Demokrasi Zonder Oposisi
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Suara tertawa sesekali terdengar dari ruang Jepara, Istana Merdeka. Suaranya menembus pintu dan jendela gedung yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta tersebut. Sore itu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan empat mata.
Prabowo datang sekitar pukul 15.00 dan disambut Menteri Sekretaris Negara, Pratikno dan Ali Mochtar Ngabalin. Prabowo langsung masuk ruangan. Di balik pintu Jokowi sudah menunggu. Sekira empat puluh menit, kedua orang yang sempat menjadi rival dalam Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 ini keluar berbarengan. Senyum lebar langsung mengembang. Mereka juga terlihat akrab dan hangat.
Ini merupakan pertemuan kedua usai gelaran Pilpres. Sebelumnya mereka sudah pernah bersua di atas kereta. Pertemuan yang dilakukan pada Jumat, 11 Oktober 2019 ini seolah menguatkan dugaan banyak kalangan bahwa Partai Gerindra akan bergabung dengan Jokowi, tak lagi menjadi oposisi.
Meski demikian, menurut Jokowi keputusan tersebut belum pasti. "Tapi ini belum, urusan satu ini belum final, mengenai kemungkinan Partai Gerindra masuk ke koalisi kita," kata Jokowi usai pertemuan.
Prabowo menegaskan komitmennya dan Gerindra dalam menjaga persatuan pasca Pilpres 2019, demi kepentingan nasional dan Indonesia yang lebih sejahtera. Prabowo juga menyambut baik niat Jokowi untuk menggandeng Gerindra dan memberi tempat kadernya di kabinet 2019-2024.
"Kita bertarung secara politik. Begitu selesai, kepentingan nasional yang utama. Saya berpendapat kita harus bersatu. Jadi saya sampaikan ke beliau apabila kami diperlukan, kami siap untuk membantu," kata Prabowo di lokasi yang sama.
Safari Politik
Usai bertemu Jokowi, Prabowo melakukan safari politik. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menjadi orang pertama yang disambangi Prabowo. Selanjutnya orang nomor satu di Gerindra ini menemui Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Safari politik tersebut diduga merupakan tindak lanjut terkait rencana bergabungnya Gerindra dalam barisan partai politik pendukung Jokowi. Namun hal itu dibantah Dahnil Simanjuntak. Juru Bicara Prabowo Subianto ini menyatakan, pertemuan Prabowo dengan pimpinan partai politik merupakan inisiatif Prabowo sendiri.
Dahnil menampik, kedatangan Prabowo menyambangi Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, dan Airlangga Hartarto, karena atas permintaan Presiden Joko Widodo. Sebab, Partai Gerindra belakangan disebut mendapat jatah menteri. "Tidak, itu memang sudah direncanakan Pak Prabowo setelah bertemu," kata Dahnil, Selasa 15 Oktober 2019.
Koalisi Jokowi
Partai NasDem menanggapi dingin kabar akan bergabungnya Gerindra dalam koalisi pendukung Jokowi. Dewan Pakar DPP Partai NasDem, Taufiqul Hadi mengatakan, jika ingin bergabung Gerindra harus mendukung kebijakan Jokowi.
Salah satunya menyingkirkan ideologi transnasional. “Kedua mereka mendukung upaya Pak Jokowi yang telah merencanakan pengembangan infrastruktur dan ibu kota baru,” ujarnya kepada VIVANews, Kamis, 17 Oktober 2019.
Selain itu, Gerindra juga tidak boleh mengajukan persyaratan-persyaratan baru yang mengganggu. Pasalnya, Jokowi telah memiliki program jangka pendek, menengah dan jangka panjang. “Jadi tak boleh disisipkan program-program lain,” ujarnya menambahkan.
Mantan anggota Komisi III DPR RI ini mengatakan, masuknya Gerindra tak akan menganggu koalisi. Namun, bisa membuat koalisi gemuk dan akan membuat kabinet berjalan lamban.
Sementara menurut Dita Indah Sari, pemerintahan sebenarnya membutuhkan oposisi sebagai penyeimbang. Karena pemerintah harus tetap diingatkan.
“Pemerintah tak selalu benar dan oposisi tak selalu salah. Kalau dari segi kebutuhan kita butuh penyeimbang supaya tak terlalu jomplang,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB ini kepada VIVAnews, Kamis 17 Oktober 2019.
Namun ia memahami, saat ini Jokowi lebih kohesif. Menurutnya, hal itu dilakukan mungkin agar target ekonomi tercapai. Meski demikian ia berharap, masuknya Gerindra tak menggeser atau mengubah jatah partai koalisi yang sejak awal mendukung Jokowi.
“Kita berharap slot partai baru jangan sampai geser slot partai yang sudah berjuang selama ini. Solusinya kalau Jokowi ga keberatan maka slot parpol dalam kabinet harus diperbesar dibanding nonparpol. Itu konsekuensinya.”
Pendapat berbeda disampaikan Partai Persatuan Pembangunan. Wakil Ketua Umum PPP Reni Marlinawati mengatakan, bagi PPP ada pendatang baru atau tidak selama tidak menganggu harmoni, welcome saja. Menurut dia, hal itu malah bagus karena bisa mempercepat proses pengambilan keputusan.
“Kalau punya tujuan yang sama untuk kebaikan negara, kemajuan bangsa saya kira pasti semua bergerak dalam irama yang sama dalam komando Presiden,” ujarnya kepada VIVANews, Jumat, 18 Oktober 2019.
PDI Perjuangan menyambut baik terkait rencana bergabungnya Gerindra dalam barisan pendukung Jokowi. Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengatakan, konsepsi ideologis Jokowi membangun negara itu gotong royong. Jokowi meyakini bahwa membangun Indonesia ini tidak cukup dengan satu kelompok, satu kekuatan politik. Tapi harus secara gotong royong, bersama - sama.
“Beliau sangat akomodatif, begitu pun dengan PDI Perjuangan. Partai yang mengusung Pak Jokowi dan sangat mendukung pola hubungan kerja sama yang dibangun oleh Pak Jokowi dalam pemerintahan dengan mengakomodir banyak elemen,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 18 Oktober 2019.
Pendapat senada disampaikan Hendrik Sirait. Ketua Umum Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) ini mengatakan, apa yang dilakukan Jokowi merupakan politik akomodasi. Menurut dia, upaya Jokowi membangun komunikasi politik dengan partai-partai di luar koalisi, termasuk dengan Prabowo dan Gerindra adalah karena Jokowi ingin membangun stabilitas politik nasional lima tahun ke depan,” ujar relawan Jokowi ini.
Sementara, pengamat politik Arum Basuki menilai, upaya Jokowi merangkul Gerindra adalah agar pemerintahan Jokowi di periode kedua lebih konsolidatif. “Saya ragu parpol-parpol berkoalisi demi agenda kebijakan pro rakyat,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 18 Oktober 2019.
Kontradiksi Demokrasi
Wacana akan bergabungnya Gerindra ke dalam barisan partai pendukung Jokowi disesalkan sejumlah kalangan. Pasalnya, hal itu akan melemahkan kontrol yang selama ini dilakukan Gerindra kala menjadi oposisi.
Menurut Taufiqul Hadi, kondisi ini merupakan sebuah paradoks. Karena Indonesia sedang berusaha mencapai konsolidasi demokrasi. Menurut dia, Indonesia telah melaksanakan demokrasi selama 15 tahun namun belum mencapai titik konsolidasi demokrasi.
Menurut dia, konsolidasi demokrasi harus didukung oleh masyarakat madani yang kuat. Selain itu juga partai politik di parlemen.
“Kalau dua sektor itu mendukung akan terjadi konsolidasi demokrasi, tapi ketika semua partai ingin gabung dalam pemerintahan itu sebuah hal yang jadi kontraproduktif terhadap konsolidasi demokrasi. Karena kalau tak ada lagi oposisi dengan terpaksa maka rencana pencapaian konsolidasi demokrasi agak susah,” ujarnya.
Dita juga menyampaikan hal yang sama. Mantan aktivis ini mengatakan, minimnya oposisi akan berdampak bagi demokrasi. Menurut dia, hal itu tidak sehat bagi demokrasi. “Nggak sehat dan nggak dinamis,” ujarnya.
Dia menuturkan, tawaran gagasan dan pemikiran akan minim. Selain itu, narasinya akan tunggal karena kurang kuat disuarakan sisi berbeda. “Tidak buruk. Demokrasi kita sudah ada bentuknya tapi tak sehat dan tak dinamis.”
Masinton tak sependapat dengan koleganya di koalisi tersebut. Menurut dia, pengawasan adalah ranah legislatif. Menurut dia, meskipun secara kepartaian ada di koalisi pemerintah, mereka tetap bisa melakukan fungsi pengawasan di DPR RI.
“Jadi dalam hal ini, ya DPR tetap melakukan fungsi- fungsinya pengawasan terhadap mitra kerja di pemerintah. Kalau umpama kurang belum tepat, belum pas program pemerintah atau presiden ya kita DPR tidak segan - segan untuk mengingatkan instansi yang terkait,” ujarnya.
“Jadi demokrasi tidak tumbuh baik dan sehat kalau tidak ada kritik. Pemerintahan akan bekerja efektif kalau mau diawasi dan terbuka untuk diawasin. Pengawasan itu bisa dilakukan oleh DPR maupun di luar parlemen.”
Menurut Hendrik Sirait, bagaimanapun kekuasaan perlu dikontrol. Ibarat bermain sepakbola, lebih enak menyerang ketimbang bertahan. Dan biasanya yang menyerang ini akan disukai publik.
“Mungkin lima tahun ke depan, kalau memang benar PKS hanya sendiri yang menjadi oposisi, perkiraan saya dalam lima tahun ke depan kekuatan dia akan semakin membesar,” ujarnya.
Sama seperti Dita, ia juga menilai ketiadaan oposisi akan membuat demokrasi tidak sehat. Karena dalam sistem demokrasi diperlukan check and balance atau penyeimbang pemerintah. “Kalau yang oposisi hanya PKS atau satu dua partai saja, saya khawatir check and balance itu tidak terjadi dengan baik dan itu agak mengganggu proses demokrasi.”
Pendapat Hendrik diamini Arum Basuki. Ia mengatakan, partai manapun yang berani memilih beroposisi, dia berpeluang memupuk bekal elektoral pada Pilpres atau Pileg selanjutnya,” ujar Direktur Riset Indopolling Network ini.
Dia menjelaskan, tidak masalah jika hanya dua atau bahkan satu partai yang menjadi oposisi dan berada di luar gerbong koalisi pendukung pemerintah. Menurut dia, yang paling penting fungsi pengawasan berjalan sesuai konstitusi.
Publik akan menilai sendiri performanya. “Demokrasi tanpa oposisi tentu tidak ideal. Logika demokrasi salah satunya adalah adanya pengawasan dan pembatasan kewenangan. Tujuannya supaya tidak ada lembaga yang terlalu powerful.”
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera mengatakan, demokrasi memerlukan oposisi yang sehat dan kuat sebagai kekuatan penyeimbang. Untuk itu, partainya akan tetap memilih di luar pemerintahan meski sendirian. “Kami oposisi,” ujarnya menegaskan. (ren)