Mimpi Sehat dan Sejahtera di Era SBY

Ilustrasi kartu BPJS resmi
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - "Itu bukan janji bung! Itu bukti. Kita telah membuktikan diri sepuluh tahun terakhir ini banyak sekali program pro-rakyat dilakukan."

Puluhan orang tampak memadati Kantor Cabang Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat pada Rabu, 15 Oktober 2014. Siang itu, sejumlah orang tampak berdiri, berderet di depan loket kantor yang terletak di Jalan Proklamasi No 94 A.

Sebagian yang lain memilih duduk di kursi menunggu giliran. Semua kursi di ruang pendaftaran penuh terisi.

Menurut petugas jaga, ini merupakan pemandangan sehari-hari. Keriuhan itu sudah terjadi sejak pemerintah meresmikan pelaksanaan BPJS Kesehatan awal tahun ini.

Kantor yang terletak di depan Polsek Metro Menteng ini hanya melayani sekitar 150 orang setiap hari. Mereka terpaksa membatasi jumlah pendaftar dengan alasan keterbatasan pegawai.

Lengkingan pengeras suara dan antrean panjang tampaknya sudah menjadi sesuatu yang lumrah di kantor BPJS Kesehatan. Tak hanya di Jakarta, namun juga di daerah lain.

Warga berbondong-bondong datang guna mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, program yang diklaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai warisannya setelah sepuluh tahun memimpin republik ini.

Di sejumlah kesempatan, SBY mengatakan akses warga, terutama yang miskin, terhadap layanan kesehatan yang baik merupakan tantangan semua negara, termasuk Indonesia. Mereka yang kaya bisa berobat ke dokter terbaik. Sementara yang papa, hanya bisa pasrah.

Untuk itu, pada 1 Januari 2014 pemerintah meluncurkan BPJS Kesehatan. "Ini kebijakan revolusioner. Kita bangga Indonesia memiliki sistem jaminan sosial terbesar di dunia, mencakup 126 juta penduduk," ujar SBY saat berpidato di parlemen, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2014.

Ia mengatakan, dengan sistem tersebut peserta BPJS berhak mendapat pelayanan kesehatan dan pengobatan apa pun penyakit yang diderita. SBY mengklaim, hingga awal Agustus 2014, BPJS telah memberi jaminan kesehatan kepada lebih dari 126,4 juta penduduk.

Tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan Rp19,93 triliun di APBN untuk program tersebut. Dana itu akan digunakan untuk melindungi 86,4 juta warga miskin dan kurang mampu melalui asuransi kesehatan.

Namun, klaim itu dibantah Ah Maftuchan. Pengamat kebijakan publik asal Perkumpulan Prakarsa ini mengatakan, BPJS bukan murni produk kebijakan SBY.

Pasalnya, Undang –Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi dasar BPJS sudah ada sejak 2004 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia justru menyayangkan, karena SBY baru mengesahkan UU BPJS pada 2011.

Padahal seharusnya beleid itu sudah ada dua tahun setelah UU SJSN diteken. 
SBY juga dinilai setengah hati dalam melaksanakan UU BPJS. Hal itu bisa dilihat dari kemauan politik pemerintah untuk menanggung premi warga miskin.

Pemerintah seharusnya membiayai premi masyarakat yang tidak mampu. Namun faktanya, warga yang preminya ditanggung pemerintah jumlahnya masih sangat terbatas.

Selain itu, SBY juga dinilai tak mampu memadukan program BPJS dengan program jaminan kesehatan di daerah. SBY dinilai tak mampu menjalankan UU SJSN dan BPJS dengan baik sesuai regulasi dan konstitusi.

“SBY melakukan itu karena keterpaksaan politik semata,” ujar peneliti Prakarsa ini saat ditemui di kantornya, Rabu, 15 Oktober 2014.

Selain itu, SBY juga dianggap gagal di bidang kesehatan karena tak mau melaksanakan UU Kesehatan, khususnya terkait anggaran. Sesuai UU, alokasi anggaran untuk kesehatan seharusnya minimal 5% dari total APBN.

Namun, hingga menjelang lengser, SBY hanya mengalokasikan anggaran untuk kesehatan di bawah 3%. Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia rendah. Pada 2013 Indonesia berada di urutan 108 dari 187 negara yang disurvei. Kasus gizi buruk pada balita juga terus meningkat. Sementara kematian akibat HIV/AIDS meningkat hingga 400%.

PNPM

Selain BPJS, program lain yang diklaim berhasil adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. SBY mengatakan, PNPM Mandiri merupakan program pemberdayaan masyarakat yang berhasil menekan angka kemiskinan dan mengurangi jumlah pengangguran.

Menurut dia, sekitar enam puluh juta orang, baik di perdesaan maupun di perkotaan menikmati manfaat dari program tersebut.

"Ini adalah contoh konkrit, kemitraan antara pemerintah dan masyarakat benar-benar dapat secara riil mengubah nasib rakyat. Dari perjalanan saya keliling tanah air, saya selalu mendengar harapan dari masyarakat agar program PNPM ini dapat terus dilanjutkan bahkan ditingkatkan," ujar SBY dalam pidato kenegaraan memperingati HUT Kemerdekaan di gedung MPR, DPR, DPD RI Jakarta 15 Agustus 2014 lalu.

Ia mengklaim telah berhasil menekan kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
Namun, hal itu dibantah Prakarsa.

Lembaga yang peduli pada isu kesejahteraan ini justru menilai SBY gagal memenuhi janjinya mengentaskan kemiskinan. Saat awal menjabat sebagai presiden pada periode kedua, SBY berjanji akan menurunkan angka kemiskinan sebesar 8-10%.

Namun, hingga Maret 2014 SBY hanya mampu menurunkan kemiskinan sekitar 2,25%.  “2009 angka kemiskinan 14,4%. Sementara pada Maret 2014 11, 25%,” ujar pengamat kebijakan publik Prakarsa, Ah Maftuchan. Menurut dia, hal itu terjadi karena program pengurangan kemiskinan tak efektif.

Hal senada disampaikan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Direktur Riset FITRA Yenny Sucipto mengatakan, pemerintahan SBY telah mengeluarkan anggaran penanggulangan kemiskinan sebesar Rp 402,4 triliun selama 2006-2012. Namun, pemerintahan SBY gagal mengurangi angka kemiskinan, terhitung rata-rata hanya berkurang 0,9% dalam waktu 6 tahun.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga merupakan bagian dari program ‘pro rakyat’ yang dinilai berhasil oleh SBY. BLT masuk dalam 12 program pengentasan kemiskinan. Dalam program tersebut, SBY bahkan menjadikan BLT sebagai program prioritas.

Pada tahun 2006 pemerintah menggelontorkan Rp18,8 triliun untuk 19,1 juta keluarga. Sementara, pada tahun 2007 pemerintah menelorkan Program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat.

Program ini dimaksudkan untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi bagi 500 ribu rumah tangga miskin di 7 provinsi, 51 kabupaten dan 348 kecamatan. Bantuan ini mencakup bantuan tetap, bantuan pendidikan dan bantuan kesehatan. Namun, sejumlah kalangan menilai BLT tak menjawab masalah kemiskinan di Indonesia.

Pendidikan

Pemerintahan SBY mengklaim berhasil meningkatkan kualitas dan memperluas akses pendidikan masyarakat. SBY menyatakan, program pendidikan gratis sudah berjalan baik.

Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Capaian itu bisa diraih melalui program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar yang digulirkan sejak 2005 dan BOS untuk sekolah setingkat SMA yang digulirkan sejak 2012-2013 melalui program pendidikan menengah universal (PMU).

Pemerintah juga memberikan bantuan siswa miskin dan beasiswa bidik misi.

Dari sisi anggaran, pemerintah juga konsisten melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terkait alokasi 20% dari total APBN. Anggaran pendidikan nasional naik dari Rp 78 triliun (2004), sekarang sudah mencapai Rp 369 triliun.

Menurut Ah Maftuchan, SBY memang mengalokasikan anggaran yang besar yakni 20% dari APBN. Namun, anggaran itu digunakan oleh sekitar 17 kementerian yang tak terkait langsung dengan kepentingan pendidikan.

Hal ini menyebabkan anggaran pendidikan yang besar tersebut tak efektif dan efisien. Banyaknya sekolah yang rusak dan biaya pendidikan yang semakin melambung merupakan akibat dari kebijakan alokasi anggaran pendidikan yang disebar ke sejumlah kementerian yang melaksanakan fungsi pendidikan.

Federasi Serikat Guru Independen (FSGI) juga mempertanyakan klaim SBY yang menyebut program pendidikan gratis di Indonesia berhasil baik. Presidium FSGI Guntur Ismail mengatakan, keberhasilan pendidikan tak hanya dilihat dari banyaknya masyarakat yang bersekolah secara gratis.

Namun, juga harus dilihat dari keseriusan pemerintah dalam menanggung biaya fasilitas, sarana dan prasarana peserta didik. Sebab Menurutnya, cara itu diyakini akan mampu meningkatkan mutu pendidikan.

Agraria

Dari sekian program kesejahteraan rakyat, reforma agraria merupakan program yang dinilai gagal. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyatakan, program reformasi agraria yang dicanangkan SBY gagal total. Buktinya, sektor pertanian saban tahun terus merosot dan kemiskinan keluarga tani semakin dalam.

Lewat Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada 2005, Presiden Yudhoyono berjanji akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6% per tahun.

Guna menyokong program itu, SBY berjanji akan membangun lahan pertanian abadi berupa sawah seluas 15 juta hektare dengan sistem irigasi yang memadai dan menciptakan lahan pertanian kering seluas 15 juta hektare. Maka, dibutuhkan lahan seluas 30 juta hektare.

Namun, faktanya lahan pertanian justru kian menciut. Bahkan kepemilikan lahan pertanian di Jawa sekarang rata-rata hanya 0,3 hektare.

Hal senada disampaikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mereka menilai, pemerintahan SBY gagal melakukan reforma agraria.

Sekjen KPA Iwan Nurdin mengatakan, dari catatan KPA, sejak SBY memerintah telah terjadi sekitar 618 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia. Area konflik itu seluas 2.399. 314, 49 hektar.

Selain itu, dalam konflik tersebut juga terdapat kurang lebih 31.342 kepala keluarga yang menjadi korban ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. Kegagalan ini diperparah dengan tindakan aparat keamanan yang tidak melindungi masyarakat saat terjadi konflik agraria. Sebaliknya, aparat melakukan tindakan diskriminatif dan intimidasi pada masyarakat.

Hari menjelang sore. Namun, orang-orang di Kantor Cabang Utama BPJS Kesehatan Jakarta Pusat ini memilih tetap bertahan, menunggu giliran. Demi ‘asuransi kesehatan murah’ yang dijanjikan pemerintah, mereka rela antre berjam-jam.

Jufri misalnya. Ia sudah mengantri nomor urut sejak 05.00 pagi. Namun, baru mendapatkan kartu BPJS pukul 18.30. Dan Jufri tak sendiri.
Mustakim/Jihad Akbar