Belajar Jadi Rusia
- REUTERS
Penulis: Santi Dewi
VIVAnews - Bagi sebagian rakyat Semenanjung Crimea, mereka ini ibarat anak-anak yang sekarang harus tinggal bersama orang tua asuh. Peraturan di rumah pun berganti. Perlu waktu bagi mereka untuk belajar menyesuaikan diri setelah orang tua kandung mereka, Ukraina, terusir dari rumah oleh orang tua baru, Rusia.
Pengusiran dimulai pada Minggu, 16 Maret 2014. Itu hari yang teramat penting bagi jutaan warga di Semenanjung Crimea. Hari itu juga penting bagi Tanya, seorang perempuan pensiunan yang sejak lama ingin wilayah di tenggara Ukraina itu, segera bergabung dengan Negeri Beruang Merah.
Dengan mengenakan jaket berwarna biru dan kepala yang ditutup syal, kaki Tanya melangkah ke tempat pemungutan suara di dekat rumahnya. Tanya mengaku ikut referendum hari ini, karena dia berharap dengan bergabung bersama Rusia, uang pensiunnya akan naik.
Hal serupa tidak akan terjadi, apabila Crimea masih di bawah kekuasaan Ukraina. Lain lagi Valentin Belousov, yang juga seorang pensiunan dan turut ikut referendum di TPS Simferepol No. 2, polyclinic.
"Kami segera pulang dan kembali ke asal kami," ujar Belousov.
Semangat untuk mengikuti referendum itu, juga dirasakan oleh dua juta warga Crimea lainnya. Mereka berbondong-bondong mendatangi sekitar 1.025 TPS.
Di dalam kertas suara yang telah dicetak dalam tiga bahasa -- Rusia, Ukraina, dan etnis Crimea-Tatar, mereka hanya memilih satu dari dua pilihan yakni tetap bergabung dengan Ukraina atau memilih menjadi bagian dari Rusia.
TPS dibuka sejak pukul 08:00 hingga pukul 20:00 waktu setempat. Usai menggunakan hak pilihnya, warga kemudian memasukkan surat suara ke sebuah kotak transparan.
Sementara di area perbatasan Crimea, tentara pertahanan diri mereka ikut menjaga keamanan agar referendum berjalan tertib. Kantor berita Rusia, Itar-Tass melaporkan, ada sekitar 10 ribu orang yang menjadi bagian dari pertahanan diri tersebut.
Tidak perlu menunggu lama, karena dalam tempo 24 jam, hasil referendum sudah diketahui. Menurut Kepala Komisi Pemilihan Referendumm, Mikhail Malyshev sebanyak 96,8 persen rakyat Crimea setuju untuk memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Hasil ini sudah bisa diduga, sebab 58 persen dari dua juta penduduk Crimea merupakan etnis keturunan Rusia.
Menurut laporan Voice of Russia, total ada 80 persen penduduk Crimea yang ikut memberikan suaranya dalam proses referendum tanggal 16 Maret 2014.
Referendum kemarin, turut disaksikan oleh 1.730 pemantau dan perwakilan lebih dari 180 media dari beragam negara. "Referendum kami begitu transparan seperti kotak suara yang kami gunakan," ujar pelaksana Walikota Sevastopol, Dmitry Belik.
Mengetahui hal ini, warga Crimea bersuka cita. Impian Tanya untuk memperoleh kenaikan uang pensiun segera terwujud.
Presiden Vladimir Putin kemudian bergerak cepat dan mengesahkan kesepakatan Crimea menjadi wilayah baru Rusia pada 18 Maret 2014. Kendati langkah itu ditentang oleh banyak negara, terutama mitra mereka dari barat, Putin seolah tak acuh terhadap peringatan itu.
Bahkan, Majelis Umum PBB pada 27 Maret 2014 kemarin mengeluarkan resolusi bahwa referendum Crimea tidak valid dan pencaplokan wilayah Ukraina itu dianggap ilegal. Resolusi yang tidak mengikat itu, dikeluarkan setelah dilakukan voting.
Kantor berita Reuters melaporkan dari 193 negara anggota majelis umum PBB, 100 di antaranya menyatakan referendum tidak sah. Sebanyak 11 negara menentang dan 58 lainnya abstain.
Tapi toh, aneksasi terhadap Crimea terus dilakukan Rusia. Selain menggambar ulang peta wilayah Rusia, penggunaan mata uang pun juga mengalami sedikit perbedaan.
Putin tetap membuat berbagai rencana agar wilayah barunya itu bisa setara kesejahteraannya dengan area lainnya di Rusia.
Dana Pensiun Naik
Perubahan yang begitu cepat menyebabkan Pemerintah Rusia harus segera menyiapkan berbagai rencana di beberapa bidang. Menurut Walikota Sevastopol, Alexei Chaly, isu pensiun dan gaji bagi PNS akan menjadi prioritas teratas Rusia.
Selain itu, pengamanan energi dan pasokan air bersih juga menjadi ancaman. Sebab, selama ini Crimea bergantung pasokan air bersih dari ibukota Kiev.
Pembayaran dana pensiun terhadap para orang tua ditepati oleh Rusia. Mulai tanggal 23 April 2014 kemarin, para pensiunan di Crimea dan Sevastopol, memperoleh dana pensiun dan jumlahnya 25 persen lebih tinggi.
Berdasarkan data dari laman USA Today, standar dana pensiun di Crimea yakni US$158 atau Rp1,8 juta per bulannya. Sementara di Rusia, dana pensiun dibayarkan US$277 atau Rp3,2 juta.
Bahkan, menurut laporan kantor berita Rusia, Itar-Tass, di bulan Mei nanti, angka pembayaran dana pensiun akan naik hingga 50 persen. Untuk sementara ini, pembayaran dana pensiun telah diproses melalui Departemen Kesejahteraan Sosial yang telah dibangun di Crimea dan Sevastopol.
Ganti Kewarganegaraan
Kini, sudah menjadi pemandangan umum di kantor imigrasi di Crimea, warga antri panjang untuk mengganti paspor mereka menjadi paspor Rusia. Menurut laman Russia Today, Layanan Migrasi Federal telah mengeluarkan paspor pertama bagi warga Crimea pada 19 Maret 2014.
Mereka yang mengganti kewarganegarannya di Crimea, sebelumnya merupakan penutur Bahasa Rusia. Kepala Layanan Migrasi Federal, Konstantin Romodanovsky, menyatakan institusinya siap mengeluarkan paspor bagi warga Crimea.
"Proses ini telah dilakukan. Beberapa paspor telah dikeluarkan hari ini," ujar Romodanovsky pada pertengahan Maret kemarin.
Untuk bisa memperoleh paspor baru Rusia, warga Crimea hanya perlu mengisi formulir dan lampiran berbagai dokumen seperti sertifikat kelahiran, paspor lama Ukraina, dan satu pas foto. Semua proses itu membutuhkan biaya senilai 200 Rouble atau setara Rp65 ribu. Namun, menurut layanan migrasi, warga Crimea tidak perlu membayar nominal tersebut, karena masih digratiskan hingga 1 Januari 2015.
Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Rusia, warga Crimea diberikan waktu selama satu bulan untuk menentukan apakah mereka ingin tetap ingin menjadi warga Ukraina atau secara otomatis akan ikut jadi warga negara Rusia, kendati perubahan paspor masih diperlukan.
Perubahan kewarganegaraan ini menjadi dilema tersendiri bagi warga Crimea. Sebab, ribuan pegawai yang sebelumnya bekerja di sektor pemerintahan terancam kehilangan pekerjaan.
Sementara aturan yang berlaku di Ukraina melarang warganya memiliki dua kewarganegaraan. Apabila terbukti mempunyai dua kewarganegaraan di Ukraina, maka dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda senilai 1.700 Hryvnas atau Rp1,7 juta.
Artinya, apabila warga Crimea yang diberikan kewarganegaraan Rusia tetap menyandang warga Ukraina, maka mereka akan terus dikenai denda, kecuali mereka mengganti paspornya dengan paspor Rusia.
Kendati begitu, tetap banyak warga yang rela menanti untuk memperoleh paspor Rusia. "Saya sudah cukup menggunakan paspor Ukraina selama 22 tahun," ujar seorang pria bernama Konstantin.
Pria berusia 40 tahun itu mengenakan kaos bergambarkan Sylvester Stallone dan tengah menanti selama beberapa jam kewarganegaraannya yang baru. Kebanggaan membawa paspor Rusia juga dilontarkan Dmitry, yang tinggal di kota Simferopol.
"Tapi, saat ini saya seorang warga Rusia. Ini merupakan reunifikasi dari peradaban Rusia dan akhir dari pendudukan Ukraina," lanjut Dmitry. Dia pun mengaku telah membuang paspor Ukrainanya ke tong sampah.
Mata Uang Ganda
Usai menyatakan diri bergabung dengan Rusia, mata uang yang digunakan publik Crimea tidak langsung berubah menjadi Rubel. Pada 17 Maret 2014, Parlemen Crimea mengumumkan Rubel akan menjadi mata uang kedua setelah hryvnia yang digunakan di kota semenanjung itu.
Mata uang Ukraina, Hryvnia, baru ditarik peredarannya di tahun 2016. "Mata uang resmi yang digunakan Republik Crimea adalah Rubel Rusia dan Hryvnia Ukraina. Namun, hal itu tak lagi berlaku pada 1 Januari 2016," tulis parlemen Crimea dan dikutip laman Russia Today.
Dalam keputusan itu, Parlemen Crimea juga menyetujui status temporer untuk Bank Crimea. Bank ini lah yang nantinya akan menarik peredaran mata uang Ukraina, Hryvnia.
Parlemen menyebut tujuan kunci dari Bank Crimea yakni membuat sirkulasi mata uang stabil. "Pembangunan dan penguatan sistem perbankan, termasuk menyediakan operasi sistem pembayaran yang efektif dan sempurna," imbuh mereka.
Bank Crimea juga berfungsi untuk mengelola dana anggaran dan transaksi terkait manajemen hutang Republik Crimea. Sementara dalam proses pengenalan Rubel ke Crimea, bank itu akan dibantu oleh Bank Sentral Rusia (CBR). Bank itu juga akan membantu untuk menghilangkan ancaman dari Kiev yang berencana memotong dana hibah bagi Crimea, lantaran penduduknya memilih pisah dari Ukraina.
Pusat pengeluaran uang tunai akan disediakan untuk membantu mencairkan dana kemanusiaan dalam mata uang Rubel, dana pensiun, hibah serta efek pembayaran non-tunai. Dana tersebut, nantinya akan kembali kepada mereka secara efektif dalam bentuk kas daerah.
Kekhawatiran Kaum Gay
Aneksasi Rusia terhadap Crimea ternyata tidak selalu disambut baik warganya. Yelena salah satunya. Dia sengaja tidak ingin menyebut nama belakangnya.
Kekhawatiran Yelena bermula karena dia merupakan seorang pengajar di Crimea yang telah secara terbuka mengakui dirinya sebagai lesbian. Dilansir dari laman Huffington Post, selama bertahun-tahun, Yelena dan mitranya telah membesarkan empat anaknya. Keempat anak itu berusia antara 10 hingga 18 tahun.
Kini, setelah wilayah Semenanjung Laut Hitam itu memutuskan pisah dari Ukraina dan akan setia terhadap Rusia, Yelena takut hal tersebut akan berpengaruh terhadap keluarganya. "Ada kekhawatiran yang besar di pikiran saya, anak-anak kami akan diambil. Selain itu, saya juga takut mengalami permasalahan di tempat kerja," ujar Yelena.
Kekhawatiran Yelena ini beralasan. Putin pada tahun 2013 menandatangani sebuah hukum yang melarang penyebaran propaganda gay terhadap anak-anak. Selain itu, Rusia juga meloloskan aturan hukum yang melarang adopsi anak oleh pasangan sejenis.
"Secara umum, kehadiran kami justru sebenarnya sudah dianggap bagian dari propaganda tersebut," kata dia. Perempuan berusia 38 tahun itu mengaku telah hidup bersama mitranya selama tujuh tahun. Memang belum ada hukum di Ukraina yang mengesahkan pernikahan sejenis.
Namun, selama ini, dia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memperjuangkan haknya yang di mata orang terlihat berbeda. Bahkan, Yelena rela diwawancarai di berbagai stasiun televisi dan ditekan oleh otoritas regional Ukraina karena berani mengungkap jati dirinya. Itu semua, kata dia, berkat dukungan dari sesama rekan pengajar dan kerabat.
Namun, setelah Crimea dicaplok Rusia, Yelena khawatir, dia harus kembali bersembunyi. "Anak-anak kami memanggil kami berdua ibu. Mereka tidak tahu ada hukum semacam itu yang berlaku di Rusia. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana caranya untuk menjelaskan hal ini kepada mereka," kata Yelena.
Sementara, di saat yang bersamaan berkaca dari hukum itu, dia sendiri tidak bisa membicarakan subjek tersebut dengan keempat anaknya. "Tidak ada hal baik yang menanti kami," imbuh dia pasrah.
Yelena memperkirakan ada sekitar 300 ribu pasang kaum homoseksual di Simferepol. Ada juga beberapa bar di semenanjung dan kota resor Simeiz yang kerap disebut sebagai tempat bersantai bagi kaum gay dari seluruh Ukraina.
"Tidak ada hal baik apa pun yang menanti kami," ujar sutradara teater gay, Anton Romanov. Sama seperti Yelena, Romanov juga tidak ikut referendum.
Dia berencana untuk meninggalkan semenanjung ini dan berpikir mengambil beberapa tawaran pekerjaan di Ukraina. "Saya tidak memiliki keinginan untuk tinggal di Rusia. Bagi saya, kata toleransi dan Federasi Rusia adalah kata yang tidak dikenal," ujar dia.
Romanov berharap, paling tidak dengan dia pindah ke Ukraina, kelompok yang mendepak mantan Presiden Viktor Yanukovych, bisa mengizinkan adanya pernikahan sesama jenis. (ren)