Si Penggoyang Lidah Asal Timur Tengah
- Dokumentasi Baba Rafi
VIVAnews - Sepuluh tahun yang lalu, kebab mungkin hanya bisa kita temui di restoran-restoran Timur Tengah. Namun, kini santapan lezat tersebut begitu akrab di lidah dan dengan mudah dijumpai di pinggir jalan.
Ya, saat ini gerai penjual kebab telah tersebar secara luas di Indonesia di bawah berbagai nama dan merek. Ialah Kebab Turki Baba Rafi, pelopor usaha gerai yang pertama kali mempopulerkan kebab kepada masyarakat Indonesia.
Dengan modal awal sebesar Rp4 juta hasil pinjaman dari adik perempuannya, sang pemilik, Hendy Setiono kini berhasil meraup omzet miliaran rupiah walaupun bisnisnya berbasis UKM (Usaha Kecil dan Menengah).
"Sudah 11 tahun usaha ini berjalan. Sekarang kami memiliki 1.200 outlet termasuk 50 cabang di luar Indonesia yaitu di Malaysia, China, Filipina, Singapura, Srilanka, Brunei Darussalam dan awal tahun ini buka di Belanda," ujar Hendy kepada VIVAnews, Rabu, 7 Januari 2015.
Kesuksesan Hendy saat ini bermula dari kunjungannya ke Qatar pada tahun 2003 silam untuk menengok sang Ayah yang bekerja di sana. Hendy melihat begitu banyak gerai yang menjual kebab. Mulai terlintas di kepalanya ide membawa kebab ke Tanah Air.
Ia pun berburu resep ke gerai kebab yang paling ramai pengunjungnya. Menurutnya, banyak makanan khas Timur Tengah yang ia temui di Qatar. Kebanyakan makanan ini terdiri dari daging sapi panggang, sayuran segar dan mayones yang digulung dengan tortila, namun kebab Turki lah yang paling lezat. Ia pun memutuskan menggunakan trademark Turki agar calon pelanggan tertarik.
Sepulangnya dari Qatar, pria kelahiran 30 Maret 1983 itu mencoba menyusun strategi bisnis bersama partner bisnisnya, Hasan Baraja. Kampung halamannya, Surabaya, menjadi lokasi pertamanya memulai usaha kebab yang belum ia beri nama dan merek. Kala itu, dengan menggunakan gerobak Hendy memilih mangkal di salah satu sudut Jalan Nginden Semolo yang terletak tidak jauh dari area kampus dan tempat tinggalnya.
Ternyata, resep kebab asli yang ia dapatkan kurang cocok dengan lidah masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan ukurannya yang besar.
"Resep kebab asli itu rempahnya kuat sekali karena banyak menggunakan kapulaga dan cengkeh. Oleh karena itu, saya memodifikasinya menjadi lebih gurih dan pedas sesuai lidah orang Indonesia," ujar pria berusia 31 tahun itu.
Usia 19 Tahun
Saat pertama kali membuka usaha kebab, usia Hendy masih terbilang sangat muda, 19 tahun. Ia juga masih duduk di bangku kuliah di jurusan Teknik Informatika, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS).
Nama Kebab Turki Baba Rafi diambil dari nama pertama anaknya, Rafi. Jadi Baba Rafi berarti ayah Rafi.
Karena tak ingin setengah-setengah dalam menjalankan bisnis, ayah tiga anak itu kemudian memutuskan berhenti kuliah di semester 4 dan fokus berjualan kebab.
Tak disangka-sangka, keputusan yang sempat ditentang orangtuanya itu ternyata membawanya pada kesuksesan. Satu tahun pertama menjalani usaha, ia telah membuka enam cabang. Nama Kebab Turki Baba Rafi yang kian besar dan permintaan konsumen yang begitu tinggi membuat Hendy memutuskan membuka kesempatan mitra kerja di tahun 2006.
Ia pun mendirikan PT Baba Rafi Indonesia sebagai pemegang merek dagang Kebab Turki Baba Rafi. Perusahaan tersebut kini juga menaungi sejumlah merek kuliner lokal yang populer seperti Ayam Bakar Mas Mono, Bebek Garang, Piramizza dan Cokro Tela Cake.
Menurut Hendy, omzet satu outletnya sekitar Rp10 juta hingga Rp15 juta sebulan. Ada pula yang mencapai Rp60 juta tergantung lokasi usaha. Penawaran yang diberikan untuk peluang waralaba juga bervariasi mulai dari Rp75 juta untuk gerobak sampai Rp145 juta untuk outlet indoor. Selain counter, franchisee atau terwaralaba juga akan mendapatkan peralatan lain seperti penggorengan dan alat pemanggang daging, karyawan yang sudah dilatih, manual book (SOP), paket promosi yaitu banner serta neon box, dibantu mencari lokasi usaha, dan lain-lain.
Meski begitu ia mengungkapkan manajemen melakukan penyesuaian yang berbeda di beberapa negara seperti memakai premium outlet di dalam ruangan dan mengubah saus yang digunakan pada menu kebab.
"Kalau Malaysia orang-orangnya lebih suka rasa pedas manis, lalu di Filipina mereka tidak suka pedas jadi memakai saus bawang putih dan barbekyu," jelasnya.
Hendy juga sempat bercerita usaha kebabnya pernah diliput media lokal Turki. Menurutnya, pewarta asal Turki heran santapan khas negerinya bisa begitu populer di Indonesia. Bahkan kepopulerannya melebihi di Turki sendiri.
"Di Turki walaupun gerai kebabnya bagus tapi nggak pernah ada franchise. Setelah mencicipi, mereka bilang kebab saya beda dengan kebab di sana tapi lebih enak," ucapnya sambil terkekeh.
Tantangan Bisnis
Kesuksesan Hendy merintis usahanya di usia muda membuatnya banyak diakui sebagai pengusaha muda yang kreatif dan pandai melihat peluang bisnis. Ia juga banyak menerima penghargaan sebagai wirausahawan terbaik di tingkat nasional maupun ASEAN diantaranya runner up Independent Young Entrepreneur tahun 2007, pemenang Ernst & Young Entrepreneur of The Year pada tahun 2009, Pewaralaba Terbaik versi Tabloid Peluang Waralaba pada tahun 2013, pemenang 30 Waralaba Terbaik di ASEAN dan masih banyak lagi.
Namun, bukan berarti Hendy tak pernah menemui kendala dalam perjalanan mengembangkan usahanya. Menurut dia, setiap tahun kendala dan masalah yang muncul berbeda.
"Tahun lalu kendalanya kelangkaan daging sapi. Pembelian daging sapi dibatasi oleh pemerintah jadi kami terpaksa menaikkan harga. Yang tadinya harga terjangkau menjadi naik. Itu pengaruh ke daya beli masyarakat," ungkapnya.
Selain itu, kenaikan Upah Minium Regional dan Bahan Bakar Minyak juga sempat menjadi salah satu kendala dalam menjalani usaha yang berdampak pada membengkaknya biaya operasional. Belum lagi munculnya kompetitor-kompetitor baru.
Namun, segalanya ia siasati dengan beragam inovasi mulai dari variasi menu kebab yang saat ini telah tersedia kebab sayuran, ayam teriyaki, keju dan pisang cokelat hingga menambah deretan menu baru seperti roti canai serta dimsum. Desain outlet pun dibuat semenarik mungkin dengan kombinasi warna merah dan kuning. "Kita juga pakai strategi promosi digital media seperti media sosial dan hashtag," tambahnya.
Dengan siasat tersebut, Hendy optimistis mampu mencapai target 3000 outlet dalam waktu 4 tahun ke depan sekaligus menghadapi Indonesia yang tahun ini menjadi Focus Asian Economic Community Market.
Terwaralaba
Prospek yang cerah membuat banyak anak muda turut menggeluti bisnis waralaba. Seperti Yosua, terwaralaba, yang baru memulai usaha Kebab Turki Baba Rafi di Jalan Sutan Syahrir, bilangan Menteng, Jakarta Pusat pada Desember 2014 lalu. Anak muda yang tinggal di Ibukota itu mengaku memilih usaha waralaba karena cenderung mudah dijalankan. Waralaba kuliner sendiri dianggapnya sangat menjanjikan.
"Saya memilih Kebab Turki Baba Rafi karena outletnya sudah banyak ya, sampai ribuan. Waralaba lain saya dengar banyak yang nggak jalan, banyak yang udah bayar tapi nggak diterusin. Kalau ini track recordnya bagus," jelas Yosua kepada VIVAnews, Rabu, 7 Desember 2014.
Yosua memilih jenis outlet paling murah yakni gerobak seharga Rp75 juta dan ia diharuskan memenuhi kesepakatan yang telah ditentukan yakni membayar fix royalty fee sebesar Rp600 ribu per bulan selama 5 tahun. Setelah periode 5 tahun, kontrak bisa diperpanjang.
Urusan balik modal, Yosua yakin bisa dikejar lebih cepat dari perkiraan yang rata-rata 1,5 tahun. Keyakinan tersebut bukan tanpa alasan. Yosua mengungkapkan respons pasar sangat bagus. Usahanya yang baru seumur jagung itu telah menghasilkan omzet Rp20 juta di bulan pertama.
"Saya sendiri kaget responnya bagus juga. Seperti yang dibilang, Kebab Turki Baba Rafi ini target pasarnya menengah agak ke bawah sedikit. Karena saya buka di depan minimarket dan dekat rumah sakit jadi yang beli mulai dari suster, orang dewasa, anak-anak sampai anak asrama dekat sini," ucapnya.
Terwaralaba lainnya, Donny Hadinoto sudah jauh lebih lama bergelut dengan gerobak Kebab Turki Baba Rafi, sejak 2009. Bermodalkan Rp55 juta di awal usaha, dalam kurun waktu lima tahun ia sudah memiliki tiga gerobak kebab yang tersebar di berbagai wilayah. Satu di antaranya bekerjasama dengan minimarket. Gerobak kebabnya masing-masing menghasilkan Rp10-Rp11 juta per bulan.
Larisnya dagangan Donny tidak terlepas dari pemilihan lokasi usaha. Baginya, lokasi merupakan poin penting. Karena itu ia memilih menempatkan gerobaknya di dekat rumah yang kebetulan cukup ramai, di Jalan Veteran, dan Sektor 1 Bintaro.
Soal pesaing, Donny tidak gentar. Meski kini marak pedagang kebab tanpa merek dagang, ia yakin usahanya memiliki prospek menggiurkan. Sebab soal rasa, Kebab Turki Baba Rafi sulit ditandingi.
Konsumen pun mengakui cita rasa Kebab Turki Baba Rafi berbeda dari kebab lain. Arya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di swasta di Jakarya saat ditemui VIVAnews, 7 Januari 2015, menuturkan, cukup sering membeli Kebab Baba Rafi. Walau sedikit agak mahal, namun rasa kebab tidak mengecewakan. "Rasanya beda dengan kebab lain, gurih, isinya banyak dan sesuai dengan lidah saya. Rasa mayonesnya juga beda," tambahnya.
Hafid, karyawan perusaan swasta Ibukota bahkan mengaku beberapa kali mencoba kebab Baba Rafi di sejumlah outlet yang berbeda. Menurutnya, menu makanannya tidak ada yang berbeda dari segi rasa. Begitu pula dengan harga juga pelayanan. Sebagai pelanggan setia, ia berharap Kebab Turki Baba Rafi menambah variasi produk kebab dan makanan lain, termasuk mempertahankan kualitas. (umi)