Celah Baru Korupsi KPU
- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
VIVA – Penangkapan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan membuka modus baru korupsi dalam tubuh lembaga negara tersebut. Korupsi tak hanya terjadi dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, tapi juga dalam proses Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota dewan.
Wahyu Setiawan ditangkap tangan di Bandara Soekarno Hatta, 8 Januari 2020. KPK menengarai Wahyu menerima suap dengan menjanjikan politisi PDI Perjuangan, Harun Masiku bisa ditetapkan menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024. Menurut Wakil Ketua KPK, Lily Pintauli Siregar, Wahyu diduga meminta uang hingga Rp900 juta ke Harun.
Selain Wahyu, KPK juga menangkap tujuh orang lainnya yang diduga terlibat dalam dugaan korupsi ini. Namun, dari tujuh yang ditangkap, hanya empat yang menjadi tersangka, yaitu Wahyu Setiawan, Saeful, Agustiani Tio Fridelina, dan Harun Masiku. Hingga saat ini, Harun Masiku belum ditangkap.
Menurut KPK, Wahyu diduga meminta uang untuk memuluskan langkah Harun menggantikan Nazarudin Kiemas, caleg DPR RI dari Fraksi PDIP yang meninggal dunia pada 26 Maret 2019. Menurut UU, seharusnya Nazarudin digantikan oleh Riezky Aprilia yang perolehan suaranya saat pileg paling tinggi.
Wahyu diduga sudah menerima Rp600 juta dari permintaan Rp900 juta. Saat OTT, tim penindakan KPK telah menyita uang Rp400 juta. Uang tersebut dititipkan Wahyu pada Agustiani Tio. Wahyu tak berkutik. Ia kemudian mengundurkan diri sebagai komisioner KPU dan meminta maaf kepada publik secara terbuka.
Untuk pertama kalinya, isu korupsi pada proses PAW mencuat. Selama ini, korupsi di KPU berkisar pada pengadaan logistik. Kasus ini dianggap sebagai modus operandi baru di KPU. Apalagi, kali ini menjelang Pilkada Serentak 2020. Publik mulai meragukan independensi KPU.
Sebagai partai yang namanya disebut dalam kasus Wahyu Setiawan, PDI Perjuangan memberikan jawaban. Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, mengatakan PAW adalah wilayah wewenang setiap rumah tangga parpol, yang semuanya itu dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis yang menyangkut eksistensi parpol, UU Parpol.
Ahmad Basarah mengatakan, parpol diberikan kewenangan mengatur segala sesuatu yang menyangkut rumah tangga kepartaiannya termasuk menyangkut tentang penugasan anggota dan juga ada UU DPR MPR. UU itu yang menjadi dasar. Di PDIP, ujarnya, PAW anggota DPR itu lumrah dilakukan dan dilakukan juga oleh partai lain. Dan memang anggota parpol itu wewenang pengaturannya ada di pimpinan partai.
"Nah, PAW DPR RI yang bukan pemegang suara berikutnya pernah terjadi atas nama Eva Sundari. Saya lupa dia PAW Pramono Anung atau siapa. Bu Eva ini bukan pemegang suara terbanyak berikutnya, tetapi karena partai punya pertimbangan memerlukan Eva, akhirnya pemegang suara berikutnya kita minta untuk mundur," ujarnya menjelaskan.
Selain Eva, juga ada Abidin Fikri Komisi IX. Pada periode lalu Abidin menjadi anggota DPR PAW menggantikan kader yang lain. Padahal, Abidin juga bukan pemegang suara terbanyak berikutnya. Lalu, ada lagi Sayid Muhammad jadi anggota DPR PAW.
"Kebetulan saya yang urus, Alhamdulillah lancar saja, karena itu wewenang partai. Di partai lain juga terjadi, coba cek kasusnya Mulan Jameela di Gerindra dan sebagainya. Jadi urusan PAW anggota DPR RI di Sumsel I itu yurisdiksi politik organisasi kami," ujarnya menegaskan.
PAW, Celah Baru Korupsi KPU
Dalam pasal 23 Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD dijelaskan, bacaleg yang sudah ditetapkan sebagai Daftar Caleg Sementara (DCS) dan meninggal dunia, bisa diganti. Menurut pasal tersebut calon pengganti tidak dapat diajukan, dan urutan nama dalam DCS disesuaikan oleh KPU, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU/KIP Kabupaten/Kota berdasarkan urutan berikutnya.
Dalam kasus meninggalnya Nazarudin Kiemas, urutan setelahnya dalam perolehan suara adalah Riezky Aprilia. Seharusnya, Riezky yang langsung menggantikan Nazarudin Kiemas. Namun, Harun Masiku tak menyerah. Ia mencoba usaha dengan melibatkan Wahyu Setiawan.
Peneliti Hukum Perludem, Fadli Ramadhani mengatakan, PAW adalah wewenang penuh dan otoritas partai. Sebetulnya PAW itu wewenangnya menjadi otoritas penuh partai. Jadi tak ada hubungannya dengan KPU. Menurut Fadhil, bisa dikatakan tidak ada celah bagi KPU untuk bermain di dalam proses PAW.
"Karena mekanismenya, parpol yang memutuskan siapa anggota DPR dari partainya yang akan di-PAW. Kemudian mereka bersurat ke pimpinan DPR, DPR bersurat ke KPU, hanya untuk mengecek dan memastikan, siapa caleg di pemilu sebelumnya yang memperoleh suara terbanyak berikut setelah caleg yang di-PAW," ujarnya menjelaskan.
Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyebut kasus suap yang terkait dengan Wahyu Setiawan sebagai modus baru dalam korupsi di KPU. Sebab, selama ini tak terdengar ada proses PAW anggota dewan yang ternyata bisa tarik ulur dengan KPU.
Menurut Ahmad Doli, UU yang berlaku selama ini kalau ada anggota DPR yang berhalangan tetap (seperti) meninggal dan sebagainya, sistem yang dianut masih proporsional terbuka. Pada sistem proporsional terbuka, yang dihitung adalah suara terbanyak.
"Nah, oleh karena itu, selama UU-nya belum diubah ya mekanisme itu yang berlaku. Jadi kalau ada yang meninggal, ada yang mengundurkan diri, ya yang menggantikan itu adalah suara terbanyak yang berikutnya," ujarnya kepada VIVAnews.
Ahmad Doli mengatakan, hak prerogatif partai tak bisa serta merta menggantinya. Karena partai tak bisa menunjuk pengganti sesuai kemauan partai, maka peluang korupsi itu terbuka. "Kalau itu berlaku, kan enggak akan ada suap menyuap di KPU," ujarnya.
Kamrussamad, anggota Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Gerindra menyesalkan kasus yang menjerat Wahyu. Menurutnya, proses PAW sesungguhnya menjadi keputusan partai. Tahapannya dimulai dari partai politik dan bagi partai politik bisa saja melakukan review jika ada anggota parlemennya yang dinilai perlu diganti.
Ia merujuk ke UU nomor 7 tahun 2017 tentang aturan yang proporsional terbuka, yaitu suara terbanyak. "Jadi ya semestinya yang peringkat suaranya terbanyak berhak menggantikan," ujarnya.
Menurutnya, hal yang lebih penting lagi yang perlu ditekankan adalah penyelenggara pemilu harus berpegang teguh kepada undang-undang yang sudah berlaku, sehingga tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari."Apalagi kalau sudah ditetapkan di pleno. Apalagi, kalau sudah berjalan keputusan-keputusannya supaya tetap dipertahankan jika memang sudah sesuai dengan undang-undang," ujarnya menambahkan.
Menurut Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, harusnya PAW tak bisa menjadi celah untuk korupsi. Sebab, aturan soal PAW sudah sangat jelas. Tapi, dengan adanya pintu lain seperti Keputusan Mahkamah Agung atau PTUN membuat KPU ada dalam posisi sulit.
Mardani mengusulkan KPU menjadi lembaga yang lebih transparan dan akuntabel untuk menutup semua celah yang berpotensi korupsi. "Saya tetap yakin dengan pendekatan akuntabilitas dan pengawasan, KPU dan jajarannya akan mampu menjaga pemilu kita," ujarnya.
Korupsi di Lembaga Penyelenggara Pemilu
Kasus Wahyu Setiawan mengingatkan kembali kasus-kasus korupsi yang pernah terjadi di lembaga penting tersebut. Peneliti ICW, Donald Faridz, mengakui KPU rentan korupsi. Kasus korupsi dalam bentuk apa pun terbuka untuk terjadi di lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Sebab, salah satu ciri korupsi di Indonesia, menurut Donald, adalah korupsi politik atau korupsi yang terjadi di sektor politik.
"Sementara KPU bekerja dengan irisan, aktor-aktor, dan agenda politik, sehingga kemudian dia bekerja di dalam episentrum besar potensi korupsi politik itu terjadi di sektor elektoral," ujarnya.
Sebelum Wahyu, tercatat empat nama lain yang terjerat kasus korupsi saat menjabat sebagai komisioner KPU. Bedanya, modus operandi yang dilakukan Wahyu tergolong baru. Empat kasus lainnya terkait korupsi dalam pengadaan barang dan logistik. Komisioner yang terjerat kasus antara lain Mulyana W Kusumah, Nazarudin Syamsudin, Daan Dimara, dan Rusadi Kantaprawira.
Nama Nazarudin Syamsudin menjadi komisioner KPU yang berurusan dengan kasus korupsi. Ia adalah Ketua KPU periode 2001-2005. Nazaruddin terbukti bersalah dalam pengadaan asuransi bagi petugas Pemilu 2004 dan dalam pengelolaan dana rekanan KPU, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp14,1 miliar.
Kasus korupsi berikutnya yang terjadi di KPU mengejutkan publik karena melibatkan nama yang sangat populer, yaitu Mulyana W Kusumah. Sebelum bergabung dengan KPU dan akhirnya tertangkap karena korupsi, Mulyana terkenal sebagai aktivis yang kritis. Sayang faktanya tak seperti itu. Mulyana mulai menjabat komisioner KPU sejak tahun 2001. Ia terbukti bersalah telah menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khairiansyah Salman. Mulyana juga dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004.
Komisioner KPU lainnya, Daan Dimara, juga terseret kasus korupsi. Daan dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan segel surat suara Pemilihan Umum legislatif 2004. Sedangkan Rusadi dinyatakan bersalah karena terseret kasus korupsi dalam pengadaan tinta pemilu tahun 2004.
Komisioner KPU, Viryan Aziz, memastikan, apa yang terjadi pada Wahyu Setiawan adalah bukan terjadi pada KPU secara lembaga. Jadi seharusnya itu tidak merendahkan kerja KPU secara keseluruhan. Prinsipnya, ujar Viryan, kita lebih bekerja secara sistemik.
"Penyelesaian secara emosional, itu tidak meningkatkan kapasitas lembaga. Kami fokus meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan penyelenggara. Kualitas penyelenggaraan terjamin dan kualitas penyelenggara terjaga. Penyelenggara pemilu yang kena ott sudah mundur orangnya," ujarnya.
Ia menganalogikan kasus penangkapan Wahyu dengan salat jemaah. "Misal imam salat di depan, imamnya batal, kan tidak lantas salatnya batal. Imamnya batal lalu diganti sama lainnya." ujarnya menjelaskan.
Jadi, kata Viryan, dalam konteks tersebut semangat pemberantasan korupsi KPU tetap tinggi. Dan KPU tetap satu visi dengan lembaga-lembaga lain soal pemberantasan korupsi dan mempersilakan publik untuk melakukan penilaian.
Kasus korupsi Wahyu Setiawan terjadi hanya hitungan bulan jelang Pilkada serentak 2020. Menyadari itu, Ketua KPU, Arief Budiman, meminta seluruh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk mawas diri dan meningkatkan kinerja dengan penuh integritas.
"Saya tidak mau, setiap pesan saya yang saya sampaikan dalam semua pelantikan tentang pesan-pesan integritas, transparan, kemudian profesionalitas itu kemudian dianggap hanya sebagai ungkapan lisan saja, tidak boleh, itu harus diimplementasikan. Jadi saya menekankan itu kembali," ujarnya.
Baca Juga
Dari Mulyana hingga Wahyu Setiawan
Pilkada Serentak dan Korupsi KPU Daerah