VIVAnews – Bel berdering. Disusul tepuk tangan membahana. Riuh. Lelaki tambun itu terlihat bersemangat. Bertepuk lebih kencang. Orang-orang memandangnya sembari girang. Memakai kemeja biru dibalut jas hitam tanpa dasi, laki-laki itu menebar wajah sumringah.
Kamis 19 Mei 2011, itu Reid Hoffman adalah manusia paling berbahagia di Bursa Saham New York. Pagi itu perusahaan miliknya, Linkedln, resmi melantai di pasar saham. Ratusan investor datang pada penawaran saham perdana ini. Didirikan tahun 2003, Linkedln go public dalam usia 8 tahun.
Siapa Reid Hoffman tak banyak yang tahu. Linkedln juga begitu. Hanya sohor di kalangan pekerja professional. Tetapi sesudah melantai di bursa itu, nama keduanya melesat ke seluruh dunia. Linkedln dan Reid Hoffman. Dan itu karena harga saham perusahaan itu meroket tinggi.
Saham yang awalnya ditawarkan seharga US$45 per lembar, terbang hingga menyentuh US$122,70. Lebih dari dua kali lipat dari semula. Di tengah terlelapnya saham sejumlah perusahaan raksasa dunia, Linkedln memukau para pialang.
Kamis dua pekan lalu itu, misalnya, bermil jauhnya dari New York, sebuah perusahaan tambang raksasa masuk bursa saham di London.
Glencore International, nama perusahaan yang didirikan tahun 1974 itu, adalah salah satu jawara di bisnis pertambangan. Tapi semenjak tawaran perdana itu, saham Glencore seperti tertidur. Harga nyaris tidak bergerak. Saham sejumlah perusahaan raksasa lain hanya beringsut seperti siput.
Itu sebabnya, lonjakan saham Linkedln itu membetot mata para investor. Bukan cuma saham, valuasi Linkedln juga melonjak berlipat kali. Semula ditaksir US$4 miliar. Jumlah yang dikritik banyak orang sebab dinilai terlampau menjulang.
Tapi kini, sesudah keajaiban itu, hampir tak ada yang bersuara miring ketika perusahaan itu divaluasi di bilangan US$9 miliar. Setara dengan Rp77 triliun. Tertinggi untuk perusahaan internet manapun sesudah IPO Google tujuh tahun silam.
Saham dan valuasi melonjak, pundi Reid Hoffman juga langsung meledak. Ia menyusup masuk ke daftar para triliuner dunia. Mengantongi 20 persen saham Linkedln, jumlah kekayaannya melesat ke bilangan US$1,8 miliar. Setara dengan Rp15 triliun.
*****
Reid Hoffman sesungguhnya bukan nama baru dalam dunia dot-com. Walau tak setenar para selebriti entrepreneur internet macam Larry Page, Sergey Brin, Jerry Yang, Mark Zuckerberg, Biz Stone, atau Jack Dorsey, Hoffman sudah lama bergelut di industri dunia maya itu.
Bertahun-tahun bergelut di situ, ia lebih banyak di belakang layar. Pria berusia 43 tahun ini dijuluki sebagai ‘Orang Bijak Silicon Valley’. Modalnya tersebar di 80 perusahaan teknologi seperti Facebook, Groupon, Flickr, LastFM, dan Zynga.
Adalah Hoffman yang menjembatani pertemuan antara Mark Zuckerberg dengan Peter Thiel, orang yang kemudian menjadi investor luar pertama pada jejaring sosial Facebook.
Dan ia bukan sekedar investor. Jebolan Universitas Stanford dan Oxford itu menjadi guru bagi sejumlah pebisnis muda. Hoffman, misalnya, menjadi mentor bisnis Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook itu.
Sejumlah pebisnis di Silicon Valley menyebutnya sebagai visioner sejati. Bertangan dingin. Hasilnya jelas. “Ia telah memperoleh pengakuan yang memang pantas, sebagai model entrepreneur sekaligus investor. " ujar Ron Conway, sesepuh investor Silicon Valley, dikutip dari sebuah kolom SiliconValley.com.
Reid Hoffman sudah lama membenam diri di dunia teknologi. Semenjak 19 tahun silam. Semula bekerja untuk Apple, kemudian pindah ke Fujitsu Software. Dari dua perusahaan itu ia mengaku mempelajari tiga hal penting. Merencanakan sebuah produk, membangun, lalu meraih konsumen.
Matang untuk urusan tiga hal itu, Hoffman lalu mendirikan perusahaan sendiri. Bersama sejumlah kawannya, tahun 1997, mendirikan jejaring sosial kencan pertama Socialnet.com. Sayang usaha ini kurang bergigi. Meski tak mati, sukses juga tidak.
Hidup tak menentu, Reid bertahan dua tahun di situ. Kemudian bergabung dengan layanan pembayaran online PayPal.
Di sini ia bertanggungjawab atas sejumlah hal. Mengurusi hubungan eksternal, infrastruktur pembayaran, pengembangan bisnis, urusan hukum dan pemerintahan.
Karirnya terus menanjak. Sebagai Executive Vice President, Reid adalah juru kunci proses akusisi Paypal oleh eBay pada 2002. Atas peran besarnya itu, ia mengantungi US$10 juta. Duit itulah yang kemudian yang dibenamkan dalam bisnis online.
Meski tahun-tahun itu adalah masa di mana investor trauma dengan internet bubble, Hoffman justru membenam uangnya di industri online. Ia menaruh dana di jejaring sosial Friendster, Facebook, Six Apart, dan memulai usaha yang kini melambungkan namanya, LinkedIn.
Bagi Hoffman, krisis ekonomi yang menghempas dot-com, justru saat yang tepat memulai usaha. “Membentuk kemitraan lebih mudah, merekrut orang lebih mudah, dan kompetisi baru datang belakangan,” kata Hoffman pada sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.
Sesudah merekrut sejumlah professional, Linkedln diluncurkan pada tahun 2003. Dia mengundang 350 kenalan bergabung ke LinkedIn. Profil mereka dimuat di situs itu.
Di akhir bulan, LinkedIn berhasil menjaring 4500 anggota. Jejaring sosial itu adalah terminal orang-orang professional. Bertemu satu sama lain. Mempermudah pengguna mencari tempat kerja di perusahaan baru. Juga sebaliknya, memudahkan perusahaan menemukan professional yang dibutuhkan.
Dan inilah rahasia kesuksesan Linkedln. Kebanyakan orang tidak mau mencampurkan kehidupan pribadi dengan kehidupan karir mereka. Mungkin mereka akan senang mengunggah berbagai foto pribadi pada suatu acara pesta ke akun Facebook. Tapi mereka tidak sudi foto-foto itu dilihat perusahaan yang mungkin merekrut.
Darimana Linkedln mendapat uang? Banyak cara yang ditempuh. Dari anggota yang terdaftar, penjualan iklan dan lowongan kerja.
Berbeda dengan jejaring sosial lain macam Facebook dan Twitter yang bergantung pada iklan, porsi pendapatan LinkedIn yang signifikan – hingga dua pertiganya - berasal dari fee yang dikutip dari jasa pencarian kerja. Dengan cara itu sumber keuangan rutin dan pasti.
Kini perusahaan yang bermarkas di Mountain View California itu memiliki 1300 karyawan. Setiap detik, anggota baru bergabung ke LinkedIn. Saat melantai di bursa dua pekan lalu itu, perusahaan ini memiliki lebih dari 100 juta anggota dari 200 negara.
Bukan cuma Hoffman yang sumringah pada acara peluncuran saham perdana itu. Jefrrey Weiner, Chief Executive LinkedIn yang sebelumnya sempat menjadi eksekutif di Yahoo, juga girang bukan kepalang. Dia memiliki 2 persen saham di situ. Total nilai U$ 230 juta.
Rejeki nomplok itu juga dinikmati beberapa perusahaan modal ventura yang sepanjang masa-masa sulit setia menyokong perusahaan itu. Sequoia Capital, misalnya, menanam uang US$ 4,7 juta pada 2003 dan memiliki 17,8 persen saham. Kini nilai sahamnya melonjak ke bilangan US$1,6 miliar.
Greylock Partners, yang pada 2004 menanam modal US$ 10 juta, sekarang total nilai sahamnya berkisar US$ 1,3 miliar. Bessemer Venture Partners, pemilik 4,8 persen saham yang pada 2007 menyuntik US$ 12,8 juta, kini memanen sekitar US$ 430 juta.
*****
Mengapa nilai saham Linkedln melaju tinggi. Banyak jawabannya. Ada yang menyebut masa depan perusahaan ini memang menjanjikan. Banyak pula yang menilai bahwa momentum masuk bursa juga melambungkan harga saham.
Dengarlah kata sejumlah ahli berikut ini. "LinkedIn mendapat keuntungan sebagai pihak pertama yang go public,” kata Lee Simmons, analis dari Hoover's, sebuah perusahaan riset IPO, kepada Wall Street Journal. Para pialang juga ramai-ramai memburu saham ini, lantaran yang dilepas ke publik cuma sedikit. Sepuluh persen.
Dengan prosentase sekecil itu, jumlah saham yang ditawarkan cuma 7,84 juta. Bandingkan dengan IPO Google Agustus 2004, yang melepas 20 juta lembar saham ke pasar bursa.
Sejumlah analis bursa saham juga menyebutkan bahwa valuasi perusahaan ini terlampau tinggi. Sebab pendapatan tahun lalu cuma US$243 juta. “Kita jelas-jelas sedang melihat valuation bubble," Kata Managing Director of Hummer Winblad Venture Partners, Mitchell Kertzman.
Valuasi yang terlampau tinggi memang mendorong harga saham bergerak liar. Lihatlah perusahaan software VMware yang masuk bursa Agustus 2007. Tak lama setelah melantai, saham VMware melonjak 76 persen. Tapi 13 bulan kemudian turun tajam, hingga di bawah harga penawaran awal sebesar US$29.
Contoh lain, yang belum lama terjadi adalah peluncuran perdana saham jejaring sosial raksasa China, RenRen. Hari pertama ditawarkan seharga US$14 dan ditutup pada US$18, atau 28,6 persen di atas harga IPO –nya di bursa NYSE. Tiga pekan setelah debut pertama itu saham RenRen 'kembali ke laptop': US$14 per lembar.
Sejumlah pebisnis lain menilai bahwa jika kini harga saham Linkedln melonjak, itu karena para investor sedang haus akan pertumbuhan. Para pialang bursa sudah lama tidak pernah merasakan saham yang melonjak cepat. "Saya pikir ini akan menjadi sebuah katalis (terjadinya Internet bubble – red)," ujar CEO Global Silicon Valley Asset Management Michael Moe.
Namun, Aaron Levie, CEO Box.net sebuah perusahaan layanan penyimpanan data di Internet, melihat dari sisi yang berbeda. Menurut Levie, valuasi LinkedIn -- Facebook dan sejumlah perusahaan dot-com yang hendak IPO –, melejit sebab mereka sudah memiliki bisnis model yang menjanjikan.
Potensi pendapatan di masa depan itu bukan janji kosong belaka. Bisnis dot-com jaman sekarang, lanjutnya, berbeda dengan tahun 1990-an. “Sekarang Silicon Valley sudah kembali dan jauh lebih sehat,” kata Levie kepada kantor berita AP.
Hal yang sama dikatakan oleh Ben Horowitz, pendiri perusahaan modal ventura Andreessen Horowitz. Lewat
blognya, Horowitz panjang lebar menguraikan bahwa valuasi pasar yang tinggi tidak menjadi masalah selama ada landasannya.
Horowitz membandingkan kondisi empat perusahaan teknologi yang selamat dari era bubble di akhir tahun 90-an dengan kondisi mereka saat ini. Ternyata dengan menghitung rasio Enterprise Value-to-Revenue multiple (EV/Rev), Price-to-Earnings multiple (PE), dan PEG, ia menyimpulkan bahwa valuasi di era bubble 10 kali lebih tinggi dari valuasi saat ini.
Horowitz menegaskan bahwa tidak semua parameter sepuluh tahun lalu itu bisa dibandingkan dengan kondisi sekarang. Sebab, rasio PE beberapa perusahaan di masa lalu itu tidak berarti, karena laba bersih mereka saat itu negatif.
“Kita bisa melihat tanda-tanda bubble saat ini. Tapi perlu diingat bahwa tanda-tanda bubble mirip sekali dengan tanda-tanda ledakan pertumbuhan (boom). Faktanya, itu biasanya dikatakan bubble, sampai semua orang pada akhirnya sepakat bahwa itu adalah ledakan pertumbuhan.”
*****
Apa yang terjadi dengan Linkedln, mirip seperti saat Netscape Communications melakukan IPO pada 1995. Sesudah raksasa internet itu, sejumlah perusahaan dotcom berbondong-bondong masuk bursa. Antara lain Webvan Group dan Amazon.com.
Para pialang memastikan bahwa kesuksesan Linkedln akan disusul kesuksesan sejumlah perusahaan dot-com yang segera masuk bursa.
Kini pasar saham kian bergairah mencermati rencana IPO beberapa perusahaan internet populer lain.
Mulai dari jejaring mikroblog Twitter, perusahaan game Zynga, situs kupon Groupon, dan tentu saja Facebook, jejaring sosial terpadat di dunia yang memiliki lebih dari setengah miliar anggota.
Dari sejumlah perusahaan itu, memang belum ada yang memastikan kapan go public itu digelar. Namun santer diberitakan bahwa Facebook kemungkinan akan mendaftarkan IPO sebelum Mei 2012.
Sesudah pasar begitu bersemangat memburu saham LinkedIn, sejumlah analis memastikan bahwa saham Facebook juga bakal ramai diburu pebisnis dunia. Valuasinya juga bakal melejit.
Majalah Forbes bahkan menghitung bahwa valuasi Facebook melebihi nilai perusahaan-perusahaan seperti Lockheed Martin, Boeing, Sony, Nike, dan puluhan perusahaan raksasa otomotif dunia. Awal tahun ini, lembaga keuangan Goldman Sachs Group menaksir valuasi Facebook sekitar US$50 miliar.
Bertumpu pada hitungan itu, valuasi Facebook pada 2012 diperkirakan berlipat ganda menjadi US$ 100 miliar. Pada tulisannya pekan ini, pendiri situs teknologi TechCrunch, Michael Arrington sempat berandai-andai bahwa bila IPO Facebook digelar hari ini. Bila pasar terus menggila, bukan tidak mungkin kapitalisasi pasar Facebook dalam waktu singkat melampaui valuasi Google yang saat ini diperkirakan senilai US$ 170 miliar.
“Mungkin saja dalam waktu singkat Facebook menyentuh US$ 200 miliar. Sekarang saja, di pasar sekunder mereka sudah seharga US$ 75 miliar. Jadi, kenapa tidak?” kata Arrington.
Senilai US$200 miliar? Bila dikonversi sekitar Rp 1.700 triliun. Jumlah itu melebihi target belanja negara kita tahun ini sebesar Rp 1.229,6 triliun. Bila hitung-hitungan itu benar terjadi, bisa dibayangkan betapa sumringahnya wajah Zuckerberg saat itu. Melebihi keriangan si wajah tembem Hoffman, saat memijit bel di lantai bursa dua pekan lalu itu. (wm)