Industri Buku Tersandera Sinetron?
- REUTERS/ Olivia Harris
VIVAnews - Mendung tengah menggelayut di langit Jakarta saat Abdurrahman Mamang membersihkan buku-buku yang ia pajang di Toko Buku Erose. Siang itu, belum ada satu pun pengunjung yang masuk ke toko kecilnya di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.
Bulan-bulan di penghujung tahun memang musim paceklik bagi penjual buku sepertinya. Apalagi sejak dua tahun terakhir. Penjualan terus merosot. Harapan hanya bergantung di pertengahan tahun, saat musim ajaran baru tiba.
Lelaki berusia 54 tahun ini menuturkan, dalam satu hari ia hanya mampu menjual dua sampai tiga buku. Itu pun sudah beruntung. Karena tidak jarang, ia hanya mengantongi uang dari penjualan satu buku saja. "Sekarang kan belum masuk tahun ajaran baru," ujar Mamang saat ditemui VIVAnews.
Bagi penjual buku sepertinya, tahun ajaran barumemang selalu menjadi tumpuan. Buku sekolah dan pelajaran menunjang saat itu menjadi buruan, dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. "Kalau buku, kadang-kadang saja lakunya," tutur Mamang sambil menunjukkan beberapa buku di tokonya.
Mamang menceritakan, sejak dua tahun belakangan ini, penjualan buku di tokonya menyusut drastis. Sangat berbeda dibanding saat histeria film Ada Apa Dengan Cinta di akhir 1990-an. Kala itu, Kwitang ramai pengunjung, lantaran salah satu scene di film remaja itu mengambil setting di sentra buku terbesar di Indonesia itu.
"Waktu itu mah anak-anak SMA, termasuk saya, pada ke Kwitang semua. Gara-gara film AADC. Sekarang ini mana ada," ujar Lia Kusmayanti yang ditemui saat mencari buku di Kwitang. Lia, yang hobi baca ini, termasuk salah satu remaja yang ikut tersihir film AADC.
Lesunya pasar buku tidak saja dialami pengecer buku sekelas Mamang. Kalangan penerbit, juga mengakui kalau industri buku semakin tidak bergairah. "Tidak semeriah satu dasawarsa lalu yang setiap hari muncul penerbitan-penerbitan baru," tutur Luqman Hakim Arifin, CEO Penerbit ReneBook dan Turos Pustaka.
Menjamurnya penerbit buku pada era awal 2000-an, kata Luqman, telah rontok satu per satu. Kerasnya persaingan dalam industri ini, ditambah lemahnya daya serap konsumen (pembaca) membuat banyak penerbit menyudahi produksinya. "Mereka saat ini sudah terseleksi oleh alam," kata dia.
Lesunya industri buku juga ditanggapi skeptis oleh Ade Ma'ruf, pemilik penerbit Continuum yang berbasis di Yogyakarta. Ade mengungkapkan industri buku tanah air berjalan monoton.
"Bisnis buku, secara umum, tidak pernah menjadi bidang usaha yang hasil ekonomisnya sangat besar sebagaimana bisnis lainnya. Saya pikir, tidak ada kelesuan di industri penerbitan. Cuma pergerakannya memang begitu saja, bahkan cenderung monoton," ujarnya.
Bahkan, beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industri buku cukup stagnan --kalau tak ingin dibilang turun. Penerbit kelas kakap, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) pun mengalami kondisi serupa. Pertumbuhan bisnis buku dari KKG belakangan ini kurang menggembirakan.
"Pertumbuhannya memang melambat. Kalau dikatakan turun, saya kira tidak. Hanya melambat saja," ujar Yosef Adityo, General Manager Corporate Secretary KKG, melalui sambungan telepon.
Tiap tahun, penjualan buku di Gramedia Publisher & Ritel hanya mampu tumbuh pada kisaran 10 persen. Kondisi ini, kata Adityo, berbeda dengan periode sebelum tahun 2008. Saat itu, bisnis buku KKG bisa tumbuh rata-rata 20 sampai 30 persen tiap tahun. Sayangnya, Adityo enggan membeberkan jumlah penjualan dalam hitungan eksemplar. "Kami bukan perusahaan terbuka, data itu belum diperlukan," ujarnya.
Saat ini, dia menambahkan, belum ada nilai pasti mengenai nilai pasar (market value) industri buku di Indonesia. Sebab, belum ada lembaga yang secara resmi menghitung kue industri buku Tanah Air.
"Kalau di internal kami memang pernah menghitung. Tapi, itu bukan untuk publik. Nanti, kalau kami share, ternyata datanya lain dengan hitungan penerbit lainnya," tutur Adityo berdiplomasi.
Harga Buku Mahal?
Yang jelas, para penerbit menuding berkurangnya minat masyarakat, terutama generasi muda, dalam mengakses bacaan jadi biang keladi melesunya industri buku. Gaya hidup Gen Y (anak yang lahir di era 1990-an, melek digital) disebut-sebut tak lagi akrab dengan buku.
Alasan tersebut dianggap penerbit lebih masuk akal, ketimbang mengaitkan biaya produksi sebagai penyebab melesunya industri buku. Para penerbit yang dimintai konfirmasi soal biaya produksi, rata-rata membenarkan kalau harga bahan baku produksi buku meningkat. Dan, ini berakibat pada meningkatnya harga jual buku di pasaran. Hanya, sayangnya, mereka mengaku tak mau membeberkan lebih rinci soal dapur mereka tersebut.
"Kita kan bukan perusahaan publik," tutur Adityo. Penyesuaian harga, menurutnya, dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti inflasi, dan sebagainya, selain kenaikan harga bahan baku cetak.
Soal harga buku, Bachrul Chairi punya analisis sendiri. Dirjen Kerja Sama Perdagangan Indonesia Kementerian Perdagangan ini mengatakan kalau mahalnya harga buku tidak saja dipengaruhi harga kertas, melainkan dari biaya pemasaran serta nilai penghargaan terhadap penulis buku.
"Kalau buku best seller kan bukan dilihat dari harga kertasnya, tapi harga promosinya yang tinggi," ujarnya kepada VIVAnews, di Kementerian Perdagangan Jumat, 19 Desember 2014.
Pendapat itu tidak sepenuhnya salah. Memang, penerbit kerap mengeluarkan banyak biaya untuk kegiatan promosi. Misalnya, buku Laskar Pelangi yang jadi best seller. Menurut cerita Adityo, buku itu sempat laku hanya lima eksemplar dalam waktu tiga bulan. "Setelah kita promosikan ke mana-mana, baru jadi best seller sampai sekarang," katanya.
Bachrul tak setuju jika harga kertas disebut mahal. Sebab, kata dia, Indonesia merupakan eksportir kertas utama. "Mahalnya harga buku itu karena biaya PR (public relations) dan penghargaan pada penulisnya," kata dia.
"Gramedia sedikitnya telah mengkonversi 10 ribu judul buku ke format digital. Belum lagi digitalisasi buku oleh penerbit lain," ujar Adityo. Nyatanya, serapan pasar terhadap buku digital juga masih bisa dibilang rendah. Sayangnya, Adityo enggan membeberkan jumlah penjualan buku digital.
Luqman mengamini pendapat Adityo. Pemilik penerbitan ReneBook ini menuturkan rendahnya minat baca tercermin dari penjualan buku di Tanah Air. Menurut asumsinya, jumlah buku yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia sekitar 24.000 judul per tahun. Dari jumlah itu, satu judul rata-rata dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Artinya, dalam setahun ada 72 juta buku yang diproduksi.
"Bila jumlah itu dibeli dan dibaca semua (100 persen) berarti satu buku dibaca oleh 3-4 orang," ujar Luqman tanpa mau merinci lebih lanjut jumlah riil penjualan buku.
India Vs Indonesia
Kondisi industri perbukuan di Tanah Air ini tentu cukup memprihatinkan dibanding luar negeri. Di India, misalnya. Negeri "Mahabarata" itu, tiap tahun industri buku tumbuh 30 persen. Yang lebih menakjubkan, tak kurang dari 16.000 ?penerbit baik besar maupun kecil tumbuh di India.
Sekretaris Jenderal Federation of Indian Chambers of Commerce & Industry (FICCI), Dr A Didar Singh mengatakan penerbitan di India mencetak sedikitnya 100.000 judul tiap tahun.
"10 tahun lalu, ukuran keberhasilan adalah ketika mencetak 3.000 eksemplar, habis terjual. Tapi, hari ini, Anda sedang melihat secara rutin ada 10 ribu hingga 20 ribu eksemplar buku dicetak, dan beberapa kasus 100.000 atau bahkan satu juta kopi mampu terjual," ujar Gautam Padmanabhan, CEO Westland Ltd, ketika diwawancara laman India Business Today.
Penerbit di India juga telah mengonversi cetakannya menjadi buku digital (e-book). Meskipun porsinya masih kecil, namun e-book di India juga tumbuh. India menduduki urutan ketujuh sebagai negara produsen buku di dunia.
"Tapi, peluang memperbesar pasar buku di Indonesia masih cukup besar, khususnya di Indonesia timur," tutur Adityo.
Menurut dia, minat baca masyarakat di Indonesia bagian timur cukup menjanjikan. Hal ini terindikasi dari jumlah penjualan buku di wilayah itu. Menurut Adityo, penjualan Gramedia di sana mampu tumbuh 20 sampai 25 persen tiap tahun. "Regional timur saat ini menyumbang hingga 15 persen ke total revenue," ujar dia.
Bila ditotal, saat ini tingkat kunjungan ke toko buku Gramedia mencapai 70 juta orang. Itu jumlah pengunjung di 104 toko buku Gramedia yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. "Jadi prospeknya masih bagus ke depannya," ujar dia. Bahkan, tahun depan, Gramedia berniat menambah sedikitnya tujuh toko buku.
Hanya saja, industri buku ini memerlukan campur tangan pemerintah. Setidaknya, pemerintah dapat mengedukasi masyarakat. Minimal, pemerintah mau mengampanyekan semacam gerakan mencintai buku. Perlunya, agar minat baca meningkat.
Ihwal ini, pemerintah melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas), mengaku terus menggalakkan budaya baca masyarakat. Bahkan, Perpusnas telah menjangkau daerah terpencil melalui perpustakaan keliling yang ada di kapal besar.
"Perpusnas sudah menyediakan tujuh kapal besar perpustakaan keliling. Di dalam kapal itu ada 4.300 koleksi buku," kata Kepala Humas Perpusnas, Agus Sutoyo.
"Perlu ada toko-toko buku yang di-support oleh pemerintah di tiap kota dan kabupaten, sehingga Gramedia tidak menjadi pemain tunggal yang bisa memonopoli pasar," Luqman menambah usulan.
Luqman pun meminta pemerintah menata industri buku. Seperti Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Organisasi ini dianggap Luqman tidak efektif bagi pengembangan perbukuan di Indonesia.
"Selama ini, IKAPI hanya menjadi tempat para pemain proyek yang sama sekali tidak memiliki idealisme soal pembangunan minat baca Indonesia. Banyak pengurus dan anggotanya yang berpikir untuk mendapatkan proyek penerbitan buku dari pemerintah ketika bergabung dengan IKAPI," katanya. (umi)