Mata-mata dari Australia
Jumat, 21 Februari 2014 - 22:59 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews -
Duane bukan pejabat tinggi negara. Bukan teroris. Bukan pula musuh negeri Amerika Serikat. Sosoknya jauh dari kesan berbahaya. Dia hanya seorang warga biasa negeri adidaya itu. Merintis hidup sebagai pengacara di Mayer Brown, sebuah lembaga hukum di kota Chicago. Nama Duane, juga tidak begitu mencorong.
Tapi pria berkacamata ini masuk radar National Security Agency (NSA), badan intelijen di negeri Barrack Obama itu. Dan semua itu karena rokok dan udang. Rupanya, Duane didapuk Jakarta menjadi pengacara dalam sengketa dagang dengan Washington. Sengketa soal rokok kretek dan udang yang dilarang keras masuk pasar negeri itu. Dan Amerika Serikat sekuat tenaga memenangkan sengketa ini. Menyadap semua pembicaraan Duane dengan perwakilan Indonesia. Kasus ini terjadi tahun 2010.
Para telik sandi di NSA boleh dibilang mujur. Rekaman percakapan itu disetor oleh badan intelijen dari negara sahabat, Australian Signals Directorat (ASD). Badan itulah yang di penghujung tahun kemarin, dituding sebagai biang keladi dari kisruhnya hubungan Indonesia dengan Australia. Mereka menyadap percakapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah menteri, dan juga Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Rupanya Australia dan Amerika Serikat bahu membahu menyadap pembicaraan petinggi sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia. Aksi mereka kemudian diketahui dunia, setelah Edward Snowden, mantan anggota NSA yang kini menetap di Moskow, membocorkannya kepada media massa.
Penyadapan terhadap Duane dan wakil pemerintah Indonesia, misalnya, diketahui setelah Edward Snowden kembali membeberkan dokumen rahasia milik NSA tahun 2012. Dokumen itu dipublikasi harian
New York Times.
Ditulis awal pekan lalu, Sabtu 15 Februari 2014.
Dan inilah bocoran itu. Sekitar tiga tahun lalu, wakil pemerintah Indonesia - yang hingga kini masih disebut anonim – bercakap-cakap dengan Duane lewat sambungan telepon internasional. Percakapan itu terkait sengketa perdagangan udang dan rokok kretek.
Percakapan itu tanpa sengaja tersadap oleh intelijen ASD. Badan intelijen yang beberapa karyawannya juga merupakan mantan karyawan NSA ini, kemudian melaporkan "hasil tangkapannya" kepada NSA Cabang Canberra. Merasa mendapat buruan besar, para intel itu kemudian mengabarkan kepada markas pusat NSA di Fort Meade, Maryland. Mereka juga meminta arahan.
Bocoran percakapan ini tampaknya sungguh penting bagi Amerika Serikat. Dan itu terlihat dari kecepatan mereka merespon laporan dari Canberra itu. Hari itu juga, markas NSA di Maryland memberi restu kepada agen Australia untuk terus menyadap pembicaraan Duane. Dengan alasan, informasi itu penting bagi konsumen Amerika Serikat.
Yang mencenggangkan, kepada NSA, para agen intelijen ASD mengaku bahwa selama ini mereka dapat mengakses data milik PT Indosat Tbk (Indosat) dalam jumlah besar. Dan sebagaimana luas diketahui bahwa Indosat adalah salah satu perusahaan telekomunikasi besar di tanah air.
Kemampuan mengakses ini, begitu bunyi tulisan di
New York Times
, dipakai untuk menyadap komunikasi, termasuk percakapan para pejabat di sejumlah kementerian di Indonesia.
Dan tampaknya para agen intelijen di ASD royal menyetor informasi kepada NSA. Dalam dokumen lain yang diterbitkan NSA pada tahun 2013, disebutkan bahwa mereka sanggup masuk ke jaringan milik PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Para agen di ASD mengklaim telah mendapatkan hampir 1,8 juta kunci induk enkripsi, yang dipakai untuk melindungi percakapan.
Telkomsel dan Indosat memang merupakan operator terbesar di tanah air. Data pengguna telepon seluler pada tahun 2012 menunjukkan bahwa Telkomsel mempunyai 212 juta pelanggan. Menguasai sekitar 62 persen pangsa pasar. Sementara Indosat memiliki 52 juta pelanggan, atau 15 persen dari pasar. Jika digabung, kedua operator ini menguasai kurang lebih 77 persen pelanggan seluler di Indonesia.
Diprotes
Bocoran dokumen terbaru itu, kembali memantik protes keras dari tanah air. Australia dikecam. Perlakuan mereka dinilai tidak semanis bahasa diplomasi yang menguar di media massa. Dokumen yang susul menyusul dibocorkan Snowden, juga membantah klaim badan intelijen Australia, bahwa penyadapan hanyalah menyasar jaringan teroris.
Mendapat kecaman dari sejumlah kalangan di Indonesia, Perdana Menteri Tony Abbott berkilah. Penyadapan itu, katanya, bukan untuk tujuan komersil. Dia menegaskan, "Kami menggunakannya untuk menegakkan nilai-nilai kami. Untuk melindungi rakyat kami dan rakyat negara lain."
Penjelasan Abbott ini tentu saja membuka pintu perdebatan yang panjang. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, mempertanyakan hubungan sengketa dagang itu dengan keamanan negara. "Yang sulit saya pahami, bagaimana bisa konflik dagang udang dapat berimbas terhadap keamanan nasional Australia?" ujar Marty keheranan.
Baca Juga :
Marty mengaku sangat kecewa dengan aksi Australia yang benar-benar doyan mencampuri urusan negara lain. Masing-masing negara, kata Marty, “Seharusnya saling mendengarkan dan tidak menguping pembicaraan orang lain.”
Para agen di NSA dan Australian Signals Directorat, memilih bungkam soal bocoran laporan penyadapan itu. Mereka juga menolak menjelaskan apakah informasi yang melibatkan pengacara dari Mayer Brown, disampaikan kepada pejabat atau negosiator perdagangan AS demi memenangkan sengketa dengan Indonesia.
Sejak Bom Bali
Sesungguhnya sudah lama Indonesia jadi sasaran intel Australia. Kian intensif sejak pengemboman di Bali tahun 2002. Yang menewaskan 202 orang. Di mana 88 orang di antaranya merupakan turis dari Negeri Kangguru itu. Sejumlah media mengabarkan bahwa demi memburu informasi jaringan teroris itu, NSA dan ASD membangun fasilitas intelijen di Alice Spring, Australia.
Setengah dari intel di Alice Spring adalah agen NSA. Mereka didatangkan dari Amerika. Mereka fokus pada penyadapan di Asia. Sasaran utamanya dua. Indonesia dan China. Negara-negara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini juga disadap. Cara kerja mereka tentu saja canggih.
Bacalah dokumen NSA yang dibocorkan Snowden ini. Dalam sebuah memo pada tahun 2003, dipaparkan bagaimana para agen NSA mengajari mitranya dari Australia mengintersepsi layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia. Intersepsi itu dilakukan melalui Shoal Bay Naval Receiving Station, fasilitas intersepsi satelit yang berlokasi dekat Darwin.
Para agen NSA dan Australia juga mengakses panggilan telepon dan lalu-lintas Internet yang dilakukan menggunakan kabel bawah laut yang beroperasi melalui dan ke Singapura. Sebuah kerja intelijen yang bisa mencemaskan banyak negara.
Seperti halnya Australia, penjelasan Amerika Serikat atas penyadapan ini juga tidak memadai. Untuk tidak menyebutnya sekedar
ngeles
. Dengarlah penjelasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, ketika ditanya soal penyadapan terhadap Duane itu. Jawaban ini disampaikan ketika John Kerry, berkunjung ke Jakarta, Senin 17 Februari 2014 .
Aksi penyadapan itu, katanya, tidak mungkin dilakukan untuk kepentingan perdagangan Amerika Serikat. Isu penyadapan ini telah ditanggapi serius oleh Presiden AS Barack Obama. Dia menambahkan, “Kami menjunjung tinggi privasi setiap warga negara sebagai kebebasan sipil yang harus dilindungi, dan giat mempertahankan keamanan warga negara dari ancaman besar terorisme.”
Telkomsel-Indosat Membantah
Dokumen NSA, yang dibocorkan Snowden kepada
New York Times
itu, menyebutkan bahwa sasaran ASD adalah Telkomsel dan Indosat. Tapi manajemen kedua operator itu menegaskan bahwa keamanan jaringan mereka sudah berlapis. Tidak mudah disusupi.
"Kalau penyadapan itu terjadi di lingkungan infrastruktur masih bisa kami monitor. Tapi, kalau sudah di luar itu, atau
over the air
, jujur saja kami sulit memantaunya," kata Adita Irawati, Vice President Corporate Communication Telkomsel, saat dikonfirmasi
VIVAnews
di Jakarta, 20 Februari 2014.
Ketika dikonfirmasi apakah betul 1,8 juta kode enkripsi- sebagaimana ditulis
New York Times
- berhasil diretas atau didekripsi NSA, Adita tegas membantah. Dia menegaskan bahwa keamanan jaringan seluler disusun berlapis. Dan tentu dienkripsi agar tidak mudah disusupi. Adita juga membantah keras bahwa 1,8 juta kode enkripsi berhasil diretas.
Tiap nomor telepon yang melakukan panggilan, katanya, mempunyai satu kode unik enkripsi. Jadi, data yang dipaparkan di dokumen NSA itu, “Tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada istilah
master key
di lingkungan telco," tegas Adita.
Kabar soal penyadapan itu, lanjutnya, hanya diketahui dari media massa. Belum ada informasi resmi yang masuk ke perusahaan. Sejauh ini Telkomsel hanya merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo No 11/2006. Yang mengatur tentang
lawful interception
atau penyadapan informasi secara sah. “Sebagai bagian dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu tindak pidana," terang Adita.
Senada dengan Telkomsel, Indosat juga menegaskan bahwa tidak mungkin penyadapan itu dilakukan lewat jaringan mereka. Dalam keterangan resmi yang diterima
VIVAnews
, 20 Februari 2014, Division Head Public Relations Indosat, Adrian Prasanto, tegas menjawab, "Mustahil jika kami menjalin kerja sama dengan penegak hukum dari luar Indonesia, baik itu ASD atau NSA. Itu jelas melanggar hukum. Lalu lintas telekomunikasi yang masuk ke Amerika Serikat dikategorikan sebagai lalu lintas asing."
Valid-kah?
Jurubicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S Dewa Broto, sangat menyayangkan informasi simpang siur yang dihembus kantor berita
New York Times
, sebagai "corong" Snowden dalam menyiarkan bocoran dokumen NSA kali ini.
Gatot mempertanyakan validitas laporan
New York Times
itu. “Kalau validitasnya masih dipertanyakan, artinya belum sah. Kami tidak bisa tindak lanjuti. Tidak bisa ambil
action
. Semua informasi ada di media luar sana," kata Gatot, saat dihubungi
VIVAnews
melalui pesawat telepon, 20 Februari 2014.
Aksi sadap-menyadap ini, lanjutnya, telah masuk ke ranah hubungan diplomatik. Hubungan antara Indonesia-Australia dan Indonesia-AS. Masuk domain Kementerian Luar Negeri. Sama dengan kasus penyadapan oleh Australia kemarin. “Respons kami ditunjukkan dengan sikap Bapak Presiden SBY dan Kementerian Luar Negeri. Kami menghindari duplikasi informasi yang tidak selaras," tegas Gatot.
Soal teknik penyadapan, Gatot menduga, penyadapan yang terjadi modusnya sama. Umumnya sudah ditarget. Tidak asal menyadap. Mereka tidak menyadap seluruh pelanggan. “Jika targetnya adalah pejabat, tentu lebih sulit. Karena rata-rata enkripsi telah diterapkan oleh Lembaga Sandi Negara," tutur pria kelahiran Yogyakarta 53 tahun lalu itu.
Kecuali, kata Gatot, pejabat negara itu tidak patuh. Karena komunikasi yang sifatnya rahasia tentu akan dilindungi oleh Lemsaneg.