Penerbangan Kita Sedang Bersih-bersih
- VIVA/M Ali Wafa
VIVANews – Skandal penyelundupan motor mewah Harley Davidson dan sepeda Brompton dalam pesawat baru Airbus Garuda Indonesia telah membuat Menteri BUMN, Erick Thohir, memecat Direktur Utama Garuda Ari Askhara dan jajaran direksinya. Penyelundupan ini diduga telah dilakukan secara secara sistematis oleh direksi Garuda hingga menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp1,5 miliar.
Penyelundupan atau jasa titip barang-barang mewah dalam bagasi penumpang pesawat ternyata merupakan praktik yang lazim terjadi. Ketua Perhimpunan Profesi Pilot Indonesia (PPPI), Rizki Budimansyah, mengakui hal itu.
Dia pun mengungkapkan carut marut kondisi industri penerbangan nasional kepada tim VIVAnews.com mulai dari praktik penyelundupan barang mewah dalam pesawat, sistem kerja kru penerbangan yang melebihi kewajaran, biaya pelatihan pilot yang mencapai ratusan juta, hingga lemahnya tingkat ketepatan waktu penerbangan.
Rizki juga menuturkan sejumlah perbaikan yang sudah dan perlu dilakukan untuk memperbaiki industri dan keselamatan penerbangan.
Berikut petikan wawancara khusus tim VIVAnews.com dengan Rizki Budimansyah di Bandara Soekarno Hatta, Kamis 12 Desember 2019.
Industri penerbangan Tanah Air kembali terkena kasus tidak mengenakkan. Sebenarnya seperti apa carut marut industri penerbangan?
Pada prinsipnya semua sedang berproses. Dalam artian penerbangan Indonesia salah satu yang sedang dibersihkan dalam urusan segala hal. Jadi carut marut yang ada sekarang ini sedikit efek dari pemerintahan sebelumnya.
Dalam artian, dalam rangka pembersihan ini banyak yang "kesikat". Kebetulan kita PPPI dekat dengan Pak Menteri. Jadi hal-hal yang sedang dibereskan ini banyak sekali. Yang menjadi sasaran utama sebenarnya masalah kesadaran profesionalisme saja.
Dengan kejadian Dirut Garuda menyelundupkan Harley, apa itu sudah rahasia umum? Apa memang Garudanya sedang apes?
Sebenarnya secara prinsip saya enggak bisa berani berkomentar banyak, karena ini sedang dalam masa pengusutan. Tapi, masalah seperti itu ternyata di mana-mana juga ada. Masalah apesnya dia, ya mungkin juga, tapi saya enggak bisa berkomentar banyak. Karena entar saya salah komentar, nanti sayanya yang kena, intinya sih seperti itu.
Perbuatan penyelundupan itu oleh oknum atau korporasi?
Itu oknum. Korporasi juga ada. Makanya saya bilang tadi, bersih-bersih itu harus benar-benar bersih sebersih-bersihnya. Ya, itu memang sekarang susah sih.Tercium kan di mana-mana.
Terkait aturan jam kerja kru pesawat seperti apa?
Dalam satu hari kerja, kita untuk kru normal itu untuk dua kokpit 14 jam per hari. Jam kerja kita adalah 9 jam. Kalau kita bertambah kokpitnya 3 orang, bertambah lagi jamnya. Sama juga dengan pramugari. Itu yang menjadi acuan kerja kita.
Garuda 8 jam pulang pergi, apakah itu di luar batas kewajaran?
Nah, itu yang saya bilang tadi, mereka mencoba reduce cost. Katakanlah mereka tidak ingin membiayai hotel di tempat tujuan, jadi dibawa lagi krunya. Ada pelanggaran yang terjadi. Yang menjadi masalah adalah ada kebijakan-kebijakan setempat. Ada pemikiran masalah CRP (cost reduction program). Seperti yang tadi, kru yang seharusnya aktif sekian jam, tapi dimanfaatkan waktunya di luar batasan tadi.
Selain itu ada kelemahan lain di sistem penerbangan kita?
Kelemahan sistem penerbangan Indonesia sebenarnya sih alhamdulillah berangsur baik ya. Alhamdulillah naik kelas dari kategori 2 ke kategori 1. Dalam artian penerbangan Indonesia sudah boleh lagi terbang ke Amerika, ke Eropa. Dalam artian sudah naik kelas. Yang menjadi masalah, bukan berarti kita sudah aman. Karena kita juga butuh harus mendorong supaya jangan turun lagi ke kelas 2. Kalau di kelas 2, kita tidak boleh terbang ke daerah tertentu.
Kalau sekarang kita lebih banyak memperbaiki. Masalah pasti ada. Kayak sekarang Pak Menteri lagi fokus bagaimana transportasi di Indonesia ini menjadi sesuatu yang paling aman, dan nyaman. Perlu perbaikan di semua sisi. Perbaikan itu juga yang membutuhkan orang-orang seperti beliau-beliau ini sekarang, yang istilahnya kerja, kerja, kerja.
Rekam jejak penerbangan Indonesia banyak terjadi kecelakaan, itu kenapa?
Sebenarnya banyak kecelakaan kalau kita hitung dari tahun-tahun belakangan ini saya pikir bukan juga sesuatu yang banyak. Jadi ternyata keselamatan transportasi udara ini adalah yang paling baik di seluruh transportasi yang ada. Seperti kasus tahun lalu, kejadiannya JT610, kemudian di Ethiopia dengan pesawat yang sama. Di awal ini disebutin adalah kesalahan Lion Group, bla bla bla, tetapi dua bulan kemudian ada kejadian di Ethiopia. Kesalahannya adalah manufacture problem. Itu problemnya manufaktur.
Dengan jumlah penerbangan yang banyak, dan jumlah kecelakaan yang seperti itu, boleh dibilang angka kecelakaannya cukup kecil. Kalau secara prinsip, pesawat paling modern, semakin gampang pilot mengendalikannya. Karena pilot dalam kondisi normal, dia harus bisa, kondisi abnormal juga harus bisa. Kondisi darurat harus bisa. Yang ditakutkan misalnya dalam kondisi abnormal, dia bukannya enggak bisa, cuma ditakutkan dia tidak pas. Terbiasa canggih. Cuma karena terbiasa sudah enak, nanti pas emergency jadi bingung.
Soal PIlot
Ada yang menuding kecelakaan JT610 karena kesalahan pilot, seperti apa pelatihan pilot-pilot di Indonesia?
Buat sistem pelatihan yang ada, kebetulan saya di Batik, Lion Group, kita punya pusat pelatihan di Balaraja. Itu sudah proven oleh ATO (Approved Training Organizations), Airbus Training Operator di Prancis.
Kemudian juga Garuda punya Garuda Training Center di Kosambi. Itu pun saya pikir sudah mumpuni. Saya pikir sekarang kita udah punya semuanya yang bagus. Cuma problemnya masalah co-pilot, kemudian supaya dia menjadi profesional, kita dari asosiasi mendorong terus, ayo maju menjadi profesional, intinya seperti itu.
Ada sistem evaluasi?
Pastinya. Kebetulan anak saya baru selesai pendidikan sekolah penerbangan. Dia baru jadi pilot. Baru dipanggil Batik Air juga. Pendidikannya itu, dia harus memenuhi berbagai syarat lisensi pilot, CPL (commercial pilot licence), kemudian dia harus lulus bahasa Inggrisnya minimal skor TOEIC 700. Kemudian ada beberapa persyaratan. Kemudian dia harus melaksanakan beberapa pendidikan. Ada 15 item mandatory kalau enggak salah. Itu proses trainingnya sekitar 6-7 bulan ke depan.
Kemudian dia ada program Computer Based Training. Selesai itu masuk ke simulator. Sebelum ke simulator kalau di Boeing ada namanya IPT, Integrated Procedure Training. Di Airbus adanya APT. Masuk ke simulator. Di Boeing dia ada sekitar 13 sesi, satu sesi itu butuh waktu 4 jam. Selesai itu masuk ke Lion Training, dia dibawa instruktur terbang, sekitar 150 jam, itu buat co-pilot. Pada saat dia dicek lulus, baru dia bisa memenuhi syarat.
Jadi jenjang itu selalu berjalan. Kemudian yang sudah jadi seperti saya, dalam waktu 6 bulan kita melaksanakan dua simulator minimal. Jadi enggak berhenti menjadi pilot kemudian putus.
Perekrutan dari airline ke pilot biasanya tahapnya seperti apa?
Jadi perekrutan, saya kebetulan dulu lulus dari Politeknik Penerbangan Indonesia Curug. Alhamdulillah zaman saya profesi pilot dibutuhkan ya. Kalau saat ini saya mengurus 2.100-an pilot yang sudah selesai pelatihan penerbangan di seluruh maskapai, yang sudah menjadi pilot, tapi belum bekerja.
Jadi benar ada over produksi pilot?
Sebenarnya ya over produksi juga. Tapi, pada prinsipnya sebenarnya kebutuhan pilot itu secara berjangka sih enggak lebih juga. Tapi, yang menjadi banyak masalah, banyak sekolah penerbangan yang melaksanakan pelatihan hanya wajib selesai menjadi pilot saja.
Prasyaratnya yang enggak masuk kadang-kadang. Contohnya Lion Group sekitar 6 bulan lalu melakukan tes untuk 400 pilot. Dulu waktu zaman saya passing grade pilot itu 80 persen. Ini dengan passing grade diturunkan menjadi 70, dari 400 pilot yang bisa lulus cuma 4-5 orang. Jadi problemnya di mana saya enggak tahu.
Kemudian masalah kebutuhan pilot juga, kayak tahun ini Garuda ada sekitar 150 pilotnya yang usianya di atas 65 tahun yang akan pensiun. Berarti kebutuhan tetap ada. Lion Group juga ada. Dengan penambahan pesawat yang terus menerus, saya kira jumlah pilot pasti akan dibutuhkan.
Berpengaruhkah ke penerbangan secara umum?
Berpengaruh sih sebenarnya enggak. Cuma yang jadi masalah, banyak orangtua yang berpikiran bahwa menyekolahkan penerbangan dia cepat kerja. Yang ada ternyata setelah dia utang sana sini, dia sekolah penerbangan, masuk ke industri penerbangan dia harus bayar lagi, ratingnya istilahnya.
Jadi mau rating Airbus dia bayar sekian ratus juta, rating Boeing dia bayar sekian ratus juta. Yang tadinya ingin cuma sekolahin anak kemudian selesai, akhirnya sakit jantung semua, stroke gara-gara dia harus utang lagi, masalahnya sih di situ.
Jadi pilot malah yang dibebankan dengan biaya pelatihan. Itu kebijakan perusahaan?
Kebijakan perusahaan. Jadi buat training itu kita butuh biaya seperti itu. Ini sedikit hal yang berbeda dari zaman saya. Dulu zaman saya kebutuhan akan pilot, mereka sekolahkan kita. Jadi enggak bayar lagi.
Sekarang semuanya begitu. Bahkan, Garuda seperti itu, Lion Group seperti itu. Citilink juga begitu. Itu menjadi salah satu problem tadi. Nah, kita ingin memutar balik, kembalikan ke yang awal, karena itu kebutuhan mereka. Tapi, dengan suplainya banyak, mereka cari pilot itu katanya gampang.
Dari Delay Sampai Runway
Penerbangan Indonesia sering delay, itu kenapa?
Delay yang paling simpel itu ada 41 item yang menyebabkan delay. Contohnya, pertama standar departure dari Cengkareng jam 6 pagi mau ke Padang. Satu kali delay departure dari Cengkareng, delay 10 menit saja, penerbangan selanjutnya katakan dia ada 8 pendaratan, Cengkareng-Padang, Cengkareng-Palembang, kemudian Pekanbaru. Di pendaratan terakhir, dia itu bisa terlambat sampai 20 menit, karena problem di awal tadi.
Kedua, kebetulan saya di Batik, saya minta minimal 40 menit sebelum waktu keberangkatan. Tapi, banyak penumpang yang leha-leha, nyantai-nyantai, ah belum telat kok. Di sini saya pernah dari mundur, push back, sampai saya mau take off itu bisa 45 menit, itu kan sebenarnya delay juga.
Tapi, dengan seperti saya bilang tadi. Dengan delay di awal penerbangan kita semenit saja, sampai di buntut pendaratan terakhir bisa 20 menit terlambatnya.
Ketua Perhimpunan Profesi Pilot Indonesia (PPPI), Rizki Budimansyah,
Apa saran Anda untuk regulator atau pemerintah demi industri penerbangan menjadi lebih bagus ke depan?
Sebenarnya sih memang perlu kerja sama konkret satu sama lain. Kita butuh duduk bersama untuk ke depan ini. Progres penerbangan ini ke depan sebenarnya bagus. Kerja sama itu emang perlu kita galang. Karena simbiosis mutualisme yang kita harapkan.
Pak Menteri katanya lagi bersih-bersih, gebrakan apa yang perlu dilakukan?
Ya salah satunya kemarin kejadian Garuda ini, walau Menteri BUMN. Banyak juga tentang penggunaan narkoba oleh pilot perlu diatasi. Kemudian masalah tes di seluruh airline kita harus wajib. Kemudian lisensi, kemudian masalah training itu yang harus digalakkan sih.
Sama satu lagi masukan saya, sekarang ini pembangunan bandara saya kira fokusnya bandara ini terminal. Tapi, kekuatan landasan, panjang landasan, itu menjadi secondary. Padahal, itu yang seharusnya menjadi prioritas.
Kemudian alat bantu navigasi yang perlu. Kayanya fokusnya sih pembangunan terminal, orang melihat wah terminal ini bagus, di Yogyakarta bagus, tapi kemampuan landasan dan hal-hal alat bantu navigasi, yang kadang-kadang suka kelupaan. Karena ya mungkin yang lebih ditonjolkan adalah buat ke penumpangnya.
Contohnya Bandara Cengkareng itu belum bisa untuk mendaratkan Airbus 830. Bandara internasional kelas satu loh masa enggak bisa? Kemudian take off Boeing 777 dari sini belum bisa kapasitas maksimal. Karena kekuatan landasannya itu belum cukup.
Itu yang paling utama saya pikir. Karena saya pilot ya. Kadang bandaranya hebat, tapi landasannya gini, penanda runway enggak jelas. Tapi, di litbang sendiri mereka sudah sering melakukan FGD-FGD (forum diskusi), itu sih yang baru mulai saya lihat. (one)