Gurihnya Dinasti Politik
- VIVAnews/Dwi Royanto
VIVAnews – Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, akhirnya resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon Wali Kota Solo untuk Pilkada 2020. Sebelum mendaftarkan diri, Gibran mendatangi kediaman eyang putrinya, Sudjiatmi Notomihardjo, di kawasan Kampung Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Ia datang meminta restu.
Hari berikutnya, Kamis, 12 Desember 2019, putra pertama Presiden Jokowi ini berangkat menuju kantor DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah. Didampingi sekitar 1.000 pendukungnya, Gibran menyampaikan permohonan agar diberi restu dan mendapat dukungan dari warga Solo.
"Saya mohon doa restu dan dukungan agar saya diberikan kekuatan dan kelancaran dalam melaksanakan pendaftaran sebagai bakal calon wali kota melalui DPD PDIP Jateng," ujar Gibran kepada awak media.
Di Medan, Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi, juga mendaftarkan diri ke DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara untuk maju dalam pemilihan Wali Kota Medan. Bobby mengaku sangat siap, dan Presiden Jokowi juga tak mempersoalkan pilihannya. Menurut Bobby, mertuanya itu tak pernah mempersoalkan pilihan anak dan menantunya. Jokowi membebaskan, apakah anak atau menantunya ingin jadi PNS, profesional, pengusaha, atau politisi.
"Kalau masalah restu, Pak Jokowi terserah saja. Jadi memang tidak pernah menekan," ujarnya.
Kepada wartawan, Jokowi juga meminta agar memberitakan dengan cermat. Ia meminta wartawan bertanya langsung ke anak-anaknya, karena itu adalah keputusan mereka. Jokowi juga memastikan, Pilkada adalah kompetisi, yang bisa menang, juga bisa kalah. Jadi rakyat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki.
Siapapun punya hak pilih dan dipilih. Ya kalau rakyat enggak memilih gimana? Ini kompetisi, bukan penunjukan. Beda. Tolong dibedakan," ujar Jokowi.
Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko juga mengatakan tak ada yang bisa menghalangi hak politik seseorang selama tidak melanggar ketentuan undang-undang. Ia memastikan Istana tak akan ikut campur dalam proses tersebut, meski ada anak dan menantu presiden yang ikut dalam kontestasi pilkada.
Bobby dan Gibran mengaku berangkat dengan semangat yang sama. Keduanya mengatakan ingin membangun kota tempat tinggal mereka agar bertambah maju dan menyejahterakan warganya. Tapi, pendapat yang tak setuju mengatakan, apa yang dilakukan Gibran dan Bobby, dan sikap Jokowi yang tak menahan keduanya jadi terasa sebagai sebuah upaya untuk membangun dinasti politik.
Dinasti Politik, Sejak Soekarno hingga Kini
Gibran dan Bobby hanya satu contoh dari dinasti politik yang bertebaran. Bedanya, Gibran dan Bobby baru mencalonkan diri dan belum menggenggam jabatan.
Tapi, menurut Dini Suryani, peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, apa yang sedang dilakukan oleh Gibran dan Bobby sudah bisa disebut sebagai dinasti politik.
"Karena yang dimaksud dengan politik dinasti adalah di mana ada sebuah keluarga yang memonopoli kekuasaan politik dan jabatan publik dari generasi ke generasi dan menggunakan jabatan publik," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 19 Desember 2019.
Menurut Dini, sah-sah saja jika Gibran dan Bobby memiliki ketertarikan politik, tapi sebaiknya dilakukan ketika Jokowi sudah tak lagi menjabat sebagai presiden. Apalagi, sebenarnya di Solo, PDI Perjuangan sudah memiliki calon yang kuat dan memang sudah mengabdi kepada partai sekian lama dengan track record yang jelas di dunia politik.
Tetapi, ujarnya, partai hari ini sangat pragmatis, jika ada kemungkinan elektabilitas Gibran (dan Bobby) yang semakin meningkat, bukan tidak mungkin calon yang sudah disiapkan sebelumnya akan digantikan oleh anak-anak presiden ini.
Menurut Dini, dinasti politik sudah berkembang sejak klan Soekarno yang mewariskan Megawati, Sukmawati, dan Guruh Soekarnoputra hingga Puan Maharani. Lalu, ada klan Soeharto yang mewariskan seluruh anaknya dalam dunia politik, juga klan Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya trah mantan presiden, politisi yang melanggengkan politik dinasti juga terjadi. Amien Rais dengan Hanafi dan Hanum Rais, juga Surya Paloh dan Prananda Surya Paloh.
Menurut Dini, apa yang dilakukan para pemimpin negara itu, juga pejabat lainnya adalah politik dinasti. "Karena yang dimaksud dengan politik dinasti adalah di mana ada sebuah keluarga yang memonopoli kekuasaan politik dan jabatan publik dari generasi ke generasi dan menggunakan jabatan publik," ujarnya.
Kecenderungan politik dinasti terjadi di banyak wilayah, tak sedikit kepala daerah yang memberi kesempatan pada anggota keluarganya untuk memiliki jabatan di berbagai lini pemerintahan juga di legislatif. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pernah menyampaikan, ada 48 calon legislatif periode 2019-2024 yang mungkin menciptakan dinasti politik di partai politik, kepala daerah, dan di parlemen.
Formappi menunjuk politik dinasti yang terjadi di Bontang, Kalimantan Timur. Di Bontang, Ketua DPRD Andi Faisal Sofyan Hasdam dan Wali Kota Neni Moerniaeni adalah anak dan ibu. Sebelumnya, ayah Andi yaitu Sofyan Hasdam juga pernah memegang jabatan sebagai Wali Kota Bontang selama dua periode
atau 10 tahun.
Contoh lainnya adalah di Blitar. Dua istri Wakil Bupati Blitar dilantik menjadi Kepala Desa (Kades). Halla Unariyanti menjabat sebagai Kades Desa Bendosewu, Kecamatan Talun dan Fendriana Anitasari menjabat sebagai Kepala Desa Wonejo untuk periode kedua, juga di Kecamatan Talun. Keduanya adalah istri dari Wakil Bupati Blitar, Marhaenis Urip Widodo.
Di Banten, siapa yang tak kenal bagaimana keluarga Haji Tubagus Chasan, ayah dari Ratu Atut Chosiyah yang menguasai nyaris seluruh pemerintahan di wilayah mereka. Suami Atut, adik-adiknya, iparnya hingga ibu tiri Atut bergantian mengisi jabatan sebagai Gubernur, anggota DPRD, bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Tahun 2018, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, yang merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara ditangkap KPK karena terlibat kasus suap. Anak dan ayah itu diduga menerima suap di proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018. Di Kutai Kartanegara, Syaukani Hassan Rais mewariskan posisi Bupati Kukar kepada anaknya, Rita Widyasari. Namun, akhirnya keduanya ditangkap oleh KPK karena kasus korupsi.
Di Bangkalan, Madura, politik dinasti juga terjadi. Mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, menjabat sebagai bupati selama 10 tahun mulai 2003 hingga 2013. Ketika Fuad turun jabatan, posisinya digantikan oleh anaknya sendiri, Makmun Ibnu Fuad. Tahun 2014, Fuad terpilih menjadi anggota DPRD Bangkalan dan dilantik oleh anaknya sendiri. Ia kemudian terpilih menjadi Ketua DPRD tahun 2014-2019.
Rugikan Publik
Keputusan Gibran dan Bobby maju dalam Pilkada 2020 menjadi perbincangan hangat. Secara regulasi, memang tak ada larangan anak dan menantu presiden untuk ikut dalam Pilkada saat orangtua mereka menjabat. Tapi, melanggengkan kekuasaan melalui lingkaran keluarga menjadi cibiran publik karena Jokowi selama ini seolah menjadi tokoh yang tak melibatkan anggota keluarga dalam lingkaran kekuasaan.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PDIP, Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul, mengatakan tak bisa menjamin apakah Gibran akan berhasil mengungguli kader yang dijagokan oleh PDIP Surakarta. Kader PDIP Solo Ahmad Purnomo sudah memastikan maju, dan Gibran masuk melalui DPD Jawa Tengah.
"Solo itu dampaknya nasional, saya kira nanti Ketua Umum yang akan ambil keputusan," ujarnya.
Bambang Pacul menjamin, jika Gibran yang dipilih oleh Ketum PDIP, maka tak akan terjadi perpecahan di tubuh PDI Perjuangan. Karena PDIP adalah partai yang solid hingga ke akar rumput.
Pencalonan Gibran dan Bobby ternyata tak dipersoalkan oleh kader partai. Hinca Panjaitan dari Partai Demokrat mengatakan, sepanjang dia dipilih oleh masyarakat, pemilihannya fair, tidak ada hal-hal yang melanggar UU, maka itu adalah keniscayaan demokrasi.
"Dalam demokrasi, bisa memilih profesor, yang tidak berpendidikan, bisa anak presiden, bisa juga bukan anak presiden, tergantung popularitas dan keinginan publik memilihnya. Jadi demokrasi itu hebat sekaligus ada kelemahannya. Bisa terpilih siapa saja sesuai keinginan publik. Jadi, apakah dia anak presiden, apakah bukan anak presiden semua mempunyai kesempatan yang sama," ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional, Drajad Wibowo, juga mengatakan tak ada yang salah dengan keputusan Gibran dan Bobby untuk maju dalam panggung politik. Bahkan, jika mereka memanfaatkan nama bapaknya sebagai Presiden RI.
"Secara politik riil, nama orangtua atau saudara bisa menjadi daya tarik bagi pemilih. Bahkan bisa menjadi faktor penentu kemenangan, baik dalam pilkada maupun pileg tingkat nasional dan daerah. Banyak sekali tokoh nasional dan daerah yang anaknya atau saudaranya terpilih sebagai kepala daerah atau anggota DPR/ DPRD," tutur Drajad.
Drajad menambahkan, adalah hak konstitusional Gibran dan Bobby untuk maju. Soal menang kalah adalah keputusan politik pemilih setempat.
Politisi PKS, Mardani Ali Sera juga tak mempersoalkan siapa saja yang maju untuk ikut serta dalam kontestasi politik. Tapi, di atas hak ada etika, yang perlu dipertimbangkan.
"Saat ini kita sedang menjaga ruang publik. Penting untuk semua pihak tidak membangun budaya yang diindikasikan nepotisme. Akan sangat baik anak atau kerabat siapapun menghargai proses. Mulai dari bawah. Bukan sekadar menang Pilkada atau kontestasi publik tapi yang utama dapat merasakan tanggung jawab besar utk memajukan daerah.
Menurut Dini Suryani, kecenderungan terjadinya dinasti politik akan langgeng. Sebab, ketika jabatan politik sudah didapat oleh beberapa anggota keluarga, maka akan lebih mudah untuk mendapat jabatan lain. Cara mempertahankannya adalah dengan terus menaruh anggota keluarga di jabatan-jabatan publik dari baik dalam kekerabatan vertikal (anak, cucu, dan seterusnya) maupun horizontal (istri, ipar, sepupu, dan seterusnya).
"Dalam peletakan anggota keluarga tersebut, faktor kekerabatan lebih dominan dibanding faktor kompetensi yang bersangkutan," ujarnya.
Tapi, ujar Dini, politik dinasti jelas merugikan publik. Ia mengutip adagium dalam ilmu politik yang disampaikan oleh Lord Acton, yaitu 'power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.' (Kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korupsi. Kekuasaan yang absolut, juga akan absolut korupsi.)
Politik dinasti juga membuat kekuasaan terpusat di satu kelompok, dan itu akan memperbesar kemungkinan kekuasaannya untuk dikorupsi. Secara teknis, ujar Dini, fungsi 'checks and balances' tidak akan jalan jika pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif berasal dari satu keluarga.
Dini lalu menunjuk Banten yang terjebak dalam gurita politik dinasti selama puluhan tahun. Sebagai wilayah yang terdekat dengan ibu kota, Banten seharusnya bisa lebih maju. Tetapi, karena anggaran negara dikuasai oleh beberapa kelompok (sebagai catatan politik dinasti di Banten bukan hanya klan Atut), masyarakat tidak bisa merasakan dampak pembangunan secara maksimal.
Baca Juga