Kursus Dulu Menikah Kemudian

Petugas Puskesmas memberikan konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin yang ingin membuat sertifikat layak kawin di Puskesmas Sawah Besar, Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Olivia masih mengingat semuanya. Ingatannya menerawang saat perempuan berusia 33 tahun itu dan Andreas, pasangannya, mengikuti kursus atau bimbingan pranikah empat tahun lalu. Ruangan seluas lapangan bulutangkis di kompleks Gereja Katolik Santo Yusup Ambarawa menjadi saksi bisu saat dia, Andreas dan sejumlah pasangan lain mengikuti “pembekalan” sebelum melangsungkan pernikahan.

Tak hanya mendapatkan berbagai materi, Olivia dan pasangannya juga peserta lain “dikarantina” di salah satu wisma di Jalan Mgr. Soegijapranata No 56, Sumber, Panjang, Kecamatan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah tersebut. “Acaranya dilakukan di hari Sabtu dan Minggu,” ujar Olivia kepada VIVAnews, Jumat 22 November 2019..

Pasangan Olivia dan Andreas

Dosen di salah satu perguruan tinggi bergengsi di Yogyakarta ini mengatakan, dalam kursus itu peserta kursus mendapatkan berbagai materi terkait pernikahan. “Di antaranya soal hakikat pernikahan Katolik yang sekali seumur hidup. Soal reproduksi, soal mengatur keuangan dalam rumah tangga, soal mendidik anak dan sejumlah materi lain,” ujarnya mengenang.

Jika dinilai layak, peserta akan mendapatkan sertifikat yang menjadi salah satu syarat untuk menikah dan menjalani pemberkatan atau sakramen di gereja. “Sertifikat tidak asal diberikan. Kalau pasangan dinilai lulus maka baru diberikan. Sertifikat itu nantinya sebagai syarat kami melakukan ujian kembali di depan Romo sebelum kami bener-bener menikah.”

Bukan Barang Baru

Tokoh Katolik Pastor Antonius Benny Susetyo membenarkan. Menurut dia, umat Katolik sudah menjalankan sertifikasi pranikah sejak lama. “Itu sudah lama kita lakukan. Dan kursus pranikah di gereja Katolik itu sebagai syarat untuk sebuah perkawinan,” ujar pria yang akrab disapa Romo Benny ini kepada VIVAnews, Rabu 20 November 2019.

Menurut dia, gereja Katolik mempunyai program untuk mempersiapkan keluarga muda.  Itu dilakukan dalam bentuk kursus atau pendidikan kepada pasangan yang akan menikah. Materinya beragam mulai pendidikan ekonomi keluarga, relasi hubungan suami istri.

Kemudian materi cara mendidik anak dan moral Kristiani. “Nah, di situ diajarkan. Sehingga keluarga-keluarga yang punya anak usia mau menikah itu sudah memiliki sebuah pandangan atau pengalaman bagaimana hidup berkeluarga,” ujarnya menambahkan.

Selain itu juga ada sesi sharing dari pasangan yang sudah menikah. Pasangan suami istri yang sudah lama menikah 25 atau 30 tahun dan sudah menjalani kehidupan berkeluarga berbagi pengalaman bagaimana menjalani bahtera rumah tangga. Misalnya bagaimana membangun komunikasi di keluarga yang baik dan bagaimana cara menyelesaikan masalah keluarga.

“Itu dilakukan agar keluarga-keluarga muda itu juga punya skill untuk memahami dari hakikat sebuah perkawinan.”

Menurut dia, kursus pranikah yang dilakukan oleh gereja Katolik itu tujuannya agar keluarga-keluarga muda memiliki pemahaman dalam hakikat rumah tangga. Gereja Katolik bahkan memiliki kurikulum pendidikan pranikah.

“Misalnya ada pendidikan seksualitas, pendidikan mengenai bagaimana tahap-tahap komunikasi. Kalau ada masalah kontaknya dengan siapa. Kemudian juga cara mengatur tata kelola ekonomi keluarga, ada semuanya itu,” ujarnya menjelaskan. 

Konseling pranikah

Pematerinya juga beragam dan dari berbagai latar belakang keilmuan. “Ada dokternya, ada psikolognya, ada ahli moralnya. Itu ada timnya sendiri. Jadi di gereja Katolik itu ada yang namanya Komisi Keluarga. Nah itu yang menangani itu semua (kursus pranikah),” ujarnya. 

Tak hanya Katolik. Umat Hindu juga sudah melakukan hal serupa. Ketua Dewan Pakar Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), I Nengah Dana mengatakan, di Hindu ada bimbingan sebelum menikah. Bimbingan dilakukan sampai pasangan dinyatakan benar-benar siap untuk menikah.

“Di Hindu ada lembaga konseling keluarga yang bertugas untuk melakukan penyuluhan atau bimbingan pranikah,” ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 21 November 2019.

Menurut dia, bimbingan pranikah itu dilakukan dengan cara memberikan bimbingan atau penyuluhan kepada calon-calon pengantin. Itu dilakukan agar pasangan yang akan menikah memahami lembaga perkawinan.

“Artinya, mereka paham apa kewajiban, apa tugas mereka masing-masing.  Karena di kami kan, yang namanya perceraian itu sangat dihindari sekali,” ujarnya menjelaskan.

Nengah Dana menuturkan, dalam bimbingan itu yang paling utama adalah menekankan kematangan usia. Kemudian mental dan kejiwaan apakah pasangan itu sudah siap untuk menikah atau belum. Selain itu pasangan juga akan diberi pemahaman terkait fungsi perkawinan dalam agama Hindu.

Pertama, dalam perkawinan di Hindu itu, hubungan percintaan mereka harus legal. Jadi pasangan baru bisa menikmati hubungan seksual kalau sudah legal atau sah baik secara agama maupun hukum negara, namanya Paparadi. Kedua, meneruskan generasi ke depan yang baik, namanya Dharma Praja  Ketiga, menyelenggarakan ibadat keagamaan. Itu namanya Dharma Sampati. Keempat, menyelenggarakan fungsi sosial, dan dia menjadi partner setia suami-istri. Itu namanya Dharma Patni.

“Empat itu ada materi-materinya yang dijadikan bahan pembinaan. Jadi pemberian materi kepada calon pengantin itu dilakukan terus menerus, tidak sekali saja,” ujarnya menjelaskan. 

Salah satu ritual Umat Hindu

Bimbingan ini wajib diikuti oleh umat Hindu yang akan menikah. Pasalnya, syarat menikah itu harus ada surat pengantar dari PHDI, atau lembaga adat kepada pendeta yang akan menyelenggarakan upacara. “Misalnya di Jakarta nanti mereka yang ingin menikah itu kan menghadap ke PHDI atau Pembimas. Kemudian kita lakukan pembimbingan pranikah kepada mereka. Setelah itu Pembimas menyurati pendeta bahwa yang bersangkutan sudah dinyatakan oke administrasinya untuk melaksanakan pernikahan,” ujarnya menerangkan.

Ketua DPP Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip K. Widjaja juga mengatakan, banyak organisasi keagamaan sebetulnya sudah menjalankan fungsi bimbingan pranikah. 

Positif

Romo Benny menilai, wacana sertifikasi nikah yang dilontarkan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Efendi adalah sesuatu yang positif. Pasalnya, dengan kursus itu keluarga siap. Selain siap lahir dan batin, siap dalam mengelola keuangan, siap dalam mengasuh anak juga memahami bagaimana cara mengelola emosi.

“Kalau tanpa pengetahuan sama sekali banyak yang mengalami kesulitan dalam membangun rumah tangga,” ujarnya.

***

Pendapat senada disampaikan Nengah Dana. Menurut dia, jika sertifikasi nikah bukan sekadar label atau syarat administratif, tapi benar-benar dilakukan dengan baik seperti pembinaan yang dilakukan untuk mengurangi angka perceraian, menghindari perselisihan dalam keluarga muda itu positif.

“Tapi harus benar-benar dipastikan. Kalau memang benar pemerintah ingin melakukan sertifikasi nikah, ya pemerintah harus mengacu pada tradisi atau lembaga-lembaga yang dimiliki oleh agama-agama ini,” ujarnya.

Warga antre sidang isbat pernikahan di Pengadilan Agama

Philip enggan berkomentar banyak terkait wacana sertifikasi nikah. Pasalnya, hal itu baru wacana. Menurut dia, jika memang hal itu akan diterapkan pasti akan ada kajian dan penyempurnaan. “Saya lebih ambil sikap tidak berpolemik dulu. Tidak ikut melakukan praduga dan memberi pendapat pada sesuatu yang masih belum ada kepastian,” ujarnya.

“Kita percaya pemerintah dalam mengambil suatu keputusan besar pasti tidak akan gegabah atau melawan kehendak masyarakat luas. Mungkin saja maksudnya ingin segala sesuatu lebih tertata sehingga masa depan lebih baik.”

Tanggung Jawab Negara

Romo Benny menuturkan, sertifikasi nikah merupakan bagian dari cara pemerintah menunjukkan perhatian khusus kepada masyarakat agar memperkecil masalah perceraian karena kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi. Dan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan.

Kedua, mendidik anak itu tidak gampang. Dan dibutuhkan skill untuk keluarga-keluarga muda. Selain itu, butuh sharing pengalaman dari orang-orang yang memang sudah punya pengalaman.

“Jadi menurut saya ini bukan campur tangan pemerintah dalam urusan rumah tangga orang. Tapi memang pemerintah itu mempunyai kewajiban untuk memberikan pengetahuan kepada orang yang ingin membina keluarganya,” ujarnya menjelaskan.

Menurut dia, pemerintah menginginkan agar keluarga memiliki tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya dan memperkecil angka perceraian. “Karena kalau ada kasus perceraian, yang dirugikan anak-anak. Anak-anak yang kena impact.  Jadi ini sebetulnya negara punya tanggung jawab moral. Dan menurut saya itu bagus.”

Kartu Nikah

Nengah Dana berharap, jika diterapkan secara resmi, sertifikat nikah tidak menambah beban bagi masyarakat untuk keluar biaya lagi. Pasalnya, selama ini pihaknya juga tak pernah menarik biaya terkait bimbingan pranikah. ”Jadi di kami itu biaya upacara itu semampu mereka (calon pengantin). Kalau mereka ingin sekedar upacara enggak apa-apa. Kalau mereka ingin melakukan besar-besaran sampai resepsi ya silakan,” ujarnya. 

Menurut dia, banyak pasangan yang melakukan pernikahan dengan cara sederhana. “Setelah dapat sertifikat atau surat keterangan dari lembaga konseling PHDI bahwa mereka dinyatakan siap untuk menikah, mereka ketemu pendeta, pernikahan sudah bisa dilakukan.” (ren)