Belitan Korupsi di Tengah Redupnya Prestasi

Euforia Kemenangan Timnas Indonesia U-19
Sumber :
  • VIVAbola/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Kegagalan Timnas Indonesia U-19 pada Piala Asia 2014 di Myanmar bak jadi hidangan penutup dari serangkaian “kegagalan demi kegagalan” pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memajukan olahraga di tanah air.

Kurun 10 tahun memegang kendali kekuasaan, SBY yang kini tengah di akhir  masa jabatannya ternyata tak cukup ampuh mendongkrak prestasi olahraga tanah air. Bahkan euforia masyarakat Indonesia akan "dongeng" kehebatan Timnas Indonesia U-19 kini mulai meredup menyusul hasil kurang bagus yang dituai tim besutan Indra Sjafri itu.

Tentu masih sangat segar dalam ingatan saat SBY larut dalam euforia saat Timnas U-19 berhasil memukau di ajang Piala AFF 2013 lalu. Bahkan, saat itu SBY secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Evan Dimas dkk.

“Saya bersyukur dan bangga. Terima kasih para pahlawan sepakbola U-19. Anda semua telah mengharumkan nama Indonesia,” tulis SBY dalam akun twitternya,  @SBYudhoyono setelah Timnas Indonesia U-19 menjadi kampiun AFF di kandang.

Namun kegagalan di Myanmar ini dan sebelumnya di turnamen Hassanal Bolkiah di Brunei Darussalam seakan menjadi sinyal nyata bahwa sepakbola tanah air di masa SBY belum mampu berbuat banyak. Indonesia harus lebih bekerja keras untuk dapat menjadikan sepakbola sebagai sebuah “kebanggaan”.

Alih-alih fokus memajukan sepakbola tanah air, pemerintahan SBY justru dibuat sibuk dengan kisruh sepakbola tanah air. Tentu masih segar dalam ingatan saat Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) terpecah menjadi 2 kubu.

Masalah PSSI ini sukses menguras tenaga dan pikiran yang seharusnya dapat digunakan untuk memajukan sepakbola tanah air. Dua  kelompok yang bersitegang, PSSI versi Djohar Arifin dengan PSSI La Nyalla  Matalitti, saling klaim menjadi yang paling benar.

Ironisnya, kisruh  PSSI yang sempat melahirkan dua kompetisi berbeda ini memakan waktu lama sebelum akhirnya pemerintah lewat Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memutuskan ikut campur tangan untuk mendamaikan kedua kubu yang berseberangan.

Selain sepakbola, bulutangkis juga menjadi olaharaga paling populer di Indonesia. Hal itu sangat wajar mengingat nama-nama besar macam Rudi Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti dan Taufik Hidayat pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia.

Bulutangkis sebagai salah satu simbol bahkan identitas bangsa Indonesia sebenarnya disadari SBY. Hal itu tersurat dari pernyataan SBY yang menempatkan bulutangkis sebagai olahraga andalan Indonesia di level internasional. “Marilah kita tingkatkan prestasi olahraga kita. Sepakbola, bulutangkis, dan semuanya. Kuncinya: berlatih dengan baik dan pengurusnya kompak," kata SBY di twitternya.

Begitu populernya bulutangkis di Indonesia maka tak heran jika prestasi di cabang olahraga ini juga kerap dijadikan barometer kesuksesan sebuah pemerintahan termasuk dalam 10 tahun pemerintahan SBY. Namun, prestasi bulutangkis di masa SBY terbilang juga tak terlalu membanggakan.

Meski sempat kembali menunjukkan jati diri sebagai raksasa bulutangkis lewat dua gelar All England 2014 yang diraih Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan di ganda putra dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di ganda campuran, namun prestasi bulutangkis tanah air secara keselurunan di 10 tahun pemerintahan SBY dipandang telah merosot.

Indonesia sebagai raksasa bulutangkis kini mulai tertinggal dari China, Denmark,  Korea Selatan dan Malaysia. Bahkan Indonesia kini mulai terkejar negara-negara yang terbilang baru dalam olahraga bulutangksi seperti Jepang dan India.

Selain tak kunjung membaiknya prestasi Indonesia di dua olahraga paling populer itu, prestasi atlet-atlet Indonesia di cabang olahraga lain juga tak terlalu menggembirakan.

Hal itu dapat dilihat dari prestasi atlet-atlet Indonesia di berbagai ajang internasional yang terbilang jauh dari target yang diharapkan.

Tengok saja perolehan medali emas Indonesia di level internasional macam SEA Games, Asian Games dan Olimpiade. Di pentas Asian Games, setelah sempat menorehkan 6 emas di Bangkok pada 1996, perolehan medali Indonesia justru merosot di masa pemerintahan SBY.

Bahkan di Asian Games 2006 di Doha, Indonesia hanya mampu menyabet 2 emas.

Meski di Asian Games 2014 lalu di Incheon, Korea Selatan, Indonesia berhasil kembali menyabet 4 emas, namun pencapaian itu masih jauh dari harapan.

Bagaimana tidak, di Asian Games XVII itu, kontingen Indonesia sebenarnya menargetkan 9 emas dari beberapa cabang olahraga unggulan.

Menurunnya prestasi olahraga Indonesia juga terlihat jelas dari pencapaian di SEA Games 2013 di Myanmar. Di SEA Games Myanmar itu kontingen Indonesia telah kehilangan gelar juara umum yang diraih dua tahun lalu pada SEA Games XXVI saat Indonesia menjadi tuan rumah.

Di SEA Games Myanmar, Indonesia hanya mampu menduduki peringkat ke-4 dalam daftar perolehan medali. Kontingen Merah Putih hanya mampu meraih 64 medali emas, 83 perak dan 109 perunggu serta harus rela menerima kenyataan  berada di bawah Thailand, Myanmar dan Vietnam.

Ini menjadi hasil terburuk kontingen SEA Games Indonesia setelah SEA Games di Filipina pada 2005 silam. Menariknya, dua hasil buruk di pentas negara-negara Asia Tenggara itu dituai saat SBY memegang jabatan sebagai presiden.

Tak heran jika pemerintahan SBY dianggap gagal mendongkrak prestasi Indonesia di kancah internasional. Hasil buruk yang dituai dunia olahraga tanah air ini juga mengundang munculnya keprihatinan dari berbagai kalangan. Termasuk dari Seksi Wartawan Olahraga  (SIWO) PWI yang langsung mendesak pemerintah yang diwakili Menteri Pemuda  dan Olahraga

Roy Suryo, Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Rita Subowo, dan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Tono Suratman segera melakukan evaluasi.

Mengapa Merosot
Lalu apa yang membuat prestasi olahraga Indonesia merosot? Menurut beberapa pihak, merosotnya prestasi olahraga tanah air ini disebabkan karena sebagian besar induk olahraga melakukan cara-cara yang instan untuk menciptakan prestasi. Padahal, olahraga tidak dapat dikarbit sehingga menciptakan prestasi luar biasa dalam waktu cepat.

Selain itu, SBY dianggap tak sepenuh hati menghidupkan lagi semangat olahraga tanah air. Meski sempat menetapkan Undang-undang No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, namun dalam praktiknya SBY masih dianggap tak sepenuhnya mendukung olahraga sebagai sebuah bagian dari keberhasilan pembangunan.

Padahal dengan payung hukum UU No.3 tahun 2005 ini diharapkan Indonesia mampu memperbaiki prestasi olahraga di kancah regional maupun Internasional. Waktu hampir 10 tahun ini rupanya tak cukup membuat SBY sukses menghidupkan prestasi olahraga tanah air.

Tudingan bahwa pemerintahan SBY belum sepenuhnya menjadikan olahraga sebagai sebuah kebanggaan bangsa sebenarnya sangat beralasan. Tak jelasnya masalah pendanaan olahraga di Indonesia terutama dalam persiapan menghadapi kegiatan multievent seperti SEA Games, Asian Games dan bahkan Olimpiade  sebagai contohnya.

Pemerintah dianggap belum bisa memberikan pendanaan yang memadai dan jelas. Pemerintah masih menganggap olahraga sebagai prioritas yang ke  sekian dalam pembangunan bangsa.

Hal itu diperparah dengan kondisi iklim keolahragaan nasional yang tidak mendukung pembinaan prestasi.

Seakan membenarkan “kegagalan” yang dituai pemerintahan SBY, korupsi yang menerpa Kementrian Pemuda dan Olahraga juga dapat menjadi bukti sahih  bahwa olahraga di tanah air tak sepenuhnya dikelola dengan serius dan benar oleh pemerintah.

Dimulai dengan terungkapnya kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang yang akhirnya menjerat Muhammad Nazaruddin, borok di Kementrian Pemuda dan  Olahraga satu per satu terungkap. Yang paling menghebohkan tentu kasus korupsi pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Jawa Barat, yang  ironisnya justru melibatkan beberapa orang terdekat SBY.

Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu yang juga menjadi orang kepercayaan SBY, Andi Mallarangeng justru menjadi tersangka dan harus meninggalkan jabatannya. Dan dapat ditebak, carut marutnya pengelolaan di kementerian pemuda dan olahraga ini dituding sebagai salah satu penyebab keterpurukan olahraga di tanah air.

Tak hanya itu, selain kisruh yang terjadi pada PSSI, beberapa organisasi induk cabang olahraga (Pengurus Besar) juga justru asik menikmati konflik termasuk persaingan antara Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Ya, dari catatan-catatan di atas tentu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa usaha pemerintah untuk menjadikan olahraga sebagai nation and character  building bangsa ini masih jauh dari kata berhasil. Dan tentu saja harapan SBY untuk menjadikan olahraga sebagai alat pemersatu bangsa masih pantas menyisakan keraguan di dalamnya.

Kemerosotan prestasi ini juga tak dipungkiri dapat menjadi pertanda nyata bahwa berbagai program yang diterapkan pemerintahan SBY belum terbukti efektif mendongkrak prestasi atlet-atlet Indonesia. Semua program dan terobosan masih terbilang sukses dalam konsep belaka dan harus dievaluasi secara serius.

Perhatian pemerintah kepada olahraga hanya bersifat seremonial belaka, misalnya hanya dengan menonton pertandingan, melepas dan menyambut atlet, memberikan hadiah dan bonus, peresmian-peresmian ,dan lain-lain.

Padahal bukan hal seperti itu yang dapat mengangkat prestasi olahraga suatu bangsa. Perhatian dalam bentuk pembinaan dari dini serta keseriusan dan  pengawasan yang menyeluruh menjadi lebih penting dibanding sebuah acara seremonial. (adi)