Jatuh Tanpa 'May Day'
- merpatikualalumpur.wordpress.com
VIVAnews - Langit Kaimana, Papua Barat, Sabtu 7 Mei 2011, dilaporkan hujan dan berawan. Jam menunjuk 13.46 WIT. Cuaca buruk. Di ketinggian 5.000 kaki, pilot pesawat Merpati, Purwadi Wahyu, mengontak petugas Bandar Udara Utarom, Kaimana. Dia meminta izin mendarat.
Tapi, bandara itu tak kunjung tersentuh roda pesawat. Jarak pandang dua kilometer. Hujan rupanya jadi kendala. Pesawat pun memutar dua kali. Tapi mendadak pesawat hilang kontak.
Kabar selanjutnya adalah airmata. Merpati jenis MA-60 buatan Xi'an Aircraft Industrial Corporation, China, itu dilaporkan jatuh pukul 14.05 WIT, di laut Kaimana, Jaraknya, hanya 500 meter sebelah selatan bandara. Sebanyak 25 orang tewas.
Jatuhnya Merpati MA-60 itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat sejenis di beberapa negara. Sudah lima kali, pesawat jenis MA-60 buatan Xi'an Aircraft itu celaka. Pada Januari 2009, misalnya, Xi'an MA-60 milik Zest Airways mengalami undershot --mendarat sebelum mencapai landasan, di Bandar Udara Godofredo P Ramos, Filipina.
Kecelakaan kedua terjadi pada 25 Juni 2009. Saat itu, Xi'an MA-60 --juga milik Zest Airways-- bernomor penerbangan 863 dan penumpang 54 orang serta 5 awak pesawat mengalami overshot -- saat mendarat di Bandar Udara Godofredo P Ramos. Tidak ada korban luka dalam kecelakaan itu.
Pada 3 November 2009, Xi'an MA-60 UM-239 milik Air Zimbabwe menabrak lima babi hutan saat lepas landas dari Bandar Udara Internasional Harare. Pesawat berhasil dihentikan dari proses lepas landas. Tapi pada kecelakaan ketiga itu, lambung pesawat rusak parah akibat benturan.
Insiden keempat terjadi pada 7 Desember 2010, di Bandara Internasional Rangoon, Myanmar. Pesawat Xian MA-60 itu tergelincir ketika mendarat. Kecelakaan pesawat Merpati MA-60 juga pernah terjadi di Kupang, Februari 2011 lalu. Saat itu, pesawat keluar landasan pacu.
Tapi, kecelakaan pada 7 Mei lalu di laut dekat Bandara Utarom, Kaimana, adalah terparah dialami pesawat MA-60 sejak dioperasikan pertama kali oleh Sichuan Airlines pada 2000.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tak ingin terburu-buru mengungkap penyebab jatuhnya Merpati jenis Xi'an Modern Ark 60 atau lebih dikenal MA-60 itu. "Dibutuhkan waktu satu hingga dua pekan untuk mengetahui penyebab jatuhnya pesawat," kata Ketua KNKT, Tatang Kurniadi, kepada VIVAnews.com di Jakarta, Rabu 11 Mei 2011.
KNKT pun mengirimkan kotak hitam atau black box pesawat Merpati MA-60 ke China, Kamis 12 Mei. "Kami tidak punya alat downloader-nya, sehingga harus datang ke China," ujarnya.
Kotak hitam adalah alat yang merekam data penerbangan (flight data recorder-FDR) dan perekam suara di kokpit (cockpit voice recorder-CVR). Alat ini merekam pembicaraan pilot dengan Air Traffic Control (ATC), serta mengetahui tekanan udara dan kondisi cuaca selama penerbangan.
Ketua Sub Komite Udara KNKT, Masruri, menambahkan, kondisi kotak hitam penyok saat diterbangkan ke China. "Tapi, kami tetap berharap investigasi tak lama, mudah-mudahan bisa satu pekan," kata dia kepada VIVAnews.com.
Hasil investigasi itu selanjutnya akan dianalisis oleh tim terdiri dari operator penerbangan, pilot, engineer, hingga ahli dari KNKT. "Jadi, kami tidak bisa menduga-duga sebelum ada kesimpulan akhir," tuturnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti, menduga badan pesawat pecah saat 'mendarat' di laut. Namun, bagaimana proses 'pendaratan' pesawat itu, hingga saat ini belum ada kesimpulan. Kementerian Perhubungan masih menunggu hasil investigasi KNKT. "Proses turunnya [ke laut] kami belum tahu, apakah [pilot] melihat secara clear landasan, atau tidak," jelas dia.
Proses mendarat di laut itu ada dua kemungkinan. Jika mendarat dalam kondisi mulus, badan pesawat tak akan pecah. Sebaliknya, jika pendaratannya buruk, badan pesawat akan pecah. "Jadi, apakah pesawat mendarat di laut, atau memang jatuh, tim dari KNKT masih mengidentifikasi," ujarnya.
Menurut Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines, Sardjono Jhony Tjitrokusumo, saat hendak mendarat pesawat memang sempat berputar dua kali karena cuaca buruk. Kejadian berikutnya, pesawat dilaporkan kecelakaan. "Tak ada tanda may day call [panggilan darurat]. Tower [petugas bandara] juga sama sekali tidak menerima sinyal mayday call," ujarnya.
Jika berdasarkan fakta itu, dia menjelaskan, pesawat sedang tak dalam keadaan darurat [emergency]. "Tapi, untuk kepastiannya, kami tetap menunggu hasil penyelidikan CVR dan FDR," ujarnya.
Apakah artinya kecelakaan bukan disebabkan oleh kegagalan teknis, Sardjono hanya mengatakan itu salah satu kemungkinan dari beberapa kemungkinan yang ada. "Kami belum tahu pasti. Kami cuma bisa bilang supaya CVR didengar dulu, FDR dibaca dulu, lalu KNKT menyimpulkan. Baru kami kemukakan argumen," ujarnya.
Terkait itu, Menteri Perhubungan Freddy Numberi pun mengeluarkan surat untuk inspeksi menyeluruh dan audit keselamatan (safety audit) terhadap 12 pesawat MA-60 milik Merpati Airlines. Audit dilakukan selama sepekan. "Selama satu minggu, ada pesawat yang tak boleh terbang," kata Freddy di Kantor Presiden, Kamis, 12 Mei 2011.
Hasil inspeksi akan menentukan pesawat tersebut layak terbang atau tidak. "Kami sudah sepakat, kalau dari hasil inspeksi bermasalah, kami grounded (larang terbang)," kata dia.
Larangan terbang pesawat MA-60 hasil perpanjangan jenis Xi'an Y7-200A itu pernah dilakukan pada 2009. Saat itu, pesawat dengan dua mesin Turboprop Pratt & Whitney Canada PW127J dengan kecepatan maksimal 514 kilometer per jam [278 knots, 319 mph] itu mengalami kerusakan sayap bagian belakang. "Grounded kami lakukan karena ada "crack" (retak) di bagian sayap belakang," kata Direktur Utama Merpati, Bambang Bhakti, saat itu, usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR. Waktu itu, Merpati telah memiliki dua unit pesawat MA-60.
Freddy mengaku tak puas dengan instrumen pesawat Merpati jenis MA-60 itu. "Dari black box, voice data recorder bisa kami buka. Tapi, untuk flight data recorder harus kami kirim ke China," kata dia. "Ini yang saya kurang puas." Menurut dia, ada instrumen yang harus diminta untuk mengidentifikasi flight data recorder. Tapi itu sulit. Soalnya, “Enkripsinya dalam bahasa China," kata Freddy.
Belum ada kesimpulan penyebab jatuhnya pesawat Merpati MA-60 itu. Kotak hitam sudah dibawa ke China, dan tak pasti berapa lama investigasi berlangsung. Apalagi ada puluhan hingga ribuan parameter dalam FDR yang harus dibaca, dan dianalisis. "Parameter ini merekam gerakan pesawat dari proses take off hingga mendarat, atau ketika terjadi kecelakaan," kata pengamat penerbangan, Frans Wenas kepada VIVAnews.com, Jumat 13 Mei 2011.
Dalam menganalisis FDR di laboratorium China, menurut Frans, tim investigator KNKT juga ikut mengawasi. Dalam proses itu, tak semua data terekam bisa dibuka ke publik. "Data pembicaraan pilot termasuk tidak boleh dibuka. Itu rahasia, sesuai peraturan penerbangan internasional maupun domestik," ujar dia.
Untuk kondisi normal, artinya kotak hitam tak rusak, proses pembacaan data bisa hanya dua hari. Namun, analisis mendapatkan kesimpulan akhir penyebab kecelakaan bisa sampai bertahun-tahun. "Ini bisa terjadi jika hasil FDR terbaca berbeda dengan kondisi kerusakan pesawat," ujarnya. "Misalnya FDR membaca adanya malfunction pada faktor X, ternyata kerusakan terjadi pada bagian Y pesawat."
Adakah pesawat itu laik terbang? Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, Bambang S Ervan, menegaskan pesawat milik Merpati itu laik terbang. Meski tak ada sertifikat Federal Aviation Administration (FAA), pesawat itu punya sertifikasi tipe dari Administrasi Penerbangan Sipil China pada Juni 2000. Pesawat bersertifikasi pertama dikirim ke Sichuan Airlines pada Agustus 2000. "Kalau sudah dikeluarkan sertifikat, berarti pesawat laik terbang," ujar Bambang.
Otoritas penerbangan Indonesia juga sudah menguji pesawat itu. Kementerian Perhubungan mengirimkan sejumlah inspektur di Dirjen Perhubungan Udara ke China. Mereka menguji kelaikan pesawat yang mampu terbang hingga ketinggian 7.620 meter itu. Sertifikat layak terbang dari Indonesia pun telah dikeluarkan sekitar lima tahun lalu. Bukan cuma Indonesia, sertifikasi juga meluncur dari Filipina, Myanmar, dan sejumlah negara di kawasan ASEAN.
Dirut Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo, bahkan sempat melakukan manuver saat menguji MA-60. Pesawat itu, kata dia, tak berisik. "Waktu itu saya 'mengetes' sendiri overspeed, speed drive, dan jenis pengetesan lain di checklist pengecekan. Saya merasa nyaman saja," ujarnya.
Pengamat dirgantara dan penerbangan, Dudi Sudibyo, pun mengatakan pesawat Merpati itu aman. Dia merujuk sertifikasi pemerintah China dan Indonesia. "Jangan dibilang pesawat ini jelek. Kami harus menghargai pesawat ini, seperti juga menghargai pesawat CN-235 [buatan PT Dirgantara Indonesia]," ujarnya.
Pesawat bermesin turboprop ini menggunakan mesin jet, bukan mesin piston. "Jangan karena pakai baling-baling lalu dibilang kuno," kata dia. Mesin turboprop adalah mesin turbojet dengan turbin tambahan dirancang menyerap semburan sisa bahan bakar yang sebelumnya menggerakkan kompresor. Pada praktiknya, selalu ada sisa semburan gas. Sisa inilah dipakai menggerakkan turbin yang dihubungkan ke reduction gear --biasanya terletak di bagian mesin-- dan selanjutnya memutar baling-baling.
Jenis mesin ini irit bahan bakar untuk pesawat berkecepatan rendah atau sedang yang terbang rendah (400 mil per jam/30.000 kaki). Melalui teknologi maju, selain irit, mesin ini juga menghasilkan tingkat kebisingan rendah, dan mampu meluncurkan pesawat berkecepatan 400 mil per jam.
Dudi menjelaskan, semburan gas di mesin jet itu akan memutar turbin. Lalu memutar propeller dan gigi-gigi di dalam. Bahkan, panel kokpitnya seperti dimiliki pesawat-pesawat buatan negara Barat. "Yang perlu diluruskan adalah salah kaprah pesawat ini perlu disertifikasi oleh FAA. Sertifikasi FAA tak mutlak. Soalnya, pesawat ini tak beroperasi di wilayah Amerika Serikat," ujarnya.
Dia mencontohkan sertifikasi itu seperti surat izin mengemudi (SIM). Sebelum mendapat SIM internasional, pengemudi harus punya SIM lokal dulu. "Jadi, kalau hanya digunakan di sini, sertifikasi Indonesia sudah cukup”. Apalagi, sertifikasi oleh Dewan Sertifikasi Keselamatan Udara (DSKU) juga mengadopsi peraturan FAA dan standar internasional lain.
Komisaris Utama Merpati Nusantara Airlines, M Said Didu, juga pernah merasakan terbang 20 jam dengan pesawat MA-60 itu. “Pesawat ini dikendalikan dengan cara autopilot, dan cockpit-nya mirip Airbus,” ujar Said Didu.
Dilihat dari spesifikasinya, kata Said, pesawat ini memakai kokpit teknologi Amerika Serikat (AS). Mesinnya perpaduan teknologi AS dan Kanada, seperti lazim dipakai banyak maskapai. Sayapnya berteknologi Rusia. “Hanya badan pesawat yang dibangun China”.
Said Didu mengaku menempuh rute dari China sampai ke Indonesia. Dia bertolak dari Xian, lalu singgah di Kunming, Bangkok, Medan, lalu ke Jakarta. Apakah dia cemas? “Tidak. Saya nyaman sekali. Di pesawat, kami santai sambil main kartu remi,” ujarnya. (np)