tahu olahan milik Rudi ini yang paling enak.

Tidak berlebihan jika Carolina menganggap bisnis tahu olahan ini berbeda dengan usaha waralaba lainnya. Bagi dia, usaha tahu olahan ini jauh istimewa.

"Kalau pakaian atau usaha lain bisa musiman. Kalau ini (tahu) orang bisa beli setiap hari nggak pengaruh musim," ungkapnya.

Beberapa hal perlu disiapkan untuk menekuni bisnis ini. Salah satunya, terang wanita berparas cantik ini, adalah lokasi yang harus strategis dan modal. "Sejauh ini, alhamudillah pasarannya lancar. Omzet saya bisa Rp 1,5 juta per hari," ujar dia.

Waktu awal bergabung menjadi mitra Tahu Jeletot 'Taisi' ini, Carolina hanya mengeluarkan modal sebesar Rp7,5 juta. Berbeda situasinya dengan sekarang, terwaralaba membutuhkan modal Rp10 juta. Aturan mainnya kata dia, beli putus. Ketika tahu olahan dikirim langsung dibayar.

"Habis enggak habis risiko mitra. Bukan bagi hasil," jelasnya. Carolina menambahkan, selalu ada kendala dalam berbisnis. Selain terkadang keterlambatan kurir dalam memasok bahan, sepi pelanggan juga jadi kendala. Karena jika tidak habis, tahu olahan akan cepat basi.

Rasanya yang khas dengan keunggulan rasa pedasnya, membuat tahu olahan buatan Rudi banyak digemari berbagai lapisan masyarakat. Junior Wiliandro salah satunya. Pekerja swasta ini mengaku keranjingan dengan tahu pedas itu.

"Sering sih tapi enggak tiap hari. Pas lagi hujan enak dimakan. Rasanya yang pedas bikin ketagihan," kata pria yang akrab disapa Wili ini.

Menurut Wili, Tahu Jeletot 'Taisi' punya harga yang pas dan rasa yang enak. Sekadar saran, Wili berharap, tahu olahan ini bisa disajikan dengan lebih variatif lagi. "Tidak hanya pedas mungkin akan lebih menarik," ujarnya.

Makin Kompetitif
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Waralaba dan Lisensi  Indonesia, Amir Karamoy menilai pasar bisnis waralaba di Indonesia tahun 2015 ini masih sangat terbuka. Bahkan kata dia, akan semakin kompetitif. Itu ditandai dengan mulai masuknya sejumlah waralaba asing ke Indonesia.

"Saya sudah dengar jauh sebelumnya, ini (waralaba asing) akan masuk ke Indonesia, bukan hanya yang dari ASEAN saja, tapi waralaba Amerika, Inggris, Jepang. Mereka sudah masuk ke Thailand, sebentar lagi akan masuk ke Indonesia," kata Amir kepada VIVA.co.id

Kebanyakan waralaba asing yang akan masuk ke Indonesia dari bisnis kuliner. Tapi ada juga bisnis lain seperti klinik-klinik kesehatan, pendidikan dan retail khusus. "Tapi paling besar kuliner, seperti restoran. Mereka akan mencreate pasar di Indonesia," terang dia.

Meski sempat mengkhawatirkan kondisi ini, Amir tetap optimistis pasar waralaba dalam negeri bisa bersaing, asal tetap mengedepankan kualitas, konsisten dan punya brand yang kuat. Menurut dia, brand yang kuat menjadi salah satu faktor orang ingin bermitra bisnis dan mengundang banyak pelanggan.

Amir mengibaratkan, bisnis dengan sistem waralaba itu tidak perlu memulainya dari nol. Bila dalam skala 100 persen, maka berbisnis dengan menjadi mitra waralaba setidaknya sudah memulai usaha dari 50 persen. "50 persennya lagi sudah dimulai dari yang punya franchise, kalau memulai dari nol kan resikonya besar. Itu mengapa orang lebih tertarik pada bisnis waralaba," ujar Amir.

"Dengan memulai usaha dengan merek yang sudah dikenal, saya tidak susah untuk usaha. Pelanggan akan datang," imbuhnya.

Pria yang juga seorang konsultan franchise senior ini mengatakan, bisnis waralaba saat ini sudah banyak ragamnya. Bahkan bisa menjadi solusi bagi mereka yang ingin usaha dengan modal terbatas. Beberapa waralaba banyak yang menawarkan investasi di kisaran Rp10 juta atau dibawahnya dan punya prospek bisnis yang menarik.

"Itu solusi bagi mereka yang punya modal terbatas. Tapi kuncinya mereka harus mencari waralaba dengan keterbatasan modal yang mereka miliki," paparnya.

Amir pun mengungkap sejumlah tantangan yang akan dihadapi bisnis waralaba ke depan. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kendala. Pertama, masalah izin pengurusan yang masih panjang dan lama. Seharusnya ini bisa disiasati dengan menerapkan izin satu pintu.

Kedua, masalah fluktuasi harga dolar. Bagi waralaba lokal ini bukan masalah, tapi bagi waralaba asing sudah pasti akan menjadi masalah penting bagi mereka. "Ketiga, masalah SDM. Kita memang sangat terbatas soal SDM. Enggak ada tuh akademi franchise di Indonesia, Kalau di Australia, Amerika itu ada," ungkapnya.

Sementara itu, untuk stabilitas harga bahan baku, Amir menilai, umumnya para pengusaha waralaba sudah biasa menghadapinya. Mereka biasa mensiasati mahalnya harga bahan baku dengan mengatur ukuran produk, tanpa harus mengurangi kualitas atau menekan keuntungan.

Lebih dari itu, Amir berharap pemerintah dapat memikirkan untuk meningkatkan kualitas SDM yang handal di bidang waralaba melalui pendidikan maupun pelatihan-pelatihan. Sebab tak bisa dipungkiri, Indonesia sudah menjadi pasar potensial bisnis waralaba.

"Pemerintah Malaysia sudah menyelenggarakan pelatihan tentang franchise, pesertanya dari seluruh dunia. Mereka share di semua keahlian di bidang waralaba, karena bisnis ini multidisiplin. Pemerintah Indonesia, saya belum melihat itu," ujar Amir. (umi)