Prahara Ukraina
Jumat, 25 April 2014 - 21:07 WIB
Sumber :
- REUTERS/Alexei Druzhinin
VIVAnews -
Malam Paskah. Rimbun deretan pohon aprikot yang tengah ranum itu memberi ketenangan. Malam berlangsung damai. Penduduk kota Slovyansk, timur Ukraina, sudah lebih banyak bercengkrama di dalam rumah. Namun mendadak, di sebuah sudut kota, situasi berubah mencekam. Pukul dua dini hari terdengar letusan senjata api. Baku tembak sengit pun pecah. Lima orang dilaporkan roboh meregang nyawa.
Penembakan itu terjadi di pos pemeriksaan milik separatis Ukraina pro-Rusia. Kota Slovyansk di timur Ukraina itu memang telah dikuasai militan pemberontak. Menurut versi mereka kepada
Reuters
, insiden menjelang pagi, Minggu 20 April 2014, itu diawali oleh datangnya empat kendaraan ke pos mereka. Tanpa aba-aba, orang-orang di kendaraan itu menembaki pos. Maka mereka pun membalas dengan tembakan.
Usai baku tembak, pemandangan sekitar terlihat menghitam. Sebuah mobil pikap hangus terbakar. Bodinya bolong-bolong ditembus peluru di kedua sisinya. Para jurnalis melihat dua mayat dekat lokasi penembakan. Kamar jenazah kota mengaku menerima tiga jasad. Sementara militan pro Rusia mengatakan lima orang tewas, tiga anggota mereka dan dua penyerang.
Insiden itu adalah sebuah babak baru prahara Ukraina. Ketegangan antara Rusia dan negara bekas pecahan Uni Sovyet itu sudah memasuki fase kulminasi. Sejumlah orang ingin bergabung kembali dengan Rusia. Sementara sebagian ingin bergabung dengan Uni Eropa. Akibatnya kekerasan meletus di mana-mana.
Separatisme
Gerakan separatisme berbau Rusia menyebar dari Crimea ke wilayah timur Ukraina pada pekan kedua April. Salah satu pemicunya adalah diproklamirkannya kemerdekaan Donetsk dari Ukraina oleh massa pro-Rusia. Referendum kemerdekaan akan digelar tidak lama lagi. Hal ini membuat pemerintah Kiev ketar-ketir. Masalahnya, mereka baru saja kehilangan Crimea.
Anggota militan separatis berbahasa Rusia ini berbahaya. Berpakaian militer, bertopeng dan bersenjata, mereka menguasai gedung-gedung pemerintahan di 10 kota di provinsi-provinsi timur. Selain Donetsk, ada Luhansk dan Kharkiv. Barikade kawat berduri dipasang di sekeliling gedung. Pasukan bersenjata tanpa atribut berjaga penuh.
Mereka menyerukan intervensi Rusia untuk segera menggelar referendum seperti Crimea, untuk pisah dari Ukraina dan bergabung dengan Si Beruang Merah (lihat bagian 3:
).
Militer dan polisi Ukraina juga bak macan ompong. Beberapa kali mereka menyerah tanpa perlawanan saat pangkalan direbut pasukan asing.
New York Times
menulis, operasi militer untuk mengkonfrontir militan pro-Rusia terbukti tidak berhasil. Sebanyak 21 kendaraan lapis baja yang dikerahkan malah berpisah, menyerah atau mundur. Di beberapa kesempatan, saat berhadapan dengan militan separatis, militer dan polisi Ukraina malah memihak mereka. Upaya pemerintahan Kiev yang katanya akan menurunkan pasukan anti teror juga belum terdengar kabarnya.
Ukraina menyalahkan Rusia yang menurut mereka mulai agresif mendukung gerakan separatis. Menurut Ukraina, penembakan di Slovyansk terjadi atas provokasi "kekuatan luar". Secara tidak langsung mereka menuding Rusia.
Moskow membantahnya dan mengatakan bahwa kejadian itu diprovokasi kelompok nasionalis pro-Barat, Right Sector. Rusia punya bukti-buktinya. Salah satunya adalah kartu nama Dmytro Yarosh, pemimpin Right Sector. Yarosh membantahnya.
Sejak peristiwa di Crimea, Ukraina yakin betul Rusia telah menurunkan pasukan ke negara mereka. Belum lagi ditambah 40.000 pasukan Rusia yang diturunkan Presiden Vladimir Putin di sepanjang perbatasan Rusia.
Rusia juga tidak pandai berbohong. Berkali-kali Presiden Rusia Vladimir meralat pernyataannya. Seperti saat Putin mengatakan bahwa puluhan ribu pasukan disiagakan di perbatasan untuk keperluan latihan. Belakangan juru bicara Putin, Dmitry Peskov mengakui bahwa tentara itu dikerahkan untuk menjaga negara, kalau-kalau kerusuhan di Ukraina menyebar ke Rusia.
Putin juga dengan tegas mengatakan telah mencaplok Crimea. Padahal sebelumnya dia membantah tuduhan Rusia coba menginvasi wilayah yang jadi pangkalan kapal perang mereka itu. Pasukan Rusia yang diturunkan ke Crimea, kata Peskov, adalah bentuk "perlindungan bagi warga berbahasa Rusia".
Gejolak kali ini di timur Ukraina juga satu lagi bukti perubahan sikap Rusia. Sebelumnya, Kremlin menegaskan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak akan memasuki wilayah lain selain Crimea di Ukraina. Belakangan, Putin menyebut provinsi tenggara Ukraina sebagai "Rusia Baru".
Pasukan tanpa atribut di Crimea juga terbukti adalah tentara Rusia. Dalam foto yang dengan jeli diteliti oleh media Barat, terlihat bahwa beberapa orang tentara yang saat ini berada di Ukraina adalah tentara Rusia yang pada 2008 lalu menginvasi Georgia (lihat ).
Barat yang digawangi Amerika Serikat juga mulai bawel mengecam tindakan Rusia. Namun Putin tetap bergeming dan menangkis setiap serangan terhadap negaranya. Sanksi AS dan sekutunya terhadap Moskow juga ditanggapi santai.
Dimulai dari Kiev
Kemelut di Ukraina itu dimulai dari revolusi di ibukota Kiev pada Februari 2014. Revolusi itu berhasil menggulingkan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia. Revolusi dipicu langkah Yanukovych membatalkan rencana kesepakatan pemberian dana Uni Eropa (UE) yang diperlukan masyarakat. Pria yang kini tidak diketahui rimbanya itu menolak syarat dari UE untuk menghentikan hubungan ekonomi dengan Rusia.
Membatalkan kerja sama dengan UE, Yanukovych malah menandatangani perjanjian ekonomi dengan Rusia. Langkahnya ini menuai kecaman dari rakyat yang langsung turun ke jalan. Kerusuhan terjadi saat lebih dari 100.000 orang bentrok dengan aparat. Lebih dari 100 orang tewas, ratusan lainnya terluka.
Yanukovcyh berhasil digulingkan. Dan Rusia marah besar. Pasukan pro-Rusia mulai bergerak di semenanjung Crimea, tempat ditambatkannya Armada Laut Hitam. Referendum warga akhirnya memutuskan wilayah otonomi Crimea dan Sevastopol pisah dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Amerika Serikat yang berembuk dengan Jerman dan Inggris serta negara-negara Eropa lainnya akhirnya mengeluarkan Rusia dari kelompok negara G8. Pertemuan G8 yang rencananya akan diadakan di Sochi, Rusia, Juni mendatang dibatalkan. G8 yang berubah menjadi G7 memindahkan pertemuan ke Brussels.
Rusia lagi-lagi menanggapinya dengan santai. "G8 adalah organisasi informal yang tidak ada kartu anggotanya, maka dari itu, tidak bisa mengeluarkan siapa pun. Seluruh masalah ekonomi dan finansial diputuskan di G20, dan G8 hanya jadi forum dialog antara negara Barat dan Rusia. Kami tidak melihat kerugiannya jika tidak ikut berkumpul," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
AS menegaskan tidak akan menggunakan cara militer untuk mengatasi masalah ini. Dan memilih menjatuhkan sanksi. Selain larangan bertransaksi untuk bank AS dengan bank Rusia, Barat juga menerapkan larangan bepergian dan tidak memberi visa pada sejumlah pejabat Rusia dan Ukraina yang pro-Moskow.
Untuk pertama kalinya sejak konflik pecah di Crimea, Ukraina dan Rusia bertemu di satu meja di Jenewa pada 17 April 2014. Pada pertemuan selama enam jam yang juga dihadiri AS dan Uni Eropa itu, Ukraina menyerukan agar pasukan bersenjata pro-Rusia untuk menyerah, meninggalkan gedung pemerintah dan jatuhkan senjata.
Ukraina dan Rusia juga sepakat untuk tidak kontak senjata, mencegah tindak provokasi dan menolak setiap bentuk intoleransi, termasuk sentimen anti-Yahudi. Rusia juga mengatakan bahwa penggunaan kekerasan dari Ukraina terhadap para militan separatis hanya akan memicu perang saudara.
Sikap pesimis soal perjanjian ini disiratkan baik oleh AS dan Rusia. Presiden AS Barack Obama mengatakan bahwa perjanjian itu "menunjukkan secercah harapan", namun "kami tidak akan terlalu bergantung padanya". AS telah mengancam akan menjatuhkan sanksi lebih berat pada Rusia jika perjanjian ini dilanggar.
Pemerintah Putin menyatatakan akan manut pada perjanjian, namun tidak demikian dengan militan pro-Rusia di Ukraina -yang diduga berasal dari unsur tentara Kremlin juga. Salah satunya adalah kelompok separatis di Donetsk yang menyatakan tidak mundur dari gedung pemerintah sampai referendum pisah dari Ukraina digelar.
"Lavrov dan Kerry (John Kerry, Menlu AS) yang memutuskan, memangnya mereka siapa buat kami? Kami adalah Republik Donetsk. Kami adalah rakyat yang memutuskan nasib sendiri," kata Vasili Domashev, yang menyebut dirinya wakil komandan di gedung pemerintah dikuasai di Donetsk, kepada
New York Times.
Uni Soviet Baru
Baca Juga :
Perdana Menteri Ukraina Arseniy Yatsenyuk mengatakan bahwa Rusia sangat berambisi untuk mencaplok Ukraina. Hal ini, kata Yatsenyuk tidak lain karena Putin ingin membentuk kembali Uni Soviet yang baru. "Presiden Putin punya mimpi mengembalikan Uni Soviet. Dan setiap harinya, dia berjalan semakin jauh dan jauh, dan hanya Tuhan yang tahu kemana akhir tujuannya," kata Yatsenyuk dalam wawancara dengan NBC.
"Saya yakin anda ingat pidato Putin yang terkenal di Munich, saat dia mengatakan bahwa bencana terbesar di abad ini adalah runtuhnya Uni Soviet. Saya katakan, bencana terbesar abad ini adalah kembalinya Uni Soviet di bawah naungan Presiden Putin," tegas Yatsenyuk lagi.
Salah satu cara yang digunakan Putin menyatukan kembali Uni Soviet adalah dengan dalih melindungi warga negara berbahasa Rusia. Alasan ini jugalah yang digunakan Putin untuk menurunkan pasukannya di Crimea. Menurut Putin, warga berbahasa Rusia di Ukraina dimarjinalkan. Negara-negara bekas Soviet seperti Estonia, Latvia dan Lithuania diduga akan jadi sasaran selanjutnya.
Sebenarnya cara seperti ini pernah digunakan Nazi Jerman 80 tahun yang lalu. Saat itu, Jerman di bawah kediktatoran Hitler mulai mencaplok negara-negara di sekelilingnya dengan alasan melindungi warga berbahasa Jerman dari diskriminasi. Jargon Hitler tahun 1930an itu adalah "mempersatukan dan melindungi warga-warga berbahasa Jerman”, persis seperti alasan Putin sekarang.
Untuk membendung upaya Rusia ini, Ukraina meminta tidak hanya bantuan diplomatik dan ekonomi, tapi juga militer. "Kami perlu meningkatkan militer Ukraina. Kami perlu memodernisasi keamanan dan kekuatan militer kami. Kami perlu bantuan konkret," kata Yatsenyuk.
AS memang menyatakan tidak akan menggunakan cara kekerasan untuk menghadapi Rusia. Namun belakangan AS dilaporkan telah mengirimkan ratusan tentara mereka mendekat ke Ukraina. Lebih dari 500 pasukan AS dikirimkan ke Polandia dengan alasan untuk latihan. Negara berikutnya yang akan dikunjungi tentara AS adalah Lithuania, Latvia dan Estonia - semuanya mengelilingi Ukraina.
Graham Allison, Professor ilmu pemerintahan di Harvard Kennedy School mengatakan bahwa memang tidak ada kepentingan apapun bagi AS di Ukraina. Namun bukan berarti AS akan membiarkan Putin mencaplok satu per satu negara eks Soviet.
Bahkan menurut Allison, krisis di Ukraina secara tidak langsung akan membahayakan kepentingan nasional AS. Dia mengatakan, kejadian di Crimea akan ditiru di beberapa negara lainnya, Latvia contohnya.
Bukan tidak mungkin, terinspirasi dari Crimea, masyarakat Latvia akan membentuk kelompok separatis yang akan disokong Rusia. Ada 25 persen warga Latvia yang berbahasa Rusia, potensial mendorong bergabung dengan Kremlin. Jika sudah begini, Rusia dipastikan akan kembali mengirim pasukannya, tanpa atribut agar tidak dikenali.
Latvia dan negara-negara Baltik lainnya adalah anggota NATO. Berdasarkan kesepakatan NATO, AS harus membantu dengan kekuatan militer jika negara anggota NATO lainnya diserang. Tertulis dalam Ayat 5 NATO, "Serangan terhadap satu anggota NATO, berarti serangan terhadap semua anggota."
"Pemimpin di Washington dan Moskow harus menindaklanjuti dengan langkah-langkah yang tegas untuk mencegah konflik di Ukraina menjadi perang saudara," kata Allison kepada
CNN.
Dan, prahara Ukraina agaknya memang belum akan berakhir. (eh)