SBY Bermain Api

Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber :
  • ANTARA/Andika Wahyu
VIVAnews
– Kamis petang, 2 Oktober 2014. Suasana kantor presiden mendadak ramai. Ada wakil presiden, tiga menko, Mensesneg, Sekretaris Kabinet, Mendagri, dan Menkumham. Kepala BIN, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian juga tampak serta.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan seluruh menteri kabinetnya yang tersisa untuk sebuah rapat penting, yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah. Rapat itu berlangsung tepat pada pukul 18.30 WIB.


Setengah jam kemudian, Ketua KPU Husni Kamil Manik dan Anggota KPU Juri Adiantoro datang. Mereka seperti terburu-buru menuju kantor presiden. SBY ingin mendengarkan pandangan KPU mengenai Perppu pilkada yang tengah disusunnya.


Sekitar pukul 21.00, rapat berakhir. Ketua KPU memberikan keterangan pers ihwal alasan SBY memanggilnya malam-malam.


Tak berselang lama, Presiden beserta para menteri kabinetnya menuju Istana Merdeka, tempat yang tak biasa digunakannya untuk sekadar memberikan keterangan pers. Di sana telah disiapkan semua peralatan konferensi pers yang disiarkan langsung sejumlah stasiun televisi.


Mengenakan batik berwarna biru, Yudhoyono membacakan pidatonya mengenai penerbitan Perppu. Rautnya tampak serius. Dia memberikan tekanan khusus pada nada suaranya bahwa pilkada tak langsung ini ditolak rakyat. Usai membacakan pidatonya, SBY langsung meninggalkan podiumnya.


Undang-undang yang menjadi kontroversi itu disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Jumat dini hari, 26 September 2014, dari agenda yang digelar sejak pukul 10.00, sehari sebelumnya.


Yudhoyono sempat tak mau menandatangani undang-undang itu. Dia perlu rapat empat kali dengan para menterinya sampai akhirnya membubuhkan tanda tangannya. Presiden dua periode itu bersedia meneken setelah mendapatkan keyakinan untuk mengeluarkan Perppu.


Ada dua Perppu yang dikeluarkannya. Perppu pertama mencabut pemberlakuan UU Nomor 22/2014 itu, dan Perppu kedua mengatur pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan. Ada sepuluh poin perbaikan yang dimasukkan.


Walk Out Demokrat

Sebelum penerbitan Perppu itu, Yudhoyono menuai kecaman bertubi-tubi di media sosial. Protes keras publik terhadap pengesahan RUU Pilkada menjadi UU berkembang menjadi viral di sosial media, sampai-sampai ledekan #ShameOnYouSBY menjadi trending topic worldwide di Twitter.

Pasalnya, aksi walk out Partai Demokrat—dimana SBY menjadi ketua umum—dinilai sebagai biang keladi kekalahan kubu pendukung pilkada langsung saat voting. Hanya enam orang dari 148 anggota fraksi partai pemenang pemilu 2009 itu yang menggunakan hak pilih mereka saat pemungutan suara.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf kemudian pasang badan. Menurutnya, aksi walk out itu bukan atas instruksi SBY selaku ketua umum. “Keputusan walk out adalah keputusan saya,” katanya.

Dalihnya, sebagai orang yang dipercaya menjadi ketua fraksi tentu harus berani mengambil keputusan di saat sulit. Dia lantas menjelaskan posisi sulit fraksinya setelah aspirasinya terbentur keengganan fraksi lain untuk menerima.

Dijelaskannya, proses lobi berlangsung panjang di saat skors sidang paripurna. Konsentrasi lebih pada bagaimana berkomunikasi dengan pimpinan fraksi lain sehingga, dia mengaku, “Saya sama sekali tidak menerima bahkan tidak berkomunikasi dengan pak SBY ketika saya mengambil keputusan itu. Tidak ada.”

Yang dipegangnya adalah arahan Yudhoyono sebelum sidang berlangsung. Yakni, memperjuangkan opsi pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan harus diperjuangkan secara utuh.

Mengapa sampai walk out, menurutnya tidak ada satu pun kubu yang menerima usulan tersebut. Dia tak mau dipersalahkan dengan pilihannya itu sebagai biang kekalahan kubu pendukung pilkada lain. Menurutnya, seharusnya ketika melihat Demokrat walk out, fraksi pendukung pilkada langsung seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura mengikuti jejaknya.

“Kalau mereka walk out bersama kami, itu sidang tidak akan korum, itu tidak akan terjadi. Kenapa sekarang Demokrat yang tidak ikut memilih yang disalahkan?”

Ketua Harian Partai Demokrat Syarif Hasan mengaku bisa memahami situasi Nurhayati sampai memutuskan walk out. Dia mengamini, situasinya membuat mereka harus menggunakan pilihan itu karena sudah lobi berjam-jam dan tidak mendapatkan hasil yang mengakomodasi aspirasinya.


“Iya kan? Sudah nego lebih dari empat jam. Pimpinan sidang langsung putuskan dua opsi. Siapapun pada saat itu akan alami hal yang sama. Persoalannya tinggal tahan apa tidak. Tidak terpikirkan tiba-tiba langsung keluar,” kata Syarif.


Kronologi RUU Pilkada

RUU Pilkada merupakan pemecahan dari UU 32/2004 tentang Pemda. Selain UU Pilkada, substansi dari ketentuan yang diatur dalam UU sebelumnya itu dimasukkan dalam UU Desa dan UU Pemda.


Inisiatif ini mengemukan pada 2010. Draft awal disampaikan oleh pemerintah kepada DPR pada Desember 2011. Pemerintah dan DPR secara resmi membahas mulai 6 Juni 2012 ditandai penyampaian keterangan pemerintah oleh Mendagri. Pada 6 Februari 2013 dibentuk Panitia kerja RUU Pilkada yang diketuai Abdul Hakam Naja, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional.


Dalam rancangan awal pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD dan bupati/walikota dipilih secara langsung.


Terhadap opsi itu, hanya Fraksi Demokrat yang mendukung. Fraksi lain, termasuk yang kini tergabung dalam Koalisi Merah Putih—Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP—justru mendukung pemilihan kepala daerah—gubernur, bupati/walikota—secara langsung.


Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riyadmadji menjelaskan, pemilihan oleh DPRD dalam rancangan awal pemerintah dilandasi pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis demokratis, tidak spesifik diperintahkan langsung.


“Karena pemilihan umum itu hanya terkait dengan persoalan pemilihan anggota DPR, pemilihan anggota DPD, dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Karena di situ perintahnya jelas, pemilihan umum,” kata Dodi.


Dodi menuturkan, naskah akademik mulai disusun pada 2010. Di dalamnya dimasukkan aspek-aspek terkait seperti masalah politik, sosiologis, yuridis. Tim penyusun memandang perlu menata ulang peran gubernur diposisikan sebagai wakil pemerintah pusat.


“Maka pemilihannya tidak perlu oleh masyarakat, oleh rakyat. Kami berpikir pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD, dan pemilihan bupati, wali kota karena masih terkait otonomi daerah, kami berpikir secara langsung,” katanya.


Pembahasan RUU itu dikelompokkan ke dalam enam klaster. Enam klaster itu antara lain, soal mekanisme, persyaratan, paket, dan penyelesaian sengketa hasil.


Dalam rentang pembahasan dari 2012 hingga pengesahannya pekan lalu, terjadi peristiwa politik penting, yaitu pemilihan presiden. Polarisasi pilpres ternyata mengubah pandangan partai-partai di DPR sebagaimana di saat Pilpres.


“Head to head Jokowi-Prabowo. Lalu kemudian melahirkan koalisi merah putih. Di situlah lalu berbagai perubahan itu terjadi,” katanya.


Bagaimana perubahannya? Dodi menjelaskan, memasuki 2014, pemerintah bertekad menyelesaikan RUU itu biar segera disahkan mengingat di 2015 ada 204 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Padahal, UU Pemda sudah direvisi dan tidak lagi memuat ketentuan tentang Pilkada.


“Karena sudah dekat dengan pemilihan di 2015, maka pemerintah akan mengikuti keputusan dari fraksi-fraksi. Yang terbanyak itu kan tadi secara langsung pemilihannya. Dalam pembahasan tanggal 1 September, 'kalau begitu pemerintah ngikut yang langsung'. Tetapi tiba-tiba, tanggal 2 September, ada perintah bahwa di KMP mengamanatkan pemilihan yang tidak langsung, atau demokrasi yang melalui lembaga perwakilan,” kata dia.


Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, mengatakan fraksinya mendukung pilkada langsung karena lebih menjamin demokrasi, kedaulatan, dan suara rakyat. Kedua, lebih menjamin terpilihnya seseorang yang punya kualitas. Namun demikian, PKB juga sadar dan paham bahwa ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki dalam pilkada langsung.


Sebagaimana Dodi, Malik mengakui, sebelum perhelatan Pilpres digelar sebetulnya pilihan fraksi-fraksi sudah mengerucut ke langsung semuanya, karena sebelumnya fraksi dan pemerintah sepakat semua dipilih serentak karena serentak dan tidak serentak itu efisiensinya jauh. Tapi kemudian setelah hasil pilpres ketahuan lalu semua berubah signifikan.


“Memang Undang-undang ini yang bikin lama adalah pilihan antara langsung (gubernur) - langsung (bupati/walikota), atau DPRD (gubernur)-DPRD (bupati/walikota). Tapi semakin politis setelah hasil pilpres ketahuan, padahal sebelum pileg dan pilpres kita enak bahasnya,” ujarnya.


Ketua Fraksi Hanura di DPR RI, Syarifudin Sudding mengatakan, fraksinya mendukung Pilkada langsung mengingat daulat rakyat tidak bisa dirampas sedemikian rupa dan diberangus sedemikian rupa hanya karena untuk kepentingan sesaat.


“Di awal pembahasan kan hampir semua fraksi tidak setuju dengan pandangan pihak pemerintah bahwa Pilkada lewat DPRD. Tapi setelah paska pilpres lalu kemudian berbalik badan semua,” ujarnya.


Sekretaris Jenderal PDIP, Tjahjo Kumolo, mengatakan, sekarang UU Pilkada sudah final dan sudah diputuskan di DPR. Sekarang tinggal elemen-elemen masyarakat yang protes keras untuk mengajukan ke MK.


“Kita tunggu saja. Apalagi ada upaya-upaya presiden yang mengajukan agar UU itu diubah, dan ingin mengeluarkan Perppu ya itu hak presiden,” ujarnya.

Tjahjo tak terlalu mempermasalahkan dengan manuver balik badan kubu koalisi merah putih terkait pembahasan RUU itu. Menurutnya, DPR sebagai lembaga politik memang sewajarnya sarat nuansa politis.


“Ini kan lembaga politik, kalau orang mau ada manuver politik dan gerakan politik itu sah-sah saja.”


Kritik Merah Putih

Bagaimana sikap politisi Koalisi Merah Putih atas manuver SBY itu? Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Martin Hutabarat, mengkritik rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang Undang (Perppu) Pilkada langsung dengan 10 perbaikan.


Martin menilai ide pembuatan Perppu itu terlalu dipaksakan. "Itu kan akan merusak sistem ketatanegaraan kita, karena Perppu itu dikeluarkan harus dengan alasan yang kuat," ujar Martin.


Anggota Komisi III DPR itu menjelaskan Perppu baru bisa dikeluarkan bila keadaan sangat genting, sangat memaksa, dan memerlukan keputusan cepat. Perppu itu, kata dia baru bisa diproses jika ada kekosongan hukum dan DPR dalam keadaan tidak bersidang.


"Tapi ini tidak ada keadaan genting, memaksa, dan aturan hukum tidak ada yang kosong karena sudah disahkan DPR," jelasnya. Menurutnya, jika Presiden SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat iiitu memaksakan pembuatan Perppu itu, justru hal itu akan menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan di akhir masa jabatannya.


"Dia akan dikecam karenaa menggunakan jabatannya itu hanya karena pandangan pribadinya. Karena pembahasan UU itu pada saat disahkan Mendagri sudah bicara mewakili presiden," ucap Martin.


Martin berpendapat jika Presiden SBY tetap memaksakan pembuatan Perppu itu, maka akan terjadi dualisme hukum. Sebab, UU Pilkada sudah disahkan oleh DPR, sementara presiden cukup mengesahkan proses administrasinyasaja.


"Ini bisa membahayakan posisi presiden. SBY lupa kalau dia negarawan, dia sekarang memainkan fungsi sebagai politikus. Negarawan itu harus mengayomi semuanya," ujar dia.


Ihwal alasan mendukung Pilkada melalui DPRD yang diusung Koalisi Merah Putih dipaparkan Sekjen partai Golkar, Idrus Marham. Menurutnya, UU Pilkada sebagai bagian untuk mengakhiri masa transisi pemerintahan dan menuju ke masa yang lebih baik. Salah satu tugas berat KMP, lanjut Idrus, adalah melancarkan proses itu. "Kuncinya adalah transisi harus diakhiri, karena perlu dilakukan penataan terhadap sistem kehidupan kebangsaan," katanya.


Dari kajian teroritik, kajian sosilogis koalisi berkesimpulan bahwa pilkada melalui DPRD itu konstitusional. Ini diatur dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4. "Itu sudah jelas dan berdasarkan kajian teoritis pemilihan lewat DPRD itu adalah demokratis," tegasnya.


Selain itu pemilihan kepala daerah oleh DPRD sesuai dengan sila ke empat dari Pancasila. "Akan kita harmoniskan semua," lanjut Idrus. (ren)