Ragu Pada Wajah Baru
- Vivanews
VIVA – Tanggal 20 Desember 2019 seperti menjadi noktah merah dalam perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hari itu, Presiden Jokowi melantik Komjen Firli Bahuri menjadi Ketua KPK untuk masa jabatan 2019-2023. Sekaligus melantik Dewan Pengawas KPK yang keberadaannya terus mendapat penolakan.
Para pimpinan baru ini dilantik berdasarkan Keppres Nomor 112/P Tahun 2019 tanggal 21 Oktober 2019 dan Keppres Nomor 129/P Tahun 2019 tanggal 2 Desember tentang pengangkatan pimpinan KPK untuk masa jabatan tahun 2019-2023. Dan, sejak periode ini pula UU KPK hasil revisi diberlakukan. Padahal pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut mendapat penolakan besar-besaran.
Firli sudah ditolak, bahkan sejak ia mulai mendaftarkan diri. Menurut KPK, ketika menjadi penyidik, Firli pernah melakukan pelanggaran etik berat. Tapi ia mengajukan mundur sebelum dipecat. Meski penolakan terhadap Firli tinggi, tapi pemerintah bergeming. Langkah Firli sejak ia mengajukan diri menjadi anggota KPK hingga akhirnya menjadi Ketua KPK terbilang lancar. Ia bergerak nyaris tanpa hambatan hingga akhirnya Jokowi melantiknya menjadi Ketua KPK yang baru. Bersama Firli, Jokowi juga melantik Lili Pintauli Siregar, Nurul Gufron, Nawawi Pomolango, dan Alexander Marwata.
Berbarengan dengan itu, Presiden Jokowi juga melantik Dewan Pengawas KPK. Ini adalah lembaga baru sebagai amanat dari UU KPK hasil revisi. Pelantikan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI dengan Keppres Nomor 140/P Tahun 2019 tentang pengangkatan keanggotaan Dewan Pengawas KPK masa jabatan 2019-2023.
Keberadaan Dewan Pengawas KPK sempat menuai kontroversi. Sebab, keberadaan lembaga ini mengurangi kewenangan KPK yang selama ini bergerak sebagai lembaga yang super body. Dewan Pengawas KPK diisi oleh nama-nama yang sudah ramai disebutkan sebelumnya, yaitu Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua), Albertina Ho (Anggota), Artidjo Alkostar (Anggota), Harjono (Anggota) dan Syamsuddin Haris (Anggota).
Jelang pelantikan dan pengesahan UU KPK hasil revisi, aksi massa menguat. Nyaris seluruh kota besar di Indonesia terjadi demonstrasi yang menyuarakan hal sama, menolak pengesahan UU KPK hasil revisi. Aksi demonstrasi ini dibarengi dengan drama di tubuh KPK. Tiga pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M. Syarif mengembalikan mandat.
Menurut Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, pengembalian mandat dilakukan oleh mereka setelah permintaan mereka untuk bertemu dengan presiden tak jua mendapatkan respon. Dan Presiden adalah panglima utama dalam pemberantasan korupsi, sehingga selayaknya mandat tersebut dikembalikan kepada Presiden.
Presiden Jokowi menanggapi hal tersebut dengan mengatakan tak ada aturan dalam UU soal pengembalian mandat. "Dalam UU KPK tidak ada, tidak mengenal istilah mengembalikan mandat," ujarnya.
Menurutnya, pimpinan KPK bisa melepaskan jabatan sebelum jabatannya berakhir disebabkan oleh tiga hal, yaitu mengundurkan diri, meninggal dunia, dan terjerat tindak pidana.
KPK Baru dan Keraguan Pemberantasan Korupsi
Indonesian Corruption Watch (ICW) menjadi lembaga yang paling gencar menolak jajaran Komisioner KPK yang baru dan keberadaan Dewan Pengawas KPK. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, KPK sekarang dikuasai oleh orang jahat. ICW tetap tegas menolak Firli Bahuri berada dalam KPK, bahkan menjabat sebagai ketua.
"Kita pesimistis mereka mempunyai visi pemberantasan korupsi yang benar-benar membawa KPK ke arah lebih baik," ujar Kurnia.
Ia juga menyinggung kinerja KPK baru yang harus bekerja dengan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan hingga penuntutan.
Menurut Kurnia, persetujuan Jokowi atas keberadaan Dewan Pengawas KPK menunjukkan Jokowi tak memiliki konsep penguatan KPK. Sebab yang dilakukan presiden malah melemahkan KPK. Dengan yakin, Kurnia mengatakan, empat tahun ke depan akan menjadi kinerja yang paling suram dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam diskusi 'Catatan Akhir Tahun ICW' pekan lalu, Kurnia menyebut 2019 sebagai tahun paling buruk bagi pemberantasan korupsi dan tahun kehancuran bagi KPK yang benar-benar disponsori langsung oleh Presiden Joko Widodo dan juga anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024.
Kurnia menyebut Istana dan DPR berhasil meloloskan lima figur pimpinan KPK yang dinilai ICW sebagai pimpinan terburuk sepanjang sejarah KPK, karena dihasilkan dari proses seleksi yang banyak menuai persoalan.
Selain Firli yang dianggap bermasalah, anggota KPK lain yang juga dipertanyakan publik adalah Lili Pintauli Siregar. Perempuan asal Bangka Belitung ini berprofesi sebagai advokat. Meski pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), periode 2013-2018, tapi Lili juga pernah mendampingi Komjen Susno Duadji saat ia divonis 3,5 tahun penjara, termasuk kasus korupsi proyek Sea Games 2012. Hal ini menjadi catatan yang membuat publik meragukan Lili bergabung dengan KPK.
Sementara Nawawi Pomolango adalah hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia juga pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia tercatat pernah menangani kasus suap pengaturan kuota impor sapi dan pencucian uang yang menjerat mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Nawawi juga tercatat pernah menangani kasus suap yang melibatkan mantan Hakim MK Patrialis Akbar pada 2017.
Komisioner KPK yang lain adalah Alexander Marwata. Ia adalah satu-satunya petahana yang menjabat kembali sebagai komisioner KPK. Alexander sebelumnya menjadi bagian dari KPK periode 2015-2019. Sedangkan Nurul Gufron adalah satu-satunya yang berlatar belakang akademisi. Ia adalah Dekan dari Universitas Jember. Ia juga menjadi pimpinan termuda di antara yang lain, dan pernah bekerja sebagai pengacara.
Presiden Tetap Optimistis
Seperti biasa, meski mendapat tentangan dan kritikan tajam, Presiden Jokowi bergeming. Ia memastikan bahwa mereka yang sekarang berada dalam tubuh KPK adalah orang-orang baik yang mampu mengemban amanah untuk memberantas korupsi.
Saat melantik para anggota Dewan Pengawas, Jokowi juga menegaskan bahwa mereka yang terpilih itu adalah orang-orang baik yang memiliki kapabilitas dan integritas. Menurutnya, penguatan KPK betul-betul nyata. Dengan komposisi seperti saat ini, maka pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara sistematis sehingga betul-betul memberikan dampak yang baik bagi ekonomi, bagi negara Indonesia.
“Saya meyakini insyaallah beliau-beliau, ketua KPK dan komisioner KPK bisa membawa KPK yang lebih baik dengan didampingi Dewas KPK,” ujar Jokowi usai pelantikan.
Khusus tentang Dewan Pengawas, Presiden berkeyakinan mereka yang dipilih adalah orang-orang yang baik, memiliki kapabilitas dan integritas, juga mumpuni dalam hal-hal yang berkaitan dengan wilayah hukum. Apalagi, mereka berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda. Ada mantan hakim, hakim aktif, mantan pimpinan KPK, akademisi hingga hakim mahkamah konstitusi.
"Saya kira sebuah kombinasi yang sangat baik sehingga memberikan fungsi, terutama fungsi kontrol dan pengawasan terhadap komisioner KPK," katanya.
Jokowi menunjuk Tumpak yang memiliki latar belakang sebagai pimpinan KPK, dan pengalaman itu pula yang membuat Tumpak dipilih sebagai Ketua Dewan Pengawas. [mus]