Siasat Warga Hadapi Bencana
- VIVAnews/Alfin Tofler
VIVAnews - Hari beranjak siang. Matahari tepat berada di atas kepala, panasnya "membakar" Jakarta. Namun, tidak di Pesanggrahan Sangga Buana. Tempat ini terasa sejuk dan teduh.
Sinar Matahari tak leluasa menembus rimbunnya pepohonan. Beragam tanaman dan pohon melindungi pesanggrahan yang dekat dengan Sungai Pesanggrahan ini.
Bak hutan, pesanggrahan yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ini rimbun dengan beragam tanaman dan pepohonan. Ada pohon rambutan, durian, jengkol, kecapi, hingga mangga. Juga ada pohon buah jamblang yang mulai susah ditemukan di Jakarta.
Di tengah pepohonan tampak bangunan seluas 6x8 meter persegi. Tak ada yang istimewa dari bangunan ini. Tampak sejumlah foto menempel di dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu.
Di ruang tamu, tertata perpustakaan kecil dan seperangkat komputer di ruang dalam. Sayup-sayup terdengar perbincangan dari dalam ruangan.
Haji Chaerudin, pendiri dan pemilik pesanggrahan sedang ada tamu. Tak berselang lama, pria yang biasa disapa Bang Idin ini keluar dari dalam ruangan.
"Alam bukan warisan, tapi titipan anak cucu. Berlaku baik dengan alam, maka ia akan memberikan manfaat," ujarnya membuka percakapan saat VIVAnews berkunjung ke pesanggrahannya, Rabu 3 Desember 2014.
Ia mengatakan, pesanggrahan yang sejuk dan bantaran sungai yang rimbun dengan pohon bambu tidak turun dari langit. Semua itu merupakan hasil kerja kerasnya bersama sejumlah warga. Ia telah menyulap bantaran sungai yang tandus dan sungai yang kotor menjadi teduh, bersih, dan indah.
Semua berawal dari keprihatinan dia terhadap kondisi Kali Pesanggrahan yang rusak. Berbekal rakit dari pelepah pisang, pria kelahiran 13 April 1956 ini nekat menyusuri sungai selama lima hari enam malam. Ia rekam semua kerusakan yang terjadi.
Otaknya berputar mencari jawaban atas hilangnya kicauan burung, ikan-ikan, dan aneka satwa di bantaran sungai. Berangkat dari kondisi itu, ia terobsesi mengembalikan "kesehatan" lingkungan sekitar Sungai Pesanggrahan.
Ia memulai dengan membersihkan sampah dan bangunan yang menghampar di tepian sungai. Awalnya, perjuangan Bang Idin cukup berat. Tak jarang ia harus bersitegang dengan para pembuang sampah sembarangan.
Pada 1998, ia merangkul sejumlah warga yang memiliki kesamaan visi untuk menyelamatkan sungai dan lingkungan. Mereka kemudian membentuk komunitas yang dinamakan Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana.
Komunitas yang beranggotakan ratusan orang ini berkomitmen meminimalisasi kerusakan kawasan sungai, khususnya yang mengalir ke DKI Jakarta. Upaya itu dilakukan agar banjir tak terus terjadi.
"Kami sudah menanam puluhan ribu pohon bambu beragam jenis di sepanjang Kali Pesanggrahan hingga ke kawasan Gede Pangrango. Entah siapa yang menikmati, yang penting bagi saya dan anggota komunitas, Jakarta jangan banjir lagi," Bang Idin menjelaskan.
Menurut dia, banjir di Jakarta memang terlalu pelik. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengantisipasi bencana dan minimnya sentuhan kearifan dalam pembangunan memperparah kondisi tersebut.
Ia mencontohkan upaya pemerintah menangani banjir dengan membangun pelapis beton di sepanjang sungai. Upaya itu terkesan sia-sia dan berbiaya tinggi. Buktinya, banjir tetap tak tertangani dengan baik.
Padahal, berdasarkan sejarah, penanganan banjir telah dilakukan oleh leluhur. Salah satunya dengan penanaman bambu di sepanjang bantaran sungai.
“Sejak abad ke-8, di zaman kerajaan, orang-orang kita telah menanam bambu di sepanjang sungai. Tapi, lihat kini, bambu-bambu ditebang dan dibuang bahkan diganti dengan beton. Ini menjadi bukti bahwa pembangunan kita tak berlandaskan kearifan leluhur," ujarnya.
Untuk itu, hingga saat ini Bang Idin bersama warga terus berjuang mempertahankan kawasan sungai agar terjaga ekosistem dan kebersihannya.
"Sejauh ini, sudah sekitar 120 hektare lahan yang kami kelola bersama di sepanjang Kali Pesanggrahan hingga ke kawasan Gede Pangrango. Kami swadaya, dan belum pernah dibantu pemerintah. Prinsipnya kami cuma ingin berbuat dan melakukan apa yang bisa memberikan manfaat sebanyak mungkin untuk Jakarta dan masyarakat," tuturnya.
Bang Idin bersama warga terus berjuang mempertahankan kawasan sungai Pesanggrahan agar terjaga ekosistem dan kebersihannya. (Foto: VIVAnews/Tri Saputro)
Komunitas Dibentuk, Kesadaran Dipupuk
Bang Idin tak sendiri. Sejumlah warga di bantaran Sungai Ciliwung juga melakukan gerakan serupa. Misalnya komunitas yang didirikan warga di Kelurahan Condet Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Mereka bahu membahu membersihkan sungai dan menjaganya agar tak menimbulkan petaka. Aktivis Komunitas Ciliwung Condet, Abdul Kodir (40) menjelaskan, warga mendirikan komunitas guna menangani kerusakan Sungai Ciliwung, khususnya yang melewati permukiman mereka.
“Sungai Ciliwung sudah mengalami kerusakan sehingga butuh peran serta masyarakat,” kata Abdul Kodir kepada VIVAnews, Rabu, 3 Desember 2014.
Menurut dia, banyak kerusakan yang terjadi di sungai yang membelah Jakarta tersebut. Dulu, hampir 90 persen wilayah Condet merupakan ruang terbuka hijau (RTH). Namun, sekarang sudah berubah, sudah banyak wilayah hijau yang hilang.
“Dulu di bantaran Condet itu banyak kebun buah. Sekarang banyak pembangunan perumahan, ada alih fungsi lahan,” ujarnya.
Abdul Kodir menjelaskan, banjir yang sering merendam permukiman warga merupakan dampak dari rusaknya ekosistem dan lenyapnya daerah tangkapan air. Untuk itu, mereka harus memulihkan daerah tangkapan air dan memperbaiki setu. Selain itu, mereka harus menambah RTH serta melindungi daerah resapan air.
“Selama daerah yang menjadi tangkapan air rusak atau hilang, sulit kita mengantisipasi banjir,” dia menjelaskan.
Namun, sama seperti Bang Idin, Komunitas Ciliwung juga tak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka bergerak secara swadaya, bekerja memperbaiki kawasan sungai untuk mengantisipasi banjir. “Mungkin pemerintah tidak tertarik dengan kami, karena di sini tidak ada korban nyawa. Jadi mungkin tunggu korban nyawa dulu,” tuturnya.
Tak hanya di Condet, komunitas serupa juga ada di sejumlah wilayah yang dilalui Sungai Ciliwung. Di Depok, Jawa Barat misalnya. Berangkat dari keprihatinan terkait rusaknya Sungai Ciliwung, sejumlah warga di Depok membentuk komunitas.
"Kami bentuk sejak tahun 2010. Sebabnya, di wilayah Kalimulya Depok ada pembangunan perumahan yang mengeruk bantaran sungai. Keanehan ini yang kami protes. Kami juga mempengaruhi dan mengajak warga sepanjang sungai agar ada perhatian di wilayahnya," ujar Taufik DS, salah seorang pegiat komunitas ini kepada VIVAnews, Kamis 4 Desember 2014.
Komunitas ini juga dibentuk untuk mendeteksi terjadinya banjir. Selain itu, komunitas ini aktif melakukan imbauan atau sosialisasi larangan buang sampah ke sungai.
"Biasanya kami mantau di DAS-nya. Vila Duta, aliran Sungai Cikumpa. Kalau ada banjir kami bantu-bantu. Kami selalu kritisi orang yang bangunannya melanggar garis sepadan sungai,” kata Taufik.
Dari Membuat Tangga Hingga Memasang Tali
Warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung merasa terbantu dengan keberadaan berbagai komunitas tersebut. Sri Endah (45) misalnya. Warga Matraman, Jakarta Timur ini merasa senang dengan kepedulian warga yang tergabung dalam komunitas. Perempuan yang biasa disapa Ibu Yayi ini mengaku banyak beroleh manfaat dari komunitas.
“Manfaatnya banyak. Seperti kemarin (tahun lalu) banjir, mereka ada perahu. Jadi, sangat membantu warga di sini untuk mengungsi,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu 3 Desember 2014.
Ia mengaku sudah 45 tahun tinggal di daerah yang dilalui Sungai Ciliwung ini. Menurut dia, wilayahnya merupakan daerah langganan banjir. Setiap tahun rumahnya pasti terendam.
Yayi hanya bisa pasrah. Guna menekan kerugian, setiap akan banjir, ia dansuaminya memindahkan barang-barang ke tempat yang lebih tinggi serta tidak terkena banjir.
Tak hanya Yayi, warga di Kecamatan Kampung Melayu dan Manggarai Jakarta Selatan juga mengaku sudah menyiapkan diri untuk menghadapi banjir. Sejumlah cara ditempuh guna menekan kerugian yang timbul dari bencana tersebut.
Yadi misalnya. Warga Gang Anwar RW 10 Jatinegara Barat ini mengaku telah menyiapkan antisipasi khusus. "Saya buat tangga penghubung dari lantai dasar ke loteng. Jadi, biar cepat naik ke atas kalau banjir datang mendadak," katanya kepada VIVAnews, Kamis, 4 Desember 2014.
Tangga dari bambu yang dibuat Yadi disertai pemberat. Tujuannya, agar ketika banjir datang, tangga tidak hanyut dan tetap menempel di depan rumah.
"Ada juga warga yang memaku tangganya di dinding rumah. Ada juga yang cuma menggantungnya, namun dikasih pemberat. Jadi, ketika sudah tidak banjir lagi, tangga mudah dilepas," kata dia.
Cara berbeda dilakukan oleh warga di RT 4 RW 2 Jatinegara Barat. Mereka tak membuat tangga, namun telah menyiapkan tali penghubung antarrumah. Tali serat warna putih yang digantung tampak membentang di sekeliling rumah mereka.
Dani, salah seorang warga mengatakan, tali itu berfungsi menjadi pegangan atau pemandu saat evakuasi barang atau bagi warga yang berenang. "Soalnya kalau banjir pasti air sampai ke loteng. Jadi, dengan tali ini, kami bisa bergerak ke rumah lain saat air sudah tinggi," ujarnya. Warga mengatakan, mereka mendapatkan strategi itu berdasar pengalaman.
"Banjir sudah jadi makanan kami tiap tahun. Karena itu, kami juga belajar mengantisipasinya. Termasuk seluruh barang berharga, warga di sini pasti sudah mengemasnya dalam tempat khusus, sehingga gampang dibawa kalau banjir datang," ujar Hanafi, warga yang lain.
Kesiapan Pemerintah
Pemerintah menyambut baik upaya dan partisipasi warga dalam menanggulangi bencana banjir. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Bambang Musyawardana mengatakan, masyarakat memang harus peduli. Sebab, kemampuan pemerintah sangat terbatas.
Ia mencontohkan, timnya di BPBD hanya beranggotakan 24 orang. Namun, mereka harus mengurus semua wilayah di DKI Jakarta. “Jadi, pemerintah dan warga memang harus bersinergi,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu, 3 Desember 2014.
Ia membantah, maraknya individu dan komunitas yang bergerak "melawan" banjir merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Menurut dia, kondisi itu terjadi karena mereka belum ditangani pemerintah. Bambang berjanji, BPBD akan membantu keberadaan komunitas pemerhati bencana itu.
“Kami punya wadah untuk itu. Punya forum PRB, Pengurangan Risiko Bencana. Di dalamnya ada pemerintah, pengusaha, LSM. Masuk saja di sini, sampaikan di sini. Nanti kami akan akomodir,” ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengakui kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana memang meningkat.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dari riset yang dilakukan, usai bencana tsunami Aceh pada 2004 dan sejumlah rentetan bencana lain di Indonesia telah memberi perspektif baru tentang bencana. Publik mulai menyadari bahwa bencana bisa menimpa siapa saja dan kapan saja.
Namun sayangnya, pengetahuan tentang kebencanaan itu belum mengubah perilaku. Menurut Sutopo, masyarakat telah mengerti penyebab bencana. Namun, mereka tidak menunjukkan perilaku untuk mengantisipasi bencana.
Ia mencontohkan, saat muncul bencana banjir. Jauh sebelum terjadi bencana, publik mengetahui penyebabnya. Namun faktanya, mereka tetap menjadi bagian dari penyebab sekaligus korban bencana tersebut.
BNPB bersama BPBD DKI Jakarta dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika telah melakukan penghitungan prakiraan, puncak bencana banjir Jakarta akan terjadi pada awal 2015, yakni Januari hingga pekan ketiga Februari.
Prediksi itu berdasarkan siklus historis curah hujan di Jakarta. Data menunjukkan, sejak 1879 hingga 2013, puncak hujan kerap terjadi pada kedua bulan tersebut. BPBD mengaku siap dengan ancaman banjir.
Ketua BPBD DKI Jakarta Bambang Musyawardana mengakui, pembangunan fisik memang belum selesai 100 persen. Namun, pemerintah telah mengeruk sungai dan melakukan normalisasi waduk. “Itu bagian dari upaya menampung air hujan, termasuk pembuatan sumur resapan,” ujar Bambang.
Selain itu, pemerintah daerah sudah melakukan mitigasi bencana nonstruktural. Misalnya, BPBD bersama dinas sosial dan Satpol PP menggelar pelatihan kepada masyarakat untuk persiapan penanggulangan bencana. Banyak dinas yang tergabung dengan satuan penanggulangan bencana ikut dalam program pelatihan, seperti guru, anak sekolah, kader bencana dari masyarakat, dan kelurahan.
Bambang mengatakan, sulit membendung banjir tak datang ke Jakarta. Karena, sejak tahun 1600, Jakarta sudah banjir. Namun, dampak dan luasan banjir akan berkurang jika warga menyadari pemanfaatan sungai dan lahan sesuai peruntukan.
Misalnya, daerah resapan dikembalikan bukan untuk perumahan. Selain itu, perumahan tak membuang air limbah ke sungai, namun ke sumur-sumur resapan.
Bang Idin sudah melakukan itu dengan Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buananya. Juga Abdul Kodir dan Taufik DS dengan Komunitas Ciliwung mereka. Tinggal menunggu peran serta pemerintah guna menyokong gerakan mereka. Karena selama ini, mereka bergerak secara swadaya tanpa sentuhan dan uluran tangan negara. (art)