Om Liem, Soeharto dan Indomie

Anthony Salim dan Liem Sioe Liong
Sumber :
  • TEMPO/Ilham Soenharjo

VIVAnews - Mobil itu masuk jurang. Seluruh penumpang tumpah. Banyak yang gelunjuran ke jurang dalam. Semua mati. Kecuali pria tambun itu. Dia luka parah di hampir sekujur tubuh. Kakinya patah. Kendati masih bernafas, benturan membuatnya semaput. Tak sadar diri.

Dirawat berhari-hari dia beruntung. Sembuh total. Lelaki ini mengenang keberuntungan itu lewat putra ketiga. Anak itu diberi nama Liem Fung Seng. Fung artinya beruntung. Kelak si bayi kecil itu lebih sohor dengan nama Indonesianya, Antony Salim.

Liem Sioe Liong, begitu nama si ayah itu, hidupnya kelak memang beruntung. Sukses menjadi taipan kaya raya. Menekuni bisnis hingga usia senja dia wafat lima hari lalu. Minggu 10 Juni 2012 di Singapura. Dalam usia yang terbilang jauh, 97 tahun. Tamu penting dari berbagai negara datang melayat. Dari pengusaha hingga politisi.

Selain sejumlah pengusaha besar, dari Jakarta melayat pula sejumlah tokoh partai politik. Ada mantan Ketua Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung, Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri, sejumlah mantan menteri dan para politisi dari berbagai partai. Oom Liem, begitu ia disapa, akan dimakamkan di Chua Chu Kang Singapura, Senin 18 Juni 2012. Pemakaman itu akan dihadiri sejumlah pengusaha dan tokoh politik dari Indonesia. Mereka umumnya adalah kawan lama sang taipan.



Liem Sioe Liong adalah jejak bisnis negeri ini. Dia merintis banyak usaha. Dan hampir semuanya meraksasa. Dari semen, makanan hingga bank. Merangsek hingga ke kampung-kampung. Menjulang di kota besar. Dia adalah contoh bahwa perselingkuhan bisnis dan kekuasan, bisa tanpa batas.

Selain berkawan dengan  banyak pengusaha, Liem memang berkawan dengan banyak politisi dan juga sejumlah petinggi militer. Semenjak muda berkawan dekat dengan Soeharto. Perkawanan itu bersambung hingga Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun.

Persahabatan Liem Sioe Liong dengan Soeharto itu bisa ditonton dari acara Minggu pagi 24 September 1995. Itu acara bertajuk Musyawarah Nasional Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah. Digelar di Tapos Bogor di kawasan peternakan sapi milik Soeharto. 

Sebuah tenda besar didirikan di sana. Tenda itu berdiri di antara rerumpunan bambu. Jumlah peserta 150 orang. Semua berbaju batik. Acara ini sesungguhnya adalah dialog antara Soeharto dengan para konglomerat. Disiarkan langsung TVRI.

Di depan para taipan itu Soeharto berbicara tentang tanggungjawab sosial. Dia meminta para pengusaha kakap yang hadir di situ  membantu pengusaha kecil. Membantu rakyat demi pengentasan kemiskinan.

Setelah bicara panjang lebar dia meminta para pengusaha itu memberi tanggapan.

Liem Sioe Liong yang berkepala botak dengan batik cokelat lengan panjang itu mengacungkan jari. Sesudah ditunjuk Soeharto dia bicara. Nadanya membantah. Dia tidak setuju konglomerat membantu pengusaha kecil atas dasar belas kasihan. Harus ada kalkulasi bisnis. Hingga keduanya, kata Liem, sama-sama untung.
 
Pada tahun-tahun itu, di mana semua kekuasaan berhimpun ditangannya,  hampir tak ada yang berani membantah Soeharto. Apalagi di muka umum. Itu sebabnya bantahan Liem itu agak mengejutkan. Mimik wajah Soeharto memang sedikit berubah. Agak cemberut. Tapi itu cuma sebentar sebab dia segera mencairkan suasana.

Perkawanan keduanya juga bisa didengar dari guyonan Soeharto dalam pertemuan di Tapos itu. Dan itu sesungguhnya lebih sebagai pembelaan terhadap sang kawan, ketimbang sebagai sebuah kelakar. Saat itu bisnis Bogasari milik Liem sedang moncer. Banyak yang bilang bisnis itu menjulang lantaran dia memonopoli impor gandum.

Dan inilah pembelaan Soeharto. Yang membuat cerita ini bernada kelakar adalah dia mengisahkannya dengan meniru suara Oom Liem yang cadel berat. Pada tahun 1970-an, kisah Soeharto dalam pertemuan itu, Liem datang menjumpainya. Dia berbicara dengan suara cadel. “Pak, saya ini olang kelja. Untuk lakyat apa yang halus saya lakukan.”

Soeharto menjawab sembari memberi nasihat. Dia meminta Oom Liem agar jangan berpikir dagang melulu. Rakyat,  kata Soeharto, butuh pangan.

Lalu Soeharto bertanya apakah Liem punya kawan di luar negeri yang bisa membantu. Dia menjawab ada. “Kalau begitu kamu dirikan pabrik terigu,” kata Soeharto. Liem lalu mendirikan pabrik terigu itu dan sukses. Kini perusahaan itu meraksasa dalam rupa-rupa produk. Dari terigu hingga indomie.

Liem Sioe Liong lahir 10 September 1915 di Futching, Provinsi Fujien, Tiongkok Selatan. Menurut buku “Liem Sioe Liong, dari Futching ke Mancanegara”  karangan Sori Ersa Siregar dan Kencana Tirta Widya, Liem lahir sebagai anak kedua dari keluarga petani di Desa Ngu Ha, Hai Kou.

Ayahnya meninggal dunia saat Liem masih belia. Lantaran masih belia itu, sebagian sawah milik keluarganya terpaksa dikerjakan orang lain. Hasilnya dibagi. Sedang sebagian lainnya dikerjakan kakak tertuanya, Liem Sioe Hie.
 
Tapi sang kakak kemudian meninggalkan Tiongkok. Dia  merantau ke Hindia Belanda. Ketika itu usia Liem baru 11 tahun. Ketika tiba di Hindia Belanda, Liem Sioe Hie menetap di Probolinggo sebelum akhirnya menetap di Kudus.

Di kota Kudus itu dia memiliki paman bernama Liem Kiem Tjai, yang telah mandiri dan mendirikan pabrik kecil. Pabrik itu bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan minyak kacang.

Sepeninggal sang kakak, Liem muda menjadi tumpuan keluarga di Tiongkok. Tapi itu cuma sebentar. Pada tahun 1938, Tiongkok diguncang perseteruan antara kaum Komunis dan Nasionalis yang dimotori Chiang Kai Sek. Kian kisruh negeri itu, setelah Jepang melancarkan serangan kilat dan berhasil menduduki Beijing.

Di tengah kekacauan itu Liem tergerak untuk merantau. Menyusul kakaknya yang sudah terlebih dulu melaju ke Hindia Belanda.
 
Dari pelabuhan Hai Kou, Liem Sioe Liong bertolak menuju Xiamen. Dan dari sana ia mengarungi lautan Tiongkok Selatan yang luas dengan menumpang kapal milik perusahaan Belanda, JCJL. Saat itu umurnya 23 tahun.

Menggunakan perahu kecil, dia berhasil mendarat di Surabaya. Dia berharap kakaknya akan menjemput. Celaka sebab sang kakak tak tampak. Lantaran tak dijemput dia pun ditahan imigrasi. Tak boleh keluar. Selama empat hari dia hanya mondar-mandir di wilayah pelabuhan. Selama itulah Liem makan seadanya.

Persis pada hari keempat kakaknya menjemput. Liem  dibawa ke Kudus. Di kota itulah dia mulai belajar berdagang. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi tukang kredit (mindring). Dia mulai berkeliling ke pasar atau ke desa-desa terdekat menawarkan kredit. Usahanya berkembang.

Namun usaha Liem bangkrut saat Jepang merangsek  tahun 1942. Sebab, Jepang melarang pekerjaan tukang kredit. Usaha ini merugi. Dengan alasan takut ditangkap Jepang para peminjam uang tak mau membayar sisa utang.

Beruntung sebelum Nipon itu datang dan bisnisnya masih moncer, Liem bertemu dengan wanita yang amat dicintainya Lie Las Nio. Tak lama setelah Jepang masuk, Liem menikahi gadis asal Lasem itu.

Jepang cuma kuat tiga tahun. Sebab Belanda datang mengandeng sekutu. Saat Belanda masuk, Liem Sioe Liong mendapat titipan dari tentara republik untuk menjaga orang penting yang tengah dicari intel Belanda. Orang penting itu adalah Hassan Din, ayah dari Fatmawati dan mertua Presiden Soekarno.

Melalui Hassan Din inilah Liem Sioe Liong berkenalan dengan beberapa pimpinan tentara republik di Jawa Tengah. Dari sinilah dia menjadi pemasok makanan, pakaian dan obat-obatan. Juga senjata bagi tentara. Tapi Liem pernah membantah soal senjata itu. “Saya tidak pernah terlibat dalam suplai senjata,” ujarnya.

Selain menjadi pemasok makanan, Liem juga memulai usaha sebagai pemasok cengkih ke pabrik-pabrik rokok di Kudus. Menurut Richard Robison dalam bukunya “Indonesia, The Rise Capital” usaha Liem kian kokoh pada tahun 1950-an saat ia menjadi pemasok tetap kebutuhan Divisi Dipenogoro, Jawa Tengah. Ketika itu Soeharto  menjadi Panglima Dipenogoro. Dan inilah titik terpenting dalam kehidupan Liem.

Meski berkawan semenjak lama, dalam “Soeharto, Pikiran, Ucapan & Tindakan Saya” yang ditulis Ramadhan KH dan G. Dwipayana, Soeharto tak pernah menyinggung nama Liem Sioe Liong pada bagian ‘Semasa Jadi Panglima TT-IV/Dipenogoro’. Soeharto malah menyebut nama Bob Hasan saat Soeharto menyelundupkan gula di Jawa Tengah dan membarternya dengan beras dari Singapura. Insiden ini juga yang membuat Soeharto sempat dipanggil dan ditegur KSAD Gatot Subroto.




Pada awal tahun limapuluhan,  Liem pindah ke Jakarta. Dia tinggal di Jalan Gunung Sahari VI, Jakarta Pusat. Di sinilah Liem mulai membangun kerajaan bisnisnya.  Kantor pusatnya berada di Jalan Asemka, Kota.

Sudah menjadi rahasia umum, Liem memiliki hubungan yang cukup dekat dengan  Soeharto. Hubungan itu kian lekat setelah Soeharto menjadi Presiden RI kedua setelah krisis politik tahun 1965. Selama periode ini, Liem Sioe Liong mengadopsi nama Indonesia Sudono Salim. 

Pada tahun 1968, bersama PT Mercu Buana yang dikelola Probosutedjo, PT Mega milik Liem Sioe Liong diberikan impor monopoli cengkeh oleh Suharto. Ini membuat keduanya kaya raya.

Pada 1969, Om Liem, panggilan akrabnya, berkongsi dengan pengusaha Sudwikatmono, Djuhar Sutanto, dan Ibrahim Risjad membentuk CV Waringin Kentjana. Om Liem sebagai Chairman dan Sudwikatmono --sepupu Soeharto-- sebagai CEO.

"The Gang of Four" ini kemudian mendirikan pabrik tepung PT Bogasari pada 1970. PT Bogasari diberi lisensi untuk memonopoli perdagangan gandum di Indonesia bagian Barat. Menurut Retnowati Abdulgani-Knapp, penulis buku “Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia Second President,” PT Bogasari berhasil mengamankan pasar tepung terigu Indonesia yang nilainya mencapai US$400 juta per tahun.

Kemudian pada 1975, kelompok ini mendirikan pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa. Pabrik ini berkembang pesat dan sempat memonopoli pasar semen di Indonesia.

Belakangan Ciputra bergabung. Mereka kemudian mendirikan perusahaan real estate PT Metropolitan Development yang membangun perumahan mewah Pondok Indah dan Bumi Serpong Damai.

Om Liem juga mendirikan bisnis otomotif melalui bendera PT Indomobil dan perbankan melalui Bank Central Asia (BCA). BCA menjadi salah satu perbankan swasta terbesar yang memiliki ribuan cabang di Indonesia.

Lewat berbagai lini bisnisnya ini, mengantarkan Liem menjadi orang terkaya di Indonesia dan Asia. Bahkan pemilik Indofood ini pernah masuk daftar 100 orang terkaya  dunia.



Kemelut politik kembali melilit Indonesia. Bermula dari krisis moneter, mahasiswa Indonesia bergolak. Soeharto akhirnya mundur pada bulan Mei 1998. Saat itu juga, kehidupan Liem ikut terpuruk.

Pada saat krisis moneter 1998, bisnis Grup Salim jatuh. Liem harus menyerahkan sekitar 108 perusahaan kepada pemerintah guna membayar utang Rp52,7 triliun. Termasuk BCA.

Tak hanya bisnisnya yang jatuh, Om Liem pun harus menghadapi keberingasan massa pada 1998. Rumahnya  di Jalan Gunung Sahari VI, Jakarta, dijarah massa. Seperti diceritakan anaknya, Anthony Salim, massa merangsek ke dalam rumahnya dan menyeret sebuah foto besar sang ayah. Penuh emosi massa mencoret lukisan tersebut dengan kata, ‘Antek Soeharto.’

Suasana mencekam yang menggurung Jakarta pada 1998 itu membuat Sudono Salim memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Dia terbang ke Singapura.

"Ketika rumah Anda telah dibakar, incaran selanjutnya dari massa yang sedang mengamuk adalah penghuninya," kata Anthony seperti dikutip The New York Times. "Anda pasti tak mau terperangkap dalam situasi seperti itu."
 
Setelah reformasi, Soeharto dan Liem Sioe Liong memang seperti keping koin terpisah. Soeharto menghabiskan waktunya di Jalan Cendana Jakarta, sementara Liem Sioe Liong di Singapura.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, praktis setelah reformasi keduanya tak pernah berhubungan. “Alasannya keadaan politik dan keamanan tidak memungkinkan,” ujarnya.

Faktor kesehatan juga menjadi penyebab keduanya tak bisa bertemu. Soeharto dililit penyakit terus-menerus. Liem juga begitu. Dia memutuskan mundur total dari bisnis. Menyerahkan tanggungjawab mengelola bisnis itu ke anaknya, Anthony Salim. Dia jarang ke Jakarta.

Penampilan terakhirnya di depan publik adalah 10-11 September 2005. Saat itu  dia merayakan ulang tahun ke 90. Pesta selama dua hari itu digelar di Hotel Shangri-La Singapura. Undangan yang datang sebanyak 2.000 orang.

Para tamu yang datang kebanyakan pebisnis dari Indonesia, China dan Amerika. Anak-anak Soeharto juga datang ke acara itu. Mereka adalah Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Harijadi, dan Siti Hutami Endang Adiningsih. Tiket pesawat dan penginapan ditanggung keluarga Liem.  Biaya yang dikeluarkan diperkirakan lebih dari S$2 juta.

Sesudah Soeharto wafat, kesehatan Liem juga mulai mundur. Ia mulai sakit-sakitan. “Dia sakit tua,” kata menantunya, Franciscus Welirang. Dan dia selesai Minggu 10 Juni 2012.