Jejak SBY dalam Penegakan Hukum
- ANTARA FOTO/Setpres-Abror
VIVAnews - “Penegakan hukum jadi kunci. Korupsi telah kita perlakukan sebagai kejahatan luar biasa.”
Itulah petikan Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperingati Hari Ulang Tahun ke-69 Kemerdekaan Republik Indonesia di gedung DPR/MPR, Jumat, 15 Agustus 2014. Pemberantasan korupsi memang fokus utama SBY di bidang hukum.
Seolah menjawab keraguan sebagian kalangan atas komitmennya dalam mendukung memberantas korupsi, SBY lantas menjabarkan, bahwa ia telah menerbitkan 176 izin pemeriksaan terhadap kepala daerah oleh aparat penegak hukum sejak menjabat tahun 2004.
Tak ada pilah-pilih bagi pejabat penyelenggara negara yang tersangkut korupsi. Itu pesan yang ditekankan SBY dalam dua periode pemerintahannya.
Untuk membuktikannya, SBY juga menjamin dukungan terhadap penguatan instansi peegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi. “Saya akan menambah dana bantuan hukum ini secara signifikan,” kata SBY.
Namun, pesan yang ditangkap publik berbeda. Setidaknya dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti PSHK Bivitri Susanti mengakui, SBY cukup menjanjikan di periode pertama. Di awal memerintah tahun 2004, misalnya, SBY membuat gebrakan dengan mengeluarkan instruksi presiden soal percepatan pemberantasan korupsi.
“Ada harapan yang begitu luar biasa. Dia sangat menjanjikan,” kata Bivitri dalam perbincangan dengan VIVAnews, Kamis malam 16 Oktober 2014.
Namun, ketidaktegasan SBY mulai terlihat tahun 2006-2007. SBY mulai tidak konsisten.
Hal ini terlihat dari berbagai tim yang dia bentuk, salah satunya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tanpa hasil signifikan, tim ini bubar jalan di usia dua tahun saja.
Selain Timtas Tipikor, ada juga tim pemburu koruptor yang kabur luar negeri dengan kinerja yang menurut Bivitri pun tak terlalu bisa dibanggakan. “Tim ini tak signifikan karena memang masalahnya bukan di situ, melainkan pada SBY. Dia seolah-olah melakukan sesuatu, tapi sebetulnya tidak.”
PSHK juga mencatat ketidaktegasan SBY saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat gempuran pada kasus “cicak vs buaya” tahun 2009 yang berujung pada penahanan dua pimpinan antikorupsi itu di Mabes Polri.
“Dia baru mau turun tangan setelah ada desakan yang begitu kuat dari publik,” kata dia.
Sementara itu, juru bicara KPK Johan Budi SP pun memiliki catatan tersendiri untuk 10 tahun kepemimpinan SBY. “Salah satu yang perlu dicontoh (presiden selanjutnya) adalah semangat pemberantasan korupsi,” kata Johan.
Mau tak mau, kata dia, harus diakui bahwa pemberantasan korupsi memang menggeliat di era SBY. Hal ini ditandai dengan elite-elite negeri ini yang korup bisa dijerat hukum. “Hingga level menteri pun bisa. Setahu saya, SBY tak pernah mengintervensi penanganan kasus di KPK," kata Johan.
Meski demikian, kata dia, kadang-kadang semangat ini tidak diikuti oleh kepala daerah di bawah. Belum lagi munculnya wacana yang justru mengancam pemberantasan korupsi. Salah satunya revisi KUHAP dan KUHPidana.
“Sempat ada wacana yang ujungnya adalah pelemahan KPK. Misalnya, pembentukan hakim komisaris, penghapusan kewenangan penyelidikan di KPK, dan sebagainya,” kata dia.
Johan yakin, DPR secara institusi pasti ingin memperkuat instansi-instansi penegak hukum, termasuk KPK. Namun, eksekutif dan legislatif ke depan harus mewaspadai penumpang gelap yang ingin bermain di situ. Penumpang gelap ini ingin mengubah arah revisi yang semula untuk penguatan, malah ke pelemahan.
“Kan sekarang sudah kelihatan. Biasanya, dia dendam karena koleganya kena jerat KPK. Lalu mau balas dendam lewat pelemahan KPK," jelas Johan.
Untuk presiden mendatang, Johan berharap pemberantasan korupsi menjadi fokus utama di samping penguatan lembaga hukum, termasuk KPK.
Pegiat ICW, Emerson Yuntho, ikut menambah catatan di luar isu yang sudah dilontarkan PHSK dan KPK. Secara umum, ICW menilai komitmen antikorupsi SBY selama hampir 10 tahun terakhir masih seperempat hati. Indonesia masih saja tergolong negara terkorup di dunia.
Data Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2004 berada di angka 20 untuk 100 (terbersih) hingga 0 (terkorup). Nilai CPI Indonesia pada 2013 sama dengan 2012, yaitu 32. Artinya, hanya ada kenaikan 12 poin selama pemerintahan SBY.
“Pada 2012 Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara, sedangkan di tahun 2013, peringkat Indonesia turun menjadi 114 dari 177 negara,” kata anggota ICW, Emerson Yuntho.
Berikut catatan ICW lainnya untuk SBY:
1. Kaya instruksi, miskin implementasi
Selama hampir 10 tahun terakhir, telah lahir sedikitnya 6 kebijakan antikorupsi di era pemerintahan SBY. Kebijakan antikorupsi dalam bentuk instruksi presiden dan peraturan presiden merupakan kebijakan terbanyak yang dikeluarkan oleh seorang presiden dalam sejarah negeri ini. Namun sayangnya miskin implementasi.
Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi baru lahir menjelang periode jabatannya berakhir. Kebijakan antikorupsi yang dikeluarkan oleh SBY terkesan sebagai imbauan karena tidak ada monitoring dan evaluasi serta pemberian sanksi jika kebijakan ini tidak dilaksanakan oleh anak buahnya.
2. Fasilitas khusus bagi koruptor
Pemerintahan SBY juga dikenal kompromi dan bahkan memberikan keistimewaan terhadap koruptor. Hal ini ditandai dengan kebijakannya meyediakan sel khusus untuk koruptor dan penjara khusus koruptor di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin.
Meskipun sudah ada PP 99/2012 tentang Pembatasan Remisi bagi Narapidana Korupsi, Terorisme, dan Narkoba, namun faktanya sejumlah koruptor kakap masih bisa mendapatkan remisi dan kemungkinan keluar lebih cepat dari ditentukan oleh hakim.
Hal ini terjadi karena Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin telah mengeluarkan surat edaran tanggal 13 Juli 2013 yang menyatakan bahwa PP No 99/2012 berlaku untuk napi yang putusannya berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak 12 November 2012. Surat edaran ini dapat dinilai sebagai upaya kompromi dan belas kasihan kepada koruptor dan jauh dari semangat pemberantasan korupsi.
Pemberian remisi dan pembebasan bersayarat terhadap koruptor masih saja diberikan meskipun diprotes banyak pihak. Tercatat sedikitnya 48 terpidana korupsi yang medapatkan pembebasan bersayarat di era SBY. Terakhir, menjelang SBY lengser melalui Menteri Hukum dan HAM, pemerintah memberikan pembebasan bersyarat yang kontroversial untuk Hartati Murdaya.
3. Melantik kepala daerah yang tersandung korupsi
Kompromi yang ditunjukkan di era SBY adalah tetap memaksakan melantik 5 kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa kasus korupsi di penjara. Terakhir sikap kompromi terhadap koruptor dan sangat memalukan ditunjukkan ketika mendagri melantik Hambit Bintih, calon Kepala Derah dari Gunung Mas Kalbar meskipun dalam status tersangka dan ditahan oleh KPK.
4. Gagal melahirkan regulasi antikorupsi
Pada aspek regulasi, meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi melalui UU No 7 Tahun 2006, namun tindak lanjut dalam membuat Revisi UU Tipikor yang baru tidak juga diselesaikan hingga akhir pemerintahan SBY. Padahal revisi UU Tipikor ini diperlukan untuk mendukung perlawanan korupsi secara lebih optimal.
5. Kasus korupsi kakap
Hingga menjelang akhir era Presiden tahun 2014, sejumlah kasus korupsi kelas kakap seperti dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dan rekening gendut jenderal polisi bahkan tidak tersentuh.
Sama seperti kasus pidana, upaya menjerat mantan Presiden Soeharto juga belum membuahkan hasil. Pada 2010 MA telah memutuskan bahwa Soeharto sebagai tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai tergugat II bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu, Yayasan Supersemar harus membayar denda senilai Rp3,17 triliun. Meski diputus MA pada tahun 2010, namun Kejaksaan Agung baru menerimanya tahun 2013.
Sayangnya proses eksekusi terhadap putusan tersebut juga belum dilaksanakan. Bahkan Kejaksaan berniat mengajukan Peninjauan Kembali karena alasan salah ketik dalam putusan MA.
Selain Yayasan Supersemar, Kejaksaan Agung juga belum melakukan proses hukum perdata terhadap 6 (enam) yayasan milik Soeharto lainnya lain yaitu, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dharmais, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora yang juga merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.
6. Eksekusi terhadap koruptor dan uang pengganti bermasalah
Per 15 Oktober 2014, dalam catatan ICW masih ada sedikitnya 61 koruptor yang buron di dalam dan di luar negeri atau belum ditangkap oleh Kejaksaan meskipun sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Auditorat Utama Keuangan Negara I Di Jakarta Tentang Piutang Kejaksaan RI Posisi Per 30 Juni 2012 Pada Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Dan Kejaksaan Negeri Di DKI Jakarta Dan Jawa Barat--pada intinya--menyebutkan Kejaksaan masih punya piutang atau belum melakukan eksekusi uang pengganti dalam perkara korupsi sebesar Rp12.761.269.954.983,50 dan US$ 290.408.669,77.
7. Koruptor dapat dana pensiun seumur hidup
Meskipun telah diputuskan bersalah dalam kasus korupsi dan menjalani pidana sebagai koruptor, sejumlah mantan anggota DPR tetap dapat menerima dana pensiun seumur hidup. Beberapa anggota DPR terpidana korupsi misalnya, Panda Nababan dari Fraksi PDIP yang menjadi terpidana kasus cek pelawat, Arsyad Syam dari Fraksi Demokrat yang menjadi terpidana kasus proyek pengadaan PLTD Sungai Bahar Jambi tahun 2004, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi PAN yang menjadi terpidana kasus dana penyesuaian infrastruktur daerah, dan Muhammad Nazarudin dari Fraksi Demokrat yang menjadi terpidana kasus Wima Atlet.
Dana pensiun bagi anggota Dewan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Uang pensiun bagi anggota DPR berjumlah 6-75 persen dari gaji pokok yang diterimanya selama aktif menjadi anggota DPR. Besaran uang pensiun juga didasarkan pada lamanya masa jabatan seorang anggota DPR.
Selain anggota dewan, mantan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi juga tetap menerima dana pensiun selama akhir hayatnya. Sesungguhnya presiden bisa mencegah ini terjadi dengan mencabut atau merevisi UU itu.
Soal HAM
Ketidaktegasan SBY juga tampak di penegakan HAM. Indonesia pernah punya harapan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Undang-Undang Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, setelah UU disahkan, SBY tak kunjung meneken panitia seleksi anggota KKR.
“Berkas itu ada di meja dia selama berbulan-bulan,” kata Bivitri. Hingga kemudian, UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi dan dibatalkan seluruhnya, tahun 2006. “Apakah ada kaitan antara SBY tak kunjung meneken pansel dan putusan MK ini, saya tidak tahu.”
Di periode kedua, kata Bivitri, ketidaktegasan SBY kian kentara. “Ditambah dengan masalah oligarki. Ketidaktegasan itu diperumit dengan kaki gurita oligarki maupun koalisi partainya (Demokrat),” kata dia.
Indikasinya, kata dia, dari jumlah kementerian yang membengkak hingga muncul jabatan wakil menteri. Semua itu, kata dia, untuk memuluskan “bagi-bagi kue” di koalisi Demokrat.
Masalah lain yang menjadi perhatian PSHK adalah pengadilan HAM ad hoc. Tahun 2009, kata dia, Pansus DPR sudah merekomendasikan pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis tahun 1997/1998. DPR juga merekomendasikan adanya rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban penghilangan paksa.
Namun, entah alasannya apa, SBY sebagai kepala negara tidak pernah melaksanakan rekomendasi DPR itu. “Sampai saat ini, proses ini terbengkalai,” kata Bivitri.
Satu masalah lain yang menjadi perhatian PSHK adalah absennya SBY saat sebagian umat minoritas tak bisa mendapatkan kebebasan dalam menjalankan keyakinan mereka.
Salah satu contoh: kasus penyegelan bangunan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor. “Mahkamah Agung sudah jelas-jelas memerintahkan agar segel itu dibuka. Tapi, SBY tak ambil tindakan ketika anak buahnya di Bogor melawan putusan MA itu,” kata dia.
Belum lagi jika bicara masalah jemaah Ahmadiyah dan Syiah. “Kekerasan demi kekerasan menimpa kaum minoritas karena dia sebagai kepala negara tidak mau ikut campur,” jelasnya.
Meski demikian, PSHK mencatat juga hal positif yang diraih SBY dan perlu dilanjutkan presiden selanjutnya, Joko Widodo. Salah satunya, kata dia, reformasi birokrasi sebagai sebuah gagasan besar sudah dimulai. “Jokowi tinggal melanjutkan dan memperbaiki yang bolong-bolongnya,” kata dia.
Dia juga mendesak agar Jokowi kembali membuka kasus-kasus pelanggaran HAM berat. “Kami sudah memberi masukan masalah ini ke dalam 42 item politik-legislasi Jokowi.” (ren)