Berseteru Demi Rasa Sayang
VIVAnews--Versi Indonesia berjudul "Rasa Sayange". Versi Malaysia berjudul "Rasa Sayang". Lirik sama. Komposisi juga persis sama. Berkisah tentang cinta dan kasih sayang, lagu ini justru menyulut murka dua bangsa serumpun. Indonesia mengklaim ini lagu warisan suku Maluku. Sudah turun-temurun. Malaysia juga begitu.
Negeri di semenanjung Malaka itu lebih agresif. Oktober 2007 memakai lagu itu dalam kampanye parawisata. Malaysia Truly Asia. Gadis-gadis menari sembari berdendang. Mengundang dunia datang ke negeri itu. Pesta di Malaysia, murka meledak di Jakarta. Hujatan meluncur ke Kualumpur. Dituduh sebagai negeri “maling”.
Dua negara punya versi sendiri-sendiri. Dengarlah versi dari Maluku ini. Lagu ini, kata Kepala Taman Budaya Maluku, Semmy Toisutta sering dinyanyikan dalam acara yang diwariskan turun-temurun. Salah satunya adalah Badendang. Ini adalah acara khas anak muda. Acara itu sudah dirayakan berpuluh tahun.
Banyak lagu yang dinyanyikan dalam acara itu. Dan lagu-lagu itu umumnya tidak dikenal penciptanya. Lewat tradisi oral. Tidak seperti musik barat yang ditulis secara lateral.
Dari sudut musikologi, kata Toisutta, Rasa Sayange dipengaruhi musik Eropa. Portugis dan Spanyol. Kedua bangsa itu memang pernah bergantian menduduki Maluku abad XVI. Mereka datang mencari rempah-rempah. Hentakannya mirip dengan lagu-lagu dari kedua bangsa itu.
Hentakan nan rancak itu, kata Toisutta, sangat jauh dari irama Melayu yang cenderung mendayu-dayu. Lagu Rasa Sayange memiliki tangga nada mayor diatonic. Sama dengan lagu-lagu di Maluku yang diwariskan secara lisan bertahun-tahun.
Opa-oma di Maluku yang sudah sepuh juga masih hafal dan menyimpan banyak kenangan tentang lagu ini. “Orang tua kami yang berusia 90 tahun mengenal baik lagu ini,” ungkap Rence Alfons, seorang budayawan Maluku kepada VIVAnews.com.
Lagu ini dikenal luas lewat acara musik Lawatan Titian Muhibah di TVRI. Acara itu merupakan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia. “Ikut dalam acara itu salah satu penyanyi asal Maluku, Chris Pattikawa," kata Toisutta. Saat pemerintah Malaysia mengklaim lagu itu 2007, tokoh-tokoh budaya, sejarah dan musik dari Maluku tekun mengumpul bukti. Setumpuk bukti itu telah diserahkan kepada Kementerian Pariwisata.
Jero Wacik, yang saat itu menjabat Menteri Kebudayaan dan Parawisata, menegaskan bahwa Indonesia menyimpan sejumlah bukti kuat bahwa lagu itu memang warisan Maluku. Salah satu bukti kuat itu adalah rekaman milik Lokananta. Lokananta adalah sebuah perusahaan yang pernah mereka lagu itu dalam piringan hitam.
Rekaman itu dilakukan tahun 1958. Dan Presiden Soekarno sangat suka dengan lagu ini. Piringan hitam itu kemudian diperbanyak. Tanggal 15 Agustus 1962, dalam hajatan Asian Games di Jakarta, Soekarno membagi piringan hitam itu kepada kontingen setiap negara sebagai “buah tangan” dari Jakarta.
Selain Rasa Sayange, ada tujuh lagu lain dalam piringan itu. Antara lain Caca Marica, Suwe ora Jamu, Gelang Sipatu Gelang dan Rayuan Pulau Kelapa. Semua lagu itu akrab dinyanyikan orang-orang Indonesia dari segala usia.
Bukti lain yang bisa memperkuat kepemilikan Indonesia atas lagu itu juga bisa ditelusuri hingga ke negeri Jepang. Di negeri sakura itu ada Minoru Endo Music Foundation, yayasan yang pernah mengumpulkan lagu-lagu rakyat yang populer di kawasan Asia.
Pemerintah Propinsi Maluku juga bertekun mencari bukti soal lagu ini. Setelah melewati pencarian yang panjang, Gubernur Maluku Albert Ralahalu kemudian menemukan bahwa lagu itu diciptakan seorang warga Maluku bernama Paulus Pea.
Orang-orang Indonesia memang tampaknya terus memperkuat diri merebut hak atas lagu itu. Yang terakhir adalah para peneliti di Bandung Fe Institute, yang mengembangkan metode fisika guna merunut asal muasal lagu ini. Dan hasilnya, memang milik Maluku. Milik Indonesia.
Klaim negeri Jiran
Diprotes Indonesia, Malaysia tampaknya tak hirau. Sebagai bangsa serumpun dan bertetangga pula, petinggi negeri itu menilai adalah wajar jika terdapat beberapa aspek budaya yang sama. Kesamaaan itu bisa muncul dalam rupa-rupa bentuk. Tari-tarian, seni budaya dan juga lagu-lagu rakyat. Dan salah satu kesamaan itu adalah lagu Rasa Sayang itu.
Menteri Malaysia Bidang Informasi, Komunikasi dan Kebudayaan, Rais Yatim, menilai bahwa klaim Indonesia atas lagu itu sungguh tak realistis. Bukan hanya Rasa Sayang, kata Rais, lagu-lagu yang selama ini juga akrab di telinga rakyat Indonesia seperti Jauh di Mata, Burung Pungguk, dan Terang Bulan bagi Malaysia juga adalah warisan bangsa itu. Didendangkan turun-temurun juga.
Rais meragukan apakah ada pihak yang bisa membuktikan bahwa lagu yang dipermasalahkan adalah murni hasil karya Indonesia. "Menurut saya, Indonesia atau pihak-pihak lain tidak akan mampu untuk membuktikan komposer lagu Rasa Sayang itu," kata Rais dalam suatu jumpa pers yang dikutip kantor berita Bernama pada Oktober 2007.
Saat itu, Rais mengomentari anggota DPR RI dari fraksi Partai Amanat Nasional, Hakam Naja, yang berseru kepada pemerintah Indonesia agar menggugat Malaysia soal penggunaan Rasa Sayang dalam kampanye turisme mereka.
Bahkan Ketua Fraksi Golkar di DPR saat itu, Priyo Budi Santoso, juga sempat menyarankan pemerintah agar menyelidiki apakah Malaysia menggunakan lagu itu tanpa izin Indonesia. "Bila mereka ingin menggunakan musik tradisional Indonesia, Malaysia harus minta izin dulu kepada kita karena ini adalah warisan budaya kita," kata Priyo saat itu, seperti yang dikutip Bernama.
Pernyataan-pernyataan keras itu ditanggapi oleh Rais, yang jabatannya saat itu adalah Menteri Kebudayaan, Seni, dan Warisan Pusaka. "Malaysia juga bisa berkata bahwa beberapa lagu yang dinyanyikan dan direkam di Indonesia berasal dari negeri kami yang belum menerima pembayaran royalti apapun," kata Rais berargumentasi.
Selain lagu Rasa Sayang, para politisi Indonesia saat itu juga menilai Malaysia juga mengklaim budaya Indonesia lainnya seperti batik dan wayang kulit. Di Malaysia, wayang kulit sering dipertunjukkan sebagai hiburan tradisional.
Bagi Rais, wayang kulit di Malaysia tidak ada kaitannya dengan Indonesia karena hiburan itu adalah warisan budaya Hinduisme. "Indonesia tidak punya hak untuk mengklaim kepemilikan wayang kulit, yang diperkenalkan oleh penguasa kerajaan Hindu Sriwijaya pada abad ketujuh dan budaya itu menyebar ke Langkasuka (Kedah), Palembang, Batavia (Jakarta), dan Temasik," kata Rais.
Menurut dia, bila Indonesia ngotot mempermasalahkan klaim budaya itu, maka akan menemui jalan buntu. "Ini juga akan mempengaruhi hubungan baik antara Malaysia dan Indonesia," kata Rais.
Menteri Pariwisata Malaysia saat itu, Tengku Adnan Tengku Mansor, menyatakan bahwa pihaknya tetap menggunakan lagu Rasa Sayang sebagai bagian kampanye turisme negaranya "Truly Asia" karena ini juga lagu rakyat di negerinya, yang disebut sebagai Kepulauan Nusantara. Maka, dia meminta Indonesia tidak perlu ngotot untuk mengklaim sebagai pihak yang satu-satunya pemilik Rasa Sayang.
"Saya tidak mengerti. Saya sudah menjelaskan kepada suatu harian berbahasa Inggris di Jakarta bahwa Rasa Sayang adalah lagu rakyat bagi Kepulauan Nusantara. Jadi, Indonesia tidak bisa mengklaim lagu ini milik mereka saja," kata Tengku Adnan saat dikutip harian The Star beberapa waktu silam.
Tengku Adnan, yang kini menjadi Sekretaris Jenderal Partai UMNO dan Koalisi Barisan Nasional, meminta agar bangsa Indonesia jangan emosional menanggapi persamaan budaya antar dua negara. "Indonesia punya batik yang bagus-bagus. Malaysia pun punya batik yang bagus juga. Janganlah kita saling berkonflik hanya karena budaya kita mirip satu dengan lain," kata Tengku Adnan dalam kunjungan ke Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia secara pribadi justru bangga bila Indonesia dan Malaysia sama-sama mempromosikan warisan budaya yang hampir mirip satu sama lain. "Sebagai sesama orang Melayu kita turut senang. Masih banyak lagi Warisan budaya nenek moyang yang kita sama-sama banggakan," lanjut Tengku Adnan.
Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia, Rais Yatim, pernah mengingatkan bahwa seperti celana jins yang ada di mana-mana, batik juga ada di Malaysia, India, dan China.
Rais menjelaskan, berdasarkan perbincangannya dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, mereka menganggap sebuah hubungan harus bersifat realistik. "Salah satu dari sifat realistik ini adalah bahwa dalam sejarah, ada yang disebut sebagai migrasi budaya," kata Rais.
Migrasi budaya itulah yang menjadi penyebab pola hidup dan karya seni suatu wilayah hampir mirip dengan yang ada di wilayah lain. Rais sendiri, walau merupakan warga negara dan pejabat Malaysia, memiliki darah Minang di Sumatera Barat. Begitu pula dengan Perdana Menteri Malaysia saat ini, Najib Tun Razak, yang berketurunan suku Bugis di Sulawesi Selatan.
Rais menuturkan, di Malaysia juga banyak orang Jawa, Minang, Bugis, dan banyak lagi. Mereka juga seperti orang Jawa di Pulau Jawa, orang Minang dan Mandailing di Sumatra, ataupun orang Bugis di Sulawesi. Kaum migran itu meneruskan cara hidup mereka sendiri, kata Rais dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu. Dia juga mengingatkan bahwa seperti juga orang Amerika Serikat dengan Inggris, bangsa Indonesia dan Malaysia punya kemiripan satu sama lain
Ikhlas itu lagu Indonesia
Tidak semua politisi Malaysia ngotot mengklaim Rasa Sayange. Banyak pula yang sadar bahwa lagu itu memang milik Indonesia. Pemimpin kubu oposisi di Malaysia, Anwar Ibrahim pernah menegaskan 'Rasa Sayange' merupakan lagu Melayu yang berasal dari Indonesia. "Sejak kecil saya memang diajarkan lagu 'Rasa Sayange' itu lagu asli Malaysia," kata Anwar dalam suatu acara di Jakarta, Oktober 2010.
Baru setelah beranjak dewasa, dia menyadari bahwa apa yang dia dengar semenjak kecil itu salah. Setelah menelusuri berbagai referensi, Anwar mengetahui lagu itu merupakan lagu Melayu yang berasal dari Indonesia. "Saya ikhlas, lagu 'Rasa Sayange' itu memang berasal dari Indonesia," Anwar menegaskan.
Karena itu, ia menyesalkan pernyataan Perdana Menteri Malaysia bahwa 'Rasa Sayange' lagu asli Malaysia. "Perdana Menteri Malaysia bodoh menjawab ini lagu Melayu asli Malaysia," kata Anwar, mantan wakil perdana menteri Malaysia yang kini menjadi musuh bagi para pemimpin dan politisi yang berkuasa di negeri itu.
Bagi akademisi Malaysia, Dato' Dr Sothi Rachagan, kontroversi Rasa Sayange antara Indonesia dan Malaysia itu menandakan konflik antarnegara bisa dipicu oleh saling klaim produk budaya. Cendekiawan dari Nilai University College itu dalam suatu presentasinya menilai konflik itu bisa muncul akibat "komodifikasi budaya dan pengeksploitasiannya untuk tujuan-tujuan komersil."
Penjelasan Rachagan itu jelas terkait kegusaran Indonesia saat Malaysia memakai Rasa Sayange atau simbol-simbol budaya untuk promosi pariwisata mereka sendiri demi mendatangkan banyak pelancong untuk tujuan komersil. Sebaliknya, Malaysia tetap ngotot menganggapnya sebagai bagian dari budaya mereka.
Menurut Rachagan, walau sudah ada aturan atau perangkat internasional yang memproses polemik antarnegara soal sengketa dagang, bisnis dan lain-lain, namun "belum ada mekanisme pengaturan yang terkait dengan perlindungan Pengetahuan Tradisional, maupun Ekspresi Budaya atau Hikayat," demikian tulis Rachagan.(wm)