Hidup Berkalang Asap
- VIVAnews/ Ali Azumar
VIVAnews - Pagi itu kota Pekanbaru berkabut. Suasana sama seperti di gunung. Tapi kabut di ibukota provinsi Riau itu bukan dari uap air dari tanah yang lembab atau pegunungan yang segar untuk dihirup. Kabut ini membuat mata perih dan nafas menjadi sesak.
Hasnawati, yang tengah hamil 7 bulan mengarungi kabut itu dengan berbekal masker. Tapi tetap saja, membuatnya batuk dan sesak. "Ini karena asap," kata Hasnawati, warga setempat. Namun, dia tetap memulai harinya, berangkat pagi, mengajar di sebuah taman kanak-kanak yang berada di Jalan Garuda Sakti, Pekanbaru.
Hasna pun tetap melaju motornya menerobos tebalnya kabut asap. Baru saja menempuh, beberapa kilometer, maskernya berubah menjadi pekat. Terlalu banyak serpihan abu yang terbawa asap mengendap di masker seharga Rp30 ribu sekotaknya.
Hari itu memang, kualitas udara Pekanbaru berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) menunjukkan kualitas udara tidak sehat. Kondisi ini bisa mengancam kesehatan Hasnawati dan jabang bayi dalam kandungannya. Tapi dia tak punya pilihan lain.
"Kalau tidak mengajar, gaji kena potong. Padahal, gaji guru TK berapa lah," keluh wanita 36 tahun ini.
Derita Hasnawati juga dirasakan muridnya. Mereka belajar di tengah kepungan asap, kadang belajar di kelas, kadang bermain di luar. Murid-murid Hasnawati bermain lepas, tertawa tanpa masker. Beberapa di antara mereka sudah mulai batuk-batuk.
Sejauh ini, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Riau memang belum mengeluarkan instruksi ke sekolah-sekolah untuk meliburkan muridnya. Pemerintah kota berpendapat, kualitas udara di Riau masih di bawah 200 psi berdasarkan ISPU.
Bencana kabut asap tak hanya terjadi di Pekanbaru, sebelah selatan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan juga diselimuti kabut asap. Banyak penyebabnya, selain kiriman, daerah itu juga belakangan disebut sumber titik api.
Pendi, seorang penambang Ketek, transportasi penyeberangan di Sungai Batanghari, Jambi, tak ambil pusing bencana kabut asap di wilayahnya. Kabut asap kata dia, hal biasa. Bagi Pendi, ada atau tidak kabut asap di Jambi, sama saja. Tetap harus cari makan.
Saat menambang Ketek, Pendi tak mau menggunakan masker. Dia tak khawatir bahaya kabut asap itu bisa mengganggu kesehatannya. "Mungkin karena sudah terbiasa kabut asap, jadi sudah kebal," ujar Pendi sambil tersenyum.
Kondisi serupa juga dialami Eman, 45 tahun, sopir speed boat di Sungai Musi, Palembang. Parahnya Eman sampai harus banting stir menjadi kuli angkut barang di Pasar 16 Ilir Palembang, karena tak lagi bisa beroperasi karena kabut asap.
"Baru satu pekan jadi kuli angkut. Hasilnya memang tidak sebesar menjadi Serang (sopir speed boat). Tetapi keluarga saya butuh makan" kata Eman.
Sudah satu bulan ini, Eman dan rekan-rekannya tak bisa mengoperasikan speed boat. Sejak bencana asap melanda Palembang, dia tak berani menjalakan aktivitasnya di Sungai Musi. Kabut asap tebal, membatasi jarak pandang mereka.
"Fajar kabut makin tebal. Kalau siang sekitar pukul 13.00 WIB, sungai sudah tertutup kabut. Jadi kami hampir tidak beroperasi sama sekali," ujar Eman. Dia menuturkan ada rekannya yang nekat, tapi speed boatnya menabrak tongkang.
Selain melanda sejumlah daerah di Sumatera, titik api juga banyak tersebar di Kalimantan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, berdasarkan pantauan satelit modis, jumlah titik api di Kalimantan semakin meningkat. Bencana kabut asap di Pulau Borneo itu tak terhindarkan.
Kondisi ini sudah mulai dikeluhkan warga. Kasiman, pengemudi kapal kelotok di Sungai Kapuas, itu mengaku terganggu dengan pekatnya kabut asap di wilayahnya. Penghasilannya pun menurun, karena tak lagi beroperasi.
Di waktu normal, Kasiman biasa mengantar jasa titipan sembako, barang elektronik dan bahan bangunan ke daerah hulu Kalbar. Tapi pekatnya asap membuat dia terpaksa menyandarkan kapal di dermaga, sampai kabut asapnya menipis.
"Kalau kabut asap pekat begini, ya mau gimana lagi. Kita pasrah saja sama Allah. Faktor alam tidak bisa kita ganggu," kata Kasiman bercerita sambil menyeruput kopi di dermaga Pelabuhan Kapuas Besar, Kota Pontianak.
Kapal kelotok Kasiman butuh waktu 36 jam untuk bisa sampai daerah hulu melalui sungai terpanjang di Indonesia, mengantar barang titipan warga. Kini, Kasiman hanya bisa pasrah, sambil menunggu kabut menipis, sesekali dia mengambil pekerjaan sambilan, penjaga parkir.
"Lumayan untuk nambah-nambah uang jajan anak di kampung," ujar dia.
Lelaki 45 tahun meminta kepada pemerintah supaya tegas dalam pencegahan bencana kabut asap. Sebagai pengemudi kapal kelotok, tak jarang Kasiman melihat pembakaran lahan dan hutan di sepanjang sungai Kapuas, tapi dia tak bisa berbuat banyak. "Itu mungkin penyebab kabut asap," ucap Kasiman
Di daratan, kabut asap yang menyelimuti Kota Pontianak pagi itu memang tampak pekat. Polisi yang tengah mengatur lalu lintas kalang kabut. Mereka mengeluhkan jarak pandang, udara sesak, belum lagi pedih di mata.
Di tengah kepungan asap itu, Bripka Andri Somantri teguh mengatur lalu lintas. Sesekali tangannya menyeka mata. Asapnya pedih, udaranya pun pengap. Masker yang dia gunakan sepertinya tak sanggup membendung pekatnya asap.
"Kadang masuk juga asapnya jadi pengap, susah tiup peluit," kata Bripka Andri, anggota Lantas Polresta Pontianak.
Bripka Andri mengaku tetap bertugas mengatur lalu lintas di jalan sejak pukul 06 pagi, hingga 08.00 WIB. Sejak kabut asap merebak, kondisi lalu lintas terkadang semrawut. Karena terbatasnnya jarak pandang, tak jarang polisi yang mengatur lalu lintas ditabrak.
"Makanya saat musim kemarau memakai rompi hijau supaya diketahui oleh pengendara bahwa ada angota Polantas yang jaga di jalan," paparnya.
Derita Kabut Asap
Asap yang menyelimuti sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan sudah pasti mengancam kesehatan warga. Penyakit saluran pernafasan menjadi ancaman serius bagi masyarakat yang harus menjalankan aktivitas di luar ruangan.
"Penyakit pernafasan yang disebabkan kabut asap seperti ini sangat rentan menyerang bayi, balita, dan orang dewasa dalam keadaan kurang sehat," kata Andi Pada, kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi kepada VIVAnews, Kamis 25 September 2014.
Untuk mencegahnya, Andi menyarankan, masyarakat bisa mengurangi aktivitas di luar ruangan. Termasuk sekolah dasar, TK dan PAUD. Dengan tidak membiarkan siswanya melakukan kegiatan di luar ruangan, seperti olahraga. "Sebaiknya kegiatan seperti itu dihindari dulu pada saat kabut asap," ungkapnya.
Dinkes Provinsi Jambi terus melakukan penyuluhan ke tengah masyarakat. Memberikan wawasan pencegahan yang bisa dilakukan sebelum terserang penyakit pernafasan. Seperti penggunaan masker pada saat aktivitas di luar ruangan, sampai menjaga pola hidup sehat.
"Dari data yang kami miliki, kondisi asap di Kota Jambi sudah tidak sehat. Sehingga, Dinas Kesehatan bekerjasama dengan badan penanggulangan bencana daerah sudah memberikan masker kepada masyarakat," ujar Andi.
Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P4L) Dinas Kesehatan Riau, Andra S mengatakan, ribuan warga Riau terkena gangguan pernafasan atau infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) selama daerah ini diselubungi kabut asap, termasuk penyakit lainnya.
Dari 12 kabupaten dan kota yang ada di Riau hanya 7 daerah yang melaporkan kesehatan warganya terkena dampak kabut asap. Ketujuh daerah tersebut yakni Indragiri Hulu, Pekanbaru, Siak, Rokan Hulu, Pelalawan, Kampar dan Kuansing.
Sedangkan Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, Dumai, Bengkalis dan Indragiri Hilir tidak melaporkan. Menurut Andra, daerah itu tidak melapor karena tidak ada warganya yang menderita penyakit karena kabut asap.
Padahal, dari data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BMKG, kelima daerah tersebut termasuk paling sering dan banyak terdapat titik api. Malah tak jarang jarak pandang pendek karena tebalnya kabut asap.
Andra menyebutkan, data yang dihimpun Diskes hingga hari ini, ada 2.206 warga Riau yang terkena ISPA. Sedangkan 187 lainnya terkena iritasi mata. "Dan iritasi kulit terdapat 135 orang, pneumonia 64 orang dan asma 96 orang. Semuanya akibat kabut asap," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Umum Santo Antonius, Pontianak, jumlah pasien penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat sejak musim kabut asap melanda wilayah ini.
Kepala Bagian Tata Usaha dan Humas RSU Santo Antonius Pontianak, Ignasius Basno mengatakan, pasien penderita penyakit ISPA meningkat. "Beberapa waktu lalu banyak warga datang ke RS ini. Banyak benar pasien menderita ISPA," kata Ignasius Basno, kepada VIVAnews.
Sejak tanggal 1 hingga 24 September 2014, RSU Santo Antonius mencatat, daftar pasien terserang penyakit ISPA sebanyak 134 orang. Selain itu, ada pasien yang terkena penyakit diare sebanyak 50 pasien dan demam berdarah sebanyak 97. Penderita ISPA di bulan Agustus 2014, terdapat 346 pasien. "Rata-rata anak kecil," ucapnya.
Menurut Basno, kondisi ini sangat erat kaitannya dengan cuaca yang belakangan tak menentu. Kadang kemarau, kemudian hujan. Anomali cuaca ini membuat penyakit mudah menjalar, terutama anak-anak yang paling rentan.
"Oleh karena itu anak-anak jangan keluar, terutama malam. Kalau malam kan lebih pekat kabut asapnya," paparnya.
"Fenomena itu di Sumatera maupun di Kalimantan semuanya sama," ujar Sutopo.
Namun jika melihat fenomena tahun 2014, sejak Februari sampai bulan Juni, baik di Sumatera maupun Kalimantan, jumlah titik api trennya lebih banyak dibandingkan delapan tahun sebelumnya.
"Ini artinya apa, bahwa pembakaran lahan dan hutan juga dilakukan pada musim penghujan. Sehingga hotspotnya meningkat dari bulan Februari sampai bulan Juli," terang Sutopo.
Sutopo tak membantah, bencana kabut asap terjadi di tahun 2014 ini lebih parah ketimbang tahun 2013. Kondisi disebabkan meluasnya titik api, dari yang tadinya hanya terjadi di Riau, kini menjalar ke daerah-daerah lain. "Itu terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Dilihat di peta, wilayah Kalimantan merah semua karena hotspot," ujarnya.
Dia menerangkan, selama periode Februari hingga April 2014, sumber titik api berasal dari Riau. Sedangkan untuk periode September sebagian besar titik api terjadi di Sumatera Selatan. Kemudian asapnya dibawa angin ke arah tenggara menuju barat laut, melintasi Jambi, hingga ke Singapura dan Kalimantan.
"Semua tertarik oleh angin. Kita melihat sampai sekarang jumlah hotspot di Riau dan Jambi berkurang," terang Sutopo.
Kebakaran hutan ini sangat terkait dengan penegakan hukum. Sutopo menduga, 99 persen kebakaran hutan terjadi karena faktor kesengajaan. BNPB sendiri lanjutnya, sudah memetakan pola para pelaku pembakaran hutan. Tinggal bagaimana komitmen dari penegak hukum dan pemerintah daerah setempat melakukan pencegahan.